Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memperbaiki sistem lelang panas bumi untuk menarik minat pelaku usaha.
Baca selengkapnya di Kontan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memperbaiki sistem lelang panas bumi untuk menarik minat pelaku usaha.
Baca selengkapnya di Kontan.
Pengusaha panas bumi mengungkapkan hingga saat ini pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Indonesia masih lambat, yakni baru mencapai 40 megawatt (MW) per tahun. Ada sejumlah tantangan yang dinilai menghambat penambahan kapasitas energi bersih ini.
Baca selengkapnya di Kata Data.
Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia melakukan reformasi sistem ketenagalistrikan yang mampu mengintegrasikan energi terbarukan, terutama surya dan angin atau yang lebih dikenal sebagai Variable Renewable Energy (VRE) atau variabel energi terbarukan, dengan kapasitas yang lebih besar melalui pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel, memperkuat kapasitas perkiraan (forecasting) VRE dan revitalisasi infrastruktur jaringan.
Read more on Kontan.
Investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) tertunda karena pemerintah perlu memperhitungkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang dibangun secara mandiri oleh industri dan berada di luar sistem jaringan PLN atau captive power plant. Rencana investasi JETP yang sebelumnya ditargetkan Agustus dimundurkan menjadi akhir 2023.
Baca selengkapnya di Kata Data.
Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Ford Foundation di Indonesia menyerukan kepada pemerintah Indonesia tentang pentingnya mengedepankan prinsip keadilan dalam upaya transisi energi di Indonesia, khususnya pada kemitraan transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP).
Baca selengkapnya di Neraca.
Jakarta, 20 September 2023 – Transformasi sektor ketenagalistrikan dengan pengembangan energi terbarukan dan percepatan pengakhiran operasional PLTU batubara membutuhkan pembiayaan signifikan. Tersedianya pembiayaan transisi energi akan membantu pemerintah, perusahaan utilitas maupun kelompok masyarakat untuk memperbanyak proyek energi terbarukan sehingga semakin menurunkan harga pembangkitan energi terbarukan. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai untuk memenuhi kebutuhan investasi energi terbarukan, Indonesia perlu berinovasi dalam menciptakan skema pembiayaan berkelanjutan yang inovatif.
“Ide skema dan inovasi pembiayaan perlu terus dieksplor mengingat uniknya struktur pasar ketenagalistrikan di Indonesia. Indonesia bisa memanfaatkan proses Just Energy Transition Partnership (JETP) ataupun Energy Transition Mechanism (ETM) untuk eksplorasi skema tersebut. Pada akhirnya skema yang bisa diterapkan pasti membutuhkan masukan dari semua pemangku kepentingan, PT PLN, pemilik pembangkit listrik, dan institusi finansial,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.
Salah satu peluang untuk membiayai transisi energi dengan terbatasnya pendanaan publik, menurut Iliad Lubis, South Asia Utility Transition Manager, Rocky Mountain Institute pada hari ke-3 pelaksanaan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 (20/9), adalah kredit karbon. Illiad menuturkan kredit karbon dapat meningkatkan pendanaan dari kesepakatan transisi dari batubara, membangkitkan kualitas kredit karbon yang lebih tinggi di pasar karbon, dan mempercepat transisi energi.
“Meskipun saat ini ada berbagai persyaratan untuk monetisasi karbon kredit, namun ke depannya peluang untuk memanfaatkan pembiayaan karbon akan menjadi semakin menarik dengan pasar karbon yang diprediksi akan tumbuh signifikan,” ujar Illiad.
Sementara dari kalangan bisnis, kebutuhan pembiayaan seperti pinjaman lunak maupun dukungan kredit dari institusi pembiayaan akan membantu bisnis untuk beralih ke sektor energi terbarukan.
“Tentu saja untuk tahap awal, kami membutuhkan peta jalan transisi energi yang jelas sehingga kami dapat mengetahui besaran pembiayaan yang dibutuhkan. Kedua, menimbang pendanaan publik yang terbatas, kami membutuhkan dukungan pembiayaan dari multilateral maupun filantropis untuk pembiayaan konsesional yang dapat memadukannya dengan bank komersial. Hal ini akan memberikan risiko kredit yang tepat bagi proyek sehingga investor mendapatkan imbal hasil yang memadai,” ungkap Ekha Yudha Pratama, Head and Advisory Services, PT. SMI.
Agar transformasi di sektor ketenagalistrikan berjalan secara cepat untuk mengejar target penurunan emisi yang signifikan, Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan IESR dalam IETD 2023 menyampaikan delapan rekomendasi untuk mempercepat transformasi energi di sektor kelistrikan yang adil di Indonesia.
Pertama, menyusun dan mengajukan transisi energi dan mengaitkannya dengan pembangunan sosial dan ekonomi. IESR dan ICEF menyatakan perlu adanya hubungan yang jelas antara target yang ditetapkan di masing-masing kementerian.
Kedua, tersedianya dukungan yang kuat terhadap pembangunan energi terbarukan dalam lima tahun ke depan. Kesepakatan para pemimpin G20, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukannya, perlu disikapi secara serius dengan memberikan insentif bagi pasar dan industri energi terbarukan.
Ketiga, meningkatkan transparansi dan aksesibilitas data energi terbarukan melalui kolaborasi bersama. Data dan informasi energi terbarukan yang komprehensif dapat memberikan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan, seperti mengurangi ketidakpastian dalam pengembangan proyek bagi IPP, lembaga keuangan serta operator sistem pendukung sehingga memiliki perencanaan yang lebih efisien dalam pemanfaatan energi terbarukan.
Keempat, menciptakan pusat riset variabel energi terbarukan untuk memperoleh pembelajaran dalam pengembangan energi terbarukan terutama surya dan angin, serta operasi sistem. Hal ini akan mengatasi tantangan pengoperasian sistem yang fleksibel namun tetap andal di tengah ketidakpastian permintaan dan variasi pasokan.
Kelima, mendorong dan memfasilitasi pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat untuk mengidentifikasi potensi energi terbarukan serta mengembangkan pemanfaatan energi terbarukan tersebut untuk rencana transisi energi secara lokal. Transisi energi perlu melibatkan seluruh pihak, langkah pertama yang bisa dilakukan yakni mengidentifikasi kelompok aktor yang berbeda dan melakukan dialog.
Keenam, meninjau kembali, dan menggabungkan kebijakan dan peraturan untuk memfasilitasi proyek energi terbarukan untuk menemukan tarif yang kompetitif. Penggabungan kebijakan tersebut, paling tidak, dapat mencerminkan target energi terbarukan yang lebih ambisius, penjadwalan proses pengadaan proyek energi terbarukan yang transparan dan reguler, serta mitigasi berbagai risiko dari pengembangan energi terbarukan.
Ketujuh, menjajaki dan menguji struktur pembiayaan termasuk proyek batubara menjadi energi terbarukan dengan pengembang swasta dan lembaga keuangan serta memanfaatkannya diantaranya melalui skema kerjasama transisi energi yang berkeadilan (Just Energy Transition Partnership.JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM).
Kedelapan, mengutamakan transisi energi sebagai isu utama dalam manifesto politik calon pemimpin nasional dan provinsi menjelang pemilu. Transisi energi akan berdampak langsung terhadap masyarakat, seperti aspek keterjangkauan dan keamanan energi dalam jangka pendek, dan dampak dari perubahan iklim terhadap penghidupan masyarakat secara umum dalam jangka panjang. Untuk itu, Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat dalam proses transisi energi. IETD mendorong agar transisi energi menjadi salah satu agenda utama yang dibahas selama masa kampanye.
Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.
Jakarta, 20 September 2023 – Standardisasi Power Purchase Agreement (PPA) atau perjanjian jual beli listrik menjadi salah satu cara untuk mempercepat negosiasi proyek energi terbarukan serta menghindari potensi terjadinya pelanggaran hukum. Hal ini menjadi salah satu pembahasan dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023.
Senior Partner of UMBRA, Kirana Sastrawijaya mengungkapkan hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan standardisasi di antaranya dengan merujuk pada PPA yang sudah bankable atau memenuhi persyaratan bank dan terbukti sukses.
“Selain merujuk pada PPA yang sudah sukses, hal lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk standardisasi PPA adalah memberikan klausul fleksibilitas untuk menghindari penyimpangan yang dianggap sebagai “pelanggaran hukum”, memberikan fleksibilitas untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru, adanya implikasi studi keuangan untuk menjustifikasi alokasi risiko serta adanya perbandingan dengan negara lain,” jelas Kirana.
Raditya Wiranegara, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, tantangan yang perlu diperhatikan di dalam standardisasi PPA adalah bagaimana caranya standardisasi ini dapat disesuaikan dengan dinamika pasar; apakah dengan pemutakhiran standar PPA di dalam periode tertentu, misalnya. Dengan begitu, investor siap dan tetap mendapatkan kepastian.
“Selain itu, standardisasi ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Kirana, juga perlu memperhatikan teknologi pembangkit. Artinya, standar PPA untuk pembangkit listrik berbasis fosil dibedakan dari standar PPA untuk pembangkit listrik berbasis energi terbarukan” kata Raditya Wiranegara, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR).
Dari kalangan industri, Komite Eksekutif Kadin Net Zero Hub Anthony Utomo menyampaikan dalam pembahasan PPA, ketersediaan proyek energi terbarukan menjadi hal penting.
“Berkaitan dengan PPA yang berhubungan dengan pengembang, pertama, proyek energi terbarukannya harus ada dulu. Kedua, standarisasi PPA akan sangat membantu sehingga negosiasi tidak perlu berlama-lama dan ada transparansi. Ketiga, mengenai hak karbon, terutama untuk PPA yang sudah berjalan, apakah akan menjadi miliknya risk taker (pengampu risiko) PLN atau pengembang,” ungkapnya.
Senior Programme Lead, CEEW Centre for Energy Finance, Arjun Dutt memaparkan pengalaman India dalam pengadaan proyek energi terbarukan melalui proses lelang. Menurutnya, beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menciptakan paket kebijakan yang mendukung pengadaan proyek energi terbarukan adalah dengan adanya kepastian permintaan, memitigasi risiko lahan dan evakuasi, integrasi jaringan, dan memitigasi risiko penjamin (off-taker).
“Hal yang dapat menciptakan kepastian permintaan di antaranya dengan adanya kewajiban pembelian energi terbarukan (Renewable Purchase Obligation, RPO) seperti penentuan standar portofolio energi terbarukan. Selain itu dapat pula membuka akses luas bagi konsumen untuk mempromosikan adopsi energi terbarukan, serta mengembangkkan sumber-sumber baru permintaan energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan hidrogen hijau,” jelas Arjun.
Zulfikar Manggau Senior Specialist Project Management and Power Generation, PT PLN mengakui bahwa pihaknya pun menginginkan pengadaan proyek energi terbarukan, PPA yang lebih efisien dan kompetitif.
“PLN sedang mengupayakan agar bisa segera meningkatkan penjualan melalui industri yang terus tumbuh, sehingga sisi permintaan terus bertambah dan bisa menambah pembangkit energi baru terbarukan ke depannya,” ujar Zulfikar. Zulfikar menyebut pihaknya saat ini sedang finalisasi Permen Perjanjian Jual Beli LIstrik (PJBL).
Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.
Jakarta, 19 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Ford Foundation di Indonesia menyerukan kepada pemerintah Indonesia tentang pentingnya mengedepankan prinsip keadilan dalam upaya transisi energi di Indonesia, khususnya pada kemitraan transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP).
JETP adalah mekanisme pembiayaan inovatif yang bertujuan untuk mempercepat transisi energi yang dipimpin negara dari bahan bakar fosil, termasuk batubara, ke sumber energi terbarukan. JETP pada dasarnya menghubungkan paket keuangan yang terdiri dari pembiayaan konsesi (pinjaman lunak) dan hibah dari negara-negara donor, dengan inisiatif transisi energi di negara-negara Selatan.
Dalam laporan yang diluncurkan secara digital oleh IESR dan Ford Foundation hari ini, disebutkan bahwa pendanaan JETP yang dijanjikan tidak cukup untuk menutupi biaya seluruh proses transisi. Sebaliknya, dana ini berfungsi sebagai pendanaan awal untuk mengkatalisasi dan memobilisasi sumber pendanaan lainnya.
Laporan tersebut menyoroti hasil dan rekomendasi dari The JETP Convening, Exchange and Learning from South Africa, Indonesia, and Vietnam yang diselenggarakan pada 25-28 Juni 2023 lalu di Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Ford Foundation, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan African Climate Foundation.
“Karena pendanaan awal JETP memiliki batasan waktu, maka penting untuk menetapkan pencapaian dan proyek yang masuk akal serta dapat dicapai dalam jangka waktu yang disepakati dan mengembangkan strategi untuk memanfaatkan sumber pendanaan lain untuk menutupi biaya untuk mencapai target tahun 2030,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Fabby juga menambahkan bahwa instrumen pembiayaan seperti pinjaman lunak, pinjaman komersial, ekuitas, dana jaminan, hibah dan instrumen lainnya harus dikaji secara cermat agar tidak terjadi ‘jebakan utang’ di masa depan.
“Pemerintah harus terus mengadvokasi permintaan hibah dan pinjaman lunak yang lebih besar untuk mencapai target yang disepakati tanpa menambah beban bagi negara penerima,” kata Fabby.
Hal ini ditegaskan Edo Mahendra, Kepala Sekretariat JETP Indonesia saat menjadi pembicara dalam diskusi panel bertajuk ‘Safeguarding the “Just” in Just Energy Transition Partnerships (JETP) and Other Emerging Climate Finance Models’ pada acara Climate Week tanggal 18 September 2023 di New York, Amerika Serikat
“Komponen pendanaan tertinggi masih berasal dari pinjaman komersial dan investasi dengan tingkat bunga non-konsesi. Oleh karena itu, penting untuk membangun kemitraan dan kolaborasi antara pemerintah, organisasi filantropi, dan sektor swasta,” kata Edo.
Ford Foundation di Indonesia memandang bahwa filantropi mempunyai peran penting dalam mendukung prinsip keadilan baik melalui pemerintah maupun langsung kepada masyarakat yang terkena dampak. Mereka mempunyai kemampuan untuk bertindak lebih cepat dibandingkan pemerintah dan menjembatani kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat. Filantropi juga dapat mendukung pengembangan sumber daya manusia dengan memberikan bantuan teknis, peningkatan kapasitas, pelatihan, dan pertukaran pengetahuan.
Prinsip berkeadilan juga harus diterapkan untuk memitigasi dampak transisi energi terhadap masyarakat. Dukungan kepada inisiatif sosial-ekonomi alternatif di bidang-bidang ini penting dilakukan agar gagasan keadilan memihak kepada seluruh kelompok masyarakat. Hal ini termasuk memberikan peningkatan keterampilan dalam peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, mendidik dan membantu pemerintah daerah untuk menyesuaikan strategi dan rencana pembangunan ekonomi mereka untuk jangka panjang, serta menciptakan pendanaan yang didedikasikan untuk mengatasi dampak peralihan dari penggunaan batu bara.
Peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber daya rendah karbon tidak hanya berdampak pada perekonomian di tingkat lokal tetapi juga di tingkat regional atau bahkan nasional. Masyarakat yang tinggal di daerah yang bergantung pada bahan bakar fosil harus beradaptasi dengan lingkungan baru, serta menyesuaikan keterampilan dan pengetahuannya yang mungkin sulit dilakukan dalam waktu singkat.
Alexander Irwan, Direktur Regional Ford Foundation di Indonesia, mengatakan penerapan JETP harus memenuhi prinsip dasar unsur keadilan.
“Elemen keadilan sosial harus dimasukkan dalam diskusi dan rencana transisi. Konsep keadilan harus menjadi pusat perhatian, memastikan transisi yang adil bersifat inklusif bagi semua kelompok atau komunitas, khususnya pekerja, anak-anak, perempuan, dan komunitas lokal yang sangat bergantung pada rantai pasokan bahan bakar fosil,” kata Alex.
Transisi energi di sektor ketenagalistrikan memerlukan kombinasi antara strategi, komitmen jangka panjang, dan kebijakan yang dapat mengarah kepada peluang investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan inovasi teknologi.
Baca selengkapnya di Kompas.