JAKARTA, KOMPAS.com – Bauran energi dalam megaproyek 35.000 megawatt (MW) dikritisi.
Pasalnya, komposisi batubara dalam proyek tersebut terlalu dominan dan kurang ideal untuk pengembangan industri pendukungnya.
Pengamat ketenagalistrikan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, industri tambang batubara saat ini sudah memasuki tahap mapan (mature) dan tergantung pada keseimbangan pasokan dan permintaan.
Kalau permintaan tinggi, maka lazimnya pasokan akan mengikuti, apalagi sumberdaya di Indonesia cukup besar.
“Tapi yang perlu diperhatikan adalah untuk jangka panjang. Permintaan batubara diprediksikan turun, karena kalau dilihat dalam 10 tahun terakhir pembangunan PLTU secara global menurun,” kata Fabby kepada KOMPAS.com, Jakarta, Senin (7/3/2016).
Selain pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menurun tersebut, regulasi di sektor energi juga mengarah pada pengendalian perubahan iklim.
Atas dasar itu, pertumbuhan pembangunan PLTU dalam 10-15 tahun yang akan datang, diperkirakan alami stagnasi.
(Baca : Pemerintah Diminta Beli Lebih Mahal agar Pasokan Batubara untuk PLTU Terjaga)
Menurut Fabby, permintaan batubara akan terancam, seiring menurunnya pembangunan PLTU.
Daripada menggenjot sektor tambang untuk menyediakan kebutuhan batubara bagi PLTU, pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan sektor energi baru terbarukan.
Dia bilang, sebaiknya pemerintah lebih rasional dalam menerapkan bauran energi di megaproyek 35.000 MW.
“Agar ekspansi tambang batubara tidak terlalu banyak, dan permintaan batubara juga tidak melonjak,” ujar Fabby.
Sebagai informasi, dalam rencana megaproyek 35.000 MW, porsi dari PLTU batubara sebanyak 20.000 MW.
Sampai saat ini sudah ada penandatanganan kontrak power purchase agreement (PPA) sebesar 17.000 MW, dengan 10.000 MW di antaranya dari batubara.
Sumber: Kompas.com.