Arti Gula Aren dan Rumah Turbin Bagi Masyarakat Cimanggu
Cuaca lagi tidak ramah untuk kami yang ingin melanjutkan perjalanan ke Desa Cimanggu, Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Hujan deras tiada hentinya, sehingga membuat kami sempat berpikir, apakah akan melanjutkan perjalanan dalam situasi seperti ini. Akhirnya, kami putuskan untuk beristirahat di Bandung sebentar dan menyusun rencana lebih lanjut, sambil menunggu cuaca yang lebih baik untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Terus terang saja, kami memang sedikit khawatir kalau main nekat melakukan perjalanan di tengah hujan deras seperti itu, apalagi kami memang belum pernah berkunjung ke desa itu. Karena itu kami memutuskan menunggu cuaca lebih baik dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.
Waktu menunjukkan pukul 7 malam ketika hujan berhenti, kami pun kemudian melanjutkan perjalanan menuju Desa Cimanggu. Menurut informasi yang kami terima dari salah satu narasumber kami di desa tersebut, kemungkinan perjalanan dari Bandung-Cimanggu akan memakan waktu 8 jam.
Ternyata kondisi jalan yang kami lalui mendekati Kecamatan Bungbulang di luar perkiraan kami. Jalanannya cukup buruk dan banyak lobang sana sini. Kami yang ada di dalam mobil terguncang-guncang. Cuaca pun, kadang “ramah”, kadang hanya gerimis, lalu tiba-tiba bisa hujan lebat lagi. Situasi tersebut cukup membuat kami mengalami kelelahan fisik. Perjalanan pun akhirnya menjadi lebih lama dua jam dari yang kami rencanakan.
Akhirnya Shubuh atau sekitar pukul lima pagi, kami tiba di Kecamatan Bungbulang. Dalam gelap, kabut dan dingin juga sedikit gerimis, kami mencari penginapan untuk beristirahat atau sekadar meluruskan badan kami sebentar, sebelum kami memulai perjalanan yang lebih berat lagi ke desa. Karena untuk ke Cimanggu kami harus melalui tanjakan yang panjang dan kondisi jalan juga tidak begitu baik. Kemungkinan besar kami harus off-road .
Kami tidak punya waktu lama untuk istirahat karena harus segera melanjutkan perjalanan. Pukul delapan pagi kami semuanya sudah bersiap kembali untuk menuju rumah salah satu penanggung jawab mikrohidro Cimanggu, Pak Rahmat. Pak Rahmat inilah yang akan mengantarkan kami menuju Desa Cimanggu yang berjarak 75 km dari pusat kabupaten Garut.
Setelah berbincang-bincang dan sarapan di rumah Pak Rahmat, kami pun mulai perjalanan off-road kami. Tidak menggunakan mobil, tapi dengan ojekan motor!! Karena menurut Pak Rahmat tidak memungkinkan bagi mobil yang kami bawa, yaitu APV untuk dapat melalui sepanjang jalan menuju Desa Cimanggu. Selain terjal dan licin karena hujan, jalanannya juga belum beraspal, melainkan berbatu tanpa ada susunan yang rapi.
Hal ini membuat kami, terutama Tyas sempat ragu-ragu. Karena ini pengalaman pertama bagi Tyas melewati jalanan buruk, berbatu, ditambah jalanan akan terasa lebih berat dilalui jika musim hujan seperti saat itu. Tapi kami tidak bisa menunda perjalanan kami. Kami pun memulai perjalanan “off-road” kami dengan ojekan sepeda motor.
Di sepanjang jalan kami harus ekstra hati-hati melewati tanjakan atau jalanan berbatu tanpa susunan yang rapih dan rata namun sangat licin. Perjalanan ini cukuplah membuat jantung kami “olahraga,” sedikit gentar, dan khawatir terpelanting.
Kendati demikian, kami sungguh terpesona dengan pemandangan alam yang tersuguhkan dan terpampang di hadapan kami, terutama ketika melalui persawahan. Bentangan sawah yang menghijau dan berbaris dengan rapinya, dengan latar belakang bukit-bukit hijau indah nan berkabut, membuat kami lupa dengan segala kepenatan dan beratnya jalan yang kami lalui. Sungguh keindahan alam yang tidak mungkin kami temui dalam keharian kami di Jakarta.
Kami akhirnya bisa melalui jalan off road yang cukup menegangkan karena sempat terpeleset di jalanan tanah yang licin ketika mengendarai ojek. Lalu tibalah kami di rumah Pak Ijan, Ketua Paguyuban PLTMH di Cimanggu. Setelah berbincang-bincang selama kurang lebih 1 jam, kami pun mulai berjalan kaki selama 20 menit dengan medan yang kadang landai dan becek untuk mencapai rumah turbin PLTMh Leuwi Mobil yang letaknya memang kurang strategis, kami pun jadi mahfum, kenapa perawatan PLTMH menjadi kurang maksimal.
Belum lagi intensif yang rendah (Rp 70.000 untuk ketua pengurus, Rp 50.000 untuk sekretaris dan bendahara serta Rp 200.000 untuk 1 orang operator) dan pasifnya penduduk kampung juga menjadi salah satu faktor mengapa keberadaan mikrohidro ini menjadi tidak maksimal.
Pak Ijan, yang merupakan pengurus Mikrohidro bercerita bahwa sebenarnya dahulu sempat warga di Cimanggu memiliki usaha gula aren bersama sebagai UKM yang dapat mereka buat untuk memanfaatkan listrik dari mikrohidro ini. Namun, dengan jarak rumah yang berjauhan, serta usaha dan semangat yang minim dari para warga menjadikan usaha ini tidak dapat berkelanjutan. Pengurus pun tidak mampu menyatukan warga, sehingga mereka pun menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab mereka saja karena mereka sendiri tidak tahu harus bagaimana lagi dalam mengupayakan agar mikrohidro ini dapat memberikan manfaat yang lebih bagi masyarakatnya.
Dengan pemeliharaan yang seadanya, maka PLTMH yang mulai dibangun pada tahun 2005 dengan jumlah dana kurang lebih sebesar 900 juta dan daya maksimal yang dihasilkan sebesar 20 Kw hanya dapat dimanfaatkan untuk penerangan saja. Hingga saat ini listrik tersebut telah digunakan untuk penerangan 155 rumah, dan lima mushola dengan masing-masing unit mendapatkan jatah sebesar 110 watt dengan pembatas 0,5 ampere.
Bercerita mengenai awal mula PLTMH di desa tersebut, Pak Ijan menceritakan bahwa sesungguhnya proyek PLTMH ini merupakan pengalihan dari rencana pengadaan fasilitas jaringan listrik dari PLN. Dalam proses tersebut dari 300 KK hanya 42 KK yang siap untuk membayar pemasangan jaringan, oleh karena itu dana yg seharusnya untuk pembangunan jaringan dari Prolisdes PLN kemudian dialokasikan untuk pembuatan PLTMH. Bagi kami cerita ini merupakan sebuah ironi dari buruknya pelayanan tata kelola kelistrikan di daerah terpencil.
Dari cerita yang kami dapat di Desa Cimanggu kami mendapatkan pembelajaran yang sangat berharga. Asumsi bahwa akses energi akan membantu warga dalam meningkatkan kualitas kehidupan mereka ternyata tidaklah cukup. Akses energi memang akan memberikan andil yang cukup besar dalam pencapaian tujuan pembangunan millennium apabila hal itu juga disertai dengan kesadaran masyarakat setempat yang tahu akan pentingnya kebersamaan dan sense of belonging akan sumber energi tersebut. Tapi ketika melihat suatu kenyataan bahwa warga lebih memilih untuk berjalan sendiri-sendiri dalam meningkatkan kualitas hidup mereka maka keberadaan sumber energi tersebut (PLTMH) menjadi kurang berarti lagi.
“Padahal, peralatan untuk pengolahan gula aren masih ada, sudah berkarat sekarang karena tidak pernah dipakai,” tutur Pak Rahmat.
Selain pengolahan gula aren, usaha serut kayu dan pembuatan keripik pun kurang dapat dimaksimalkan oleh masyarakat untuk meningkatkan sosial ekonomi mereka sebab kecenderungan untuk berwirausaha bagi kepentingan sendiri lebih mendominasi daripada kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sedih dan miris juga kalau mendengar cerita yang ada. Mikrohidro sudah terbangun tapi tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Tak terasa, sudah hari ketiga perjalanan dari enam hari perjalanan yang sudah direncanakan. Selasa, 11 Mei 2010 yang cukup cerah telah kami habiskan di Cimanggu untuk bereksplorasi disana terkait dengan PLTMh Leuwi Mobil yang telah beroperasi kurang lebih selama 6 tahun. Setelah beristirahat sebentar dan berpamitan dengan Pak Rahmat serta keluarga, kami pun menuju ke penginapan dan kembali bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan ketiga kami yaitu Cibuluh. Let’s go…
bersambung…