Jakarta, 18 November 2021 –Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26 telah berakhir pada 13 November lalu. Negosiasi perubahan iklim dunia tersebut menghasilkan Glasgow Climate Pact atau Pakta Iklim Glasgow, yang secara umum memberikan landasan bagi negara-negara untuk segera mengimplementasikan kesepakatan Paris. Pakta ini merupakan keputusan COP pertama yang secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil khususnya batubara.
Di sisi lain, pakta ini mengakui bahwa komitmen negara-negara secara agregat tidak cukup untuk mencegah pemanasan bumi melebihi satu setengah derajat Celcius di atas suhu era pra industri. Hal ini mengakibatkan pekerjaan rumah untuk memastikan dunia keluar dari krisis iklim menjadi semakin berat. Komunitas Peduli Krisis Iklim menggelar konferensi pers untuk memberikan gambaran tentang apa saja pekerjaan rumah yang harus dilakukan serta memastikan akuntabilitas implementasi Pakta Iklim Glasgow ini dapat terlaksana secara efisien.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa komitmen yang telah disampaikan selama COP26 harus dilengkapi dengan aksi yang konkret.
“Jadi memang apa yang disampaikan oleh semua negara, termasuk Indonesia sendiri, itu kan sifatnya komitmen. Komitmen dan janji itu tidak akan menurunkan emisi gas rumah kaca, yang menurunkan emisi gas rumah kaca itu aksi. Jadi pasca-COP ini kita ingin melihat bagaimana aksi itu dilaksanakan.”
Salah satu pekerjaan rumah Indonesia yang mendesak adalah transisi dari energi kotor ke energi hijau. Batubara masih merupakan sumber energi listrik yang utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Indonesia saat ini telah memiliki rencana lanjutan untuk penutupan awal beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU).
Pendapat Fabby ini diamini oleh Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic di Kemitraan. Dewi juga menambahkan, percepatan aksi iklim yang dilakukan oleh pemerintah juga harus dilakukan secara transparan dengan berkolaborasi dengan pihak swasta dan masyarakat sipil.
“Pemerintah juga harus membuka kesempatan kerja sama dengan non-party stakeholders agar (komitmen) yang sudah direncanakan itu bisa berjalan. Kuncinya adalah kolaborasi dari semua sektor,” jelas Dewi.
Menurutnya, kolaborasi dan kerjasama dari semua pihak ini menjadi krusial, karena masing-masing pihak mempunyai peran yang sama pentingnya untuk mencapai target perubahan iklim yang telah disepakati.
Selain itu, menyinggung peranan Indonesia di kancah internasional terkait aksi iklim, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif dari Yayasan Madani Berkelanjutan mendorong agar Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya dekarbonisasi di semua lini.
“Ini waktunya untuk kita (Indonesia) menunjukkan sebagai leader di tingkat global bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang memang leading dalam upaya penurunan emisi di semua sektornya. Harus ada konsistensi kebijakan, lalu juga harus bisa membuat langkah-langkah konkret supaya bisa mencapai ambisi iklim yang sudah kita setujui,” tutur Nadia.Selanjutnya, Nadia menekankan pula akan pentingnya penguatan kapasitas pemerintah daerah dan non-party stakeholders lainnya untuk mendukung aksi iklim yang komprehensif.
Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup masyarakat Dayak menyatakan, Indonesia sudah harus mampu menunjukkan peningkatan ambisi dan aksi iklim yang signifikan pada saat COP 27 yang akan dilaksanakan tahun depan.
“Masyarakat harus terus menekan pemerintah, dan menjaga setiap keputusan dan aksi yang pemerintah lakukan accountable (dapat dipertanggungjawabkan),” jelas Laetania.
Komunitas Peduli Krisis Iklim adalah kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penanggulangan ancaman krisis iklim. Komunitas ini bertujuan mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan akses masyarakat yang berkelanjutan terhadap hak-hak atas lingkungan.