Bali Solar Gathering: Mendorong Ekosistem Pemanfaatan PLTS Atap di Provinsi Bali

Denpasar, 25 November 2025 – Padatnya aktivitas sektor pariwisata Bali menjadikan listrik sebagai kebutuhan fundamental, terutama dengan semakin banyaknya fasilitas penginapan, perbelanjaan, atraksi dan mobilitas yang meningkat. Melihat tren tahun 2023-2024 yang menunjukkan bahwa konsumsi listrik terbesar, yaitu sekitar 50%, berasal dari sektor bisnis (Badan Pusat Statistik, 2024), Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa peran dan kontribusi sektor bisnis sangat krusial dalam membangun sistem energi yang mandiri, bersih, dan berkelanjutan. Peran ini tidak hanya penting bagi pencapaian Bali Emisi Nol Bersih 2045, tetapi juga bagi ketahanan dan keberlanjutan perekonomian Provinsi Bali.  

Sebagai langkah awal dalam meningkatkan pelibatan sektor bisnis, IESR menyelenggarakan Bali Solar Gathering, sebuah forum yang mempertemukan para pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di sektor bisnis dan industri pariwisata Bali untuk berbagi pengalaman, tantangan, solusi, perkembangan kebijakan terbaru, serta rekomendasi kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekosistem PLTS atap di Bali. 

Kehadiran para peserta Bali Solar Gathering yang terdiri dari 20 pelaku bisnis dan empat orang perwakilan lembaga pemerintah, menunjukan adanya minat dari para pelaku bisnis dan industri pariwiasata dalam mendukung praktik-praktik keberlanjutan, termasuk dengan penggunaan PLTS atap. Selain dihadiri oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia, sebagian besar peserta yang hadir adalah mereka yang telah menggunakan PLTS atap dalam bisnis-nya.  

Kebijakan energi terbarukan yang telah diberlakukan di Bali mendapat apresiasi dari para peserta karena dinilai mendukung percepatan instalasi PLTS atap. Namun demikian, hilangnya skema ekspor-impor listrik menjadi salah satu hal yang disayangkan karena membuat kelebihan produksi listrik dari PLTS atap tidak lagi memiliki nilai ekonomis. Kondisi ini, menurut Heruanda Alviana Giska B. (Heru), Senior Building Energy Engineer Eco-Mantra, turut menurunkan minat sebagian klien untuk menggunakan PLTS atap. 

Heru mengatakan “Instalasi panel surya tidak hanya soal teknis, tetapi juga aspek bisnis. Teknologi modul, inverter, dan baterai saat ini sudah sangat maju dan mudah diakses. Namun, keuntungan finansial bagi pelanggan tetap menjadi pertimbangan penting. Sebelumnya, terdapat skema di mana pelanggan PLN dapat mengekspor kelebihan listrik dari PLTS Atap mereka ke jaringan PLN, sebuah peluang yang sangat menguntungkan dan menarik. Sayangnya, skema tersebut kini ditiadakan, sehingga menjadi pertimbangan tambahan bagi pelanggan yang ingin memasang PLTS Atap di rumah. Tentu kami berharap skema ekspor–impor ini dapat diberlakukan kembali di masa mendatang.” 

Meski masih ada tantangan, salah satu highlight dari sesi diskusi bersama para narasumber adalah diperlukannya kreatifitas dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Misalnya, kendala teknis seperti keterbatasan ketersediaan atap dapat ditangani dengan solusi sewa atap dari bangunan lain atau integrasi PLTS di area alternatif, sebagaimana telah diterapkan di area parkir kantor Disnaker ESDM Provinsi Bali.  

Dengan kuatnya tradisi seni dan budaya di Bali, Suzy Hutomo, Co-Founder Eco Tourism Bali menyampaikan adanya peluang eksplorasi integrasi unsur estetika ke dalam desain instalasi PLTS atap sehingga lebih sesuai dengan karakter lokal.  

“Di Bali, aspek budaya merupakan pertimbangan penting, jika panel surya bisa dijadikan sebagai bagian dari unsur arsitektur Bali, panel dapat menyatu dengan desain bangunan adat. Misalnya, panel surya bisa didekorasi dengan ukiran khas Bali atau dirancang dengan pola tradisional,” ujar Suzy. 

Di sisi lain, Marc-Antoine Dunais, Founder dan Director Catalyze, menekankan bahwa komunikasi tentang nilai-nilai keberlanjutan (sustainability) harus dilakukan secara jujur dengan menghindari jargon dan klaim berlebihan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.  

“Komunikasi yang jujur membangun kredibilitas, dan kita tengah berada di situasi dimana kepercayaan terhadap bisnis menurun, terutama dalam hubungannya dengan keberlanjutan lingkungan dan komitmen iklim,” kata Marc. 

Pendekatan komunikasi yang autentik dinilai lebih efektif dalam memperkuat daya saing usaha, terutama di tengah meningkatnya skeptisisme publik terhadap praktik keberlanjutan dan maraknya fenomena greenwashing. 

Melalui Bali Solar Gathering, diharapkan semakin banyak pelaku usaha dan industri pariwisata yang tergerak untuk mengambil peran aktif dalam pemanfaatan energi bersih, khususnya PLTS atap. Dengan kolaborasi yang terus diperluas, Bali dapat mempercepat transisi energi bersih dan semakin mendekat pada visi Bali Emisi Nol Bersih 2045. 

Share on :