Reportase Memastikan Proses Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia
Jakarta, 20 Oktober — Saat ini, transisi energi yaitu perubahan dari sistem energi yang berbasis bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan, sudah menjadi fenomena global. Ancaman perubahan iklim, semakin murahnya teknologi energi terbarukan, dan pencemaran lingkungan yang disebabkan energi fosil menjadi alasan utama yang mendorong banyak negara di dunia melakukan transisi energi. Tentu saja, dalam proses transisi energi ini, ada dampak positif dan dampak negatif yang perlu diantisipasi oleh negara-negara yang melakukan transisi, termasuk Indonesia.
Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan keempat dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Ensuring a Just Energy Transition in Indonesia: Lessons learned from country case studies.
Laporan yang ditulis oleh Melina Gabriella dan Pamela Simamora ini menelaah proses transisi energi yang terjadi di Jerman, Australia, Kanada, dan Afrika Selatan dan memetik pembelajaran dari studi kasus tersebut sebagai masukan kepada pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan transisi energi di Indonesia.
Hadir di acara peluncuran secara daring tersebut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Sebagai penanggap ada Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, H. M. Aswin, Aidy Halimanjaya dari Dala Institute for Environment and Society, dan Maria Emeninta dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).
Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa menjelaskan isu transisi energi ini sangat relevan di Indonesia karena posisi Indonesia sebagai negara produsen batubara. Transisi energi akan berdampak pada industri batubara yang selama ini merupakan komoditas ekspor dan juga sebagai sumber pendapatan nasional serta daerah penghasil. Selain itu, dengan semakin kompetitifnya harga teknologi energi terbarukan yang akan membuat PLTU batubara menjadi tidak lagi ekonomis untuk dioperasikan dalam satu dekade mendatang akan berdampak pada menurunnya konsumsi batubara domestik untuk pembangkit listrik yang mencakup 90 persen dari konsumsi batubara nasional.
“Transisi energi sejatinya mengenai orang; orang yang membuat keputusan dan orang-orang yang akan terdampak dari keputusan yang dibuat. Sejak dicetuskannya Paris Agreement di tahun 2015, Indonesia sudah meratifikasi perjanjian tersebut dalam UU No.16 tahun 2016. Dengan ratifikasi tersebut, pemerintah Indonesia juga menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GHG). Salah satu cara untuk menurunkan emisi GHG di sektor energi yaitu dengan melakukan transisi energi.
Tentu saja, komitmen negara-negara di dunia yang selama ini mengimpor batubara dari Indonesia untuk bertransisi meninggalkan energi fosil akan berdampak pada masa depan industri batubara di Indonesia. Penurunan permintaan batubara dari luar negeri akan berdampak langsung pada pendapatan daerah penghasil batubara, neraca perdagangan, dan lapangan pekerjaan serta kesempatan berusaha. Untuk itulah pendekatan transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) diperlukan untuk memastikan agar pekerja dan masyarakat yang terdampak dari adanya transisi dari batubara, sungguh-sungguh diperhatikan,” tegasnya.
Melina Gabriella memaparkan definisi dari transisi energi berkeadilan adalah proses transisi energi yang memastikan semua pihak terakomodasi dengan baik atau tidak ada yang merasa ditinggal dan dirugikan serta menjamin biaya dan keuntungan (cost and benefit) yang dibawa oleh transisi energi akan didistribusikan secara merata.
Perjalanan transisi energi di empat negara ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Di daerah Rurh sebagai penghasil batubara terbesar di Jerman, membutuhkan sekitar 60 tahun untuk melakukan transisi energi. Dimulai dengan pemberian subsidi dengan jumlah yang signifikan oleh pemerintah Jerman untuk melindungi industri batubara yang mengalami kemunduran akibat berlakunya liberalisasi harga.
“Langkah ini membuat biaya transisi menjadi lebih mahal dan membuat diversifikasi ekonomi lebih lama dari yang seharusnya,”ujar Pamela.
Di Indonesia sendiri, proses transisi energi sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Padahal, transisi energi berpotensi memberikan dampak negatif seperti penurunan PDRB di daerah penghasil batubara, defisit pada neraca perdagangan, dan peningkatan jumlah pengangguran yang kehilangan pekerjaan dari industri batubara. Namun, apabila implementasi proses transisi energi berkeadilan berhasil berjalan maka akan memberikan keuntungan dan peluang bagi Indonesia, antara lain: biaya sistem kelistrikan yang lebih murah, diversifikasi ekonomi, pengembangan industri baru, munculnya lapangan kerja hijau, perbaikan kualitas udara, tanah dan air, dan penurunan biaya kesehatan masyarakat
Berdasarkan pembelajaran dari empat negara ini, IESR mendesak pemerintah untuk menyiapkan strategi dan kebijakan untuk memastikan berjalannya proses transisi berkeadilan dengan memperhatikan beberapa aspek seperti penerapan tata kelola yang baik dalam merencanakan jalur transisi energi, perlunya penciptaan kondisi yang memungkinkan untuk investasi dalam energi terbarukan, adanya konsultasi publik dan dialog sosial, penetapan kebijakan terkait perlindungan sosial dan pengembangan keterampilan,diversifikasi ekonomi, dan pembentukan mekanisme pendanaan untuk mendukung transisi yang berkeadilan.
Menanggapi laporan IESR ini, KH. M. Aswin, mengakui bahwa batubara sejak 2007 sudah menjadi penyumbang terbesar PDRB Kalimantan Timur. Namun, dia juga menyampaikan bahwa pemerintah juga sudah merencanakan transformasi ekonomi menuju ekonomi berkelanjutan, dengan kontribusi pertambangan migas dan batubara dari 45.49 persen menjadi hanya 17% di tahun 2050.
“Kita merencanakan untuk tidak lagi ekspor batubara mentah melainkan harus melalui proses hilirisasi batubara. Hanya saja saat ini kewenangan provinsi sangat terbatas. Kewenangan pemerintah daerah diambil oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya merencanakan tapi pemerintah pusat yang memutuskan,”keluhnya.
Aidy Halimanjaya berasumsi kurangnya pembahasan mengenai arah kebijakan penggunaan sumber daya di daerah disebabkan oleh miskinnya komunikasi politik di tingkat nasional dan perbedaan pengetahuan masing-masing institusi pemerintah.
“Umumnya institusi pemerintah tidak melihat sampai ke tingkatan dampak, hanya sebatas output yang tidak membutuhkan koordinasi banyak,” katanya.
Selanjutnya, Maria Emeninta menyoroti salah satu hambatan dalam mempromosikan transisi energi yang berkeadilan ini adalah inkonsistensi kebijakan pemerintah. Selain itu, ia merasa, sudah seharusnya setiap instansi saling berkoordinasi agar transisi energi berkeadilan dapat terimplementasi dengan baik.
“Transisi energi berkeadilan ini menjadi silent karena tanggung jawabnya tidak berada di KLHK yang membidangi hal ini. KLHK tidak berkoordinasi dengan Kenaker, maka isu ini menjadi tidak tersentuh sama sekali,”urainya.
IESR pun menyadari bahwa meski sudah menjadi fenomena global, isu transisi energi masih tergolong hal yang baru di Indonesia. Namun, IESR memandang bahwa perencanaan transisi energi di Indonesia menjadi penting dalam kaitannya pencapaian target penurunan suhu bumi sesuai dengan target yang ada di dalam Kesepakatan Paris.
Dengan demikian, peluncuran studi peta jalan transisi energi menjadi salah satu cara untuk mendorong pemangku kebijakan memahami isu ini dan memicu dialog. Selanjutnya, perlu menyatukan pemahaman para pemangku kebijakan dan unsur kepentingan sehingga tercipta urgensi dan rencana nyata untuk menghadapi dampak dari transisi energi ini.
“Tentu saja proses transisi energi berkeadilan tidak hanya berpengaruh pada sistem energi saja, tapi juga akan mengubah sistem ekonomi dan pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan proses konsultasi dengan berbagai pemangku kebijakan untuk mengintegrasikan isu transisi energi ke dalam rencana pembangunan nasional dan daerah,” tutup Fabby.