Melanjutkan Kebijakan Biofuel

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah gencar mendorong penggunaan bahan bakar nabati sebagai salah satu alternatif utama bahan bakar minyak. Namun, banyak kendala dan dampak dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan muncul dalam program penggunaan biofuel ini.

Produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia, akan melanjutkan program biodiesel yang ambisius bahkan ketika harga minyak tropis melonjak, yang dapat meningkatkan biaya produksi biofuel. Program B30 menetapkan bahan bakar fosil harus dicampur dengan 30% minyak sawit. Mandat tersebut ditujukan untuk menyerap pasokan yang melimpah di di perkebunan besar papan atas. Namun harga crude palm oil (CPO) melambung melebihi  minyak gas bahkan hingga ke tingkat rekor, didorong oleh invasi Rusia ke Ukraina yang telah memperketat pasokan minyak goreng global.

“Kami belum membahas evaluasi program B30 karena masih berjalan sesuai rencana,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Namun, dia mengatakan bahwa pemerintah dapat memantau harga minyak sawit dan minyak mentah dengan cermat dan akan menyiapkan opsi untuk mengantisipasi perkembangan apa pun.

Masalah muncul karena adanya mandat terkait B40 yang tertunda berkali-kali, rumor pinjaman B40, dan lainnya skeptis jika mungkin untuk meluncurkan mandat B40 dalam situasi saat ini. Namun strategi biofuel harus tetap berjalan karena itu juga bagian dari strategi energi Indonesia.

Upaya Indonesia untuk meningkatkan kandungan sawit dalam biofuel menjadi 40% pada tahun 2021 tertunda karena biaya bahan bakar yang lebih murah dan harga sawit yang mencapai rekor tinggi. Selain itu, menaikkan blending rate akan mengharuskan pemerintah memberikan insentif yang signifikan melalui uang yang dikumpulkannya dari pungutan ekspor kelapa sawit. Akibatnya, uji jalan untuk kendaraan yang ditenagai oleh 40% biofuel sawit mungkin tertunda, tetapi diskusi tentang B40 akan terus dilakukan.

“Indonesia memiliki beberapa kendala dalam meluncurkan B40 karena era pandemi. Pertama, pada 2020, permintaan minyak menurun. Akibatnya, CPO turun, berdampak signifikan terhadap krisis keuangan. Pada 2021, ada ketidakpastian harga, dan pemerintah tidak mau memberikan subsidi. Masalah kedua adalah infrastruktur. Sebagai contoh, bagian dari strategi peningkatan biofuel adalah kilang yang disiapkan Pertamina di Kilang Balongan, dan masih dalam pengembangan. Tetapi jika masalah ini diselesaikan, semua elemen penting untuk memulai B40 pada tahun ini masuk akal, ” kata Fabby.

 

Rencana B40 kembali tertunda karena harga CPO yang tinggi, namun Indonesia optimis tahun 2023 bisa terlaksana

Keraguan muncul atas rencana Indonesia untuk meluncurkan biofuel tipe B40 awal tahun ini karena tingginya harga CPO membuat bahan bakar tersebut tidak ekonomis. Akibatnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengumumkan penundaan penerapan kebijakan mandatori biodiesel berbasis minyak sawit (B40) 40 persen untuk “mengutamakan stabilitas” di tengah kenaikan harga CPO.

Berdasarkan artikel The Jakarta Post1 pada 29 Maret 2022, Menteri Energi Arifin Tasrif mengatakan bahwa pemerintah akan melanjutkan kebijakan B30 – 30% biodiesel berbasis minyak sawit – pada tahun 2022 dan mencari solusi untuk menjaga kesenjangan harga antara CPO dan harga biofuel. Ia mengatakan secara teknis B40 sudah siap diimplementasikan dan masih mengkaji apakah Indonesia siap memproduksi CPO lebih banyak.

“Seperti yang kita ketahui bahwa program B40 direncanakan untuk dilaksanakan pada Juli 2021 menyusul keberhasilan program B30 pada tahun 2019, tetapi tertunda selama satu tahun karena harga CPO yang tinggi membuat bahan bakar tidak ekonomis juga karena kondisi pandemi, tetapi Pemerintah telah merencanakan untuk melakukan uji coba B40 pada tahun ini, dan kami optimis akan dilaksanakan pada 2023,” kata Fabby.

Fabby mengatakan pemerintah masih berkomitmen untuk meningkatkan kebijakan biofuel dan mengembangkan rencana pembangunan. Per 28 Maret 2022, harga CPO telah naik 27,5% Year To Date (YTD). Pemerintah berharap peningkatan proporsi CPO olahan dalam biofuel akan membantu membatasi impor minyak bumi. Indonesia telah lama menjadi salah satu importir minyak mentah dan bahan bakar bensin terbesar di dunia.

Pada tahun 2021, program B30 mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 25 juta ton, dan pemerintah mempelajari aspek teknologi, ekonomi, regulasi, dan industri pendukung penerapan B40. Fabby menyarankan agar pemerintah mulai menerapkan kebijakan mandatori B40 pada 2023.

 

Masa Depan Strategi Biofuel

Penggunaan bahan bakar nabati terus ditingkatkan dengan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dalam negeri. Dengan kebijakan ini, diharapkan pada tahun 2027 Indonesia tidak lagi mengimpor BBM untuk menghemat devisa dan meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit melalui program mandatori biofuel.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa implementasi biofuel telah berhasil selama 15 tahun. Namun, bahkan pada biofuel dengan blending rate 30 persen, beberapa waktu lalu bioavtur diujicobakan pada penerbangan dari Bandung menuju Jakarta dan sebaliknya. Ternyata hasilnya sangat memuaskan, sehingga bisa terus ditingkatkan.

Biofuel akan berperan sebagai pengganti utama bahan bakar minyak bumi, terutama di sektor transportasi. Namun, berdasarkan kajian IESR, potensi masa depan sangat tidak pasti karena pesatnya perkembangan teknologi alternatif, terutama kendaraan listrik. Pemerintah perlu berhati-hati dalam mengembangkan rencana jangka panjang untuk biofuel dan meletakkannya di bawah rencana transisi energi yang lebih luas. Meningkatkan mandat biofuel terlalu agresif dapat berisiko infrastruktur menjadi aset terlantar.

Strategi energi mencoba mengintegrasikan perencanaan biofuel dengan adopsi kendaraan listrik dan pengembangan kilang minyak. Selain itu, untuk mengurangi risiko aset yang terlantar, investasi biofuel dapat diarahkan pada perkuatan pabrik yang ada untuk pemrosesan bersama atau pengembangan kilang biofuel yang lebih fleksibel dalam portofolio produk dan dapat diubah menjadi produk lain.

 

Sumber:

  1. Rencana biodiesel B40 tertunda lagi karena harga CPO tinggi, 29 Maret 2022
  2. Tinjauan Kritis Kebijakan Pengembangan Biofuel di Indonesia
  3. Wawancara Energi dengan Fabby Tumiwa

 

 

Percepat Dekarbonisasi untuk Masa Depan Berkelanjutan

Makassar, 22 Maret 2022 – Akselerasi penggunaan energi bersih menjadi poin fundamental dalam memastikan masa depan perekonomian serta sektor lainnya tetap terjaga dalam konteks keberlanjutan. Hal tersebut mengemuka dalam Sustainability Forum atau Forum Keberlanjutan yang diselenggarakan PT Vale Indonesia Tbk pada Selasa kemarin (22/03). Kegiatan tersebut mengangkat tema “Dekarbonisasi untuk Masa Depan Berkelanjutan”.

Pada kegiatan tersebut,Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan transisi energi berbasis fosil menjadi mutlak dilakukan agar ambisi nol emisi karbon (net zero emission atau NZE) mampu menjadi keniscayaan dengan estimasi terwujud pada 2050 mendatang. Ia menegaskan bahwa langkah yang kerap disebut dekarbonisasi itu, mesti selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris.

“Pada tahun 2022 ini pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri. Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23% bauran energi terbarukan dan setelah itu harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030. Sehingga memang, harus ada upaya akseleratif transisi ke energi bersih, dengan dekarbonisasi. Untuk jangka panjang, ini memberikan efek berganda terhadap daya saing perekonomian kita jadi lebih optimal,” tegasnya.

Fabby memandang Sulawesi Selatan menjadi salah satu daerah di Tanah Air yang sudah berada pada tatanan transisi energi dengan bauran energi terbarukan yang cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan pembangunan pembangkit-pembangkit berbasis energi terbarukan seperti tenaga bayu (angin), air hingga surya, di mana bauran energi bersih sudah berada pada level sekitar 30% dari daya terpasang di Sulsel. Pencapaian ini dinilai tidak lepas dari kolaborasi seluruh elemen, yang mulai relatif agresif menerapkan langkah dekarbonisasi pada proses produksi, diantaranya adalah PT Vale Indonesia Tbk.

“Ini saya rasa sudah sangat bagus, PT Vale sendiri sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi 33% untuk 2030 dan menargetkan sudah net zero di 2050. Tetapi untuk tahapan ke 2050, tentu masih perlu ada assesment lebih lanjut,” papar Fabby.

Pada kesempatan sama, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengemukakan pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral yang diproyeksikan mencapai titik optimal pada 2060.

“Kita memang targetkan dekarbonisasi energi menuju Net Zero Emission 2060 atau bahkan lebih cepat tercapai. Bauran energi baru terbarukan (EBT) sudah secara penuh pada saat itu tercapai dengan penurunan emisi 1.562 juta ton CO2,” tegasnya.

Demi mencapai target bauran  EBT,  Dadan memaparkan, ada sejumlah upaya percepatan yang dilakukan pemerintah mulai dari penyelesaian Rancangan Perpres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap No. 26 tahun 2021, lalu mandatori bahan bakar nabati hingga, pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk EBT. 

“Kemudian tentu saja kemudahan perizinan berusaha segmen EBT hingga mendorong demand ke energi listrik pada sejumlah aktivitas primer bahkan pada skala personal di masyarakat,”ungkap Dadan.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Vale Indonesia, Febriany Eddy menjelaskan, perseroan yang bergerak pada sektor pertambangan ini juga telah membangun peta jalan guna menurunkan emisi karbon untuk scope 1 dan 2 sampai sepertiga di tahun 2030 dan net zero tahun 2050.

“Untuk rencana smelter baru di Sulawesi Tengah, kami bersama dengan partner dari Tiongkok telah berkomitmen menggunakan LNG bukan batubara untuk pembangkit listrik disana,” ujarnya. 

Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman melalui Staf Ahli Gubernur Bidang Pemerintahan, Andi Mappatoba menyampaikan keberadaan PT Vale yang secara konsisten praktik keberlanjutan, serta upaya pengurangan efek rumah kaca melalui langkah dekarbonisasi membantu pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang rendah karbon.

“PT Vale sudah berupaya memberikan kontribusinya terhadap keberlangsungan/keberlanjutan lingkungan, sosial dan ekonomi Sulsel dengan semua langkah sustainability-nya. Kedepan, semoga akan selalu menjadi mitra pemerintah provinsi dalam membangun ekonomi dan sasaran netral karbon seperti yang dicanangkan pemerintah.” 

Dorong Akselerasi Transisi Energi Level Daerah melalui Forum Energi Daerah (FED)

Jakarta, 23 Februari 2022 – Pemerintah daerah melalui kewenangannya memainkan peran penting dalam upaya pencapaian target pembangunan nasional terkait pengembangan energi terbarukan (ET) untuk mendukung akselerasi transisi energi di Indonesia. Bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dewan Energi Nasional (DEN), Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan acara Forum Energi Daerah (FED) dalam mempercepat transisi energi di level daerah.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto; Anggota DEN, Musri Mawaleda; dan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menjadi narasumber dalam kegiatan virtual ini. Hadir pula Kepala Dinas ESDM dan Kepala Bappeda Provinsi se-Indonesia yang menyampaikan perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di daerahnya.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya menyampaikan bahwa Forum Energi Daerah menjadi bagian dari serangkaian kegiatan road-to Indonesia Solar Summit (ISS) 2022. “Kegiatan FED ini dilatarbelakangi oleh target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, karena potensi energi surya di Indonesia juga mencapai lebih dari 3.400GW sehingga bisa menjadi ujung tombak untuk mencapai NZE 23% EBT pada 2025,” ujar Fabby.

Dalam paparannya, Musri menyampaikan Indonesia telah berkomitmen dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui ratifikasi Persetujuan Paris Agreement sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 16 tahun 2016 dan selanjutnya ditegaskan dalam komitmen di Pakta Iklim Glasgow yang bertujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah dua derajat celcius. Komitmen ini menimbulkan konsekuensi khususnya dalam arah pembangunan menuju pembangunan rendah karbon.

“Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk memitigasi perubahan iklim di sektor energi yaitu pemenuhan target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dan 41% dengan bantuan internasional, target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat, dan penetapan target penambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) menjadi 51,6% atau sekitar 20.923 MW sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Khusus pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), target pembangunan tambahan pembangkit hingga tahun 2030 pada RUPTL mencapai 4.680 MW atau 22% dari total kapasitas pembangkit EBT,” ujar Musri.

Musri menuturkan dukungan dan upaya pemerintah daerah, terutama Dinas ESDM dan Bappeda, diperlukan dalam percepatan pembangunan rendah karbon dan merealisasikan target yang tertera pada matrik RUED atau sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah setempat. Ia juga menekankan bahwa salah satu pembangkit yang paling mudah dan murah dibangun dengan dan berpotensi besar di Indonesia adalah tenaga surya.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Djoko Siswanto, menyampaikan bahwa sampai saat ini masih ada 12 Provinsi yang sedang menyelesaikan Peraturan Daerah Rencana Umum Energi Daerah (Perda RUED), 5 diantaranya dalam proses fasilitasi nomor register di Kementerian Dalam Negeri, 3 Provinsi sudah memasukkan rancangan RUED Provinsi dalam Program Pembentukan Perda (Propemperda) Tahun 2021 dan 2022 juga telah melakukan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta 4 Provinsi baru akan membahas dengan DPRD.

Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa beberapa gubernur telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) maupun Perda terkait energi bersih, kendaraan listrik, PLTS dan mewajibkan panel surya terutama di perumahan, apartement, dan gedung. Beberapa ketentuan tersebut dijadikan dasar oleh para gubernur untuk membuat peraturan di provinsi masing-masing.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menyampaikan pengembangan energi surya merupakan bagian dari pencapaian target 23% bauran energi terbarukan di tahun 25. Ia optimis target tersebut dapat tercapai menimbang secara perencanaan, Indonesia sudah sangat siap dan lengkap. Meskipun demikian, ia menyebutkan bahwa secara pengelolaannya nanti mungkin ada hal-hal yang akan tertunda, sehingga perlu porsi PLTS atap yang lebih besar sebagai jaring pengaman supaya target 23% bisa tercapai.

“Dalam rencana pengembangan, kami memiliki 3 kelompok utama yaitu PLTS atap dengan target 2025 sebesar 3,61 GW. Lalu kedua PLTS skala besar dengan target 2030 sebesar 4,68 GW dan PLTS terapung dengan potensi 26,65 GW. Tak lepas dari isu revitalisasi PLTS tidak hanya PLTS atap, di daerah ada beberapa permasalahan teknis yang jumlahnya tidak sedikit untuk operasional dan maintenance. Teknis pelaksanaan untuk revitalisasi pembangkit energi terbarukan khususnya PLTS juga akan kami pikirkan,” tambah Dadan.

Dalam diskusi turut hadir Dinas ESDM dari sejumlah daerah, salah satunya Dinas ESDM Jawa Tengah, yang diwakili oleh Kepala Bidang Energi Baru dan Terbarukan, Eni Lestari. Menurut Eni, peningkatan pemahaman tentang energi terbarukan hingga ke tingkat akar rumput serta dorongan dari pemerintah daerah dapat membantu percepatan pengembangan energi terbarukan.

“Pemerintah provinsi Jawa Tengah akan membuat penyuluh energi di tingkat daerah sehingga masing-masing desa dapat memiliki panduan agar memahami dan bisa mengadopsi energi terbarukan. Surat edaran sekretaris daerah tahun 2021 bahwa sektor bisnis, industri, dan bangunan pemerintah untuk kontribusi pemanfaatan PLTS atap pun sudah ada dan dapat dijalankan,” ungkap Eni.

Ia menambahkan juga bahwa skema pembiayaan untuk PLTS di berbagai sektor masih menjadi kendala, oleh karena itu akselerasi energi terbarukan di daerah tidak dapat mengandalkan APBD saja, namun membutuhkan kontribusi berbagai sektor termasuk swasta.

Senada dengan Eni, Irfan Hasymi Kelrey dari Dinas ESDM NTB menyebut bahwa pemerintah daerah dapat mendorong pengembangan energi terbarukan dengan regulasi, tapi implementasinya membutuhkan dukungan dan langkah nyata dari masyarakat di berbagai sektor, khususnya di sektor swasta.

“Saat ini Pergub Energi Hijau terkait dengan pemanfaatan seluruh energi terbarukan termasuk potensinya sedang kami susun. Surat edaran bagi hotel-hotel untuk memasang PLTS atap juga telah kami distribusikan dan di Kab. Sumbawa dan Kab. Bima tahun ini sedang dalam proses 10MW. Dari beberapa hal tersebut, kami optimis target NZE Nusa Tenggara Barat (NTB) akan lebih cepat tercapai dari Indonesia,” ujar Irfan Hasymi Kelrey, Dinas ESDM NTB saat berbagi terkait rencana dan capaian daerahnya.

Selangkah lebih maju, Disnaker Bali bidang ESDM, Ida Bagus Ngurah Arda, mengungkapkan bahwa Bali merupakan pertama yang memiliki Pergub No. 45 tahun 2019 tentang Energi Bersih dan akan menerbitkan surat edaran yang ruang lingkupnya lebih luas tidak hanya di sektor BUMN atau pemerintah yang meliputi semua sektor, pelibatan swasta, termasuk juga perorangan (PLTS atap). Ida juga menuturkan bahwa pembangunan PLTS dalam berbagai bentuk terus berjalan di Bali.

“Saat ini ada sejumlah pembangunan PLTS yaitu di Nusa Penida 3,5MWp dan 400KWp di jalan tol Bali-Mandara,” tambah Ida.

Sementara itu, Analisis Kebijakan Ahli Madya selaku Koordinator urusan ESDM, SUPD I, Ditjen Bina, Bangda, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Tavip Rubiyanto, mengungkapkan tantangan yang dihadapi untuk bisa mensinkronkan program pusat dan daerah juga mengintegrasikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) ke dalam (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

“Sejumlah instrumen bisa digunakan oleh Pemda, misal instruksi gubernur untuk mendorong akselerasi ET. Permasalahan nomenklatur terkait dengan penganggaran EBT di daerah akan mengacu kepada Permendagri 050 tentang kodefikasi dan nomenklatur anggaran. Dan saat ini Bangda tengah menyusun secara operasional bagaimana mendorong pemda untuk mengintegrasikan RUED ke dalam dokumen RPJMD dan Renstra ESDM sehingga dapat dioperasionalkan dalam perencanaan daerah. Sehingga pada RPJMD 2023-2026 dapat menjadi jalan untuk menyelipkan beberapa langkah untuk mencapai target ET,” tutur Tavip.

Hasil Forum Energi Daerah ini menjadi tindak lanjut kegiatan Governor’s Forum on Energy Transition (Forum Gubernur) yang merupakan salah satu acara menjelang Indonesia Solar Summit 2022. Indonesia Solar Summit (ISS) adalah puncak dari serangkaian acara multistakeholders yang bertujuan untuk memobilisasi potensi investasi energi surya Indonesia dan mengakselerasi pemanfaatan PLTS untuk mencapai target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan RUEN. ISS diselenggarakan untuk membuka pasar dan mendukung pengembangan ekosistem energi surya di Indonesia dan sebagai bahan dari presidensi G20 di Indonesia.