IESR: Second NDC Indonesia Perlu Cerminkan Target Ambisius Penurunan Emisi

press release

Jakarta, 25 April 2024Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (Second Nationally Determined Contribution, SNDC). Berbeda dengan dokumen Peningkatan Target NDC (Enhanced NDC) yang diterbitkan pada 2022, penetapan target penurunan emisi pada dokumen SNDC tidak lagi diukur berdasarkan penurunan emisi dari skenario pertumbuhan dasar (business as usual). SNDC akan membandingkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) terhadap tahun rujukan (reference year) 2019, yang berbasis inventarisasi GRK. Pemerintah menganggap metode penetapan emisi ini akan lebih akurat dan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi GRK global sebesar 43 persen pada 2030 dibandingkan emisi pada tahun 2019. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemutakhiran skenario yang tidak lagi berdasar pada business as usual dan beralih ke skenario yang mengacu pada reduksi emisi historis sebagai rujukan penetapan target, merupakan langkah maju. Pendekatan ini sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan IESR tahun lalu.

“Target penurunan emisi di SNDC Indonesia harus selaras dengan target Persetujuan Paris (Paris Agreement). Temuan Inventarisasi Global (Global Stocktake) pertama di COP 28 yang menunjukan bahwa masih terdapat kesenjangan target penurunan emisi global 20,3-23,9  gigaton setara karbon dioksida, harus menjadi pertimbangan target penurunan emisi di 2030 yang lebih ambisius,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan salah satu aksi mitigasi yang dapat meningkatkan target penurunan emisi di SNDC berasal dari peningkatan bauran energi terbarukan. Supaya selaras dengan jalur 1,5 derajat Celcius maka bauran energi terbarukan dalam energi primer perlu mencapai  55 persen di 2030. Sayangnya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang sedang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN) hanya membidik target bauran energi terbarukan 19-21 persen pada 2030. Tidak hanya itu, secara target penurunan emisi, untuk sektor energi RPP KEN mengisyaratkan target tingkat emisi di sektor energi yang masih besar yaitu 1.074-1.233 juta ton setara karbon dioksida di 2030.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR mengungkapkan jika target pengurangan emisi sektor energi di SNDC mengacu pada RPP KEN, maka bisa dipastikan bahwa target tersebut masih tidak selaras dengan Paris Agreement. Padahal menurutnya, sektor energi, terutama sektor kelistrikan dapat menjadi sektor paling strategis dalam meningkatkan level ambisi mitigasi emisi Indonesia dengan adanya opsi energi terbarukan yang sudah tersedia luas dengan keekonomian yang kompetitif.

“Hanya kurang dari 7 tahun menuju 2030, jadi aksi mitigasi emisi di sektor energi perlu difokuskan pada strategi yang bisa diimplementasi dan akselerasi sekarang. Energi terbarukan perlu secara masif dibangun di sektor kelistrikan sehingga dapat mengoptimalkan penurunan emisi melalui elektrifikasi baik sektor transportasi melalui kendaraan listrik, maupun boiler listrik dan pompa panas (heat pump) di sektor industri. Semua opsi di atas sudah tersedia komersial dan biayanya kompetitif. Pemerintah sebaiknya jangan terlena dengan opsi lain seperti nuklir dan CCS yang baru bisa operasi setelah 2030, sehingga strategi yang nyata bisa mengurangi emisi jadi tersendat implementasinya” jelas Deon.

Delima Ramadhani, Koordinator Kebijakan Iklim IESR, menyampaikan bahwa proyeksi emisi terbaru oleh  Climate Action Tracker (CAT) terhadap Enhanced NDC menunjukan kenaikan emisi hingga 1,7- 1,8 giga ton setara karbon dioksida pada tahun 2030; 70-80 persen lebih tinggi dari emisi tahun 2019. Jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan. Indonesia perlu menargetkan reduksi emisi 2030 pada kisaran 829-859 juta ton setara karbon dioksida untuk sejalan dengan target 1,5 derajat Celcius atau  970-1060 juta ton setara karbon dioksida (kedua kisaran level emisi, diluar emisi sektor kehutanan dan lahan) untuk target dibawah 2 derajat Celcius. 

“Pemerintah perlu memasukan aspek keadilan (fairness) dan memberikan alasan mengapa target reduksi emisi yang tertera dalam SNDC ini dinilai sebagai bagian yang adil (fairshare) dari kontribusi Indonesia dalam upaya mitigasi iklim global. Dengan demikian, dapat terlihat apabila SNDC sudah mencerminkan “ambisi tertinggi paling memungkinkan” (highest possible ambition) dalam pengurangan emisi,” imbuh Delima.

Di sisi lain, IESR menyoroti perlunya penekanan aspek keadilan dan tata kelola yang baik pada dokumen SNDC. Aspek keadilan dan transparansi ini perlu tercermin pada proses penyusunan SNDC yang memuat di antaranya praktik baik, relevan dengan keadaan nasional, keterlibatan institusi dalam negeri dan partisipasi publik.

Festival Energi Terbarukan: Dorong Aksi Nyata Turunkan Emisi

press release
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR di Festival Energi Terbarukan 2024
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR di Festival Energi Terbarukan 2024

Jakarta, 21 April 2024 – Kenaikan suhu global akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca berdampak pada krisis iklim yang memicu meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologi. Berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO), suhu rata-rata bumi pada 2014-2023 telah berada pada 1,2 -1,3 derajat Celcius di atas rata-rata tahun 1850-1900. Upaya pembatasan suhu bumi agar tidak melewati ambang 1,5 derajat Celcius perlu didorong secara serius dengan aksi dan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca. 

Sebagai bagian dari memperingati Hari Bumi dan meningkatkan pemahaman masyarakat untuk aksi penurunan emisi, Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank di bidang energi terbarukan dan lingkungan, menggelar Festival Energi Terbarukan pada Minggu, 21 April 2024. Melalui festival ini, IESR mengajak masyarakat untuk berkontribusi pada aksi penurunan emisi pribadi dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan demi mitigasi kenaikan suhu global. Festival ini memuat tiga rangkaian acara yang terdiri dari jalan santai rendah emisi, seminar dan pemaparan tentang energi terbarukan. Sekitar 108 peserta terlibat dalam acara ini.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengungkapkan acara Festival Energi Terbarukan merupakan upaya untuk menggerakkan aksi nyata dalam mendukung transisi energi di Indonesia demi tercapainya target nir emisi di 2060 atau lebih cepat. 

“Masyarakat berperan besar sebagai pelopor pemakaian energi terbarukan dan duta yang menyuarakan pentingnya energi terbarukan Indonesia. Dengan demikian, dapat mendorong kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap pengurangan emisi juga akan membuat masyarakat lebih bertanggung jawab dalam menggunakan energi melalui penghematan energi,” ungkap Fabby.

Fabby menambahkan pemahaman masyarakat yang tepat terkait energi terbarukan akan mendorong keterlibatan masyarakat yang lebih besar untuk pengurangan emisi pribadi maupun skala nasional. 

Aksi nyata individu dalam menurunkan emisi yang didorong dalam acara ini di antaranya dengan menggunakan energi secara hemat, mengandalkan transportasi publik atau kendaraan listrik yang minim emisi serta penggunaan energi terbarukan seperti energi surya.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menyebut kolaborasi antara pemerintah, komunitas masyarakat sipil, akademisi dan pemangku kepentingan akan memperkuat upaya bersama untuk menurunkan emisi lebih cepat dan masif. 

“Dengan kolaborasi, kita dapat menjangkau masyarakat lebih luas di Indonesia dan menularkan semangat untuk berperan untuk menciptakan momentum percepatan transisi energi dan mewujudkan Indonesia nol emisi,” ungkap Marlistya.

Membangun Kota Rendah Emisi di Indonesia

Jakarta, 2 April 2024 – Kawasan perkotaan merupakan pusat aktivitas padat karbon. Populasi yang tinggi, rapatnya bangunan dan penggunaan energi yang intensif berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Climate Transparency 2022 mencatat emisi langsung dan emisi tidak langsung dari sektor bangunan di Indonesia masing-masing menyumbang 4,6 persen dan 24,5 persen dari total emisi karbon dioksida terkait energi pada 2021. Untuk itu, dekarbonisasi kawasan perkotaan menjadi salah satu upaya krusial untuk mengurangi emisi karbon serta mewujudkan kawasan yang berkelanjutan, sesuai dengan Persetujuan Paris untuk mencapai target nir emisi karbon.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang bekerja sama dengan Kementerian Federal Jerman untuk Urusan Ekonomi dan Aksi Iklim (Bundesministerium für Wirtschaft und Klimaschutz/BMWK) serta didukung oleh berbagai kementerian lain sesuai rekomendasi Kementerian ESDM sepakat untuk mendukung upaya dekarbonisasi kawasan perkotaan melalui program Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI). Program ini melibatkan anggota konsorsium yang terdiri dari Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) di Indonesia, Yayasan Indonesia Cerah, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan WRI Indonesia.

Manajer Program Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI), Institute for Essential Services Reform (IESR), Malindo Wardana menjelaskan, salah satu inisiatif penting dari SETI adalah Urban Energy Lab. Urban Energy Lab bertujuan untuk mengembangkan ekosistem energi lokal yang berkelanjutan di lingkup perkotaan, khususnya di beberapa kota yang terpilih. Ini bertujuan untuk mendukung lingkungan binaan yang lebih baik dan berkelanjutan.

“Kriteria pemilihan kota-kota yang akan menjadi proyek SETI meliputi potensi energi terbarukan di wilayah tersebut, program keberlanjutan yang sudah ada, serta kesediaan kota-kota tersebut untuk mengimplementasikan dekarbonisasi energi di sektor bangunan,” ujar Malindo.

Malindo dalam acara Focus Group Discussion Urban Energy Lab SETI yang diselenggarakan pada Selasa (2/4/2024) menuturkan, proses penentuan kota percontohan (pilot) untuk program SETI melalui tahap membentuk jaringan (network) kota-kota yang berpotensi. Kota-kota yang tergabung dalam jaringan kota berpotensi tersebut, kemudian akan dipilih oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM & konsorsium SETI sebagai kota pilot. Kota-kota pilot ini akan mendapatkan dukungan tambahan berupa kegiatan mempertemukan (matchmaking) antar pemilik/pengelola bangunan dengan perusahaan layanan energi (energy service company), pengembangan kapasitas seperti sertifikasi manajer energi/auditor energi, pembuatan model perencanaan energi terintegrasi, dan pelatihan manajemen data energi.

Koordinator Kelompok Bimbingan Teknis dan Kerjasama Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Hendro Gunawan mengatakan, pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2009 menjadi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi yang menjadi langkah konkret pemerintah untuk mengatur penggunaan energi yang hemat, rasional dan bijaksana. Dalam aturan ini, sektor bangunan dengan batas penggunaan energi lebih dari atau sama dengan 500 TOE (Ton Oil Equivalent) per tahun  termasuk wajib untuk melakukan manajemen energi. 

“Pemerintah daerah turut memiliki kewajiban untuk menerapkan manajemen energi pada bangunan yang dimiliki, dikelola dan dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),” kata Hendro. 

Hendro juga menyinggung adanya aturan yang menguatkan kewenangan daerah provinsi dalam memanfaatkan energi terbarukan di daerah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Sub Bidang Energi Baru Terbarukan. 

Ia berharap, keberadaan peraturan tersebut dan pelaksanaan program SETI akan dapat mendukung pemerintah daerah dalam menerapkan efisiensi energi pada bangunan, serta upaya peningkatan pemanfaatan energi terbarukan pada bangunan/gedung, sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan membangun lingkungan berkelanjutan.

 

GEN-B: Mangrove Menjadi Bukti Tekad Menurunkan Emisi Pribadi

Jakarta, 27 Maret 2024– Iring-iringan rombongan berbaju hijau lumut terlihat memadati jalan di sekitar Gambir, Jakarta Pusat. Tulisan di baju mereka menandakan identitas mereka sebagai Generasi Energi Bersih. Beberapa dari mereka membawa papan ajakan untuk siapapun yang melihat, agar mengurangi emisi pribadi. Raut muka mereka tampak segar dengan usia yang rata-rata belia. Sekitar 350 orang muda berkumpul untuk bertindak mengurangi emisi sebagai biang penyebab krisis iklim di dunia.

Didukung oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Generasi Energi Bersih (GEN-B) Jakarta Selatan bekerja sama dengan GEN-B Jakarta, dan UKM Riset dan Karya Ilmiah Heuri Cosmos Universitas Pertamina, menggerakkan anak-anak muda di sekitar Jakarta. Mereka ambil andil dalam jalan santai dan upaya pengurangan emisi dengan penanaman mangrove. Beranjak dari Gambir, serentak rombongan menuju kawasan ekowisata mangrove di Pantai Indah Kapuk.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  yang turut dalam gerakan penanaman mangrove ini mengungkapkan kegiatan ini diprakarsai oleh GEN-B yang telah menggunakan jejakkarbonku.id untuk menghitung emisi yang mereka hasilkan sehari-hari. Para anak muda yang tergabung di GEN-B lalu mengumpulkan uang dan donasi untuk melakukan penyeimbangan karbon atau carbon offset. Salah satu cara yang mereka lakukan ialah dengan menanam mangrove. 

“Penanam mangrove ini merupakan bentuk nyata dari kepedulian generasi muda kita bahwa kegiatan  yang mereka lakukan sehari-hari punya dampak terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain kesadaran mengurangi emisi gas rumah kaca, melalui kegiatan sehari-hari, seperti mematikan lampu dan mengurangi sampah, mereka juga melakukan offset. Diharapkan dengan menanam mangrove bisa menyerap emisi gas rumah kaca yang ada di atmosfer,” jelas Fabby.

Fabby berharap, kegiatan serupa dapat pula dilakukan di tempat lain, karena GEN-B telah tersebar di sembilan kota, termasuk Bandung, Yogyakarta, Bali, and Bogor.

“Kesadaran untuk melakukan penurunan emisi dimulai dari diri sendiri bisa dimiliki oleh semua anggota GEN-B. Mereka juga dapat menjadi sumber informasi atau bisa menginspirasi peers (rekan sebaya-red) mereka untuk melakukan hal serupa, sehingga kita punya generasi yang punya kesadaran untuk penurunan emisi GRK untuk  mencegah terjadinya krisis iklim,” imbuh Fabby.

Senada, Ketua GEN-B Jakarta Selatan, Riko Andriawan menuturkan penanaman 350 bibit mangrove akan mampu berkontribusi terhadap penyerapan emisi. 

“Pengurangan emisi tidak perlu biaya mahal, tapi bisa dimulai dari kesadaran diri sendiri misalnya dengan menggunakan kendaraan umum untuk wilayah perkotaan, tidak menggunakan plastik sekali pakai, selalu menggunakan tumbler, tidak menggunakan listrik secara berlebihan di rumah. Generasi muda perlu menyadari pemanasan global dan mengerti caranya dalam mengurangi emisi,” tutur Riko.

Ketua GEN-B Indonesia, Maya Lynn melanjutkan bahwa tantangan terbesar bisa jadi berasal dari diri sendiri.

“Penyadaran tentang jejak karbon perlu dimulai dari diri sendiri. Kita dapat menghitungnya menggunakan jejakkarbonku.id sehingga dapat melihat berapa besar jejak emisi yang kita tinggalkan di bumi.”

Kolaborasi dengan GEN-B Jakarta Selatan, diakui oleh Nur Azizah dari UKM Riset dan Karya Ilmiah Heuri Cosmos Universitas Pertamina merupakan kesempatan baik. Pihaknya telah mendukung energi terbarukan dan penurunan emisi melalui riset dan karya ilmiah. Keterlibatannya di penanaman mangrove menjadi aksi nyata untuk membuat bumi lebih hijau.

Energi Terbarukan Perlu Merajai Asia Tenggara

Jakarta, 27 Maret 2024– Asia Tenggara tergolong kawasan dengan perekonomian yang menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia pada 2022. Aktivitas ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, membuat proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mencapai 60 persen pada 2050. Penurunan emisi kawasan akan berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan emisi global. Sayangnya, upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan di Asia Tenggara belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Internasional Revision 2024 di Tokyo (14/3) menyebutkan negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai target untuk mencapai bauran energi terbarukan di kawasan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurutnya, target ini tidak selaras dengan Persetujuan Paris.

“Agar memenuhi Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 55 persen, dengan energi terbarukan variabel (variable renewable energy, VRE) berkontribusi sebesar 42 persen. Kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina, negara-negara lain belum mencapai penetrasi energi terbarukan sebesar 5 persen. Kabar baiknya, pada tahun 2023, negara-negara ASEAN akan memiliki lebih dari 28 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang beroperasi, atau meningkat 20 persen dari kapasitas yang beroperasi sejak tahun lalu. Saat ini, kapasitas tersebut mencapai 9 persen dari total kapasitas listrik negara-negara ASEAN. Namun, agar negara-negara ASEAN dapat mencapai target tersebut, mereka perlu memasang lebih banyak energi terbarukan,” jelas Fabby.

Fabby melanjutkan, sumber daya energi terbarukan di Asia Tenggara tergolong melimpah , dengan 40-50 kali lebih besar dari kebutuhan energi tahun ini. Pemanfaatan PLTS terapung dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam dekarbonisasi sistem energi di kawasan. Ia mengurai, setidaknya terdapat potensi teknis PLTS terapung sebesar 134 hingga 278 GW untuk waduk, 343 hingga 768 GW untuk permukaan air alami seperti sungai, danau, laut. Potensi teknis ini bervariasi di setiap negara. Ia menilai, penghitungan yang rinci mengenai potensi teknis pasar dan ekonomi, serta  potensi tekno-ekonomi spesifik lokasi harus dilakukan untuk mengembangkan PLTS terapung.

Ia juga menyoroti kawasan Asia Tenggara perlu mempunyai kebijakan yang lebih ambisius, memberikan dukungan anggaran dan insentif yang kuat, dan menciptakan lebih banyak kebijakan yang menarik investasi. Investasi tahunan rata-rata dalam kapasitas energi terbarukan harus ditingkatkan hingga lima kali lipat menjadi USD 73 miliar per tahun.

Fabby menegaskan negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan ambisi mereka untuk memenuhi target Persetujuan Paris. Sebagai langkah dekat, ASEAN perlu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan 40 persen pada 2030.

“Banyak kajian menunjukkan Asia Tenggara punya potensi energi terbarukan yang besar dan cukup untuk dekarbonisasi. Namun secara kebijakan dan aksi saat ini dinilai masih kurang untuk mencapai dekarbonisasi pada 2050.  Investasi yang sangat besar untuk energi terbarukan mengharuskan setiap negara untuk mereformasi kebijakan dan mengelola risiko yang terkait dengan proyek energi terbarukan, agar dapat menarik dan memobilisasi investor,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, ia mendorong agar tidak meneruskan narasi yang menitikberatkan pada mempertahankan energi fosil sebagai pembangkit beban puncak (baseload), dan mengaitkannya dengan upaya menjaga ketahanan energi, serta mengesampingkan energi terbarukan. Menurutnya, narasi semacam ini justru mengganggu dan tidak sejalan dengan semangat Persetujuan Paris.

Dekarbonisasi Industri Besi dan Baja Butuh Peta Jalan Menyeluruh

press release
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

Jakarta, 20 Maret 2024 – Industri besi dan baja di Indonesia mengalami pertumbuhan konsumsi. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan secara nasional pada 2022, konsumsi baja rata-rata sebesar  15,62 juta ton per tahun. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan jumlah produksi baja rata-rata sekitar 12,46 juta ton per tahun. Sementara, dari sisi ekspor, industri besi dan baja mengalami tren peningkatan dari USD 7,9 miliar pada tahun 2019, menjadi USD 28,5 miliar pada tahun 2022.

Meningkatnya konsumsi besi dan baja nasional berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat industri besi dan baja bertanggung jawab terhadap 4,9 persen dari total emisi industri  yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022, atau berkisar setara 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun.  Untuk itu, IESR mendorong pemerintah dan pelaku industri besi dan baja untuk melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan yang berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan bahwa upaya dekarbonisasi sektor industri besi dan baja perlu mengatasi perpindahan teknologi proses produksi besi dan baja. Saat ini, 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia masih diproduksi dengan teknologi tanur tinggi atau blast furnace, bahan bakarnya masih didominasi dengan penggunaan batubara dan kokas (bahan karbon padat yang berasal dari distilasi batubara rendah abu dan rendah sulfur). Artinya, semakin banyaknya rasio penggunaan teknologi blast furnace dalam produksi besi dan baja nasional maka upaya penurunan emisi di industri besi dan baja di Indonesia akan menjadi lebih sulit di tahun berikutnya.

“Baja menjadi material kritis yang diperlukan di berbagai aspek pembangunan, termasuk untuk teknologi untuk mendukung transisi energi di seluruh dunia. Penerapan 1 MW teknologi energi terbarukan seperti panel surya dan, turbin angin memerlukan sekitar 20-180 ton baja. Untuk itu, dekarbonisasi industri baja menjadi krusial dilakukan untuk memastikan rantai pasok teknologi menjadi rendah karbon melalui  peningkatan efisiensi energi yang dapat dilakukan dengan beralih terhadap teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan serta optimalisasi dari penggunaan baja daur ulang (scrap),” ujar Fabby Tumiwa dalam acara Webinar Mempercepat Transformasi Industri Baja di Indonesia dan Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh IESR dan Agora Industry. 

Urgensi dekarbonisasi sektor industri besi dan baja juga dipengaruhi secara global dengan adanya aturan produk rendah emisi dan penetapan batas karbon untuk ekspor, serta perdagangan karbon. Di tataran nasional, senior Analis IESR, Farid Wijaya mengatakan, dekarbonisasi industri besi dan baja ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama untuk mencapai Indonesia Emas 2045, melindungi rantai pasokan dalam negeri dan ekonomi masa depan, dan meningkatkan daya saing ekspor untuk pasar global yang semakin sadar akan praktik ramah lingkungan.

“Upaya melakukan dekarbonisasi industri perlu dibarengi dengan membangun ekosistem industri hijau dalam kerangka regulasi dan standar, penyediaan energi hijau dan teknologi rendah karbon. Diperlukan pula adanya peta jalan oleh masing-masing industri dan asosiasi, yang saat ini masih terbatas pada beberapa sektor dan belum menjadi sebuah regulasi yang bisa dijadikan landasan aksi dekarbonisasi untuk pelaku industri dan asosiasi,” ujar Farid. 

Studi IESR memberikan rekomendasi dalam mendorong dekarbonisasi industri di Indonesia. Pertama, penyelesaian peta jalan dekarbonisasi industri oleh Kementerian Perindustrian pada akhir tahun 2024 atau lebih cepat. Kedua, memperkuat pelaporan dan pengumpulan data mengenai implementasi Peraturan Menteri Perindustrian No.2/2019 mengenai tata cara penyampaian data industri melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) dan memastikan keterbukaan laporan keberlanjutan industri untuk transparansi dan akses informasi, terutama pelaporan penggunaan energi dan bahan baku  serta limbah yang dihasilkan. Ketiga, menyusun patokan (benchmarking) proses produksi industri hijau serta memperluas cakupan dan nilai batas standar industri hijau (SIH) dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) dan mengacu ke best practice lokal menjadi wajib (mandatory) dan berkesesuaian dengan kebutuhan penurunan emisi di tahun 2060, atau lebih awal.

Kajol, Manajer Program Industri Netral-Iklim Asia Tenggara, Agora Industri, menuturkan transformasi industri besi dan baja memerlukan tiga strategi yaitu penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan penerapan ekonomi sirkular, serta pengakhiran siklus karbon dengan penggunaan Carbon Capture Use and Storage (CCU/S) dan biomassa dan bioenergi yang dilengkapi dengan CCS (BECCS).

Fausan Arif Darmadi, Analis Pengembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan, pihaknya telah meluncurkan standar industri hijau (SIH) yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 12 Tahun 2023 tentang batasan penggunaan energi, air, dan batasan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk baja lapis. Dengan regulasi tersebut, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi perusahaan untuk menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan.

“Komitmen dari sektor industri menjadi hal yang paling penting dalam proses dekarbonisasi. Untuk itu, Kemenperin telah memberikan pelatihan perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi sektor baja, termasuk perhitungan nilai ekonomi karbonnya. Sementara untuk panduan lengkap terkait perhitungan nilai ekonomi karbon sedang dalam proses pengembangan,” papar Fausan.

Mendorong Dekarbonisasi UMKM di Indonesia

press release

Jakarta, 14 Maret 2024 – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menjadi salah satu pilar penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop), sektor UMKM memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60,5 persen dan berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai sebesar 97 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2021. 

Di sisi lain, UMKM menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bertanggung jawab terhadap krisis iklim. Berdasarkan studi Institute for Essential Services Reform (IESR), estimasi emisi terkait energi dari UMKM mencapai 216 MtCO2 pada tahun 2023, atau setara dengan separuh emisi sektor industri nasional pada tahun 2022. Untuk itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong bagi pelaku UMKM untuk melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan  yang berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan, UMKM memiliki peran signifikan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Menurutnya, pengurangan emisi atau dekarbonisasi di seluruh rantai pasok pada sektor UMKM akan membuka peluang UMKM Indonesia bersaing di tingkat global.

“Studi kami menemukan bahwa 95 persen emisi dari UMKM ini berasal dari pembakaran energi fosil. Berkaca dari data tersebut, maka pemerintah perlu mulai mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam mendekarbonisasi UMKM. Pemerintah perlu pula mengusulkan strategi dan memberikan bantuan berupa finansial maupun asistensi teknis kepada UMKM agar mampu merencanakan dan mendorong investasi demi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK),” kata Fabby dalam sambutan webinar Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global.

Berkolaborasi dengan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), IESR merumuskan kajian yang menawarkan solusi dekarbonisasi UMKM, khususnya di Industri Kecil dan Menengah (IKM). IKM dipilih karena subsektor tersebut mengeluarkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan subsektor UKM lainnya. Selain itu, IKM  memiliki jumlah pekerja hingga 100 orang sehingga berpotensi menyediakan lapangan kerja bagi penduduk setempat. Hal ini dapat menjadi acuan untuk memastikan transisi yang adil, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Analisis IESR dan LBNL merekomendasikan pemutakhiran teknologi dan elektrifikasi untuk mendekarbonisasi IKM. Studi ini mengambil tiga contoh IKM dengan solusi dekarbonisasinya  Pertama, elektrifikasi untuk sektor tekstil dan pakaian. Kedua, sektor konstruksi yang perlu meningkatkan penggunaan semen rendah karbon, formulasi beton yang inovatif serta mengusulkan peralatan ramah lingkungan kepada pemilik bangunan. Ketiga, sektor industri penyamakan kulit untuk mendorong penetrasi energi terbarukan variabel  (variable renewable energy, VRE), seperti panel surya dan turbin angin domestik.

Analis Data Energi, IESR, Abyan Hilmy Yafi mengatakan, melalui strategi awal dengan dekarbonisasi IKM, beberapa manfaat ekonomi akan didapatkan seperti penciptaan peluang bisnis baru, peningkatan nilai merek, dan menarik kepercayaan pelanggan. Tidak hanya itu, dekarbonisasi juga akan meningkatkan proses produksi, profitabilitas, dan daya saing seiring mengurangi risiko perubahan iklim dan memastikan dampak positif terhadap lingkungan.

“UMKM perlu mendapatkan lebih banyak pendampingan karena banyak pelaku UMKM yang tidak mengetahui tentang energi, satuannya dan bagaimana cara melakukan efisiensinya. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, UMKM dapat menjadi agen perubahan yang mendorong transisi menuju perekonomian yang bersih dan berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik bagi semua,” ucap Abyan. 

Ketua Tim Program Pengembangan Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, Achmad Taufik mengatakan, pihaknya tengah mengusahakan pendanaan/investasi hijau bagi IKM baik dari bank, swasta maupun internasional. Selain itu, pihaknya tengah mendalami beberapa model dan menyusun kajian untuk penguatan penyedia jasa industri hijau. 

“Untuk industri kecil dan menengah dalam upaya untuk dalam bertransformasi menuju industri hijau, kita akan membantu terkait training dan peningkatan kapasitas, akses terhadap teknologi hijau, akses terhadap pasar ataupun menciptakan pasar baru,” ucap Achmad. 

Menyoroti peluang dekarbonisasi di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Peneliti Kebijakan Energi dan Lingkungan, LBNL, Bo Shen menyatakan, penerapan efisiensi energi menjadi daya tarik bagi pasar dalam memilih produk UKM. Ia mencontohkan. di  China, sertifikasi energi efisiensi bagi pelaku UKM menjadi dasar bagi perusahaan besar untuk mengambil produk UKM tersebut. Sementara belajar dari Amerika Serikat, sejumlah universitas membuat pusat penilaian industri yang didanai oleh pemerintah untuk mengetahui estimasi konsumsi energi dan emisi UKM. 

“Terdapat beberapa cara efektif untuk mendorong penghematan energi di UKM di Indonesia yang bisa diterapkan. Di antaranya, tersedianya sistem yang terstandarisasi dan transparan untuk melacak, menilai dan mengkomunikasikan kinerja energi UKM. Kedua, adanya skema evaluasi yang didukung pemerintah dalam peningkatan citra usaha. Ketiga, keberadaan target dekarbonisasi yang jelas bagi pemerintah, perusahaan multinasional dan UKM,” ujar Bo Shen. 

Catatan untuk Editor:

UMKM merupakan seluruh usaha/bisnis yang berukuran mikro, kecil dan menengah. 

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berarti tidak memasukkan usaha mikro.

Industri Kecil Menengah (IKM) merupakan usaha yang memiliki proses produksi/konversi barang mentah/setengah mentah ke barang jadi yang memiliki ukuran bisnis yang kecil hingga menengah.

Jenis mikro, kecil, menengahnya dapat dilihat dari modal/pendapatan/jumlah karyawan.

Mewujudkan Bali Net Zero dimulai dengan 100 Persen Energi Terbarukan di Nusa Penida pada 2030

press release

Nusa Penida, 6 Maret 2024 – Agenda transisi energi di Provinsi Bali akan menjadi salah satu poros utama mencapai target Bali untuk emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada 2045. Pemerintah Provinsi Bali melakukan sinergi dengan banyak pihak, di antaranya dengan Koalisi Bali Emisi Nol Bersih yang terdiri dari Institute for Essential Services Reform (IESR), WRI Indonesia, New Energy Nexus Indonesia, dan CAST Foundation. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai Bali NZE 2045 adalah mengalihkan penggunaan energi fosil menjadi 100 persen energi terbarukan di Nusa Penida pada 2030. 

Nusa Penida merupakan pulau yang terletak di selatan Provinsi Bali dan termasuk dalam Kabupaten Klungkung. Seiring dengan berkembangnya Nusa Penida menjadi objek wisata populer di Bali, maka pertumbuhan permintaan energi di Nusa Penida diproyeksi akan semakin meningkat. Saat ini, kebutuhan energi Kepulauan Nusa Penida dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan surya (PLTS) dengan baterai (3,5 MW dengan sistem baterai sebesar 1,8 MWh) dengan total kapasitas 17,06 MW, dengan lebih dari 21 ribu pelanggan. Penggunaan energi terbarukan dalam bentuk PLTS ini telah meningkatkan rasio energi terbarukan dalam bauran energi di Kepulauan Nusa Penida menjadi hampir 26 persen.

Dalam sambutan Pj. Gubernur Bali, S. M. Mahendra Jaya, yang disampaikan oleh I Dewa Gede Mahendra Putra, Asisten 1 Pemerintahan dan Kesra Sekretaris Daerah Provinsi Bali mengatakan, pengembangan energi terbarukan perlu selaras dengan peta jalan ekonomi sehingga ekonomi hijau bisa berkembang pesat di Nusa Penida maupun Bali secara keseluruhannya.

“Pemerintah Bali selalu mendukung pengembangan terhadap ekosistem energi terbarukan yang menyediakan berbagai kesempatan baik tenaga kerja hijau, menaikan nilai moral dan spiritual di masyarakat maupun sinergitas terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan agar target NZE 2045 bisa terwujud, dengan dimulai dari Nusa Penida,” ungkap I Dewa Gede Mahendra Putra pada peluncuran laporan Peta Jalan Nusa Penida 100 Persen Energi Terbarukan yang diselenggarakan oleh IESR bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali.

Demi mencapai bauran energi terbarukan hingga 100 persen pada 2030, IESR dan Center of Excellence Community-based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana telah merampungkan peta jalan Nusa Penida 100 persen energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebut, karena saat ini di Nusa Penida bauran energi terbarukan sudah mencapai 24 persen, maka hingga 2030, Nusa Penida hanya perlu mengejar 76 persen dengan mempertimbangkan peningkatan permintaan listrik, kehandalan dan biaya produksi listrik. 

“Ada  tiga tahap untuk meraih Nusa Penida 100 persen energi terbarukan di 2030. Tahap satu pada 2024-2027 di antaranya mensubtitusi penggunaan PLTD pada siang hari dengan PLTS atap. Tahap dua pada 2027-2029 antara lain dengan menempatkan PLTD sebagai pembangkit cadangan (back up), tahap tiga pada 2029-2030 yaitu dengan mengoptimalkan pembangkit energi terbarukan lainnya seperti biodiesel dan arus laut, dan membangun pumped hydro energy storage” ungkap Fabby.

PLTS menjadi andalan dalam meningkatkan bauran energi terbarukan Nusa Penida dengan potensi teknisnya yang lebih besar dan lebih kompetitif secara biaya dibandingkan pembangkit energi terbarukan lainnya, mencapai hingga 3,2 GW. Hal ini disampaikan Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR.

“Selain mengoptimalkan PLTS skala utilitas, penggunaan PLTS atap dapat didorong karena semakin tinggi penetrasi PLTS atap di Nusa Penida, maka semakin rendah biaya pembangkitan yang harus ditanggung oleh operator sistem, dengan potensi penghematan mencapai 7,3 persen. Penghematan dari berkurangnya penggunaan PLTS dengan masuknya PLTS atap juga bisa melebihi biaya integrasi yang dikeluarkan operator,” jelas Alvin.

Menurutnya, untuk mengatasi permasalahan variabilitas oleh pembangkit listrik energi terbarukan yang ada di Nusa Penida, terdapat beberapa sistem dan teknologi yang bisa digunakan, seperti sistem pengkonversi daya (power conversion system), sistem manajemen energi (energy management system), dan sistem penyimpanan energi (energy storage system).

Selanjutnya, sebagai tindak lanjut dari peta jalan Nusa Penida 100 persen energi terbarukan ini, perlu dilakukan kajian teknis lanjutan terhadap sumber-sumber energi terbarukan, penyelarasan peta Jalan Nusa Penida 100 persen energi terbarukan dengan perencanaan pembangunan dan energi daerah serta RUPTL PLN, lalu mendorong adopsi PLTS atap di sektor komersial, kemudian melakukan kajian dampak sosial dan ekonomi sehingga Nusa Penida bisa semakin meningkatkan investasi energi terbarukan di daerahnya.

Ida Ayu Dwi Giriantari, Ketua CORE Universitas Udayana, menyebut agar peta jalan ini dapat terlaksana dengan baik, maka pemerintah Bali dan seluruh pihak yang terlibat harus mampu menjawab tantangan yang ada seperti, regulasi yang belum optimal dan tidak konsisten, investasi yang terbatas, sumber daya manusia yang masih belum terbangun, teknologi yang masih impor serta keterbatasan aksesibilitas dan infrastruktur karena lokasi Nusa Penida yang terpisah dari Bali daratan.

Menyambut peta jalan Nusa Penida 100 persen energi terbarukan, Luh Ketut Ari Citrawati, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Klungkung menyatakan bahwa pemerintah Kabupaten Klungkung telah menjadikan konsep pariwisata berkelanjutan sebagai salah satu prioritas pembangunan, termasuk penetapan wilayah pengembangan PLTS dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Klungkung.

 

Unduh Presentasi Pemetaan Potensi untuk Nusa Penida 100% Energi Terbarukan

Memperjuangkan Keadilan Transisi Energi di Indonesia, Kolombia dan Afrika Selatan

Jakarta, 29 Februari 2024– Aspek keadilan dalam transisi energi erat kaitannya dengan pelibatan masyarakat dalam prosesnya, terutama dalam mempersiapkan masyarakat daerah penghasil batubara. Organisasi masyarakat sipil sebagai pihak yang berinteraksi dekat masyarakat dan pemerintah mempunyai peran yang signifikan untuk mendorong pemerintah dalam membuat kebijakan partisipatif dan mengarusutamakan prinsip adil, serta membangun kapasitas secara keterampilan maupun pengetahuan kepada masyarakat sehingga mereka mampu menyurakan kepentingannya.

Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut pendapatan daerah penghasil batubara di Indonesia sangat bergantung pada industri batubara. Ia menilai minimnya diversifikasi ekonomi di daerah akan berdampak pada disrupsi ekonomi jika terjadi penurunan permintaan batubara akibat transisi energi global dan kurangnya mitigasi terhadap perubahan ini.

“Indonesia melakukan keadilan distributif terhadap energi fosil dengan keleluasaan akses terhadap listrik dari batubara dan sejumlah subsidi untuk menjaga keterjangkauan harga. Pemerintah seharusnya dapat melakukan keadilan distributif untuk adopsi energi terbarukan dalam arus transisi energi global ini. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris untuk berkontribusi pada penurunan emisi, di antaranya emisi dari sektor energi,” jelas Ilham pada webinar Cross-country reflections on coal and just transitions in Colombia, South Africa and Indonesia yang diselenggarakan oleh Stockholm Environment Institute (SEI) bekerja sama dengan IESR.

Ilham menyoroti konsep transisi energi yang diusung oleh pemerintah, yang menurutnya, masih membingungkan. Di satu sisi, Indonesia menerima berbagai pendanaan untuk bertransisi energi seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP), tetapi di sisi lain, Indonesia tampak memberikan izin pada pembangunan PLTU batubara untuk kepentingan industri.

Organisasi masyarakat sipil, menurut Ilham, perlu menyiapkan ruang diskusi yang intensif dan memperkuat relevansi transisi energi dengan masyarakat sehingga semakin banyak masyarakat terpapar pada isu transisi energi.

Senanda, Juliana Peña Niño, Staff Senior, National Resource Governance Institute, mengungkapkan daerah penghasil batubara di La Guajira dan Cesar di Kolombia sangat bergantung pada royalti dari industri batubara. Ia mengatakan hampir 50% pendapatan daerah tersebut berasal dari royalti batubara dan pada gilirannya memiliki ekonomi yang kurang terdiversifikasi.

“Pemerintah perlu memanfaatkan royalti ini untuk mengarahkan investasi ke arah diversifikasi ekonomi. Tantangannya, pemerintah setempat tidak mempunyai kapasitas untuk mengakses sumber daya ini dan merumuskan proyek ekonomi alternatif,” jelasnya.

Lebih lanjut, membahas tentang transisi energi di Afrika Selatan, Muhammed Patel, Ekonom Senior, Trade and Industrial Policy Strategies, memandang pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) merupakan cara yang ideal untuk mendorong partisipasi masyarakat. Namun, pendekatan ini cenderung sulit dilakukan karena pendekatan umum yang dilakukan di Afrika Selatan bersifat atas ke bawah (top-down).

“Banyak kebijakan energi dibuat di tataran nasional, sementara pemerintahan di tingkat sub nasional sering kewalahan dengan keterbatasan pendanaan di daerah. Tidak hanya itu, dari segi kapasitas, pemerintah daerah cenderung mempunyai keterbatasan. Bahkan untuk memenuhi pelayanan pokok saja, sering kali pemerintah daerah bergantung pada sektor swasta,” imbuh Patel.

Di Afrika Selatan, gerakan masyarakat sipil juga menyuarakan isu transisi energi dengan banyak cara, melakukan perlawanan misalnya dengan membawa berbagai kasus terkait pencemaran udara dari pabrik di Afrika Selatan, melakukan advokasi ke pemerintah dan melakukan pelibatan masyarakat.

“Jika gerakan tersebut berupa menentang ketidakadilan, terutama ketika melibatkan komunitas rentan dan operasi industri berat, kerap kali organisasi masyarakat sipil sulit mendapat dukungan dari pihak lain, Hal ini membuat mereka seperti berjuang sendiri,” ungkap Patel.