Kompas.com – Isu keselamatan energi nuklir kembali menghangat karena kecelakaan di PLTN Fukushima Daiichi, Jepang, 11 Maret lalu. Sikap pro dan kontra terhadap penggunaan energi nuklir tidak hanya muncul di masyarakat, tetapi juga di pemerintahan.
Menurut Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Imam Hindargo, sebelum menggunakan energi nuklir, optimalkan dahulu sumber energi terbarukan. ”Jangan ke energi nuklir jika belum siap. Bukan hanya soal kesiapan lingkungan, tetapi juga apabila terjadi kebocoran radiasi dan dampak limbah nuklir bagi kesehatan. Pengembangan energi nuklir tidak mudah meskipun energi nuklir murah dan efisien,” katanya.
Menurut Imam, diperlukan persetujuan masyarakat tempat PLTN akan dibangun. Masyarakat perlu mengetahui dengan baik dan benar dampak serta manfaat energi nuklir dan kesiapannya sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian.
Guru Besar ITB Bidang Fisika Reaktor dan Keselamatan Reaktor Zaki Su’ud menyatakan, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi adalah pelajaran jika ingin membangun PLTN. ”Harus dicari rancangan reaktor generasi terbaru, yaitu generasi keempat atau ketiga plus yang mengadopsi sirkulasi alami,” katanya.
Pemilihan tapak atau bakal lokasi juga sangat penting. Jepara, menurut Zaki, merupakan salah satu daerah yang kecil intensitas gempanya. Meskipun demikian, marjin keselamatannya tetap harus diperhatikan.
Jika di salah satu calon lokasi PLTN di Bangka Belitung gempa diperkirakan mencapai 6 skala Richter (SR), misalnya, sebaiknya berikan marjin isolasi gempa sampai 9-9,5 SR. ”Dari segi pembiayaan mungkin boros, tetapi bisa bertahan cukup baik. Jangan pelit investasinya dan jangan lihat nilai ekonomisnya saja,” tutur Zaki. Perubahan sikap di masyarakat juga penting, seperti disiplin, sikap sungguh-sungguh, dan bertanggung jawab.
Syarat lain, menurut Muhammad Nur, Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia Cabang Jawa Tengah dan dosen Universitas Diponegoro Jurusan Fisika Atom dan Nuklir, adalah kesiapan otoritas nuklir, seperti Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional, serta pengguna listrik PLTN, yakni PT PLN.
Meskipun dampak ledakan reaktor nuklir Fukushima belum jelas, Muhammad Nur optimistis. ”Saya melihat secara holistis dan jangka panjang. Bagi Indonesia, PLTN akhirnya akan dimanfaatkan juga. Sebagai ilmuwan, kita tidak boleh terjebak pada pro dan kontra pembangunan PLTN,” ujarnya.
Tidak tepat
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi, menegaskan, nuklir bukan termasuk kategori energi baru seperti tercantum dalam Peraturan Presiden RI Nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. ”Energi baru haruslah yang menggunakan teknologi baru, seperti hidrogen dan fuel cell. Pada nuklir hanya fase teknologinya yang berkembang,” ujar Guru Besar Elektronika Universitas Indonesia itu.
Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menegaskan, memasukkan nuklir sebagai energi baru berkonsekuensi otomatis pemerintah punya tambahan sumber pengeluaran. ”Energi baru dan terbarukan selalu butuh insentif pengembangannya. Ini belum memasukkan pertimbangan strategis geopolitik,” ujar Tumiwa.
Lambatnya perkembangan energi terbarukan disebabkan ketidakseriusan pemerintah memberi insentif pengembangan pada riset, teknologi, dan penciptaan pasar. Padahal, diversifikasi energi sudah dicanangkan sejak 1980-an.
Tumiwa mencontohkan, India butuh 15 tahun mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin. Jepang butuh 70 tahun untuk menyempurnakan teknologi tenaga surya. Di Indonesia, pengembangan listrik panas bumi baru didorong tahun 2007 setelah undang-undang pengembangan panas bumi. Pengembangannya terkendala belum disepakatinya harga beli listrik.
Rinaldy sependapat. Ia mencontohkan, target pengembangan energi surya dalam KEN menjadi hanya 10 persen dari potensi, tenaga air 50 persen, dan panas bumi 60 persen.
Anggapan listrik tenaga nuklir murah juga tidak tepat. Herman Darnel Ibrahim, anggota DEN yang mantan Direktur Transmisi PLN, mengemukakan, biaya membangun PLTN 4 juta-5 juta dollar AS per MW.
Perkembangan di Jepang mendorong biaya bakal semakin mahal karena membesarnya tuntutan keselamatan reaktor. Ini belum lagi ketergantungan pada negara lain dalam penyediaan bahan bakar (uranium), teknologi dan sumber daya manusia, serta posisi geografis Indonesia yang rawan gempa. (har/dot)
sumber: http://nasional.kompas.com.