Serba Serbi PLTN
Benarkan PLTN Aman?

Adanya Anggapan:
“Bahaya dan risiko PLTN dapat ditekan dan diatasi dengan pengelolaan dan tata kelola yang tepat. Oleh karena itu, PLTN harus diprioritaskan sebagai pembangkit listrik.”
Namun:
Meskipun pengelolaan risiko dapat dilakukan, pembangunan PLTN tetap memiliki risiko yang signifikan dan sering mengalami keterlambatan dalam periode konstruksi, membuatnya bukan pilihan yang paling efisien atau cepat untuk menurunkan emisi.
Penjelasan:
- Meski dengan pengelolaan yang sesuai standar, risiko/bahaya PLTN tetap ada sesuai UU No. 30/2007 tentang energi, penggunaan PLTN sebagai pilihan terakhir dari berbagai pilihan teknologi penyediaan energi yang lain.
- Reaktor generasi 4 yang diklaim sebagai teknologi yang aman, belum ada contoh proyek komersilnya. Hal ini menunjukkan klaim aman dan teknologi yang sudah mature belum terbukti untuk skala komersial.
- Kapasitas nuklir global (Statista, 2023) trennya cenderung stagnan dalam 10 tahun terakhir.
- Durasi pembangunan PLTN rata-rata 7-10 tahun (Statista, 2023). PLTN yang saat ini dalam pengembangan diputuskan setidaknya 7 tahun lalu, saat perkembangan energi terbarukan belum menjanjikan seperti sekarang.
- Dalam 10 tahun terakhir, biaya pembangkitan energi terbarukan terpantau terus turun (Economist Impact, 2022). Hal ini membuat pilihan teknologi energi terbarukan semakin ekonomis.
- Teknologi nuklir First-of-a-Kind (FOAK), termasuk reaktor thorium-MSR berdasarkan sifatnya, berpotensi menghadirkan tantangan signifikan dalam hal biaya dan jadwal konstruksi seperti yang diilustrasikan dalam gambar di bawah ini.
- Studi proyek Gen-III/III+1 (OECD, 2020) mengungkapkan tren yang mengkhawatirkan: lima proyek FOAK terakhir mengalami penundaan konstruksi, melampaui perkiraan awal hingga 2,3 kali lipat. Selain itu, proyek-proyek ini telah mengeluarkan biaya yang 2,3 kali lebih tinggi dari anggaran yang diumumkan sebelumnya. Bahkan teknologi terbaru, seperti Small Medium Reactor (SMR) yang dicontohkan oleh Vogtle 3 dan 4, telah menghadapi tantangan serupa seperti proyek FOAK Gen III. Masalah yang berulang ini di berbagai teknologi menggarisbawahi perlunya pemeriksaan kritis terhadap risiko yang terkait dengan PLTN FOAK.
- Bagan di bawah adalah ilustrasi besaran pengurangan risiko di setiap fase. Namun, terkait PLTN FOAK, kita dapat membayangkan risiko yang cukup besar yang terlibat dalam konstruksi/pembiayaan, premi risiko perizinan mengingat rekam jejak FOAK yang buruk. Akibatnya, biaya asuransi (mencakup semua risiko konstruksi, keterlambatan dalam memulai, logistik, kewajiban pemangku kepentingan, dan faktor lingkungan) untuk belanja modal (CapEx) proyek PLTN FOAK kemungkinan besar akan substansial, belum lagi asuransi belanja operasional awal (OpEx). Selain itu, dengan bunga selama konstruksi dan risiko keterlambatan yang tinggi, pemangku kepentingan, terutama EPC, mungkin perlu menanggung risiko tinggi pada awalnya dan memegang saham ekuitas yang signifikan untuk menunda pembayaran hingga mendekati COD.
Penjelasan: Terdapat sejumlah berita yang mengangkat isu nuklir dan menyoroti keunggulan nuklir mulai dari kemampuan menghasilkan energi yang berbiaya kompetitif (Media Indonesia, 2021) :
- Walaupun dinilai sebagian orang merupakan energi bersih, nuklir menghasilkan limbah radioaktif (IESR, 2021) yang membutuhkan tata kelola proyek yang tegas dan detail. Dengan tata kelola proyek yang paling baik pun belum ada teknologi yang aman untuk mencegah kecelakaan PLTN (risiko selalu ada).
- Secara pembiayaan, dalam struktur pembiayaan pembangkit listrik, terdapat dua basis (OJK, 2014) yang umum digunakan yaitu: sumber daya terbatas dan sumber daya. Pada konteks Indonesia, karena tidak ada aset yang ada untuk pembangkit listrik tenaga nuklir pertama, pembiayaan sumber daya terbatas, yang juga dikenal sebagai pembiayaan proyek (project financing), digunakan. Hal ini berarti modal yang diperoleh hanya didukung oleh proyek itu sendiri, sama seperti sebagian besar proyek energi terbarukan. Dalam hal ini, entitas perusahaan terpisah, yang bertindak sebagai perusahaan wahana tujuan khusus (Special Purpose Vehicle, SPV), didirikan untuk mengembangkan dan mengoperasikan PLTN. Entitas tersebut terutama didanai oleh pendapatan berbasis bisnis dan beberapa investor sebagai sponsor.
- Seperti halnya banyak PLTN yang telah beroperasi (World Nuclear Association, 2024), pembiayaan publik (pemerintah) dimanfaatkan untuk mengamankan keterlibatan pemerintah dan memastikan kepemilikan mayoritas dalam proyek, sehingga memudahkan akses ke utang yang hemat biaya. Demikian pula, perusahaan Special Purpose Vehicle (SPV) PLTN (Indonesia Business Post, 2023) bertujuan untuk bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membentuk entitas operasional bersama, yang selanjutnya memperkuat keterlibatan pemerintah dalam proyek melalui BUMN. Jadi, dalam hal ini, uang publik (pemerintah) melalui BUMN akan dilibatkan dalam proyek tersebut.
- Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesia, kita perlu memahami risiko yang dihadapi oleh BUMN, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk pemasok EPC untuk komponen/konstruksi. Saat ini, karena proyek PLTN belum mencapai tahap perizinan dan lelang oleh offtaker, akumulasi risiko, seperti premi risiko lelang, premi risiko konstruksi/pembiayaan, premi risiko operasional, premi risiko volume, risiko regulasi/tak terduga, masih sangat tinggi, yang menunjukkan risiko gagal bayar yang tinggi. Seiring berjalannya proyek, aset terakumulasi, sehingga mengurangi risiko. Namun, sejak awal hingga tahap COD, aturan melarang penjualan aset tersebut ke pihak lain.

Kata IESR
Meskipun nuklir dikenal rendah emisi dan energi yang stabil, namun pengelolaan limbah radioaktif, risiko kecelakaan dan tantangan pembiayaan proyek PLTN di Indonesia menunjukkan bahwa risiko pengembangan PLTN tetap ada sepanjang fase konstruksi dan perizinan. Semua hal ini harus diperhitungkan oleh semua pemangku kepentingan.
“Studi proyek Gen-III/III+ menujukkan tren penundaan konstruksi PLTN hingga 2,3 kali lipat dan biaya yang melonjak 2,3 kali lebih tinggi dari perkiraan awal, termasuk pada teknologi terbaru seperti Small Medium Reactor (SMR). Masalah yang berulang ini menunjukkan perlunya pemeriksaan kritis terhadap risiko besar terkait dengan proyek PLTN FOAK, termasuk biaya asuransi dan risiko keterlambatan yang signifikan.”
– Pintoko Aji, Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan, IESR
Penjabaran untuk
Anak (14-18 tahun):

Mini seri dokumenter The Meltdown: Three Mile Island (rilis di 2022) dapat dijadikan bahan komunikasi dengan pendampingan. Mini seri ini memberikan gambaran kecelakaan yang terjadi di Three Mile Island tahun 1979 meski kawasan ini telah menerapkan protokol pengamanan yang direkomendasikan. Kecelakaan ini dipicu oleh kombinasi kerusakan peralatan, masalah terkait desain, dan kesalahan pekerja menyebabkan pelelehan sebagian TMI-2 dan pelepasan radioaktivitas yang sangat kecil di luar lokasi(NRC, 2024). Lepasan radioaktif ini, meski dalam jumlah yang sangat kecil, membuat kawasan reaktor TMI-2 ditutup permanen, dan kawasan Three Mile Island ditutup selama 14 tahun untuk pembersihan. Dari peristiwa ini pula, pemerintah Amerika Serikat merevisi aturan terkait desain pembangkit nuklir untuk skala komersial serta protokol pekerja di lokasi pembangkit.
Mini Seri The Days yang tersedia di Netflix juga dapat menjadi bahan komunikasi yang mendukung tentang risiko kecelakaan PLTN. Mengangkat peristiwa kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi di Jepang pada tahun 2011, serial ini memberikan gambaran tiga perspektif yaitu pemerintah, organisasi perusahaan, serta mereka yang mempertaruhkan nyawanya dalam memandang suatu fenomena.
Serial The Days secara kedekatan situasi akan lebih relevan dengan situasi dan konteks Indonesia saat ini.
Kapasitas energi nuklir secara global terus turun. Hal ini berarti risiko yang dibawa oleh PLTN tidak sebanding dengan biaya dan energi yang dihasilkan. Selain itu, perkembangan teknologi energi terbarukan sudah mampu menghasilkan listrik yang lebih bersih dengan lebih aman (risiko keamanan tidak sebesar PLTN). Kebutuhan untuk menghasilkan listrik yang bersih dan aman dapat dipenuhi dengan optimalisasi variabel energi terbarukan seperti angin dan matahari.
Penjabaran untuk
Dewasa (19 tahun ke atas):
Penggunaan nuklir dalam berbagai skala besar juga membawa risiko penggunaan yang besar. Risiko penggunaan nuklir yang paling berbahaya adalah kebocoran radiasi. Teknologi terbaru nuklir yang paling aman saat ini belum ada.
Selain tata kelola yang harus ketat penggunaan energi nuklir dalam kapasitas besar, yang harus diperhatikan juga pembiayaan adalah tren kapasitas energi nuklir secara global yang terus menurun dan waktu pembangunan pembangkit nuklir yang relatif lama.
Setiap kecelakaan nuklir seperti Three Mile Island, Fukushima, maupun Chernobyl, berujung pada penutupan area pembangkit hingga mencapai puluhan tahun. Kecelakaan PLTN bersifat seperti kecelakaan pesawat (jarang namun setiap kecelakaan fatal). Seiring perkembangan teknologi yang semakin advanced, untuk menghasilkan energi bersih teknologi energi terbarukan dapat diprioritaskan.