Dalam konteks penyediaan akses energi di Indonesia, capaian program pemerintah diukur dengan pendekatan kuantifikasi numeris dan biner, misalnya rasio elektrifikasi untuk listrik dan jangkauan distribusi elpiji untuk energi memasak. Padahal untuk menumbuhkan potensi ekonomi daerah dan mendorong pembangunan manusia berkelanjutan, akses energi tidak bisa dibatasi dengan sekadar penerangan atau ketersambungan pada jaringan distribusi elpiji; melainkan harus memasukkan perspektif pengguna akhir dan bagaimana akses energi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Pemerintah perlu memperbaiki definisi elektrifikasi di luar kuantifikasi numeris dengan menetapkan standar kualitatif penyediaan akses energi dan mempertimbangkan penyedian pasokan yang dapat mendorong aktivitas produktif serta penyediaan layanan umum yang memadai dalam perencanaan akses energi perdesaan dan daerah-daerah terpencil, demikian salah satu rekomendasi Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran laporan Beyond Connections: Meningkatkan Kualitas Akses Energi di Indonesia untuk Pembangunan Manusia yang Berkelanjutan yang dilakukan di Jakarta, Senin (11/11). Peluncuran laporan dan diskusi panel ini dihadiri lebih dari 60 peserta dari kementerian dan lembaga, PLN, organisasi non-pemerintah, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum.
Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparan pembukaan, selama ini pemerintah masih terpaku pada definisi elektrifikasi sebagai penerangan, sehingga fokus penyediaan akses listrik tidak mempertimbangkan penggunaan listrik untuk kegiatan lainnya. “Lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE), misalnya, menjadi bagian elektrifikasi padahal layanannya hanya cukup penerangan dasar. Akses energi yang berkualitas harus memasukkan aspek multi-dimensi lain, misalnya keandalan dan keterjangkauan,” kata Fabby.
Beyond Connections: Meningkatkan Kualitas Akses Energi di Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan merupakan kajian terbaru IESR yang menganalisis kebijakan dan pelaksanaan penyediaan akses energi di Indonesia, mencakup listrik dan energi untuk memasak. Kajian ini menggunakan pendekatan diagnostik berbasis multi-tier framework (MTF) yang dikembangkan oleh Bank Dunia/Energy Sector Management Assistance Program (ESMAP). MTF didesain untuk memantau dan mengevaluasi akses energi dengan mendefinisikan akses energi sebagai “kemampuan pengguna untuk mendapatkan manfaat dari energi yang memadai, tersedia ketika dibutuhkan, dengan kualitas yang baik, nyaman, terjangkau, legal, sehat dan aman untuk seluruh jasa energi yang diperlukan”. Pendekatan ini meredefinisi makna akses energi yang kebanyakan direpresentasikan sebagai perhitungan numerik (binary count) menjadi definisi yang multidimensional. MTF menggunakan klasifikasi akses energi yang dinamakan tier (tingkat) – dimulai dari Tier 0 (tidak ada akses) hingga Tier 5 (akses penuh). Angka tier yang semakin tinggi menunjukkan peningkatan kualitas layanan akses energi.
Dari 8 desa di dua provinsi yang menjadi subjek Beyond Connections, akses listrik yang diterima masyarakat masih berada di tier rendah, di mana pasokan listrik yang mereka terima hanya cukup untuk penerangan dasar dan peralatan elektronik berdaya sangat rendah dan daya rendah; sehingga tidak dapat digunakan untuk kegiatan produktif. “Masyarakat memiliki aspirasi untuk mendapatkan listrik dengan kualitas lebih baik dan memiliki kemauan membayar (willingness to pay) yang beragam, dan dengan cicilan bila dimungkinkan,” Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR memaparkan.
Selain perbaikan definisi elektrifikasi, rekomendasi lain dari kajian ini adalah adanya satu peta jalan penyediaan listrik desa yang dapat digunakan sebagai acuan tunggal untuk meningkatkan efektivitas kerja dan pembiayaan PLN, berbagai kementerian, dan pemerintah daerah yang memiliki program penyediaan akses listrik desa. Hal ini penting dilakukan mengingat selain Kementerian ESDM dan PLN, pemerintah daerah dan kementerian lain juga memiliki program penyediaan listrik desa atau yang bersinggungan dengan penyediaan akses energi perdesaan sehingga terjadi tumpang tindih rencana. Koordinasi dan sinergi pelaksanaan peta jalan nasional ini dapat berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dengan tim pelaksana yang berasal dari PLN dan berbagai kementerian serta lembaga teknis.
Untuk mempermudah pembiayaan listrik desa yang berkualitas, IESR juga merekomendasikan pengalihan subsidi listrik untuk rumah tangga 450 VA dan 900 VA tidak mampu dengan penyediaan panel surya rumah berkapasitas minimal 500 Wp, yang cukup untuk penerangan dasar dan alat elektronik berdaya menengah. Bila jaringan PLN masuk, masyarakat dapat menyambungkan sistem mereka dengan skema net-metering. Selain menyediakan listrik dengan daya yang cukup besar, subsidi listrik untuk golongan pelanggan PLN ini juga akan berkurang secara signifikan dalam tahun-tahun berikutnya.
Selain akses listrik, hasil diagnostik MTF juga menunjukkan adanya ketimpangan penyediaan akses energi untuk memasak. Desa di NTB telah menjadi sasaran Program Zero Kero (konversi minyak tanah ke elpiji), sedangkan mayoritas desa di NTT masih mengandalkan kayu bakar dan tungku tiga batu. Masyarakat yang menggunakan metode memasak tradisional dapat menghabiskan waktu hingga lebih dari 7 jam per minggu, dan kaum perempuan menjadi pihak yang terkena dampaknya. “Dampaknya tak hanya soal banyaknya waktu yang digunakan namun juga risiko kesehatan akibat terpapar asap dan risiko-risiko lainnya saat pengumpulan kayu bakar,“ Hapsari Damayanti, peneliti IESR, mengungkapkan.
Dalam konteks energi bersih untuk memasak, IESR merekomendasikan agar pemerintah memiliki kerangka kebijakan dan strategi untuk mengarusutamakan akses energi bersih memasak yang universal dan mendorong masyarakat untuk menerapkan clean cooking, termasuk membuat peta jalan nasional, perluasan konversi ke elpiji (Zero Kero), mengembangkan teknologi atau sumber bahan bakar bersih setempat, serta melakukan sinergi dengan kementerian dan lembaga lain, misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan membuka pasar teknologi energi bersih. Kajian diagnostif MTF di 8 desa ini juga menemukan bahwa masyarakat masih memilih kayu bakar meski menimbulkan beberapa masalah kesehatan; mereka cenderung enggan berpindah ke energi bersih karena memilih akses listrik terlebih dahulu dan karena kayu bakar tersedia secara gratis. Mendorong perubahan perilaku menuju clean cooking tentu memerlukan strategi khusus yang bersifat jangka panjang.
Secara substansi dari hasil paparan studi ini kemudian dibahas lebih lanjut oleh para panelis, yaitu Ferry Triansyah (Kepala Subdirektorat Penyiapan Usaha Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), Adi Priyanti (EVP Perencanaan Sistem PT PLN Persero), dan Sandra Winarsa (Program Development Manager Green Energy, Hivos Southeast Asia). Ferry menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian ESDM berkomitmen menyediakan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, berkualitas baik, dan harga yang wajar demi meningkatkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan tiga pendekatan utama: perluasan jaringan, jaringan mini dan mikro, serta sistem lepas jaringan dan LTSHE; yang disesuaikan dengan ketersediaan infrastruktur dan kondisi masyarakat. Secara kualitas, pemerintah mengatur kinerja PLN dengan regulasi tingkat mutu pelayanan (TMP), terbatas pada jaringan PLN. Ferry juga meminta masukan kepada IESR untuk memberikan standar ukuran tier dari hasil kajian ini, sehingga pemerintah dapat membuat tolok ukur untuk meningkatkan akses energi di Indonesia ke tier yang lebih tinggi.
Adi Priyanto merespon positif hasil temuan dari kajian ini, dan menyambut baik gagasan untuk melakukan proses perencanaan gabungan (joint-planning) antara IESR dan PLN untuk penyediaan energi yang lebih berkualitas. Keterbatasan perluasan jaringan PLN memang menjadi tantangan yang harus dipikirkan; untuk daerah yang memiliki penduduk tersebar sehingga perluasan jaringan tidak efektif, model penyediaan akses energi skala kecil yang terfokus pada komunitas dan energi terbarukan setempat. PLN juga mengajak IESR untuk menindaklanjuti hasil studi dengan melakukan perencanaan sistem bersama demi tercapainya akses energi berkualitas, dan merumuskannya untuk RUPTL setelah 2019.
Sandra Winarsa menuturkan bahwa hasil riset IESR sangat menarik dan informatif, dan menggarisbawahi bahwa kajian ini juga perlu dilengkapi dengan Tujuan 5 pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG), yaitu Kesetaraan Gender. Perempuan memegang peranan penting dalam penyediaan akses energi, baik listrik atau memasak, dan karenanya sangat relevan untuk dibahas. Perempuan berperan sebagai “manajer rumah tangga” dan menjadi tokoh kunci dalam mengelola energi, sanitasi, dan air; serta mendorong peningkatan produktivitas dan kesejahteraan keluarga.
Dalam peluncuran Beyond Connections ini juga jadir perwakilan PLN dari regional NTT dan NTB, yang menyampaikan perkembangan penyediaan akses listrik untuk dua daerah tersebut, utamanya tantangan geografis yang menantang dan pola pemukiman penduduk yang berjauhan. Mereka sepakat bahwa penyediaan listrik juga harus mempertimbangkan keandalan dan kualitas, sehingga dapat membantu masyarakat melakukan aktivitas dan mendapatkan akses pelayanan umum yang lebih baik.
Di akhir acara, Direktur Eksekutif IESR menutup dengan menggarisbawahi pentingnya perubahan paradigma penyediaan akses energi, yang harus menjadi bagian dari rencana jangka menengah dan jangka panjang pemerintah serta tercermin dalam kebijakan dan regulasi sektoral. Fabby juga menekankan perlunya kerjasama lintas kementerian, lembaga, dan organisasi; PLN dapat bersinergi dengan kementerian-kementerian teknis perencanaan dan penyediaan akses energi yang berkualitas dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ringkasan eksekutif Beyond Connections: Meningkatkan Kualitas Akses Energi di Indonesia untuk Pembangunan Manusia Berkelanjutan dapat diunduh di tautan ini.
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan