Pemerintah Indonesia optimis jika PTTEP Australasia akan memenuhi tuntuntan ganti rugi kebakaran kilang minyak di Blok Montara. Namun di tengah alotnya perundingan, empat anak perusahaan PTTEP di Indonesia mendapatkan konsensi pengelolaan ekplorasi minyak di Sulawesi.
Jakarta (IESR) JIka tak ada halangan, tanggal 29 Agustus 2011 nanti Pemerintah Indonesia bersama PTTEP Australasia akan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) mengenai tuntutan ganti rugi pencemaran perairan Indonesia akibat ledakan kilang minyak yang terjadi pada di Blok Montara pada Agustus 2009 lalu.
Kesepakatan ini, menurut Masnellyati Hilman, Ketua Tim Advokasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTL), merupakan langkah yang maju bagi proses perundingan. Sebab pihak PTTEP Australasia bersedia menyertakan dua poin penting, yaitu pembayaran klaim CSR sebesar US$ 2 juta dan pembayaran ganti rugi senilai Rp 23,7 triliun.
Namun dia tidak bisa merinci lebih lanjut mengenai isi kesepakatan yang akan ditandatangani di Jakarta itu, termasuk jumlah masyarakat nelayan di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao yang menjadi korban pencemaran laut tersebut.
“Dalam proses negosisasi ini memang banyak hal yang tidak bisa diumumkan ke publik, karena ini menyangkaut kepercayaan dan reputasi kedua belah pihak. Namun percayalah, kita sedang berusaha untuk mendapatkan yang terbaik untuk bangsa ini. Yang terpenting, kedua belah pihak telah meggunakan metodelogi yang sama dalam pengukuran tumpahan minyak.” ujar Nelly .
Tertutupnya proses negosiasi ini membuat beberapa kalangan-terutama kelompok masyarakat sipil-mengganggap pemerintah bergerak lamban dan tidak tegas menyelesaikan kasus pencemaran lingkungan ini. Padahal, sudah banyak bukti yang menguatkan bahwa perusahaan minyak milik Australia dan Thailand telah melakukan kesalahan dalam kegiatan ekplorasinya.
“Pemerintah Australia yang diwakili oleh Otoritas Keselamatan Laut sudah membenarkan jika tumpahan minyak di Blok West Atlas masuk ke perairan Indonesia pada September 2009 lalu. Jadi secara substansi kita mempunyai posisi yang kuat” jelas Riza Dimanik, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam Seminar Pencemaran Minyak Blok Montara pada Selasa (26/7) lalu.
Justru yang menjadi persoalannya adalah bagaimana pemerintah bisa bersikap tegas untuk mengejar komitmen PTTEP Australasia untuk segera menyelesaikan kasus ini.
Pemerintah dianggap terlalu mengikuti keinginan PTTEP Australasia yang ingin memperpanjang masa penyelidikan hingga tahun 2011, termasuk memverifikasi kuesioner Tim Advokasi Laut Timor (TALT) yang diisi oleh para nelayan.
“Kita sedang berkejaran dengan waktu, semakin lama proses penyelidikan berlangsung, bukti-bukti yang ada di lapangan akan semakin hilang” ujar Riza.
Parahnya, ujar Riza, ditengah proses ini, Pemerintah Indonesia juga memberikan empat konsensi blok minyak kepada anak perusahaan PTTEP untuk eksplorasi minyak di Sulawesi. Tak heran, jika kemudian PTTEP merasa nyaman dan mendominasi perundingan sejak awal.
Ketidaktegasan pemerintah juga diungkapkan oleh Marwan Batubara dari Indonesia Resources Institute. “Sudah dua tahun kasus ini berlalu, dan presiden SBY hanya berbicara sekali ketika pemerintah akan mengajukan klaim ke PTTEP Australasia pada 22 Juli 2010.” Ujar Marwan
Kondisi ini sungguh berbeda berbeda ketika minyak milik Bristish Petroleum tumpah di perairan Teluk Mexico pada tahun 2010. Presiden AS, Barack Obama pada saat itu langsung turun menangani kasus ini dan meminta komitmen BP untuk membayar kerugian minimal US$ 20 milyar bagi masyarakat yang menjadi korban di wilayah tersebut.
“Presiden SBY harusnya bisa bersikap tegas seperti Obama dan meminta pertanggungjawaban PTTEP karena telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan merugikan rakyat Indonesia.”
Akibat berlarutnya kasus blok Montara ini, kini jutaan jutaan masyarakat di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao kini terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan karena mereka sulit mencari ikan atau berkebun rumput laut.
Masyarakat, menurut Heri Saba dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) kini lebih memilih menyewakan perahu kepada imigran Afghanistan yang akan mencari penghidupan di Australia. Tentu saja, ini akan menimbulkan persoalan baru karena bisa melanggar hukum internasional.