Jakarta, 28 Agustus 2025 – Dalam lima tahun terakhir, Tiongkok semakin memperkuat perannya dalam agenda transisi energi global dengan membangun industri komponen energi terbarukan seperti industri surya dan angin, serta kendaraan listrik. Pertumbuhan industri yang masif ini didorong oleh salah satunya target kapasitas terpasang energi terbarukan Tiongkok. Pada 2024 saja, kapasitas terpasang untuk PLTB di Tiongkok mencapai 520 GW, dan energi surya sebesar 890 GW. Dengan capaian ini, Tiongkok telah melampaui target kapasitas terpasang energi terbarukan pada 2030 yakni 1,2 TW.
Manajer Program Diplomasi Energi dan Iklim Institute for Essential Services Reform (IESR), Arief Rosadi, dalam webinar diseminasi studi China’s Role in the Global Energy Transition menyatakan bahwa capaian Tiongkok pada hari ini merupakan hasil dari proses perencanaan strategis dan adanya kerangka kebijakan industri yang konsisten selama beberapa dekade ke belakang.
Arief menyebut selain pembangkit listrik, Tiongkok juga muncul sebagai pasar dan produsen kendaraan listrik terbesar, menyumbang hampir 80 persen pertumbuhan penjualan kendaraan listrik global pada tahun 2024. Selain itu, 38 persen investasi global untuk transisi energi juga berasal dari Tiongkok.
“Ke depannya, kedua negara memiliki potensi yang signifikan. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia dan Asia Tenggara, Tiongkok dan Indonesia berada di posisi strategis untuk menunjukkan kepemimpinan iklim dan membentuk arah pembangunan ekonomi dan hijau global. Indonesia dapat belajar dari pengalaman Tiongkok dalam meningkatkan energi terbarukan, sementara Tiongkok dapat memainkan peran kunci dalam memenuhi kebutuhan investasi energi bersih Indonesia,” kata Arief.
Angga Kusuma, penulis kajian China’s Role in the Global Energy Transition, menyatakan bahwa Salah satu kunci keberhasilan Tiongkok dalam mengakselerasi pertumbuhan industri rendah karbon adalah adanya upaya terintegrasi mencakup sektor swasta, perusahaan milik pemerintah, dan lembaga keuangan.
“Pemerintah secara efektif melibatkan perusahaan swasta dan bank nasional dalam pembangunan hijau, mendorong inovasi, dan menyediakan pendanaan untuk perluasan pasar,” kata Angga.
Ma Yu, Research Analyst Sustainable Transition Center (Energy Program), WRI China, mengatakan bahwa percepatan pengembangan energi terbarukan membutuhkan kerangka kebijakan yang mendukung (enabling policy), dialog multi aktor, dan adanya dukungan untuk pembelajaran dan penelitian yang memadai.
“Salah satu kebijakan penting ada pada tahun 2015 dengan rencana “Made in China 2025”, yang bertujuan untuk mengubah Tiongkok dari manufaktur dengan produktivitas rendah menjadi tinggi. Rencana ini menetapkan target 70% kendaraan listrik dan hibrida yang dijual di Tiongkok akan diproduksi oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok pada tahun 2020 dan 80% pada tahun 2025,” kata Ma Yu.
Kebijakan ini menjadi landasan yang membuat produsen energi bersih Tiongkok percaya diri untuk berekspansi dari skala nasional ke skala global. Setelah bergabung dengan Perjanjian Iklim Paris pada tahun 2016, strategi industri Tiongkok semakin selaras dengan tujuan iklimnya.
Fahmi Islami, Lead Consultant Mandala Consulting, menyoroti masifnya investasi perusahaan Tiongkok di Indonesia, dan dominasi Tiongkok dalam industri hilirisasi mineral kritis seperti nikel. Salah satu temuan adalah penggunaan PLTU captive dalam kegiatan operasional smelter nikel, sementara hasil nikel akan digunakan untuk mendukung perkembangan teknologi rendah karbon.
“Terdapat perbedaan standar operasional perusahaan Tiongkok yang beroperasi di sana (Tiongkok) dengan yang beroperasi di overseas seperti Indonesia salah satunya penggunaan sumber energi fosil di Indonesia. Mereka akan mengacu pada hukum dan aturan lokal yang berlaku, jadi mestinya kita bisa menerbitkan aturan yang meminta mereka juga melakukan upaya dekarbonisasi dalam operasionalnya seperti mengurangi penggunaan PLTU captive,” kata Fahmi.
IESR merekomendasikan negara-negara global selatan yang ekonominya sedang tumbuh termasuk Indonesia untuk mengambil momentum naiknya kepemimpinan Tiongkok dalam pengembangan ekosistem energi terbarukan dan rendah karbon sebagai kesempatan untuk percepatan transisi energi dan pertumbuhan ekonomi rendah karbon.