Insentif Cara Dongkrak Adopsi Kendaraan Listrik

5 April 2023 – Subsidi kendaraan listrik akhir-akhir ini menjadi bahasan menarik di sosial media. Beberapa menganggap kebijakan ini tidak sesuai kebutuhan, namun lainnya berpendapat bahwa kendaraan listrik akan membantu proses transisi energi. Dalam acara Ruang Publik KBR yang diselenggarakan secara daring pada 20 Maret 2023, Ilham R.F. Surya, Peneliti Kebijakan Lingkungan IESR, menjelaskan pemberian insentif kendaraan listrik akan berguna dalam merangsang adopsi kendaraan listrik. Selain itu, pemerintah perlu pula menerapkan strategi Avoid-Shift-Improve (ASI) untuk menekan emisi di sektor transportasi. 

Menurut Ilham, penggunaan paradigma Avoid-Shift-Improve (ASI) akan membantu mengurangi emisi karbon, terutama untuk sektor transportasi sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar. 

“Jika memungkinkan, lakukan avoid terlebih dahulu, seperti mengurangi perjalanan yang tidak diperlukan. Apabila tidak, lakukan shift dengan menggunakan transportasi umum. Pilihan terakhir adalah improve, atau menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan,” jelas Ilham.

Lebih jauh, ia menerangkan bahwa kendaraan listrik muncul untuk memenuhi kebutuhan teknologi ramah lingkungan. Secara emisi dan polutan, kendaraan listrik jauh lebih rendah daripada kendaraan bahan bakar, bahkan ketika sumber listriknya belum optimal atau masih menggunakan batubara. Menurutnya, menggunakan kendaraan listrik merupakan hal kecil yang dapat dilakukan secara individu dalam mengurangi emisi karbon, selain bijak menggunakan energi. Utamanya, sektor energi kini menjadi penyumbang terbesar emisi di Indonesia yaitu sekitar 26%.

Mengenai kesiapan Indonesia mengadopsi kendaraan listrik, Ilham menyatakan bahwa semua pihak masih saling tunggu-menunggu siapa yang akan terlebih dahulu menunjukkan kesiapan sebelum mengambil langkah lebih lanjut dalam pengembangan kendaraan listrik. Namun, yang akan paling berpengaruh adalah pemasangan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) atau unit pengisian daya, yang akan 3-4 kali lebih efektif dalam meningkatkan adopsi kendaraan listrik karena berkurangnya kecemasan akan jarak tempuh. Selain itu, kendaraan listrik sejauh ini sudah memberikan beberapa inovasi dalam teknologi, dan secara keamanan juga sudah sesuai dengan standar kendaraan pada umumnya.

Salah satu upaya untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik dari pemerintah adalah dengan memberi insentif, karena masih ada jurang antara harga kendaraan listrik dan kendaraan bahan bakar. Mengenai penerima dari insentif itu sendiri, Ilham menyatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih terbatas pada konsumen motor listrik, sementara mobil listrik lebih terjangkau untuk 1% masyarakat. Sehingga, untuk meningkatkan adopsi lebih cocok untuk diberikan kepada konsumen motor listrik. 

“Sebelum aturan subsidi ini dinaikkan, alangkah baiknya apabila syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi ketentuan yang wajib ada untuk subsidi, karena selain akan meningkatkan adopsi, akan sekaligus menyerap tenaga kerja dalam negeri,” jelas Ilham.

Kendaraan listrik juga dinilai Ilham dapat membantu untuk aksesibilitas di daerah terpencil. Walaupun demikian, tantangan yang muncul adalah listrik yang sering mengalami pemadaman bergilir di daerah. Tantangan adopsi kendaraan listrik lainnya meliputi harganya, tidak hanya harga kendaraan namun juga infrastrukturnya. Selain itu, ada juga kecemasan jarak karena infrastrukturnya yang belum memadai.

Di masa depan, Ilham menilai bahwa semakin meningkatnya teknologi, harga kendaraan listrik akan menurun. Jumlah penurunan per tahun sekitar 9%, sehingga pada 2030 diperkirakan akan setara dengan harga mobil bensin. Selain itu, dengan meningkatnya adopsi kendaraan listrik, diharapkan bahwa ketergantungan Indonesia akan bahan bakar yang sampai kini masih disubsidi akan berkurang. Dengan mengurangi emisi dan polusi, ditambah dengan mengurangi konsumsi bahan bakar, tentunya transisi energi akan berkembang lebih pesat.

“Namun tentunya, keputusan untuk membeli kendaraan listrik masih tergantung pada pembeli. Lihat dari keperluan dan penunjang infrastrukturnya, dan jangan bergantung pada fear of missing out (FOMO). Untuk sekarang, tentunya berikan insentif pada mereka yang lebih membutuhkan,” tutup Ilham.

Proyeksi mengenai kendaraan listrik di tahun 2023 terangkum pada Indonesia Electric Vehicle Outlook 2023.

Kendaraan Listrik Sebagai Pendukung Dekarbonisasi Transportasi

Jakarta, 28 Maret 2023 – Proses bertransisi energi memerlukan upaya yang besar dari segala sektor, termasuk sektor transportasi. Dekarbonisasi transportasi kemudian menjadi cara yang praktis dan terjangkau untuk memotong emisi karbon. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan menggunakan kendaraan listrik. Dalam wawancara dengan Saya Pilih Bumi di IIMS 24 Februari lalu, Faris Adnan, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Energi Terdistribusi IESR, menjelaskan mengenai kemajuan dekarbonisasi transportasi yang tengah terjadi di Indonesia.

“Dari tahun ke tahun, perkembangan kendaraan listrik di Indonesia sebetulnya terus meningkat. Di 2022 sendiri, peningkatan adopsi motor listrik bisa mencapai 5 kali lipat dan mobil listrik 3 kali lipat dari tahun sebelumnya,” jelas Faris.

Secara penyebaran geografis, 70-80% dari kendaraan listrik di Indonesia masih terpusat di DKI Jakarta. Secara kemampuan ekonomi pembeli, penggunanya juga kebanyakan golongan menengah ke atas. Demografi ini sesuai dengan kemampuan ekonomi per daerah, yang menganggap bahwa harga kendaraan listrik masih kompetitif dibandingkan kendaraan bahan bakar.

Faris menuturkan fasilitas pengisian daya cenderung dibangun di wilayah yang mempunyai pengguna kendaraan listrik yang tinggi sehingga menciptakan dilema bagi pengguna kendaraan listrik di daerah maupun kepada investor. Pengguna kendaraan listrik terpusat di Jakarta,  sehingga Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) paling banyak dibangun di Jakarta. Investor akan lebih enggan untuk membangun di daerah yang sepi pengguna, sementara pengguna juga akan berpikir ulang untuk menggunakan kendaraan listrik karena adanya kecemasan jarak. Sehingga, diperlukan kebijakan dan investasi pemerintah untuk menghentikan permasalahan tersebut.

Mengenai performa kendaraan listrik itu sendiri, Faris menganggap bahwa teknologinya belum sempurna. Sistemnya memiliki limitasi yang apabila dihilangkan, bisa membuat rangenya lebih besar atau kecepatannya lebih tinggi. Namun, baterainya akan lebih mudah rusak. Selain itu, Faris menilai apabila daya kendaraan rendah, kecepatannya juga akan menurun, berbeda dengan kendaraan bahan bakar.

Setiap tahun, konsumsi BBM naik sekitar 1,2 juta kiloliter, yang tentunya menyumbang kenaikan emisi karbon yang signifikan. Faris kemudian menjelaskan bahwa perbandingan emisi antara kendaraan listrik dan bahan bakar sebetulnya tergantung dengan penggunaannya. Saat ini, Indonesia masih mayoritas menggunakan batubara sebagai pembangkit energi, sehingga penggunaan kendaraan listrik belum menjadi nol emisi. Namun dengan pemakaian yang sama, emisi yang dikeluarkan dari kendaraan listrik tentu lebih rendah. Jika kendaraan listrik bersumber dari energi terbarukan, maka emisi yang dikeluarkan akan menjadi lebih minim dibandingkan jika listriknya bersumber dari PLTU batubara.“Kendaraan listrik penting untuk mengejar dekarbonisasi namun bukan menjadi solusi satu-satunya. Jika kita membicarakan dekarbonisasi, yang penting adalah menggunakan kerangka Avoid-Shift-Improve (ASI). Keberadaan kendaraan listrik ini juga bisa membantu untuk melepas ketergantungan kita akan BBM, dan lebih baik lagi jika diintegrasikan dalam transportasi umum,” pungkas Faris.

Kelebihan Pasokan Listrik, PLN Perlu Evaluasi Megaproyek 35 GW

Jakarta, 8 Februari 2023 – PLN saat ini tengah dilanda krisis kelebihan pasokan listrik. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, termasuk pandemi dan resesi global. Ditambah lagi, terdapat megaproyek PLTU batubara 35 Gigawatt yang telah digagas sejak tahun 2015 yang baru beroperasi 47% di tahun 2022. Namun terdapat pula beberapa miskonsepsi mengenai krisis ini. Dalam perbincangan di acara Energy Corner CNBC (6/2/2023), Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengupas beberapa miskonsepsi tersebut.

Menurut Herman, sudah umum bagi jasa penyedia listrik, termasuk PLN, untuk menyediakan persentase reserve margin atau cadangan daya pembangkit terhadap beban puncak. Jika menilik negara lain, 40-50% menjadi acuan normal bagi reserve margin untuk mengantisipasi pertumbuhan dan pemeliharaan. Pada 2022 sendiri, tercatat pertumbuhan listrik sebesar 6,15% (termasuk dari produsen listrik swasta), dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun ke depan.

“Di pulau Jawa sendiri mungkin memang reserve marginnya 60%, sementara di tempat lain kekurangan daya. Jadi dalam dua tahun ke depan, diperkirakan sudah tidak ada overcapacity,” jelas Herman

Masuknya permintaan listrik di luar PLN dalam angka pertumbuhan listrik dinilai oleh Fabby kurang mencerminkan realisasi pertumbuhan di dalam PLN yang kurang dari 5%. Ia menganggap situasi kelebihan pasokan saat ini terjadi karena ketidaksesuaian proyeksi permintaan yang menjadi basis perencanaan 35 GW dan realisasinya. “Dari 35 GW yang telah direncanakan, sebesar 5,4 GW belum kontrak dan belum mendapatkan pendanaan. Alangkah baiknya apabila jumlah tersebut dapat dibatalkan atau dialihkan ke energi terbarukan,” jelas Fabby.

Herman dan Fabby setuju bahwa perlu adanya evaluasi dari PLN di berbagai aspek. Pertama, harus menajamkan prediksi pertambahan permintaan listrik, sekaligus memperhitungkan pasokan listrik dari pembangkit swasta. Hal ini bisa mengurangi kemungkinan kelebihan kapasitas, yang bisa berakibat biaya yang harus ditanggung pemerintah, atau kenaikan tarif ke pelanggan. 

Kedua, adanya evaluasi kontrak jual beli daya dengan produsen listrik swasta terutama yang menggunakan klausul take or pay. 80% dari kelebihan suplai listrik datang dari take or pay swasta, dan tiap GWnya membebani negara sebesar Rp3 triliun.

Ketiga, perlu adanya evaluasi jadwal antar proyek. Kecenderungan yang sering terjadi adalah penyelesaian proyek disesuaikan dengan masa jabatan pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan pertumbuhan permintaan listrik, namun justru terjadi pertambahan kapasitas secara tiba-tiba.

“Jadwal COD (tanggal operasi komersial) harusnya ditentukan PLN, bukan masa jabatan pemerintah. Lazimnya, proyek direncanakan tahun per tahun agar tidak terjadi undercapacity maupun overcapacity,” ujar Herman.

“Sisa 5,4 GW ini penting untuk dipantau. Proyek ini paling banyak didanai oleh Tiongkok, sementara sejak beberapa tahun yang lalu, Tiongkok sudah tidak membiayai proyek PLTU lagi, sehingga apabila sudah pasti tidak dapat pendanaan, lebih baik dibatalkan atau dialihkan ke energi terbarukan. Evaluasi kemudian penting untuk memberi kestabilan pasokan dan harga yang terjangkau,” tutup Fabby.

Sinergi dan Investasi Nasional demi Energi Terbarukan

Jakarta, 6 Februari 2023 – Jalan menuju target Indonesia bebas emisi masih cukup berliku dan panjang. Salah satu aksi pemerintah dalam mendukung upaya ini adalah dengan membuat regulasi untuk mendorong implementasi energi terbarukan. Kenyataannya, antara target, regulasi, dan implementasi seringkali tidak selaras. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review di kanal IDX (24/01/2023) menyatakan bahwa pada tahun 2022, terdapat target untuk perkembangan energi terbarukan sebesar 1000 MW yang tidak tercapai. 

“Terdapat beberapa faktor mengapa target ini tidak tercapai, yang pertama adalah faktor pelemahan ekonomi yang menyebabkan permintaan listrik belum tumbuh optimal. Faktor lain adalah pandemi, yang menyebabkan beberapa proyek mengalami keterlambatan,” jelas Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah no. 79/2014 yang diturunkan pada Perpres 22/2017 telah menetapkan target bauran energi terbarukan nasional 23% pada tahun 2025. Untuk mencapai target ini, Fabby memperkirakan bahwa perlu ada pertumbuhan energi terbarukan sebesar 3-4 Gigawatt tiap tahunnya. Kenyataannya, sejak PP no. 79/2014 ditetapkan, rata-rata energi terbarukan hanya bertambah 15% dari 3-4 GW, yaitu sekitar 400-500 MW. 

Permasalahan ini juga kemudian mengakar dari infrastruktur energi negara itu sendiri. Sumber energi Indonesia masih bergantung pada fosil, yakni sekitar 86%. Untuk merubah struktur ini, penting pula untuk mempertimbangkan pertumbuhan permintaan energi di Indonesia. Permintaan energi yang semakin meningkat ini harus kemudian diupayakan memakai energi bersih. Menurut perhitungan IESR, transisi energi di Indonesia memerlukan pendanaan sekitar 1,4 miliar dolar. Dana ini mencakup energi terbarukan dan pembaruan infrastruktur energi. 

Mengenai persepsi ekonomis masyarakat, Fabby menilai bahwa energi fosil masih dipandang lebih hemat karena saat ini batubara masih disubsidi oleh pemerintah. Penetapan Domestic Market Obligation pada tahun 2017 membatasi harga batubara menjadi 70 dolar/ton meskipun harga di luar lebih tinggi dari itu. Insentif semacam inilah yang patutnya turut diberikan pada perkembangan energi terbarukan. Namun, hal ini juga terhalang oleh kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“PLTS telah menjadi sumber energi terbarukan yang paling hemat, namun di Indonesia justru menjadi mahal. Dibandingkan 10 tahun lalu, harga PLTS sudah menurun 90%. Kebijakan TKDN justru menjadi disinsentif yang bisa mencegah investor untuk berinvestasi dan membuat PLTS menjadi lebih terjangkau,” tutup Fabby.

PR Panjang Transisi Energi Pemerintah Indonesia

Jakarta, 12 Januari 2023 – Transisi energi, secara definisi, adalah upaya perubahan suplai energi dari yang sebelumnya bergantung pada batubara ke energi yang lebih bersih. Upaya inilah yang terus didorong pemerintah Indonesia untuk menuju negara yang mandiri dan tahan energi. Namun, sebelum meraih hal tersebut, masih banyak tugas yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia.

Handriyanti Diah Puspitarini, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Ruang Publik KBR: Transisi Energi di Indonesia, Sampai di Mana? yang diselenggarakan oleh Berita KBR (10/01) menjelaskan bahwa kajian IESR mengenai transisi energi memantau kesiapan publik lewat survei, dan kesiapan pemerintah lewat riset.

“Kesiapan publik (bottom up) sudah mendukung pengadaan energi yang lebih bersih, namun berdasarkan kerangka kesiapan transisi yang dikaji dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2023, pemerintah (top down) masih punya banyak hal yang harus ditingkatkan, terutama dari segi komitmen dan regulasi,” ungkap Handriyanti.

Sementara dalam kesempatan yang sama, Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menyatakan bahwa dari sisi bahan bakar fosil, pemerintah masih belum memperhatikan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri pertambangan, minyak, dan gas. 

“Pemerintah masih memantau emisi karbon dioksida (CO2) saja, dibandingkan metana yang memerangkap panas 29-30x lebih besar. Padahal, apabila terjadi pengurangan akan gas metana sebesar 30% saja, akan membantu mengurangi kenaikan suhu sebesar 0,5°C,” tegas Raditya.

Handriyanti dan Raditya kemudian membahas mengenai tren adopsi kendaraan listrik yang meningkat. Harganya yang masih tinggi kemudian memunculkan usulan pemerintah untuk subsidi kendaraan ini, yang diharapkan akan mendorong permintaan publik dan menurunkan harga kendaraan listrik pada akhirnya. 

Namun menurut mereka,  terdapat beberapa titik resistensi masyarakat mengenai transisi energi dan penggunaan kendaraan listrik ini. Pertama adalah paradigma bahwa bahan bakar fosil lebih hemat dibandingkan energi terbarukan. Padahal, harga tersebut merupakan hasil dari intervensi pemerintah berupa price capping, subsidi, dan kompensasi. Dampaknya, ketika harga minyak dunia tinggi, tentu ini akan membebani APBN. Kedua, adanya range anxiety yang artinya ketakutan akan kurangnya daya kendaraan listrik dalam melakukan perjalanan jauh. 

“Pemerintah kemudian harus menyiasati ini dengan memperbanyak stasiun pengisian daya di titik-titik perjalanan jauh seperti di pemberhentian tol,” ungkap Raditya.

Handriyanti dan Raditya membagi pembahasan kemajuan dan tugas pemerintah dalam soal transisi energi dari sisi tekno ekonomi, regulasi, dan pendanaan. Mereka menyampaikan bahwa harga teknologi energi terbarukan semakin terjangkau tiap tahunnya, misalnya seperti harga modul surya 70% lebih murah dibandingkan 7-10 tahun lalu dan diprediksi dapat lebih menurun lagi. Regulasi yang baik seperti Perpres 112/2021 yang menetapkan menteri untuk membuat peta jalan pemensiunan PLTU perlu didukung. Namun, regulasi ini masih harus dipantau pelaksanaannya dan diperbaiki, terutama mengingat pendanaan batubara dan fosil 10 kali lebih besar dibandingkan pendanaan energi terbarukan. 

“Keberadaan forum-forum internasional seperti G20 telah mendorong Indonesia untuk membuat komitmen menuju transisi energi dan menarik pembiayaan untuk upaya terkait. Diharapkan, pembiayaan ini bisa membantu Indonesia mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025,” pungkas keduanya.

Dukungan Pemerintah dan Sektor Industri untuk Transisi Energi di Jawa Tengah

Semarang, 8 Desember 2022 Indonesia menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23 persen di tahun 2025.  Kerjasama dan partisipasi segenap pihak diperlukan untuk mewujudkannya, terutama di tingkat daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menggelar acara acara Central Java Stakeholder Gathering 2022 dengan tema ‘Transisi Energi untuk Pembangunan Daerah Rendah Karbon’ untuk mendorong transisi energi di Jawa Tengah. 

Achmad Husein, Bupati Banyumas memaparkan, pihaknya telah menutup dua tempat pembuangan akhir (TPA) yang terbesar di Banyumas sebagai upaya pengurangan karbon. Sampah akan dipilah yang bernilai guna, non-organik dan organik. 

“Dalam mengelola sampah, Banyumas menggunakan solusi teknologi yang terbagi menjadi dua macam, pertama di hilir (masyarakat), dengan menggunakan bank sampah. Kedua, inisiatif aplikasi untuk pengurangan sampah plastik di hulu, dengan cara kita membeli semua plastik dari masyarakat (berbagai jenis plastik). Lalu, ada juga aplikasi untuk masyarakat memilah sampah organik dan dibayar. Setiap sampah organik sekilonya dibayar Rp100,” jelas Achmad Husein.

Tavip Rubiyanto, Kasubid ESDM Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri memaparkan pentingnya pembangunan daerah yang dapat memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional. Masalahnya, daerah hanya dapat berkontribusi sebanyak kewenangan yang ia miliki.

“Kewenangan daerah untuk transisi energi masih relatif kecil, maka kontribusinya juga relatif kecil. Untuk itu, Kemendagri akan menyusun rancangan Perpres untuk Penguatan Peran Daerah. Konsekuensinya, daerah perlu merevisi RUED menyesuaikan dengan wewenang/anggaran baru untuk mendukung target transisi energi,” jelas Tavip. 

Senada dengan Tavip, Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) berharap agar  koordinasi dan kerjasama yang lebih baik antara pemerintah daerah di Indonesia untuk mencapai tujuan energi terbarukan. Misalnya saja dalam implementasi RUED, pemerintah pusat bisa menginstruksikan pemerintah daerah untuk menggunakan kendaraan listrik. Walaupun demikian, masih ada kendala dalam meningkatkan pemanfaatan energi sesuai dengan potensi daerah, yaitu pendanaan.

“Untuk menghadapi tantangan pendanaan dalam transisi energi, kita memerlukan dukungan internasional. Untuk itu, Perda bisa menjadi dasar untuk investor dalam pengembangan EBT di daerah. Bisa saja dengan kerjasama BUMD, swasta, dan pihak internasional,” ungkap Djoko. 

Untuk mendukung percepatan transisi energi di daerah, Muhammad Firdaus, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah menjelaskan green financing (ekonomi  hijau) di Jawa Tengah sangat penting untuk mendukung ekonomi yang berkelanjutan. Ekonomi hijau diproyeksikan memberikan manfaat seperti penciptaan lapangan kerja, dan membantu meringankan hambatan ekspor. Walaupun demikian, penurunan biaya produksi hanya maksimal 10% sehingga kurang menarik bagi perusahaan untuk menerapkan circular economy.

“Bank Indonesia, dalam upaya mendorong green economy, berupaya mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit kepada sektor ekonomi hijau. Salah satu proyek yang telah dilakukan adalah Green Loan to Value Ratio (LTV) 0% (tanpa DP) dan memperbolehkan membeli green bond untuk memenuhi Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM),” tandas Firdaus.

Sementara itu, Ignasius Iswanto, General Manager Engineering, PT Djarum OASIS Kretek Factory menyatakan bahwa Djarum telah melakukan upaya ke arah keberlanjutan. Misalnya, Djarum telah memiliki carbon footprint report, pengelolaan sumber daya air, penghematan energi, dan composting. Untuk boiler, PT Djarum menggunakan boiler biomassa dengan bahan bakar woodchip. Emisi yang direduksi dari penanaman pohon trembesi (Program Djarum Bakti Lingkungan) sebesar 4.457.400 juta ton CO2e. Beliau juga menjelaskan bahwa lewat usahanya membuat Djarum sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, beliau menemukan pemanfaatan limbah lain yang dapat menghasilkan energi, yaitu energi plasma.

“Energi plasma juga patut dipertimbangkan sebagai salah satu sumber energi terbarukan, di mana limbah cair dapat diurai oleh plasma menjadi listrik dan air bersih. Namun, penggunaannya lebih cocok untuk kompleks industri,” pungkasnya. 

Strategi Pemerintah Provinsi Jateng demi Wujudkan Pembangunan Rendah Karbon

Semarang, 8 Desember 2022Transisi energi menjadi urgensi sebagai respons dunia terhadap tantangan untuk membangun sistem energi yang lebih resilien. Untuk itu, perlu adanya sinergi dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun pihak swasta. Dalam rangka terus mendorong transisi energi di Jawa Tengah, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menggelar acara Central Java Stakeholder Gathering 2022 dengan tema ‘transisi energi untuk pembangunan daerah rendah karbon’.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, Jawa Tengah berperan penting sebagai mercusuar transisi energi di Indonesia. Fabby menyampaikan, dari perkembangan transisi energi di Jawa Tengah yang pesat bisa menjadi pelajaran bagi daerah lain bahwa kepemimpinan, inovasi daerah, dan kolaborasi itu menjadi kunci keberhasilan transisi energi menuju pembangunan rendah karbon.

“Mengatasi ancaman krisis iklim sangat relevan dengan apa yang terjadi di Jawa Tengah. Berbagai praktek pemanfaatan energi terbarukan di Jawa Tengah sudah terjadi dan menggambarkan bagaimana masyarakat mampu mendorong transisi energi dengan upaya sendiri didukung oleh pemerintah membuat inovasi. Inilah yang kami sebut dengan Transisi Energi Gotong Royong,” papar Fabby. 

Menambahkan, Taj Yasin Maimoen, Wakil Gubernur Jawa Tengah, menyatakan, pemerintah telah menetapkan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Jateng. Peraturan ini mengatur tentang konservasi energi, konservasi sumber daya energi, dan diversifikasi energi. Pemerintah juga mendorong otonomi energi di desa-desa dan memanfaatkan potensi energi yang ada di setiap desa. 

Wagub Jateng
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen hadir di Central Java Stakeholder Gathering 2022 pada Kamis (8/12/2022). Dok. Humas Pemprov Jawa Tengah

“Di satu desa di Magelang, kami melihat ada potensi yang kuat. Tidak mungkin pemerintah provinsi bekerja tanpa paradigma dari masyarakatnya. Di kasus mereka, peternakannya sudah disentralkan, dimiliki masyarakat dan dijadikan satu tempatnya. Ada ratusan kambing yang perlu diolah kotorannya. Tidak hanya sebagai pupuk, namun juga sebagai energi terbarukan,” tegas Taj Yasin.

Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menjelaskan, Jawa Tengah telah melakukan inovasi terkait energi terbarukan melalui proyek seperti Jateng Solar Province. Program ini diharapkan dapat membantu Jawa Tengah mencapai tingkat bauran energi sebesar 23,32% pada tahun 2025.

“Lewat Jateng Solar Province dampak yang paling terasa yakni meningkatnya kapasitas PLTS atap di Jawa Tengah dari 0,1 MWp di 2019 hingga 22 MWp di 2022,” ujar Sujarwanto.

Di sisi lain, Widi Hartanto selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Tengah menuturkan,  pihaknya tengah mengkaji pemanfaatan kembali air limbah dan sampah menjadi energi baru terbarukan. 

“Program ini bertujuan untuk mensurvei karakteristik air limbah dan sampah serta mengadakan focus group discussion (FGD)  terkait pengelolaan sampah menjadi energi terbarukan di kota-kota seperti Pati, Sukoharjo, Boyolali, Kab. Semarang, Karanganyar, Grobogan, Kab. Magelang, Kota Magelang, Temanggung, Klaten, Kota Semarang, Kab. Semarang, Kab. Karanganyar, Boyolali, Salatiga, dan Kudus,” tuturnya.

Demi mewujudkan pembangunan rendah karbon, M Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Tengah menekankan sektor industri berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon.  Pihaknya mendorong penggunaan energi terbarukan di sektor industri. Di samping itu, Disperindag Jawa Tengah berencana memperkuat kemitraan dengan industri baja lokal untuk memasok produksi panel surya.

“Saat ini sebenarnya terdapat tuntutan dari konsumen untuk industri mulai menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT) sehingga menuntut industri untuk menggunakan EBT dalam proses produksinya,” papar Arif.

Sementara itu, Muhammad Iqbal selaku Direktur Utama Jateng Petro Energi (JPEN) menerangkan, terdapat tiga strategi untuk mendukung transisi energi yaitu penguatan kelembagaan ekosistem, solarpreneurship (pengadaan lapangan kerja hijau), dan capacity building

“Untuk itu, JPEN berkomitmen untuk mendorong transisi energi lebih masif seperti penggunaan PLTS terapung, PLTS rooftop, pelatihan PLTS, perdagangan karbon serta pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang menjadi bagian penting ekosistem kendaraan listrik,” ucapnya.