Kemenangan Indonesia 30 tahun Mendatang terhadap Krisis Iklim, Ditentukan Sekarang

Jakarta, 4 Desember 2021-“Semua orang sudah pakai panel surya, dan ada motor listrik juga. Terasa udaranya sangat segar sekali!” begitu ujar Kiara dalam Mimpi Kiara yang menggambarkan suasana Indonesia pada tahun 2050. Mimpi ini seharusnya menjadi mimpi masyarakat Indonesia pada umumnya, terkhusus para pembuat kebijakan yang setiap keputusannya akan menentukan perjalanan bangsa Indonesia. 

Wujud Indonesia pada 2050 sesuai dengan gambaran Kiara, tergantung dari strategi pemerintah Indonesia dalam menyiapkan dan memberikan bumi yang lebih baik bagi generasi masa depan. Langkah tersebut harus dimulai dari sekarang dengan melakukan transisi energi, beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Presiden Jokowi dalam pengarahannya kepada Komisaris dan Direksi Pertamina dan PLN bahkan menegaskan bahwa transisi energi tidak dapat ditunda lagi. Jokowi dengan tegas meminta jajarannya untuk segera menyiapkan grand design transisi energi yang konkret, jelas, detail. Menurutnya, menyambut era transisi energi, semua sektor harus berubah dengan mengembangkan energi terbarukan dibanding fosil. Hal ini merupakan bagian dari gerakan dunia untuk mengatasi krisis iklim.

Krisis iklim menjadi momok menakutkan yang sudah bertahun-tahun menjadi musuh bersama. Perjuangan melawannya ditetapkan dalam jalur Perjanjian Paris pada 2015 yang disepakati oleh 197 negara. Masing-masing negara berusaha menekan emisinya serendah mungkin agar suhu bumi tidak melewati batas kenaikan lebih dari 1,5 derajat Celcius setelah zaman pra industri.

Hingga COP 26 di Glasgow berakhir pada 13 November 2021 lalu, sebanyak 137 negara sudah mempunyai target netral karbon pada 2050-2070. Indonesia sendiri menargetkan netral karbon pada 2060 atau lebih cepat dengan bantuan internasional. Namun, upaya tersebut ternyata dirasa tidak cukup untuk membatasi suhu bumi. Hasil dari Climate Action Tracker bahkan menyebutkan bahwa dengan komitmen negara tersebut untuk mencapai netral karbon pada rentang waktu 2050-2070, bumi tetap akan memanas pada 2,5-2,7 derajat Celcius pada 2100.

Sayangnya, sebagai salah satu kontributor emisi terbesar di dunia, terutama di sektor kehutanan & lahan dan sektor energi, Indonesia belum menetapkan langkah yang ambisius dalam memerangi perubahan iklim. Meski mengambil komitmen positif untuk melakukan pensiun dini pada 9,2 GW PLTU batubara, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR) setidaknya total 10,5 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 untuk sejalur dengan Perjanjian Paris.

Di sinilah peran masyarakat Indonesia, termasuk kaum muda, untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk lebih berani dalam upaya mitigasi krisis iklimnya. IESR dalam proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) bekerja sama dengan AIESEC UI pada Global Impact Conference yang dihadiri kaum pemuda lintas negara menggarisbawahi hal penting dan berdampak yang kaum pemuda dapat lakukan diantaranya ialah dengan membagikan informasi bahwa sektor energi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah kehutanan dan lahan. 

“Kesadaran akan dampak energi fosil yang merusak bumi, akan mendorong masyarakat untuk memiliki perilaku bertanggung jawab terhadap konsumsi energi, misalnya dengan melakukan penghematan energi,” ungkap Agus Tampubolon (berbaju biru), Proyek Manager CASE, IESR.

Tidak hanya itu, setiap masyarakat Indonesia juga memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas hidup anak-cucu dengan memilih pemimpin yang mempunyai visi dan misi untuk mewujudkan pembangunan minim emisi dan pemanfaatan energi terbarukan secara massif, baik di tingkat regional maupun nasional

Agus menambahkan agar proses transisi energi berlangsung cepat dan sistematis, pemerintah daerah memainkan peranan kunci dalam menetapkan target pencapaian energi terbarukan yang tinggi pada Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Selain itu, pemerintah daerah juga harus, mempunyai pemetaan yang detail terhadap potensi teknis energi terbarukan yang terdapat di daerahnya, memiliki kemampuan untuk membangun jaringan, menyiapkan regulasi yang tepat untuk menarik lebih banyak investasi di energi terbarukan di daerahnya. Dengan demikian, Mimpi Kiara, mimpi kita dan mimpi generasi mendatang dapat menjadi kenyataan.

Institusi Finansial Asia Tengah melirik potensi pengembangan proyek transisi energi, IsDB selenggarakan pertemuan bersama IESR.

Jakarta, 1 Desember 2021 – Setahun terakhir, istilah transisi energi menarik perhatian dalam proses advokasi kebijakan maupun wacana publik. Sektor energi, sebagai penghasil polusi nomor satu secara global, menjadi sorotan utama karena dunia sedang berpacu dengan waktu untuk membatasi kenaikan suhunya di level 1,5 derajat Celcius. Transisi energi, meskipun saat ini menjadi kebutuhan, sayangnya tidak memiliki formula universal untuk diterapkan di setiap kawasan atau negara. Setiap negara perlu memikirkan skenario yang paling cocok untuk transisi energinya dengan mempertimbangkan konteks dan situasi negara tersebut. Namun, mencari tahu pengalaman sebelumnya dalam mempersiapkan atau memulai transisi energi dapat membantu kelancaran proses persiapan transisi di suatu wilayah.

Indonesia membuat langkah yang cukup progresif sepanjang tahun ini, mulai dari pengumuman target net-zero pada tahun 2060 (lebih cepat) dan juga RUPTL terbaru yang memberi porsi lebih besar untuk energi terbarukan sebesar 51,6%. Meskipun target tersebut masih belum cukup untuk mencapai Persetujuan Paris, kemajuan dan komitmen yang diumumkan terus menarik para pihak untuk belajar tentang bagaimana pemerintah mengalihkan minatnya, dan akhirnya berkomitmen pada energi yang lebih bersih.

Pada 1 Desember 2021, IESR bertemu dengan Islamic Development Bank (IsDB), Almaty, Kazakhstan untuk berbagi informasi tentang kemajuan transisi energi di Indonesia serta pembelajaran mengenai peran lembaga non-pemerintah dalam mempercepat transisi energi baik di tingkat nasional maupun regional.

Berada di wilayah Asia Tengah, IsDB mengidentifikasi rendahnya investasi dan infrastruktur yang sudah tua di bidang pembangkit listrik, transmisi, serta distribusi sebagai masalah utama di kawasan tersebut. Potensi energi terbarukan seperti hidro dan surya hanya tersedia selama musim panas. Di musim dingin di mana suhu bisa turun, misalnya hingga -50 derajat celsius di Kazakhstan, sehingga harus dipikirkan cara untuk memasok listrik, dan energi apa yang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan energi.

Dalam mengembangkan skenario yang lebih berkelanjutan, IESR sebagai lembaga think-tank independen secara aktif mengadvokasi agenda transisi energi melalui beberapa cara antara lain diseminasi penelitian, inisiasi gerakan, dan secara aktif mempengaruhi wacana publik.

“Sebagai contoh, kami mendorong penetrasi PLTS atap ke dalam jaringan, karena kami yakin teknologi tersebut dapat membantu demokratisasi akses energi di Indonesia yang dimonopoli oleh PLN,” Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif IESR menjelaskan.

Dalam mempengaruhi dan membentuk opini publik, IESR melalui proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara aktif berjejaring dengan pemerintah, media, institusi akademik, dan publik untuk mempromosikan wacana transisi energi kepada khalayak yang lebih luas. Dalam hal advokasi kebijakan, CASE juga bermitra dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk memberi masukan pada tujuan pembangunan jangka panjang.

Memahami bahwa transisi energi merupakan masalah multidimensi, diperlukan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan dalam merencanakan dan mengimplementasikannya.

“Itu adalah langkah kami selanjutnya, kami akan mengadakan pertemuan dengan Kementerian Energi dan membicarakan rencana tersebut, mencari tahu apa yang dapat kami (IsDB) lakukan untuk mendukung penyebaran energi terbarukan dan skema kolaborasi apa yang paling cocok untuk mereka,” kata Edzwan Anwar dari IsDB. 

Hitung Cermat Pembiayaan Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 24 November 2021 – Transisi menuju energi bersih merupakan suatu keniscayaan. Teknologi energi bersih yang semakin berkembang membuat harga listrik dari energi bersih semakin kompetitif dengan energi fosil yang saat ini masih banyak ditemukan dalam sistem energi. Mengutip laporan Climate Transparency 2021, sistem energi Indonesia hingga tahun 2021 masih didominasi oleh energi fosil yang mencapai lebih dari 80% produksi listrik. Tingkat ketergantungan pada energi fosil yang tinggi ini, membuat transisi energi di Indonesia perlu dilakukan dengan cermat dan direncanakan serta dijalankan dengan baik. 

Agar proses transisi energi dapat berjalan tanpa menimbulkan kontraksi ekonomi yang signifikan, pemerintah perlu menyiapkan strategi pembiayaan yang berkelanjutan. Hal tersebut menjadi pembahasan dalam diskusi bertajuk “Peran dan Implementasi Sustainable Finance Menuju Transisi Energi dan Net Zero Emission di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Proyek Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia.

Sunandar, Asisten Deputi Utilitas & Industri Manufaktur, Kemenko Perekonomian, berpendapat perlu perhitungan yang cermat sehingga dapat memitigasi risiko ekonomi dari transisi energi. Terutama, pembiayaan transisi energi yang membutuhkan dana besar akan terpusat pada penghentian pembangkit batubara dan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan.

“Dengan kondisi saat ini dimana energi kita masih banyak batubara dan EBT baru sekitar 11,2% melakukan transisi terlalu cepat akan membutuhkan dana besar karena kita harus menghentikan pembangkit batubara yang masih beroperasi sekaligus harus membangun pembangkit EBT. Karena itu, kita memerlukan perencanaan mekanisme transisi energi. Serta lebih penting lagi memastikan ketersediaan pendanaan yang terjangkau bagi semua pihak yang ingin berkontribusi dalam transisi energi,” terang Sunandar. 

Kondisi ini membuat Indonesia harus melihat skema pembiayaan apa yang cocok untuk diterapkan bagi transisi energi Indonesia. Studi Deep Decarbonization IESR menunjukkan bahwa kebutuhan investasi untuk bertransisi mencapai 287-360 triliun rupiah/tahun. Disampaikan oleh Dewa Putu Ekayana, ahli muda PKPPIM  Kementerian Keuangan bahwa kekuatan APBN untuk membiayai transisi energi hanya sekitar 32,6%. 

“Untuk mengisi kekurangan pembiayaan ini, pemerintah membuat skema blended finance dengan menerbitkan green bond dan green sukuk serta ikut mengundang keterlibatan investor dalam proyek-proyek perubahan iklim atau energi terbarukan,” jelas Dewa. 

Jenis pembiayaan lain yang juga sedang dijajaki oleh pemerintah adalah Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk mengembangkan infrastruktur energi bersih di Indonesia.

“Skema ini akan mengurangi beban APBN/D dalam membiayai transisi karena sebagian atau seluruh proyek akan dikerjakan dengan sumber daya milik Badan Usaha, dengan pembagian risiko antar para pihak (Badan Usaha dan Pemerintah),” jelas Suryo Wijiono Pambudi, Perencana Pengembangan Pendanaan Pembangunan, Bappenas

Suryo menambahkan kapasitas Pemerintah Daerah perlu untuk ditingkatkan supaya mereka dapat menyiapkan transisi di level akar rumput, serta mencari atau memetakan peluang ekonomi hijau apa yang dapat dikembangkan di daerah tersebut. 

“Selain itu dibutuhkan satu set kebijakan khusus terkait pengembangan EBT yang meliputi lembaga khusus, pembagian wilayah pelayanan serta roadmap pembangunan EBT nasional,” kata Suryo.

Implementasi dan Lesson Learned Pembiayaan Berkelanjutan

Teknologi energi terbarukan yang terus berkembang selain membuat harga energi yang dihasilkannya semakin kompetitif, juga menghasilkan kadar emisi yang lebih rendah. Tidak heran, energi terbarukan mulai dilirik untuk menggantikan energi fosil yang kadar emisinya tinggi serta cadangannya makin menipis. Sejumlah skema pembiayaan ditawarkan dengan beragam risiko dan konsekuensinya. 

Evy Susanty, Chief Finance Officer, PT Surya Utama Nuansa menjelaskan bahwa energi surya dapat menjadi pilihan prioritas penggunaan energi terbarukan dalam berbagai skala. 

“Untuk memfasilitasi konsumen dalam memasang PLTS PT SUN Energy menyediakan 3 skema pembiayaan yaitu solar purchase, performance based rental, dan solar lease. Dari ketiga skema ini, performance based rental adalah yang paling digemari konsumen sebab skema ini memungkinkan calon konsumen dari sektor bisnis dan industri untuk memasang PLTS atap tanpa modal awal,” kata Evy

Selain surya, Pemerintah Indonesia juga mengembangkan potensi energi terbarukan lain seperti biogas. Dari proyek biogas yang sedang berjalan terdapat beberapa pembelajaran, salah satu yang terpenting adalah kesesuaian kesepakatan PPA (Power Purchase Agreement) dengan dokumen proyek yang lain seperti perjanjian penggunaan lahan, pernyataan ketersediaan suplai feedstock, kontrak operasional dan perawatan, serta kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction).

“Dalam proyek biogas ini beberapa hal perlu kepastian yang bersifat kebijakan seperti kesesuaian lahan, perijinan, pendapatan sesuai kesepakatan PPA, hingga jaminan ketersediaan suplai limbah cair kelapa sawit/POME (Palm Oil Mill Effluent),” Kirana Sastrawijaya, Senior Partner in Project, Energy & Finance, UMBRA Partnership menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dari aspek legal hukum proyek biogas.

PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), salah satu special mission vehicles (SMV) Kementerian Keuangan untuk pembiayaan infrastruktur, mencatat sejumlah kendala dalam pembiayaan proyek-proyek hijau di Indonesia. Terbatasnya jumlah proyek hijau dan tidak ada insentif yang menarik dari pemerintah bagi proyek-proyek hijau membuat investor berpikir ulang untuk ikut berinvestasi di Indonesia.

“Dalam implementasi proyek-proyek hijau tidak jarang dibutuhkan waktu dan biaya tambahan untuk melakukan kajian terkait sustainability, dan seringkali tenaga profesional untuk mengerjakannya masih jarang, sehingga mau tidak mau harus bekerjasama dengan pihak lain,” terang Pradana Murti, Head of Sustainable Financing PT SMI.

Dalam proses transisi energi perlu adanya penyamaan persepsi serta pengembangan kapasitas dari pihak-pihak terkait, baik dari sektor energi maupun non-energi. “Sustainable finance dapat menjadi solusi atas beberapa bottleneck yang ada dari proses transisi energi,” ungkap Deni Gumilang, Deputy Programme Manager CASE Indonesia.

Sinergi Pembangunan Lestari dan Potensi Surya di Gorontalo

Gorontalo, 26 November 2021- Potensi energi terbarukan tersebar merata di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk di antaranya di Provinsi Gorontalo. Potensi ini dapat dimanfaatkan oleh provinsi di seluruh Indonesia dalam memainkan peranannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan menciptakan keuntungan ekonomi, sosial dan lingkungan yang berkelanjutan di wilayahnya masing-masing.

Provinsi Gorontalo menurut analisis IESR dalam kajian “Beyond 443 GW” mempunyai potensi teknis tenaga surya yang besar mencapai 11,97 GWp (sama dengan 17.47 TWh energi yang terbangkitkan)  dan potensi penyimpanan daya hidro terpompa (Pumped Hydro Energy Storage, PHES) hingga 14,4 GWh. Peneliti Senior IESR, Handriyanti Diah Puspitarini menghitung bahwa dengan asumsi per keluarga berjumlah 4 orang maka terdapat 292.921 rumah tangga di Gorontalo. Jika satu rumah membutuhkan daya 1,72 MWh, maka total kebutuhan listrik di Gorontalo sebesar 503,8 GWh.

“Jadi sebenarnya potensi solar di Provinsi Gorontalo dapat menutupi seluruh kebutuhan listrik rumah tangga di Gorontalo,” jelas Hardiyanti.

Tentu saja, untuk meraih manfaat tersebut, pemerintah Provinsi Gorontalo perlu untuk membangun ekosistem yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan, terutama pembangkit energi tenaga surya (PLTS) hingga ke seluruh kabupatennya. Sebagai salah satu tuan rumah penyelenggaraan Festival Kabupaten Lestari 4,  Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo memiliki upaya yang sinergis dengan besarnya potensi energi terbarukan. Kabupaten Gorontalo telah secara aktif mendorong pembangunan lestari melalui alokasi penganggaran hijau dan penggunaan energi terbarukan yang berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca.

Cokro R Katilie, Kepala BAPPEDA Kabupaten Gorontalo menegaskan dalam pidato pembukaannya pada rangkaian Festival Kabupaten Lestari agar upaya mitigasi perubahan iklim perlu dilakukan secara lebih maksimal.

“Di Kabupaten Gorontalo ada banjir di awal November, (hal ini) menjadi suatu hikmah, walaupun berkolaborasi dan upaya lingkungan (sudah dilakukan), intensitas cuaca (yang mengakibatkan banjir) yang lebih tinggi. Tentu harus ditingkatkan upaya mitigasi,” ungkap Cokro.

Mengundang secara daring Institute for Essential Service Reform (IESR) pada sisi Inovasi Pengarusutamaan Teknologi dalam menekan emisi dan melestarikan lingkungan, puluhan peserta dari berbagai daerah dan institusi menyimak penjelasan Marlistya Citraningrum, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR tentang teknologi PLTS atap.

Marlistya memaparkan bahwa PLTS merupakan cerminan dari demokratisasi energi karena potensinya tersebar di seluruh Indonesia, siapa saja bisa menggunakannya tanpa memandang strata atau profesi, pemasangannya bisa di mana saja sebab PLTS punya beragam tipe bisa di atap, di atas tanah, maupun terapung.

“Selain itu, pemasangannya juga tidak memakan waktu lama dan bisa dikerjakan oleh tenaga kerja terampil. Yang tidak kalah penting, harga teknologinya yang semakin turun,” jelasnya bersemangat.

Lebih lanjut, Marlistya menjelaskan hasil survei pasar IESR di Jabodetabek menemukan bahwa 7 dari 10 orang mengatakan PLTS atap menarik bagi mereka. Meskipun demikian, hanya 8 % dari responden yang mengatakan bahwa PLTS atap relevan dengan kebutuhan mereka. Ketertarikan mereka untuk mengadopsi PLTS atap pun bermacam-macam. Terbanyak adalah karena penghematan listrik dan sesuai dengan gaya hidup berkelanjutan dan lestari.

“Di Indonesia sendiri, perkembangan PLTS sudah menggembirakan, sudah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Namun, masih ada kendala soal mendapatkan panel surya,” ungkapnya.

Saat ini penyedia jasa PLTS atap masih terbatas di kota-kota besar. Menurutnya, pekerjaan rumah kedepannya adalah menghubungkan masyarakat yang berada di wilayah mana pun di Indonesia dengan penyedia jasa PLTS atap. IESR berusaha menjembatani jurang informasi tersebut dengan membangun portal solarhub.id.

“Sebenarnya ini dapat menjadi peluang dengan pemanfaatan dana desa untuk energi terbarukan. BUMDES dapat mengelola bisnis energi terbarukan, sebagai penyedia panel surya. Tentu akan menjadi lebih menarik jika objek wisata di tempat ini menggunakan energi terbarukan dan lestari,” tandasnya lagi.

Indonesia Perlu Menangkap Peluang Pembiayaan Transisi Energi

Jakarta, 22 Nov 2021 – Seiring berakhirnya COP-26 beberapa minggu yang lalu, diskusi lanjutan tentang “apa aksi selanjutnya” dilakukan untuk terus mengingatkan baik Pemerintah maupun masyarakat bahwa komitmen dan deklarasi yang dibuat selama konferensi harus dilaksanakan.

Bertindak sebagai pra-pembukaan Indo EBTKEConnex 2021, FIRE (Friends of Indonesia’s Renewable Energy) mengadakan dialog untuk mengetahui bagaimana Indonesia menyiapkan strateginya untuk mencapai target dan komitmen baru yang diumumkan selama COP-26 di Glasgow.

Sripeni Inten Cahyani, Staf Khusus Kementerian ESDM menjelaskan sikap Indonesia dalam konferensi tersebut. Awal tahun ini, Indonesia menyerahkan dokumen NDC terbarunya ke Sekretariat UNFCCC dan berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions) pada tahun 2060 atau lebih awal. Hal ini dapat dikatakan sebagai langkah yang cukup progresif karena di awal tahun belum ada pembahasan tentang isu ini.

“Indonesia menandatangani Deklarasi The Global Coal to Clean Power, yang salah satu komitmennya adalah menghentikan pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2040-an, dalam rencana awal kami, penghentian penggunaan batubara sekitar tahun 2050-an, jadi ada akselerasi disini. Akselerasi ini berarti kami membutuhkan lebih banyak dukungan keuangan untuk menghentikan pembangkit listrik yang saat ini beroperasi dan menggantinya dengan energi terbarukan,” kata Inten.

Indonesia telah secara konsisten mendesak negara-negara maju untuk mendistribusikan dana ke negara-negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi.

David Lutman dari Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menekankan bahwa dorongan untuk mengambil tindakan dapat diwujudkan dengan pengadaan energi terbarukan dalam skala besar dan itu berarti penghentian penggunaan batu bara. “Semakin cepat Indonesia melakukan transisi, maka akan semakin besar pula manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang bisa dipetik,” ujarnya.

Penting untuk mewujudkan komitmen yang sudah disepakati dan menunjukkan kemajuan yang dialami Indonesia dalam 2-3 tahun ke depan. Hal ini menunjukkan kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam menjalankan komitmen perjanjian internasional dan penanganan iklim. 

“Transisi (energi) ini bukan hanya tentang Indonesia, tetapi masyarakat internasional turut mengamati sehingga kita perlu menunjukkan kemajuan kita untuk menjaga akuntabilitas kita, dan kemudian untuk menarik lebih banyak bantuan internasional,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby kemudian mengatakan bahwa tiga hal utama yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempercepat transisi energi di Indonesia yaitu melakukan pensiun dini pembangkit batubara, meningkatkan proyek-proyek energi terbarukan, dan membantu PLN dalam hal lelang dan pengadaan energi terbarukan.

Pembiayaan yang cukup diperlukan dalam mentransformasi sistem energi. Pada COP-26, Pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) Energy Transition Mechanism (ETM) dengan Asia Development Bank untuk membiayai pensiun dini sejumlah pembangkit listrik tenaga batubara. Skenario pembiayaan lain yang dapat ditempuh Pemerintah adalah dengan mereformasi skema subsidi di Indonesia, yang saat ini banyak dikucurkan untuk energi fosil, dan mengalihkannya untuk sektor energi terbarukan. 

Butuh Kolaborasi Semua Pihak untuk Pastikan Implementasi Pakta Iklim Glasgow di Indonesia

Jakarta, 18 November 2021 –Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26 telah berakhir pada 13 November lalu. Negosiasi perubahan iklim dunia tersebut menghasilkan Glasgow Climate Pact atau Pakta Iklim Glasgow, yang secara umum memberikan landasan bagi negara-negara untuk segera mengimplementasikan kesepakatan Paris. Pakta ini merupakan keputusan COP pertama yang secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil khususnya batubara. 

Di sisi lain, pakta ini mengakui bahwa komitmen negara-negara secara agregat tidak cukup untuk mencegah pemanasan bumi melebihi satu setengah derajat Celcius di atas suhu era pra industri. Hal ini mengakibatkan pekerjaan rumah untuk memastikan dunia keluar dari krisis iklim menjadi semakin berat. Komunitas Peduli Krisis Iklim menggelar konferensi pers untuk memberikan gambaran tentang apa saja pekerjaan rumah yang harus dilakukan serta memastikan akuntabilitas implementasi Pakta Iklim Glasgow ini dapat terlaksana secara efisien.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif  Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa komitmen yang telah disampaikan selama COP26 harus dilengkapi dengan aksi yang konkret. 

“Jadi memang apa yang disampaikan oleh semua negara, termasuk Indonesia sendiri, itu kan sifatnya komitmen. Komitmen dan janji itu tidak akan menurunkan emisi gas rumah kaca, yang menurunkan emisi gas rumah kaca itu aksi. Jadi pasca-COP ini kita ingin melihat bagaimana aksi itu dilaksanakan.” 

​​Salah satu pekerjaan rumah Indonesia yang mendesak adalah transisi dari energi kotor ke energi hijau. Batubara masih merupakan sumber energi listrik yang utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Indonesia saat ini telah memiliki rencana lanjutan untuk penutupan awal beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU).

Pendapat Fabby ini diamini oleh Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic di Kemitraan. Dewi juga menambahkan, percepatan aksi iklim yang dilakukan oleh pemerintah juga harus dilakukan secara transparan dengan berkolaborasi dengan pihak swasta dan masyarakat sipil. 

“Pemerintah juga harus membuka kesempatan kerja sama dengan non-party stakeholders agar (komitmen) yang sudah direncanakan itu bisa berjalan. Kuncinya adalah kolaborasi dari semua sektor,” jelas Dewi.

Menurutnya, kolaborasi dan kerjasama dari semua pihak ini menjadi krusial, karena masing-masing pihak mempunyai peran yang sama pentingnya untuk mencapai target perubahan iklim yang telah disepakati. 

Selain itu, menyinggung peranan Indonesia di kancah internasional terkait aksi iklim, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif dari Yayasan Madani Berkelanjutan mendorong agar Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya dekarbonisasi di semua lini.

“Ini waktunya untuk kita (Indonesia) menunjukkan sebagai leader di tingkat global bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang memang leading dalam upaya penurunan emisi di semua sektornya. Harus ada konsistensi kebijakan, lalu juga harus bisa membuat langkah-langkah konkret supaya bisa mencapai ambisi iklim yang sudah kita setujui,” tutur Nadia.Selanjutnya, Nadia menekankan pula akan pentingnya penguatan kapasitas pemerintah daerah dan non-party stakeholders lainnya untuk mendukung aksi iklim yang komprehensif. 

Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup masyarakat Dayak menyatakan, Indonesia sudah harus mampu menunjukkan peningkatan ambisi dan aksi iklim yang signifikan pada saat COP 27 yang akan dilaksanakan tahun depan. 

“Masyarakat harus terus menekan pemerintah, dan menjaga setiap keputusan dan aksi yang pemerintah lakukan accountable (dapat dipertanggungjawabkan),” jelas Laetania.

Komunitas Peduli Krisis Iklim adalah kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penanggulangan ancaman krisis iklim. Komunitas ini bertujuan mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan akses masyarakat yang berkelanjutan terhadap hak-hak atas lingkungan.

Subsidi Energi Fosil Menghambat Transisi Energi

press release

Jakarta, 12 November- Di balik komitmen untuk meningkatkan aksi iklim dan mencapai target Perjanjian Paris agar suhu bumi tetap di bawah 1,5 derajat Celcius, negara G20, termasuk Indonesia, masih memberikan subsidi energi fosil yang signifikan. Institute for Essential Services Reform (IESR) berpandangan subsidi energi fossil kontra produktif terhadap upaya melakukan transisi energi dan mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini. 

Di masa awal pandemi, negara G20 mengucurkan sedikitnya USD 318.84 miliar untuk menyokong energi fosil. Sementara Indonesia, menurut catatan Climate Transparency 2021, telah menghabiskan USD 8,6 miliar untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019, 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48% untuk listrik. 

Indonesia sempat berhasil melakukan reformasi subsidi bahan bakar minyak dan listrik pada 2014-2017, tapi masih memberikan alokasi subsidi energi fosil yang cukup besar. Subsidi energi naik 27% pada kurun waktu 2017-2019.  

“Pemberian subsidi energi fosil tidak saja menghambat rencana dan upaya memangkas emisi gas rumah kaca dan dekarbonisasi, tetapi juga menghasilkan inefisiensi penggunaan energi, dan menciptakan pemborosan akibat subsidi yang tidak tepat sasaran, dan membuat energi terbarukan sukar bersaing,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Penghentian subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan lapangan tanding usaha yang rata (level playing field) bagi energi terbarukan. Selain itu, menurutnya, dana subsidi energi fosil akan jauh lebih bermanfaat bila dialihkan pada masyarakat yang paling rentan, pembangunan pendidikan dan fasilitas kesehatan, pengembangan energi terbarukan serta mengakomodasi dampak transisi energi bagi para pekerja di industri energi fosil yang terdampak. 

“Reformasi subsidi energi pada sisi konsumsi tidak boleh dilakukan secara serampangan sehingga membuat orang miskin tidak mendapatkan akses energi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Sebaliknya reformasi dilakukan dengan diikuti dengan pengumpulan dan pemanfaatan basis data keluarga miskin dan skema penyaluran subsidi yang tepat sasaran, ” jelas Fabby.

Fabby berpendapat bahwa penetapan kebijakan harga batubara Domestic Market Obligation (DMO) dan gas untuk PLN merupakan salah satu bentuk subsidi dan telah membuat harga listrik dari PLTU dan PLTG tidak mencerminkan biaya sebenarnya. Kebijakan ini juga membuat PLN akan memprioritaskan penggunaan PLTU ketimbang energi terbarukan, yang lebih murah.

“Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan patokan harga DMO untuk pembangkit listrik dan membuat rencana untuk mengakhiri kebijakan ini. Ini selaras dengan keputusan pemerintah yang tidak akan memberikan ijin untuk pembangunan PLTU baru di luar program 35 GW dan rencana pensiun dini PLTU sebelum 2030,” kata Fabby.  

Analisis Climate Transparency 2021 menunjukkan agar tercapai target Persetujuan Paris, semua wilayah di dunia harus menghentikan PLTU batubara secara bertahap antara tahun 2030 dan 2040. Pada tahun 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus ditingkatkan menjadi setidaknya 75%, dan pangsa batubara tanpa teknologi CCS/CCUS dikurangi menjadi nol. Sedangkan dalam KEN, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara, agar selaras dengan Persetujuan Paris, pembangkitan listrik dari batubara harus mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037.

Berdasarkan perhitungan IESR dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System biaya untuk mentransformasi sistem energi Indonesia untuk meraih bebas emisi pada 2050 mencapai USD 25 miliar per tahun hingga 2030, dan akan meningkat tajam setelahnya menjadi USD 60 triliun per tahun.

“Subsidi energi fosil yang memperbesar dampak buruk dari emisi GRK akan menambah beban negara karena adanya kerugian ekonomi dan pengeluaran keuangan negara untuk mengatasi bencana akibat perubahan iklim. Subsidi tersebut dapat dialihkan untuk membantu percepatan transisi energi menggunakan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025,”  ungkap Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Pada Deklarasi G20, Oktober lalu di Roma, negara G20 telah sepakat untuk meningkatkan komitmennya untuk menekan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. IESR memandang Indonesia dapat menggunakan peluang kepemimpinan Indonesia di G20 pada 2022 untuk mendorong aksi nyata keluar dari beban pembiayaan terhadap energi fosil.

“Komitmen negara G7 untuk memberikan pendanaan iklim sejumlah USD 100 miliar sampai dengan tahun 2025 masih belum cukup. Oleh karena itu negara G20 harus ikut berkontribusi, salah satunya dengan cara melakukan reformasi keuangan ke arah energi terbarukan yang mendukung ekonomi hijau. Indonesia sebagai pemimpin negara G20 di 2022 dapat mendorong negara anggota G20 untuk melakukan reformasi keuangan,” tegas Lisa.

Menurutnya, setiap kebijakan finansial yang mengarah pada dukungan terhadap energi fosil harus mendapat perhatian dan diinventarisasi secara ketat oleh Global Stocktake (GST) sebagai bagian pengawasan aksi iklim yang tidak terpisahkan dari Persetujuan Paris. Berdasarkan laporan Independent Global Stocktake (iGST), sebuah konsorsium masyarakat sipil untuk mendukung GST, justru GST dapat menawarkan platform bagi negara-negara untuk berkolaborasi dalam mereformasi subsidi konsumsi bahan bakar fosil.

“Informasi yang diinventarisasi ke dalam GST harus juga memasukkan elemen sosial di dalamnya sehingga tujuan pendanaan ikim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan inklusif sosial dapat tercapai. Proses GST ini harus mengikutsertakan organisasi yang mewakili elemen ekonomi, lingkungan, energi, dan sosial terutama isu gender dan masyarakat rentan lainnya untuk menjamin transisi berlangsung secara berkeadilan,” ujar Lisa.

Tunjukkan Komitmen, Indonesia Siap Pensiunkan Dini PLTU Batubara

Sepanjang tahun 2021, merespon desakan global terhadap aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia telah memutakhirkan beberapa dokumennya seperti NDC yang menargetkan netral karbon di tahun 2060 lebih cepat dan merilis ‘green’ RUPTL yang diklaim memberi ruang lebih banyak bagi energi terbarukan. Terbaru, Indonesia mengumumkan untuk mengkaji peluang memensiunkan PLTU batubara lebih dini. Meski belum ambisius untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris, keputusan Indonesia tersebut patut diapresiasi dan dikawal implementasinya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Arifin Tasrif, pada gelaran KTT Perubahan iklim COP-26, menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Statement. Menteri ESDM menyetujui 3 dari 4 butir deklarasi yaitu, (1) mendorong pengembangan energi terbarukan & efisiensi energi; (2) transisi meninggalkan PLTU pada 2040an; dan (3) memperkuat upaya domestik dan internasional untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan.

Arifin menjelaskan bahwa Indonesia sedang melakukan simulasi untuk melakukan pensiun PLTU sebesar 9,2 GW sebelum 2030. Sebanyak 3,7 GW dari 9,2 GW pembangkit akan pensiun dini dan diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan. Rencana progresif ini menuntut peta jalan yang komprehensif untuk transisi batubara. 

Ditemui terpisah, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menegaskan bahwa transisi untuk meninggalkan batubara di Indonesia perlu dipersiapkan dengan matang. 

Menurutnya, peta jalan transisi batubara yang komprehensif perlu disiapkan untuk memastikan bahwa transisi yang terjadi adalah transisi yang mempertimbangkan kebutuhan semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari ditinggalkannya batubara untuk suplai energi, serta memastikan semua orang mendapat akses energi yang tangguh (reliable) dan terjangkau (affordable).

Dalam acara “From Coal to Renewables: the Energy Transition in Emerging Markets” yang diselenggarakan oleh Accenture dalam rangkaian COP-26 di Glasgow, Fabby Tumiwa menjelaskan, sebagai salah satu  negara penghasil  batubara terbesar di dunia, 60% batubara Indonesia diperuntukkan untuk ekspor. Hal penting lain yang harus dicatat adalah, 85% produksi batubara Indonesia hanya terkonsentrasi pada 4 provinsi. 

“Peran batubara di Indonesia bukan sekedar sebagai penghasilan bagi negara, namun juga penghasilan pokok untuk provinsi penghasil batubara. Ketika dilakukan transisi, dan batubara perlahan akan ditinggalkan, daerah-daerah ini perlu diperhatikan sebab jika tidak akan terancam collapse,” jelas Fabby. 

Sebagai negara yang banyak bergantung pada energi fosil dan dengan situasi yang cukup kompleks, keterbukaan pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih cepat, dinilai sebagai suatu maju dan dapat dicapai oleh Fabby Tumiwa.

“86% listrik di Indonesia dihasilkan oleh PLTU batubara. Melakukan transisi ke energi terbarukan dalam situasi ini tentu tidak mudah. Namun bukan berarti tidak mungkin,” tutur Fabby.

Green Jobs: Peluang yang Belum Tergarap Baik

Jakarta, 6 November 2021Green Jobs atau lapangan kerja hijau menjadi isu yang mulai banyak diperbincangkan. Masyarakat usia produktif berusaha memahami mengenai lapangan kerja hijau untuk menjawab pertanyaan seperti bidang apa saja yang termasuk dalam lapangan kerja hijau, bagaimana prospek peluang di masa mendatang, juga apa saja hal yang perlu disiapkan untuk bekerja di sektor ini. Project Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia berkolaborasi dengan Indonesia Mengglobal menggelar webinar bertajuk “Green Jobs in Indonesia: Opportunities, Challenges, and Future Outlook” dengan tujuan memberikan gambaran tentang lapangan kerja hijau dari praktisi di berbagai bidang.

Sebelumnya, pihak penyelenggara menggelar mini survei untuk menggali persepsi anak muda tentang green jobs. Survei yang berhasil menjaring sekitar 200 responden ini mengungkap salah satu temuan menarik yaitu lebih dari 90% responden menyatakan bahwa akan lebih memilih perusahaan yang memperhatikan isu lingkungan.

Desi Ayu Pirmasari, peneliti di Universitas Leeds Inggris, menyatakan bahwa green jobs ini begitu luas sektornya. “Green jobs ini sangat luas spektrumnya, tidak terbatas pada spesifik sektor seperti energi saja. Contohnya, saat PNS membuat tata kota yang lebih hijau, staff procurement yang dalam pengadaan barang mempertimbangkan jejak karbon. Pengacara pun bisa menjadi green job bila ia membantu orang lain untuk menghirup udara segar dan memperjuangkan perubahan iklim.” 

Pendapat Desi ini diamini oleh Julius Christian, peneliti bahan bakar bersih IESR, dengan tren penggunaan energi terbarukan yang semakin luas, menurutnya saat ini begitu banyak sektor yang membutuhkan pekerja dengan wawasan keberlanjutan (sustainability), SDGs, dan lingkungan secara umum. 

“Di sektor energi, dalam 5-10 tahun ke depan energi terbarukan akan semakin kompetitif dengan energi fosil, maka transisi energi sudah tidak bisa dielakkan lagi. Dari kajian IESR tentang Deep Decarbonization sendiri, akan ada sekitar 3,2 juta lapangan kerja baru. Tentu ini merupakan kesempatan yang besar dan harus disiapkan dari sekarang,” jelas Julius.

Persiapan sumber daya manusia dan sumber daya finansial ini sangat penting, karena perkembangan teknologi bergerak begitu cepat membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni dan dukungan pendanaan yang cukup. 

“Jadi jika di masa depan kita ingin memanfaatkan kesempatan (green jobs) ini, misalnya membuat manufacturing plant solar panel di Indonesia, kita harus gerak cepat. Kita harus mempertimbangkan full lifecycle dari semuanya, mulai dari carbon footprint dari manufacturing processnya sampai digunakan, dan hasilnya tidak instan. Kita baru bisa lihat (hasilnya) dalam misal 10 tahun ke depan,” tutur Noor Titan Putri, peneliti pasca-doktoral, Helmholtz-Zentrum Berlin, Jerman.

Jonathan Davy, pendiri dan CEO Ecoxyztem Venture Builder, menyatakan mulai banyak pengusaha berinvestasi pada sektor green jobs. Tantangan pengembangan bisnis ramah lingkungan di Indonesia terletak pada adopsi teknologi ramah lingkungan yang ada. 

“Adopsi teknologi harus memenuhi tiga kategori yaitu desirability (apakah marketnya mau pakai), viability (apakah teknologi dibutuhkan), dan feasibility (apakah bisnisnya memungkinkan untuk berjalan). Saat ini kita juga masih heavily regulated sehingga beberapa bisnis proses masih terkunci,” jelas Jonathan.

Jonathan juga menyoroti perkembangan sumber daya manusia yang menurutnya perlu perubahan pola pikir dari semula mengenai seberapa banyak lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja menjadi seberapa banyak orang yang dapat menciptakan lapangan kerja.