Institusi Finansial Asia Tengah melirik potensi pengembangan proyek transisi energi, IsDB selenggarakan pertemuan bersama IESR.

Jakarta, 1 Desember 2021 – Setahun terakhir, istilah transisi energi menarik perhatian dalam proses advokasi kebijakan maupun wacana publik. Sektor energi, sebagai penghasil polusi nomor satu secara global, menjadi sorotan utama karena dunia sedang berpacu dengan waktu untuk membatasi kenaikan suhunya di level 1,5 derajat Celcius. Transisi energi, meskipun saat ini menjadi kebutuhan, sayangnya tidak memiliki formula universal untuk diterapkan di setiap kawasan atau negara. Setiap negara perlu memikirkan skenario yang paling cocok untuk transisi energinya dengan mempertimbangkan konteks dan situasi negara tersebut. Namun, mencari tahu pengalaman sebelumnya dalam mempersiapkan atau memulai transisi energi dapat membantu kelancaran proses persiapan transisi di suatu wilayah.

Indonesia membuat langkah yang cukup progresif sepanjang tahun ini, mulai dari pengumuman target net-zero pada tahun 2060 (lebih cepat) dan juga RUPTL terbaru yang memberi porsi lebih besar untuk energi terbarukan sebesar 51,6%. Meskipun target tersebut masih belum cukup untuk mencapai Persetujuan Paris, kemajuan dan komitmen yang diumumkan terus menarik para pihak untuk belajar tentang bagaimana pemerintah mengalihkan minatnya, dan akhirnya berkomitmen pada energi yang lebih bersih.

Pada 1 Desember 2021, IESR bertemu dengan Islamic Development Bank (IsDB), Almaty, Kazakhstan untuk berbagi informasi tentang kemajuan transisi energi di Indonesia serta pembelajaran mengenai peran lembaga non-pemerintah dalam mempercepat transisi energi baik di tingkat nasional maupun regional.

Berada di wilayah Asia Tengah, IsDB mengidentifikasi rendahnya investasi dan infrastruktur yang sudah tua di bidang pembangkit listrik, transmisi, serta distribusi sebagai masalah utama di kawasan tersebut. Potensi energi terbarukan seperti hidro dan surya hanya tersedia selama musim panas. Di musim dingin di mana suhu bisa turun, misalnya hingga -50 derajat celsius di Kazakhstan, sehingga harus dipikirkan cara untuk memasok listrik, dan energi apa yang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan energi.

Dalam mengembangkan skenario yang lebih berkelanjutan, IESR sebagai lembaga think-tank independen secara aktif mengadvokasi agenda transisi energi melalui beberapa cara antara lain diseminasi penelitian, inisiasi gerakan, dan secara aktif mempengaruhi wacana publik.

“Sebagai contoh, kami mendorong penetrasi PLTS atap ke dalam jaringan, karena kami yakin teknologi tersebut dapat membantu demokratisasi akses energi di Indonesia yang dimonopoli oleh PLN,” Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif IESR menjelaskan.

Dalam mempengaruhi dan membentuk opini publik, IESR melalui proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara aktif berjejaring dengan pemerintah, media, institusi akademik, dan publik untuk mempromosikan wacana transisi energi kepada khalayak yang lebih luas. Dalam hal advokasi kebijakan, CASE juga bermitra dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk memberi masukan pada tujuan pembangunan jangka panjang.

Memahami bahwa transisi energi merupakan masalah multidimensi, diperlukan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan dalam merencanakan dan mengimplementasikannya.

“Itu adalah langkah kami selanjutnya, kami akan mengadakan pertemuan dengan Kementerian Energi dan membicarakan rencana tersebut, mencari tahu apa yang dapat kami (IsDB) lakukan untuk mendukung penyebaran energi terbarukan dan skema kolaborasi apa yang paling cocok untuk mereka,” kata Edzwan Anwar dari IsDB. 

Sinergi Pembangunan Lestari dan Potensi Surya di Gorontalo

Gorontalo, 26 November 2021- Potensi energi terbarukan tersebar merata di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk di antaranya di Provinsi Gorontalo. Potensi ini dapat dimanfaatkan oleh provinsi di seluruh Indonesia dalam memainkan peranannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan menciptakan keuntungan ekonomi, sosial dan lingkungan yang berkelanjutan di wilayahnya masing-masing.

Provinsi Gorontalo menurut analisis IESR dalam kajian “Beyond 443 GW” mempunyai potensi teknis tenaga surya yang besar mencapai 11,97 GWp (sama dengan 17.47 TWh energi yang terbangkitkan)  dan potensi penyimpanan daya hidro terpompa (Pumped Hydro Energy Storage, PHES) hingga 14,4 GWh. Peneliti Senior IESR, Handriyanti Diah Puspitarini menghitung bahwa dengan asumsi per keluarga berjumlah 4 orang maka terdapat 292.921 rumah tangga di Gorontalo. Jika satu rumah membutuhkan daya 1,72 MWh, maka total kebutuhan listrik di Gorontalo sebesar 503,8 GWh.

“Jadi sebenarnya potensi solar di Provinsi Gorontalo dapat menutupi seluruh kebutuhan listrik rumah tangga di Gorontalo,” jelas Hardiyanti.

Tentu saja, untuk meraih manfaat tersebut, pemerintah Provinsi Gorontalo perlu untuk membangun ekosistem yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan, terutama pembangkit energi tenaga surya (PLTS) hingga ke seluruh kabupatennya. Sebagai salah satu tuan rumah penyelenggaraan Festival Kabupaten Lestari 4,  Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo memiliki upaya yang sinergis dengan besarnya potensi energi terbarukan. Kabupaten Gorontalo telah secara aktif mendorong pembangunan lestari melalui alokasi penganggaran hijau dan penggunaan energi terbarukan yang berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca.

Cokro R Katilie, Kepala BAPPEDA Kabupaten Gorontalo menegaskan dalam pidato pembukaannya pada rangkaian Festival Kabupaten Lestari agar upaya mitigasi perubahan iklim perlu dilakukan secara lebih maksimal.

“Di Kabupaten Gorontalo ada banjir di awal November, (hal ini) menjadi suatu hikmah, walaupun berkolaborasi dan upaya lingkungan (sudah dilakukan), intensitas cuaca (yang mengakibatkan banjir) yang lebih tinggi. Tentu harus ditingkatkan upaya mitigasi,” ungkap Cokro.

Mengundang secara daring Institute for Essential Service Reform (IESR) pada sisi Inovasi Pengarusutamaan Teknologi dalam menekan emisi dan melestarikan lingkungan, puluhan peserta dari berbagai daerah dan institusi menyimak penjelasan Marlistya Citraningrum, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR tentang teknologi PLTS atap.

Marlistya memaparkan bahwa PLTS merupakan cerminan dari demokratisasi energi karena potensinya tersebar di seluruh Indonesia, siapa saja bisa menggunakannya tanpa memandang strata atau profesi, pemasangannya bisa di mana saja sebab PLTS punya beragam tipe bisa di atap, di atas tanah, maupun terapung.

“Selain itu, pemasangannya juga tidak memakan waktu lama dan bisa dikerjakan oleh tenaga kerja terampil. Yang tidak kalah penting, harga teknologinya yang semakin turun,” jelasnya bersemangat.

Lebih lanjut, Marlistya menjelaskan hasil survei pasar IESR di Jabodetabek menemukan bahwa 7 dari 10 orang mengatakan PLTS atap menarik bagi mereka. Meskipun demikian, hanya 8 % dari responden yang mengatakan bahwa PLTS atap relevan dengan kebutuhan mereka. Ketertarikan mereka untuk mengadopsi PLTS atap pun bermacam-macam. Terbanyak adalah karena penghematan listrik dan sesuai dengan gaya hidup berkelanjutan dan lestari.

“Di Indonesia sendiri, perkembangan PLTS sudah menggembirakan, sudah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Namun, masih ada kendala soal mendapatkan panel surya,” ungkapnya.

Saat ini penyedia jasa PLTS atap masih terbatas di kota-kota besar. Menurutnya, pekerjaan rumah kedepannya adalah menghubungkan masyarakat yang berada di wilayah mana pun di Indonesia dengan penyedia jasa PLTS atap. IESR berusaha menjembatani jurang informasi tersebut dengan membangun portal solarhub.id.

“Sebenarnya ini dapat menjadi peluang dengan pemanfaatan dana desa untuk energi terbarukan. BUMDES dapat mengelola bisnis energi terbarukan, sebagai penyedia panel surya. Tentu akan menjadi lebih menarik jika objek wisata di tempat ini menggunakan energi terbarukan dan lestari,” tandasnya lagi.

Tunjukkan Komitmen, Indonesia Siap Pensiunkan Dini PLTU Batubara

Sepanjang tahun 2021, merespon desakan global terhadap aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia telah memutakhirkan beberapa dokumennya seperti NDC yang menargetkan netral karbon di tahun 2060 lebih cepat dan merilis ‘green’ RUPTL yang diklaim memberi ruang lebih banyak bagi energi terbarukan. Terbaru, Indonesia mengumumkan untuk mengkaji peluang memensiunkan PLTU batubara lebih dini. Meski belum ambisius untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris, keputusan Indonesia tersebut patut diapresiasi dan dikawal implementasinya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Arifin Tasrif, pada gelaran KTT Perubahan iklim COP-26, menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Statement. Menteri ESDM menyetujui 3 dari 4 butir deklarasi yaitu, (1) mendorong pengembangan energi terbarukan & efisiensi energi; (2) transisi meninggalkan PLTU pada 2040an; dan (3) memperkuat upaya domestik dan internasional untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan.

Arifin menjelaskan bahwa Indonesia sedang melakukan simulasi untuk melakukan pensiun PLTU sebesar 9,2 GW sebelum 2030. Sebanyak 3,7 GW dari 9,2 GW pembangkit akan pensiun dini dan diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan. Rencana progresif ini menuntut peta jalan yang komprehensif untuk transisi batubara. 

Ditemui terpisah, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menegaskan bahwa transisi untuk meninggalkan batubara di Indonesia perlu dipersiapkan dengan matang. 

Menurutnya, peta jalan transisi batubara yang komprehensif perlu disiapkan untuk memastikan bahwa transisi yang terjadi adalah transisi yang mempertimbangkan kebutuhan semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari ditinggalkannya batubara untuk suplai energi, serta memastikan semua orang mendapat akses energi yang tangguh (reliable) dan terjangkau (affordable).

Dalam acara “From Coal to Renewables: the Energy Transition in Emerging Markets” yang diselenggarakan oleh Accenture dalam rangkaian COP-26 di Glasgow, Fabby Tumiwa menjelaskan, sebagai salah satu  negara penghasil  batubara terbesar di dunia, 60% batubara Indonesia diperuntukkan untuk ekspor. Hal penting lain yang harus dicatat adalah, 85% produksi batubara Indonesia hanya terkonsentrasi pada 4 provinsi. 

“Peran batubara di Indonesia bukan sekedar sebagai penghasilan bagi negara, namun juga penghasilan pokok untuk provinsi penghasil batubara. Ketika dilakukan transisi, dan batubara perlahan akan ditinggalkan, daerah-daerah ini perlu diperhatikan sebab jika tidak akan terancam collapse,” jelas Fabby. 

Sebagai negara yang banyak bergantung pada energi fosil dan dengan situasi yang cukup kompleks, keterbukaan pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih cepat, dinilai sebagai suatu maju dan dapat dicapai oleh Fabby Tumiwa.

“86% listrik di Indonesia dihasilkan oleh PLTU batubara. Melakukan transisi ke energi terbarukan dalam situasi ini tentu tidak mudah. Namun bukan berarti tidak mungkin,” tutur Fabby.

COP26: Pertunjukan “Sepi” dari Jokowi

Banyak pihak menantikan pidato Presiden Joko Widodo dalam gelaran COP26. Jokowi diharapkan mengumumkan komitmen penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim yang lebih ambisius serta menjabarkan langkah konkret menuju net-zero emission. Posisi strategis Indonesia sebagai pemimpin negara G20 pada 2022 seharusnya membuat Indonesia mengambil satu langkah di depan untuk memimpin upaya penurunan emisi bagi negara anggota G20.

Sayangnya, dalam pidatonya di sesi High Level Segment for Heads of State and Government COP26, Presiden Jokowi tidak mengumumkan target ambisi iklim yang lebih tinggi ataupun komitmen konkret dalam mendukung target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celcius dan mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. Laporan IPCC AR6 telah menyatakan dengan gamblang bahwa waktu kita untuk menjaga kenaikan suhu bumi di level 1.5 derajat Celcius hanya tinggal kurang dari satu dekade. Kesempatan untuk menaikkan ambisi iklim Indonesia masih terbuka dan tentu harus diambil Pemerintah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim.  

Upaya penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim harus dilihat sebagai tanggung jawab dan kesempatan untuk mentransformasi sistem ekonomi Indonesia dari yang karbon intensif menjadi sistem ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan. Menurut kajian Deep Decarbonization IESR, transformasi sistem energi akan menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan. Komitmen yang ambisius dengan menetapkan target penurunan ambisi yang lebih besar dari NDC saat ini serta membangun peta jalan transisi energi yang komprehensif akan mengirimkan sinyal baik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan mendorong kekuatan ekonomi Indonesia menjadi lebih kompetitif secara global. 

Sebelumnya dalam KTT G20 yang berlangsung pada 30-31 Oktober 2021, pemimpin negara G20 sepakat untuk mencapai net-zero emission pada pertengahan abad ini. Namun komitmen ini belum juga disertai dengan target untuk phase-out PLTU batubara. Memegang peran strategis dalam kepemimpinan G20, Jokowi sebenarnya dapat mengambil kesempatan untuk mendorong negara G20 untuk menghentikan operasi PLTU batubara dan beralih ke energi terbarukan. Tentu saja, dalam hal ini, Indonesia perlu pula menerapkan kebijakan meninggalkan batubara sehingga dapat memberikan teladan bagi negara G20 lainnya. 

Selain itu, terdapat perbedaan antara aksi dan fakta lapangan dalam pidato Jokowi di COP 26. Ia   menyebutkan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk mengurangi emisi di sektor energi. Namun, hingga COP 26 berlangsung dukungan kebijakan yang suportif untuk ekosistem PLTS seperti Revisi Permen 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) maupun Perpres tentang energi baru terbarukan belum diterbitkan secara resmi. . 

Aksi iklim yang lebih ambisius sangat dibutuhkan saat ini karena efek perubahan iklim semakin sering terjadi seperti La Nina yang kembali datang. Laporan Climate Transparency 2021 menyebutkan Perubahan pola La Nina dan El Nino akan berdampak pada permulaan dan durasi musim hujan di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada sektor pertanian seperti produksi beras. Analisis risiko global World Bank menempatkan Indonesia pada peringkat dua belas dari 35 negara yang menghadapi risiko kematian relatif tinggi akibat banjir dan panas ekstrem. Menempati peringkat kelima negara dengan jumlah populasi yang tinggal di area yang lebih rendah dari zona pesisir, Indonesia juga rentan terhadap kenaikan muka air laut.

Indonesia mampu berkontribusi signifikan untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah dampak yang lebih buruk akibat krisis iklim. Memanfaatkan  luasnya hutan sebagai penyerap karbon, memiliki potensi energi terbarukan yang mencapai 7879,4 GW, dan memainkan peran strategis di G20 Indonesia seharusnya dapat mencapai dan melampaui target NDC mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030.  Dengan demikian, Indonesia bukan hanya menyelamatkan lingkungan namun juga mentransformasi sistem ekonomi, sekaligus menunjukkan inovasi kepemimpinan pada anggota negara G20.

Negara-Negara G20 Telah Memutakhirkan Ambisi Iklimnya Namun Belum Selaras dengan Target Persetujuan Paris

Tahun 2021 ditandai sebagai tahun kembali naiknya emisi terutama di negara-negara G20 seiring dengan dimulainya kembali aktivitas ekonomi dan sosial. Sebelumnya pada tahun 2020, emisi di negara-negara G20 tercatat mengalami penurunan karena adanya regulasi pemerintah tentang pembatasan kegiatan sosial untuk mengatasi wabah Covid-19. Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) 2021 menemukan bahwa beberapa negara seperti Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan akan melampaui tingkat emisi 2019 mereka. Meski 14 negara G20 telah mengajukan target net-zero yang mencakup sekitar 61 persen emisi GRK di dunia, namun masih belum sejalan dengan jalur 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Paris Agreement. Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk mengejar target Persetujuan Paris, negara-negara G20 perlu meningkatkan ambisi iklim mereka lebih tinggi lagi dan bergerak bersama untuk memerangi krisis iklim.

Laporan Transparansi Iklim merupakan laporan tahunan yang mengkaji ambisi dan kebijakan iklim negara-negara G20, mengungkapkan beberapa temuan kunci untuk laporan 2021 yang diluncurkan pada 14 Oktober 2021. Diantaranya adalah:

  • Ambisi Teranyar Belum Mematuhi Perjanjian Paris

Pada tahun 2021, 14 negara G20 memperbarui ambisi iklim mereka dan mengusulkan target net-zero emission. 13 NDC yang diperbarui telah diserahkan ke UNFCCC dan 6 dari negara-negara tersebut yaitu Argentina, Kanada, Uni Eropa (termasuk Prancis, Jerman dan Italia), Afrika Selatan, Inggris dan AS meningkatkan target NDC mereka. Sayangnya, semuanya belum cukup untuk memenuhi target 1,5 derajat. Dengan mengikuti ambisi saat ini, suhu global masih akan naik hingga 2,4 derajat. Upaya yang lebih menyeluruh dan melibatkan semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga suhu global di level 1,5 derajat.

“Jika G20 menyelaraskan target dan kebijakannya dengan jalur satu setengah derajat dan menerapkan kebijakan tersebut, kesenjangan emisi global sekitar 23 gigaton dapat dikurangi secara signifikan,” kata Justine Holmes, Solutions For Our Climate menjelaskan.

  • Subsidi Bahan Bakar Fosil Masih Terus Dilakukan

Selama pemulihan ekonomi, sebagian besar negara G20 menyuntikkan subsidi untuk sektor bahan bakar fosil. Padahal, besaran subsidi BBM jauh lebih besar dari paket pemulihan hijau yang disiapkan pemerintah G20. Dari Januari 2020 hingga Agustus 2021 negara-negara G20 mengucurkan dana sebesar USD 298 miliar untuk mensubsidi industri bahan bakar fosil. USD 248 miliar dari USD 298 miliar mensubsidi sektor bahan bakar fosil tanpa syarat, artinya industri bahan bakar fosil tidak berkewajiban misalnya menurunkan emisinya, atau kesepakatan lain untuk mempertimbangkan lingkungan atau situasi perubahan iklim.


  • Emisi yang Kembali Naik

Saat aktivitas ekonomi dimulai kembali, emisi di negara G20 kembali meningkat. Total emisi pada tahun 2020 turun hingga 6% dan diproyeksikan meningkat 4% tahun ini. Negara-negara seperti Argentina, China, India, dan Indonesia bahkan diproyeksikan melampaui tingkat emisi 2019. Hal ini sebenarnya diprediksi, bahwa penurunan emisi pada tahun 2020 terkait erat dengan pembatasan aktivitas sosial selama wabah pandemi.

  • Penting untuk Segera Menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara

Pembangkit listrik tenaga batu bara dikenal karena emisi karbonnya yang intens. Hingga 2020, China (163 GW), India (21 GW), Indonesia (18 GW), dan Turki (12 GW) masih memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara. Semua anggota G20 perlu menghapus batubara antara tahun 2030 – 2040 untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparannya menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih didominasi oleh batubara dalam bauran energinya. Pada bulan Oktober, pemerintah Indonesia mengeluarkan RUPTL baru yang mengakomodasi lebih banyak porsi energi terbarukan daripada rencana pembangkit listrik termal, ditambah rencana PLN untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batubara superkritis mulai tahun 2030.

“Baru-baru ini kami juga membahas kemungkinan untuk melakukan moratorium batubara lebih awal sebelum tahun 2025 tetapi itu masih rencana, belum diselesaikan dan kami masih memberikan subsidi bahan bakar fosil. Penghapusan subsidi bahan bakar fosil akan membantu mempercepat transisi energi,” pungkasnya.

PLTS Jawab Kebutuhan Industri dan Komersial untuk Sediakan Produk Hijau

Semarang, 06 Oktober 2021 – Sektor industri dan bisnis menjadi sektor yang potensial untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Tuntutan pasar yang semakin kuat akan produk hijau (green product) mendorong sektor komersial dan industri beralih pada teknologi yang ramah lingkungan demi mempertahankan eksistensinya di pasar global. PLTS menjadi pilihan yang strategis bagi sektor komersial dan bisnis mempertimbangkan masa instalasinya yang relatif cepat, serta ketersediaan sumber energi surya yang merata di seluruh Indonesia. Selain itu, dengan berinvestasi pada PLTS dapat menekan biaya produksi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa saat ini sejalan dengan usaha mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), sektor industri dihadapkan pada kewajiban nilai ekonomi karbon. Terutama untuk barang-barang yang diekspor seperti ke negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Jejak karbon suatu produk yang melebihi batas maksimal yang ditentukan akan dikenakan pajak. Ditambah, kesadaran masyarakat tentang isu keberlanjutan (sustainability) semakin meningkat seperti dikatakan survei WWF dan The Economist yang menemukan bahwa pencarian pada search engine dengan kata kunci sustainability meningkat lebih dari 71% sepanjang 2016-2020.

Shareholder perusahaan-perusahaan sudah meminta agar semua perusahaan ini punya komitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan. Jadi kalau kita ingin Jawa Tengah menjadi pusat industri maka akses energi terbarukan harus dipermudah,” tutur Fabby pada webinar yang diselenggarakan oleh IESR dengan Pemerintah Jawa Tengah berjudul “Energi Surya Atap untuk Sektor Komersial dan Industri di Jawa Tengah” (6/10/2021). 

Secara umum, ditinjau dari adopsinya, jumlah pengguna PLTS atap di Indonesia kian meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal EBTKE, hingga bulan Agustus 2021 lalu, terdapat 4.133 pelanggan PLTS atap di Indonesia, dengan total kapasitas terpasang 36,74 MWp. Dilihat dari kapasitas PLTS atap berdasarkan wilayah, maka Jawa Tengah dan DIY menduduki peringkat ketiga dengan kapasitas PLTS atap sebesar 5,83 MWp.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM, memaparkan bahwa pemerintah memberikan prioritas pengembangan PLTS atap mengingat potensinya yang sangat besar, masa instalasi yang cepat, dan harganya yang sudah sangat kompetitif.

“Strategi jangka menengah yang didorong untuk pengembangan PLTS adalah PLTS atap yang ditargetkan sebesar 3,6 GW pada 2025. Selain itu PLTS skala utilitas juga terus kita dorong pengembangannya,” terang Chrisnawan dalam kesempatan yang sama.

Mendukung infrastruktur dan layanan menuju transisi energi, PLN juga harus berbenah menyiapkan adaptasi jaringan dan menyesuaikan dengan bisnis model yang mengakomodasi energi terbarukan dalam jumlah besar.

“PLTS atap ini berdampak ke jaringan PLN yang ada saat ini, karena sifatnya yang intermiten jadi PLN harus menyediakan unit standby untuk memberi suplai  listrik saat daya yang dihasilkan PLTS tidak bisa mencukupi kebutuhan listrik yang ada,” jelas M.Irwansyah Putra, GM PLN Jateng DIY.

Irwan juga menjelaskan dalam mendukung mekanisme pajak karbon, PLN sudah menerbitkan REC (Renewable Energy Certificate). Dengan membeli sertifikat ini, PLN akan menyalurkan listrik yang didapat dari energi bersih pada industri yang bersangkutan. 

Menyoal kebijakan untuk mendorong energi terbarukan di Provinsi Jawa Tengah,Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menuturkan bahwa pihaknya telah menyiapkan ragam kebijakan. Namun, menurutnya untuk mendorong perubahan tertentu, dalam hal ini peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan (PLTS-red),dukungan kebijakan saja ternyata tidak cukup. 

“Perubahan itu lebih cepat terjadi kalau didorong oleh mekanisme market driven, jadi bukan sekedar memenuhi aturan tertentu. Dinas ESDM Jawa Tengah sudah mencoba membuat paket-paket kebijakan yang mencakup aspek market ini dengan masukan berbagai pihak seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan NGO,” jelas Sujarwanto.

Pemerintah Daerah Jawa Tengah juga melakukan pendampingan bagi sektor komersial dan industri di Jawa Tengah yang bertransisi menuju industri hijau. “Ada beberapa langkah yang ditempuh untuk penerapan industri hijau yaitu pelatihan, memfasilitasi sertifikasi bagi industri hijau juga pemberian penghargaan industri hijau. Beberapa perusahaan di Jawa Tengah mendapat penghargaan ini,” jelas M. Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah.

Peluang sektor komersial dan industri untuk mengadopsi PLTS semakin luas dengan tersedianya berbagai skema investasi PLTS seperti cicilan maupun sewa. Anggita Pradipta, Head of Marketing SUN Energy menceritakan bahwa ada tiga skema yang ditawarkan SUN Energy bagi calon pelanggan PLTS atap yaitu Solar Purchase, Performance Based Rental, dan Solar Leasing.

“Untuk sektor komersial dan industri yang ingin memasang panel surya namun terkendala di biaya pemasangan awal, kami rekomendasikan untuk mengambil skema performance based rental. Dengan skema ini, pelanggan akan terikat kontrak selama 15-25 tahun, dimana seluruh biaya pemeliharaan unit PLTS akan menjadi tanggungan SUN Energy, setelah kontrak berakhir baru aset menjadi milik customer,” jelas Anggi.

Simak 6 Perbedaan pada NDC Indonesia Tahun 2015 dan NDC Hasil Pemutakhiran 2021

Sejak menandatangani Persetujuan Paris pada tahun 2015, Indonesia mulai menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai pernyataan resmi untuk komitmen penurunan emisinya. NDC pertama Indonesia diserahkan kepada UNFCCC pada tahun 2015. Dalam perjalanan, banyak pihak menilai bahwa NDC yang dimiliki Indonesia belum mampu menjawab tantangan krisis iklim dan upaya penurunan emisi. 

Pada tahun 2021, atas masukan berbagai pihak Indonesia memperbarui dokumen NDC-nya. Secara target pengurangan emisi tidak ada yang berubah, namun perbedaan yang sangat terasa adalah dibuatnya berbagai penyesuaian dengan RPJMN 2020 – 2024 dan Visi Indonesia 2045, selain itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengeluarkan dokumen Long Term Strategy untuk melengkapi NDC terbaru ini. Hal lain yang ditambahkan pada NDC Indonesia yang terbaru dapat dilihat pada tabel perbandingan berikut.

NoHalNDC 2016NDC 2021
1Penyelarasan dengan strategi nasional

Selaras dengan konsep Nawa Cita

Penyelarasan dengan RPJMN 2020-2024 dan Visi Indonesia 2045 melalui NDC

2Proyeksi emisi GRK pada BAU

Energi CM2: 1.271MTon CO2e

FOLU CM2: 64 MTon CO2e

Target penurunan emisi

Energi CM2: 398 MTon CO2e

FOLU CM2: 650 MTon CO2e
Energi CM2: 1.407 Mton CO2e

FOLU CM2: 68 Mton CO2e

Target penurunan emisi :

Energi CM2: 441 MTon CO2e

FOLU CM2: 692 MTon CO2e
3Dokumen Long Term Strategy (LTS)

Tidak ada

Ada, untuk memenuhi mandat Persetujuan Paris Pasal 4.19 (memasukkan isu kesetaraan gender dan pekerjaan yang layak)

4Penjelasan asumsi dalam proyeksi business as usual (BAU) dan target

Tidak ada

Ada
5Komitmen Indonesia dalam berbagai konvensi Internasional

Tidak adaAda
6Menerjemahkan Katowice Package sebagai Pedoman pelaksanaan Persetujuan Paris

Tidak

Diterjemahkan

Dalam dokumen termutakhir ini Pemerintah Indonesia memaparkan 3 skenario mitigasi risiko perubahan iklim yaitu CPOS (Current Policy Scenario), TRNS (Transition Scenario), dan LCCP (Low Carbon scenario Compatible with Paris Agreement). Selain pada target penurunan emisi, ketiga skenario ini berdampak langsung pada pendapatan per kapita dan biaya investasi yang harus dikeluarkan pemerintah. 

Apakah target penurunan emisi Indonesia sudah relevan untuk mencapai target Persetujuan Paris?

Langkah Indonesia memperbaiki NDC-nya menuai apresiasi dan kritik. Apresiasi diberikan atas upaya untuk memperjelas poin-poin yang belum termasuk dalam dokumen NDC seperti aspek kesetaraan gender dan kelayakan pekerjaan (decent job), menambahkan dokumen Long Term strategy (LTS), dan memasukkan komitmen Indonesia dalam Konvensi Internasional di bidang adaptasi. 

Di sisi lain, kritik datang karena ambisi untuk menurunkan emisi tidak berubah dari dokumen terdahulu. Target penurunan emisi dalam NDC Indonesia belum mencerminkan sense of urgency untuk merespon krisis iklim yang sedang terjadi saat ini. Bahkan, laporan IPCC AR6 yang diluncurkan bulan Agustus 2021 menyebutkan bahwa waktu untuk mencegah kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius hanya kurang dari satu dekade lagi. Sebagai salah satu dari 10 besar negara penghasil emisi terbesar di dunia, seharusnya Indonesia lebih ambisius lagi untuk mengurangi emisinya.

Selain itu, di sektor energi sub-sektor ketenagalistrikan, PLTU batubara yang menghasilkan emisi tinggi masih tetap dipilih sebagai sumber pembangkit listrik bahkan hingga tahun 2050. Hanya saja, tidak dijelaskan secara rinci alasan pemilihan implementasi teknologi CCS/CCUS baik secara teknis maupun ekonomis. Tidak dijelaskan pula perbedaan asumsi yang digunakan antar skenario CPOS, TRNS, LCCP. Kurangnya transparansi mengenai asumsi yang digunakan dalam dokumen ini menyulitkan akademisi, pembuat kebijakan, atau masyarakat umum untuk mempelajari dokumen LTS LCCR ini

IESR menilai bahwa kepentingan untuk menaikkan ambisi iklim bukan hanya semata-mata memenuhi komitmen perjanjian internasional namun untuk mewujudkan ketahanan ekonomi nasional dan memitigasi risiko terjadinya pengeluaran biaya yang besar untuk membenahi masalah iklim di masa mendatang. Meresponi hal tersebut, IESR menyusun rekomendasi untuk Presiden RI terkait pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC) 2021 yang dapat diunduh berikut ini Rekomendasi IESR untuk Presiden Joko Widodo tentang Pemutakhiran NDC – IESR

Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan : “Keluarkan Sumber Energi Kotor dari RUU EBT!”

Jakarta, 29 September 2021 – Indonesia telah mencanangkan untuk mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu strateginya ialah dengan pemanfaatan energi terbarukan. Mendorong optimalisasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia serta memberikan payung hukum yang jelas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berinisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Namun, dalam perjalanannya, RUU EBT ini masih memuat unsur energi fosil yang menuai protes dari Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan.

“Awalnya RUU EBT ini menumbuhkan harapan kami tentang perkembangan energi terbarukan sebagai langkah mitigasi krisis iklim, namun harapan kami pudar karena dalam RUU EBT saat ini memasukkan sumber energi yang tidak bersih. Di sini komitmen Indonesia untuk bertransisi energi dan menurunkan emisinya dipertanyakan,” jelas Satrio Swandiko Prillianto, perwakilan Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan pada webinar ‘Aspirasi Pemuda untuk RUU EBT Berkeadilan’, yang didukung penyelenggaraannya oleh Institute for Essential Services Reform (IESR)

Tidak hanya itu, melalui Satrio, Koalisi yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai Universitas di Indonesia, juga merangkumkan 3 butir keberatan mereka terhadap RUU EBT sebagai berikut

  1. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan menuntut DPR RI Komisi VII untuk mengeluarkan sumber energi yang tidak bersih dari RUU EBT,
  2. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan meminta pemerintah mengatur regulasi insentif bagi energi terbarukan,
  3. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan meminta pemerintah untuk mempertimbangkan saran saintifik dan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan sebagai upaya pertumbuhan ekonomi dan dekarbonisasi sektor energi.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI dalam kesempatan yang sama mengemukakan bahwa proses pembuatan UU Energi Baru Terbarukan yang begitu panjang saat ini telah mencapai tahap sinkronisasi di badan legislasi DPR RI. Direncanakan UU ini akan selesai pada akhir tahun 2021. Ia menjelaskan  RUU ini penting untuk menangani problematika energi di Indonesia. 

“Cadangan energi fosil kita tinggal sedikit, selain itu dia juga polutif karena menghasilkan emisi karbon yang tinggi, maka kita perlu beralih ke energi terbarukan dan perlu payung hukum kuat untuk pengembangan ekosistemnya,” terang Sugeng.

Meski RUU EBT ini belum sempurna, Ratna Juwita Sari, anggota Komisi VII DPR RI berpendapat bahwa RUU EBT ini akan memastikan bahwa sistem energi di Indonesia harus tangguh, mandiri, berkecukupan, terjangkau (affordable), berkeadilan dan berkelanjutan (sustainable), dan bersih.

“Kami menyadari beberapa pasal masih menimbulkan pro-kontra seperti bab tentang nuklir, tapi dampak RUU ini secara sosial, ekonomi, dan lingkungan akan besar dan baik,” jelas Ratna.

Mengukur Urgensi RUU EBT

Jakarta, 10 September 2021-Sejak bulan Januari 2021, DPR RI Komisi VII menyiapkan naskah akademis RUU EBT dan saat ini sedang dalam proses konsolidasi. RUU ini dianggap penting untuk memberikan kepastian hukum untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Meskipun, bahkan hingga saat ini beberapa pihak menyatakan keberatan atas substansi ataupun mempertanyakan urgensi dari UU ini. 

Perkembangan energi terbarukan di Indonesia sendiri selama lima tahun terakhir kurang menggembirakan. Rata-rata penambahan kapasitas terpasang per tahunnya hanya sekitar 400 MW. Padahal Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai 23% energi terbarukan pada bauran energi primer di tahun 2025. Saat ini sendiri pencapaian Indonesia masih di kisaran 11-12%. Dengan waktu yang semakin sempit, diperlukan berbagai strategi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Bekerjasama dengan Universitas Katolik Soegijapranata, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan webinar bertajuk “RUU Energi Baru dan Terbarukan: untuk Siapa?”. Webinar ini bertujuan untuk menggali perspektif berbagai bidang dan harapannya dapat merumuskan rekomendasi untuk RUU ini.

Dalam sambutan pembukanya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengingatkan pentingnya publik tahu tentang Rancangan Undang-Undang EBT ini dan memiliki ruang dan kesempatan untuk memberikan pandangannya pada RUU ini. 

“Di tengah kondisi Indonesia saat ini yang mengejar net-zero emissions 2060 atau lebih cepat, pengembangan energi terbarukan menjadi salah satu kunci tercapainya target ini. Peran RUU EBT ini menjadi penting di sini,” jelas Fabby.

Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup Indonesia tahun 1999 – 2001, mengungkapkan bahwa permasalahan energi terbarukan yang progresnya lambat itu bukan masalah di peraturan, melainkan ada pada keseriusan pemerintah untuk bertransisi dari energi fosil ke energi bersih.

“Jadi jika pertanyaan besarnya adalah apakah kita memerlukan UU EBT ini? Jawabannya bisa jadi tidak. Karena kita sudah punya cukup banyak peraturan yang mengatur tentang energi secara rinci,” ucapnya.

Irine Handika, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, memiliki argumen senada dengan Sonny. Dari aspek legal ada beberapa hal yang menurutnya problematik dari RUU EBT ini. Salah satunya istilah ‘energi baru’ yang menurutnya akan membuat UU ini mati sebelum lahir. Hal ini karena parameter ‘energi baru’ sendiri tidak pasti. 

“Kami melihat saat ini permasalahan utama ada di level implementasi dari aturan-aturan tentang energi yang ada, jadi membuat undang-undang baru mungkin bukan solusi yang tepat. Kalaupun dianggap ada hal yang belum tercover di peraturan yang sudah ada, solusi yang bisa diambil adalah revisi atau amandemen dari peraturan atau UU yang saat ini sudah ada,” jelas Irine.

Di lain pihak, Kardaya Warnika, DEA, anggota DPR RI Komisi VII menjelaskan bahwa RUU EBT bertujuan untuk memberikan kepastian hukum untuk pengembangan EBT ke depan. Kelak UU ini diproyeksikan untuk menjadi pedoman pencapaian target EBT nasional.

“Kami melihat gelora transisi energi ini kan sangat besar, UU ini adalah satu cara negara hadir untuk memimpin proses transisi energi. Saya sepakat bahwa progres EBT jelek karena pemerintah kurang berpihak pada EBT, padahal negara harus hadir dan memimpin proses transisi energi. Maka harapannya UU ini akan memberi kepastian hukum selama-lamanya untuk pengembangan energi terbarukan,” tukas Kardaya.

Keberpihakan UU baru akan sungguh terlihat saat naskah UU jadi, namun kita perlu memastikan substansi dari RUU EBT ini tidak kontraproduktif dari cita-cita dekarbonisasi Indonesia untuk menjadi net-zero emission pada tahun 2060.