Jakarta, CNBC Indonesia- Pemerintah baru saja mengeluarkan peraturan terkait penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap bagi pelanggan PLN. Namun, pengamat menilai, peraturan ini tidak akomodatif untuk menunjang investasi energi baru terbarukan (EBT) di bidang kelistrikan.
“Peraturan ini tidak merugikan pelanggan karena baru sekitar 600 pelanggan PLN yg menggunakan PLTS Atap, tetapi peraturan ini membuat investasi listrik surya atap kurang menarik bagi pelanggan rumah tangga, komersial/bisnis, dan industri,” terang pengamat energi Fabby Tumiwa kepada CNBC Indonesia, saat dihubungi Senin (26/11/2018).
Fabby menilai, Permen ini dibuat untuk melindungi kepentingan PLN dan gagal melihat peluang pengembangan listrik Surya atap di Indonesia. Dari studi pasar yg dilakukan GIZ INFIS dan IESR pda Agustus-September 2018, terdapat potensi 2% early adopter dan 11% early follower rumah tangga di Jabodetabek.
Lebih lanjut, Fabby mengatakan, dari yang 11% tersebut, ekspektasi mereka dalam memasang PLTS Atap adalah penghematan listrik sekitar 30-40% dari tagihan bulanan.
Fabby mengakui, memang penghematan terjadi sesuai kapasitas yang dipasang, tapi interpretasinya adalah potensi pasar tersebut berharap tidak ada penurunan tarif impor ke PLN, atau dengan skema net metering, skemanya impor-ekspor 1:1.
Fabby mengatakan, dalam Permen 49/2018, tarif impor ke PLN hanya 65% dari tarif listrik, jadi masyarakat mensubsidi PLN melalui produksi listrik surya. Selain itu, perhitungan kelebihan atau tabungan kWh hanya berlaku 3 bulan, padahal kalau lihat aturan PLN sebelumnya, tarif net metering 1:1 dan perhitungan kelebihan energi akan diulang setiap akhir tahun.
“Dalam hal ini Permen ini tidak lebih maju dari pada PLN sebelumnya,” pungkas Fabby.
Sumber: cnbcindonesia.com.