Energi merupakan kebutuhan mendasar manusia modern, dan akses energi yang berkualitas berkontribusi pada pembangunan manusia. Paradigma penyediaan akses energi Indonesia saat ini masih terfokus pada ketersambungan dan tidak memiliki definisi yang terstandar dengan indikator kualitas; sehingga pemerataan akses energi belum mampu menjawab bagaimana akses energi akan berdampak pada kegiatan produktif masyarakat dan layanan umum. Untuk membahas penyediaan akses energi ini, Institute for Essential Services Reform menyelenggarakan diskusi publik daring dengan tema “Beyond 100%: Mendorong Penyediaan Akses Energi Berkelanjutan dan Berkualitas di Indonesia” dan mengundang perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian ESDM, dan Yayasan Dian Desa.
Menurut Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR), Indonesia masih bicara soal target listrik dalam bentuk angka dan persen, sedangkan dimensi penyediaan energi lainnya belum menjadi perhatian serius. Kesejahteraan masyarakat bisa dicapai bila energi bisa dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif, dan karenanya energi harus tersedia dengan kualitas yang baik dan terjangkau. Dalam konteks pembangunan, akses energi tidak bisa dimaknai secara biner dan harus mencakup kualitas, kehandalan, kecukupan, keterjangkauan, penerimaan masyarakat, kelayakan lingkungan, dan manfaat sosial-ekonomi berganda.
Cakupan dimensi akses energi ini sering disebutkan dalam kebijakan, namun hilang saat diturunkan dalam aktivitas. Contohnya, saat pemerintah berbicara mengenai elektrifikasi dan ingin mendorong elektrifikasi 100%, pemerintah mengeluarkan program LTSHE (lampu tenaga surya hemat energi) – yang hanya menyediakan penerangan tanpa listrik untuk kegiatan produktif lainnya. Keluarga yang menerima LTSHE dihitung sebagai keluarga berlistrik, padahal kualitas yang diterima tidak sama dengan mereka yang tersambung ke jaringan PLN.
Menurut laporan Tracking SDG7, Indonesia mencatat pertumbuhan yang cukup baik untuk akses listrik dibanding dengan negara lain sekawasan – hampir mencapai 100% dalam 10 tahun terakhir. Namun angka ini tidak mengukur kualitas dan dimensi lainnya. Pada 2014, Bank Dunia mengembangkan multi-tier framework (MTF), model pengukuran akses energi yang memasukkan dimensi menyeluruh dan dibagi dalam klasifikasi tier. Tier 0-5 mendefinisikan ketersediaan listrik dilihat dari durasi listrik tersedia di siang dan malam hari, kapasitas alat elektronik yang dapat digunakan, hingga keterjangkauan harga. Dengan memasukkan dimensi ini, dapat dilihat bagaimana kecukupan akses energi dan apakah energi tersebut dapat menjawab kebutuhan energi untuk membangun manusia dan masyarakat.
Studi empirik IESR di NTT dan NTB menunjukkan ketersediaan listrik tidak mencerminkan kualitas dan tidak tersedia 24/7, akses listrik sudah sampai ke daerah terpencil namun tidak semua keluarga mendapat kualitas yang sama. Sebagian besar masyarakat berada di tier 2 dan tier 1, sedangkan Jawa dan kota besar umumnya menikmati listrik di tier 5. Secara historis, terdapat kesenjangan rasio elektrifikasi juga antara Indonesia barat dan timur. Perluasan akses listrik dengan program yang ada saat ini, termasuk pendekatan off-grid, perlu memasukkan aspek kualitas dan kebutuhan setempat masyarakat. Untuk daerah 3T, diperlukan perencanaan yang matang, skema kerja sama dengan swasta, model bisnis untuk off-grid, dan pilihan teknologi dengan pembiayaan yang lebih efektif.
Untuk akses pada bahan bakar memasak yang bersih, masih terdapat ketimpangan antara desa dan kota. Mayoritas penduduk di perkotaan sudah menggunakan bahan bakar modern seperti LPG dan jaringan gas, sedangkan di desa masyarakat umumnya menggunakan bahan bakar padat yang memiliki tingkat polusi dalam ruangan cukup tinggi. Saat ini pemerintah belum memiliki fokus penyediaan energi bersih memasak selain gas, dan karenanya perlu memetakan potensi energi terbarukan lainnya, misalnya biogas atau kompor biomassa bersih.
Rachmat Mardiana, Direktur Energi, Telekomunikasi, dan Informatika (Kementerian PPN/Bappenas) menyampaikan bahwa perencanaan penyediaan energi Indonesia sudah dilihat sebagai penyediaan layanan dasar, sama seperti akses pada air minum dan papan (perumahan). Fokus pemerintah untuk penyediaan listrik energi terbarukan diturunkan dalam target pembangunan pembangkit energi terbarukan, misalnya PLTS atap, floating PV, hingga pembangkit dari sampah kota. Rachmat mengakui bahwa prioritas pemerintah saat ini masih pada ketersambungan listrik dulu, dan kemudian setelah semua terlistriki maka peningkatan kualitas yang akan dilakukan. Menurutnya, pemerintah juga akan memetakan kegiatan ekonomi desa sehingga bisa menumbuhkan permintaan energi, serta meningkatkan kapasitas masyarakat untuk pengelolaan energi di desa. Begitu pula dengan pemberian subsidi energi yang diharapkan bisa lebih terarah.
Budianto Hari Purnomo, Kasubdit Pengembangan Listrik Perdesaan (DJK, KESDM), memaparkan prinsip penyediaan listrik yang selama ini dilakukan pemerintah yaitu 5K (Kecukupan, Keandalan, Keberlanjutan, Keterjangkauan dan Keadilan). Target pemerintah untuk tahun 2020 adalah akses listrik universal (100%) dengan beberapa program: perluasan jaringan PLN, LTSHE, listrik off-grid, dan tabung listrik (talis). Konsumsi listrik per kapita nasional juga menunjukkan perkembangan, saat ini berada di angka 1.093 kWh dari target 1.142 kWh. Pemerintah pada tahun 2020 berencana untuk melistriki 43 desa dengan melalui jaringan PLN untuk yang terjangkau dan talis untuk desa yang kondisi geografinya sulit. Talis akan diberikan pada pelanggan yang masuk kategori penerima subsidi listrik. Meski tidak ditujukan untuk jangka panjang, menurut Hari, talis diperlukan untuk memberikan listrik sementara karena jaringan PLN baru bisa masuk bertahun-tahun kemudian.
Wahid, Kepala Seksi Penyiapan Lisdes DJK (Kementerian ESDM) juga menambahkan bahwa kesulitan peningkatan kualitas listrik disebabkan karena beberapa faktor: data masyarakat yang sulit divalidasi, kurang rincinya data lokasi geografis dan potensi energi setempat, dan kebutuhan anggaran yang cukup besar. Untuk pemetaan yang lebih rinci, Kementerian ESDM saat ini sedang mengembangkan aplikasi MELISA – pemetaan geospasial untuk memvalidasi data kelistrikan Indonesia sehingga perencanaan listrik desa dapat dilakukan secara lebih rinci dan terintegrasi.
Prianti Utami dari Yayasan Dian Desa yang selama ini fokus pada penyediaan teknologi memasak bersih di perdesaan memaparkan mengenai status sumber energi memasak di Indonesia. Masih banyak penduduk yang menggunakan biomassa tradisional dan masih terdapat ketimpangan desa dan kota. Yayasan Dian Desa sendiri telah mengembangkan inisiatif tungku bersih (clean stove initiative) bersama Kementerian ESDM untuk penyediaan tungku bersih bersubsidi. Tingkat subsidi yang diberikan pada produsen disesuaikan dengan kinerja tungku dan jumlah pemasarannya, sedangkan Yayasan Dian Desa berperan untuk mengkaji standar, penentuan protokol pengujian tungku, dan pengembangan pusat pengujian. Inisiatif ini memiliki rencana yang cukup komprehensif, termasuk penentuan SNI dan pembuatan, namun tidak lagi menjadi prioritas pemerintah setelah asistensi dari Bank Dunia selesai pada 2016. Prianti mendorong pemerintah untuk menyelesaikan draft peta jalan, laboratorium pengujian, dan finalisasi SNI; sehingga masyarakat dapat memiliki alternatif alat masak yang bersih.
Perubahan paradigma penyediaan akses energi di Indonesia perlu terus didorong untuk mewujudkan pemerataan akses dan kualitas energi, memastikan akses tersebut berdampak luas, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan berkontribusi pada pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Materi dapat diunduh di sini dan rekaman diskusi dapat diakses di: