Setiap tanggal 15 Maret, masyarakat merayakan Hari Hak Konsumen Sedunia. Hari ini pertama kali diperingati pada tahun 1983 dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak konsumen serta mendorong pemerintah dan pelaku bisnis untuk mengambil tindakan melindungi hak-hak tersebut. Di tingkat internasional, hak-hak konsumen mencakup hak atas keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan informasi, dan hak untuk didengar. Di Indonesia, hak-hak konsumen diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.
Untuk memantau pemenuhan hak-hak ini, pemerintah Indonesia melakukan survei tahunan yang disebut Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK). Pada tahun 2023, IKK menunjukkan peningkatan skor menjadi 57,04 dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 53,23. Penilaian tersebut mencakup sembilan sektor perdagangan, termasuk listrik dan kebutuhan rumah tangga, barang elektronik, kendaraan bermotor, jasa transportasi, dan lainnya. Meskipun peningkatannya cukup, masih banyak kemajuan yang perlu dicapai, terutama dalam penyediaan informasi produk kepada konsumen, agar mereka dapat memilih sumber listrik, bahan bakar, makanan, elektronik, dan lainnya dengan lebih bijak.
Cita-cita untuk mencapai emisi nol bersih di Indonesia pada tahun 2060, atau lebih cepat, memerlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, produsen (penyedia energi, industri, bisnis), dan asosiasi. Namun, konsumen seringkali dilupakan meskipun keputusan akhir dalam penggunaan produk atau layanan ada di tangan mereka.
Konsumen memiliki kekuatan untuk menentukan arah perubahan mendasar dalam cara mereka bepergian, membeli bahan bakar untuk usaha dan kendaraan, memilih produk yang mereka konsumsi (termasuk makanan), memilih sumber listrik dan perangkat elektronik untuk rumah mereka, dan masih banyak lagi. Selain tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, konsumen di Indonesia juga menghadapi kesulitan dalam mengakses produk dan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Informasi yang terbatas dan kurangnya standar serta sertifikasi membuat opsi pembelian menjadi sempit. Misalnya, opsi langganan listrik yang terbatas dan pilihan transportasi umum yang tidak merata. Kekurangan ini membuat masyarakat membeli apa yang tersedia di pasar meskipun berdampak buruk pada kesehatan dan lingkungan.
Contoh yang baik dapat dilihat dalam pengadaan listrik rumah tangga. Dengan permintaan listrik rumah tangga sebesar 85.318,86 MVA pada tahun 2023, atau hampir 50% dari permintaan listrik nasional, hanya 12,6% yang dipasok dari sumber energi bersih. Hal ini mengakibatkan emisi listrik Indonesia mencapai 252,17 juta ton CO2e pada tahun yang sama. Dampaknya, kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar pembangkit listrik dan alam sekitarnya terkena dampak buruk.
Selain polusi udara, sumber air untuk rumah tangga juga tercemar, dan bangunan tempat tinggal menjadi lebih rentan karena meningkatnya kemungkinan hujan asam di daerah tersebut. Kondisi ini diperburuk oleh rumitnya pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, teknologi pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan, yang semakin dipersulit oleh terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2024. Peraturan ini mengatur bahwa kelebihan listrik yang diproduksi selama siang hari dan diekspor ke jaringan nasional tidak lagi mendapatkan kompensasi. Dengan demikian, di malam hari, pelanggan panel surya atap harus membayar konsumsi listrik dengan harga penuh. Hal ini membuat PLTS atap kurang menarik untuk konsumen rumah tangga, karena beban puncak listrik rumah tangga terjadi di malam hari, sementara produksi listrik panel surya atap terjadi pada siang hari. Hal ini menunjukkan kemunduran dalam pemenuhan hak konsumen untuk dapat memilih produk yang memberikan keamanan dan kesehatan bagi diri mereka dan keluarga mereka.
Berdasarkan laporan studi dari Consumer International, untuk menempatkan konsumen sebagai pusat kebijakan terkait transisi energi, ada setidaknya tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pada tahap pra-pembelian, peningkatan kesadaran dan pemahaman melalui penggunaan label dan sertifikasi harus segera diadopsi untuk mendorong inovasi produk yang lebih aman, ramah lingkungan, dan terjangkau di pasar. Kedua, pada tahap pembelian, proses administratif untuk pembelian atau adopsi produk/teknologi, seperti lisensi dan izin, perlu disederhanakan, serta opsi pembiayaan yang masuk akal dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat harus dirancang.
Terakhir, pada tahap pasca-pembelian, kesenjangan pengetahuan dalam konsumsi/adopsi produk harus ditutup melalui dokumen manual pengguna interaktif, serta memastikan kebutuhan konsumen terkait pemeliharaan, perbaikan, dan kompensasi terpenuhi melalui penciptaan rantai pasokan lokal dan akses mudah ke sistem troubleshooting dan kompensasi.