Belajar dari Tiongkok: Mempercepat Transformasi Hijau Kawasan Industri Indonesia

Beijing, 27 Oktober 2025 – Dalam upaya memperkuat arah transformasi industri menuju keberlanjutan, delegasi Indonesia yang terdiri dari perwakilan Himpunan Kawasan Industri (HKI), Kementerian Perindustrian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM serta Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan kunjungan kerja ke Tiongkok. Selama tiga hari, delegasi menjelajahi dua pusat industri utama, yaitu Beijing dan Tianjin, untuk mempelajari langsung bagaimana Tiongkok menata ulang kawasan industrinya menjadi lebih hijau, efisien, dan berdaya saing global. 

“Kawasan industri bukan hanya tempat produksi, tetapi juga ruang untuk berinovasi dan berevolusi. Kami ingin melihat bagaimana transformasi hijau bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi baru,”  Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menyampaikan dalam pembukaan acara. 

Kolaborasi untuk Kawasan Industri Hijau 

Kegiatan dimulai dengan “China–Indonesia Industrial Parks Green Development Conference” pada 27 Oktober di Chinese Academy of Sciences (CAS), Beijing. Konferensi ini menandai komitmen bersama untuk mempercepat transformasi hijau kawasan industri melalui transfer teknologi, penyusunan standar, dan pengembangan proyek percontohan menjelang COP30. 

Indonesia saat ini memiliki 173 kawasan industri, di mana 57 di antaranya berlokasi di Jawa. Pemerintah mulai menerapkan kerangka Eco-Industrial Park (EIP) atau Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan (KIBL) berdasarkan regulasi baru tahun 2024 yang menekankan empat aspek penting: tata kelola, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Di sisi lain, Tiongkok telah lebih dulu mempraktikkan hal serupa dengan lebih dari 400 kawasan industri nasional, yang menyumbang 25% PDB dan hampir setengah dari total ekspor negara tersebut. 

Salah satu contoh sukses adalah Beijing E-Town Zero-Waste Park, kawasan industri yang berhasil menekan limbah melalui insentif fiskal, perencanaan berbasis data, dan sistem pemantauan cerdas. “Insentif fiskal menjadi kunci. Di E-Town, pemerintah mengalokasikan lebih dari 440 juta yuan untuk mendorong efisiensi sumber daya di lebih dari 800 proyek,” ungkap perwakilan dari Beijing E-Town Development Agency. 

Diskusi juga menyoroti pentingnya integrasi energi bersih dalam sistem kawasan industri. Indonesia masih menghadapi tantangan ketergantungan pada batu bara, sementara Tiongkok mulai menerapkan hourly grid-carbon factor untuk menghitung intensitas emisi listrik secara real-time. Teknologi ini memungkinkan perusahaan memverifikasi jejak karbon produknya, sejalan dengan mekanisme Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Eropa. 

Tak hanya soal energi, praktik pengelolaan air dan limbah di Tiongkok juga menjadi perhatian. Sistem seperti pemisahan air hujan dan limbah, pemantauan daring, hingga Zero Liquid Discharge (ZLD) terbukti menurunkan polusi dan meningkatkan efisiensi operasional. Delegasi Indonesia mencatat peluang besar untuk mengadaptasi praktik ini, terutama di kawasan industri lama yang masih menggunakan sistem pengolahan konvensional. 

Konferensi ini diikuti oleh perwakilan dari beragam institusi termasuk Research Center for Eco-Environmental Sciences (CAS), All-China Environment Federation, Belt & Road Eco-Industry Cooperation, dan perusahaan penyedia teknologi dan pengelola kawasan industri. 

Share on :