PLTS Semakin Bergairah, Pemerintah Jawa Tengah Optimis Capai Target Bauran Energi Terbarukan 21,35 % di 2025

Semarang, 16 Februari 2021– Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tetap memegang teguh komitmen untuk mewujudkan Jawa Tengah sebagai provinsi yang mengandalkan energi bersih terbarukan dalam pembangunan daerahnya. Hal ini ditegaskan oleh Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo mewakili Gubernur Jawa Tengah dalam Central Java Solar Day 2021 yang diselenggarakan oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR).

“Pemanfaatan energi surya sangat relevan dengan arah kebutuhan menuju energi bersih, kita juga sudah menandatangani kesepakatan dengan Bappenas untuk penurunan karbon. Secara peta jalan kebijakan, hal ini akan menjadi mainstream dalam perencanaan pembangunan di Jawa Tengah untuk tidak bergantung sepenuhnya pada fosil,” jelas Prasetyo.

Lebih jauh, Dadan Kusdiana, Dirjen EBTKE yang turut hadir pada kesempatan yang sama juga memaparkan bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun grand strategy energi nasional terkait perencanaan energi hingga tahun 2035. Menurutnya, demi mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, maka pendekatan yang paling cepat untuk mengejar ketertinggalan 11,5 persennya adalah dengan tenaga surya.

Direktorat Jenderal EBTKE saat ini juga dalam proses merevisi Permen ESDM No. 49/2018 agar dapat menarik lebih banyak masyarakat memasang PLTS atap.

“Minimal ada tiga hal yang akan kita lakukan, pertama penyesuaian aturan tarif metering 1:6,5, membuat proses reset (pengenolan) yang selama ini dilakukan per 3 bulan sekali menjadi setahun sekali, dan mengatur proses pendaftaran untuk menjawab kesulitan dalam mendapat meteran exim misalnya dengan skema online, jadi yang mendaftar akan dapat melihat ketersediaan meteran dan kesiapan PLTS atapnya,” jelas Dadan.

“Dalam RUPTL yang sedang disusun, kami akan masukkan semua yang ada di Jawa untuk danau, waduk, bendungan. Secara angka sudah ada 1900 MW yang akan kami masukkan untuk mendorong pemanfaatan tenaga surya di danau sebagai PLTS terapung,” tambahnya lagi.

Menyambut penjelasan Dadan, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menjelaskan bahwa IESR telah melakukan kajian terhadap potensi pengembangan energi surya di Jawa Tengah juga tinggi untuk PLTS di atas tanah (ground-mounted) dan PLTS terapung (floating PV). Di provinsi ini terdapat 42 waduk yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lokasi PLTS terapung sesuai Permen PUPR No. 6/2020, misalnya Waduk Gajah Mungkur (148 MWp) dan Waduk Kedung Ombo (268 MWp). 

 “Potensi teknis PLTS terapung bisa mencapai lebih dari 700 MW PLTS terapung  bila 10 bendungan terbesar di Jawa Tengah dikembangkan,” ungkap Fabby.

Ia juga menjabarkan bahwa memasang PLTS atap di sarana fasilitas publik, seperti kantor pemerintah, fasilitas publik, dan pusat layanan kesehatan bisa mencapai orde puluhan megawatt sekaligus menunjukkan kepemimpinan pemerintah provinsi Jateng yang serius dalam mengembangkan energi terbarukan.

“Survey IESR juga menunjukkan minat masyarakat besar untuk memasang PLTS atap, hanya saja informasi mengenai teknologi dan supplier masih terbatas. Untuk mendorong adopsi PLTS atap, perlu ketersediaan fasilitas pendanaan dalam bentuk kredit ringan, bunga rendah, cicilan tetap. Hal ini bisa didorong pemerintah daerah lewat Bank Jateng atau bank BUMN lainnya, khususnya untuk memberikan bantuan pendanaan pemasangan PLTS atap untuk bisnis komersial seperti UMKM,” tandas Fabby.

Agar semakin banyak yang tertarik untuk berinvestasi pada PLTS atap, IESR juga merekomendasikan agar pemerintah terus melakukan pemerataan informasi, tidak hanya teknis dan kebijakan, juga penyedia layanan pemasangan. Selanjutnya, mendorong ketersedian layanan pengoperasian dan service pada fasilitas PLTS atap untuk menjamin keberlanjutan sistem. Tidak hanya itu, perlu pula adanya skema pembiayaan yang menarik untuk fasilitas umum dan bangunan pemerintah misalnya dengan cara leasing, ESCO, third party financing, serta skema pembiayaan yang menarik untuk rumah tangga, bangunan komersial dan industri. Tentu saja, hal ini akan dapat tercapai dengan dukungan kebijakan, regulasi, dan insentif dari pemerintah daerah.

Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, semakin optimis cita-cita Jawa Tengah untuk mencapai target bauran energi terbarukan daerah sebesar 21,35% di 2025 akan tercapai pula

“Meskipun dalam kondisi sulit, pemerintah Jawa Tengah berhasil melewati target bauran energi terbarukan di tahun 2020. Dari target 11,60%, kita mampu merealisasikan sebesar 11,89%. PLTS menggeliat cukup baik,” jelasnya.

Sujarwanto juga mencontohkan salah satu upaya yang pemerintah lakukan di tahun 2020 untuk mendorong penetrasi PLTS dalam menyokong perekonomian masyarakat adalah dengan membangun  pompa air tenaga surya off grid yang tidak menggunakan aki (baterai) di Desa Kaliwungu, Kabupaten Purworejo. Berkapasitas 12 kWp, pompa ini menaikkan air dari sungai dan mengaliri lahan pertanian (sawah) seluas 20 ha.

“Ternyata, meski beroperasi pada waktu siang saja, dari jam 8 pagi hingga 5 sore, pompa ini mampu mengairi sawah 20 ha hanya dalam waktu 5 hari secara gratis. Sedangkan jika menggunakan diesel membutuhkan waktu 10 hari, dan harus membeli minyak solar lagi,” jelasnya bersemangat.

Selain itu, di 2020, bermodalkan dana dari APBN, pemerintah Jawa Tengah membangun PLTS atap di 14 titik di 11 kabupaten/kota dengan kapasitas total 505 kWp.

“Jumlah ini akan kita tingkatkan di tahun 2021. Pemerintah berencana untuk membangun sekitar 31 unit di sekitar 8 (delapan) kabupaten/kota di Jawa Tengah. Umumnya akan difokuskan pada UMKM dan pondok pesantren,”tuturnya.

Ia berharap dengan adanya PLTS atap tersebut, beban energi listrik UMKM dan pondok pesantren semakin berkurang secara signifikan, sehingga penghematan yang ada dapat digunakan untuk mengembangkan usaha. Pemerintah provinsi juga aktif mensosialisasikan regulasi, manfaat, dan perkembangan PLTS kepada berbagai kalangan, termasuk sektor komersial dan industri.

“Saat ini ESDM membuka konsultasi bagi yang berminat menggunakan PLTS. Hasilnya, PLTS cukup bergairah di Jawa Tengah. Terlihat dari semakin banyak pengembang perumahan yang berkonsultasi di ESDM untuk paket rumah baru hemat energi dengan instalasi surya atap,” tuturnya.

Berdasarkan catatan PLN UID Jateng – DIY, pertumbuhan PLTS atap semakin meningkat, dari 52 pelanggan di tahun 2019 menjadi 138 pelanggan di 2020. Pengguna PLTS atap didominasi oleh pelanggan R-2 yakni konsumen untuk rumah tangga menengah dengan daya 3.500 VA sampai 5.500 VA sebanyak 41 pelanggan. Untuk golongan tarif S2 yakni golongan sosial daya 1300 VA ke atas, semuanya berasal dari pesantren, berjumlah 23 pelanggan.

Butuh Kebijakan Suportif untuk Pengembangan Kendaraan Listrik Indonesia

Tahun 2019 yang lalu, pemerintah menerbitkan Perpres 55 tahun 2019 tentang Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa target capaian produksi mobil listrik adalah 2200 dan 2,1 juta motor listrik pada tahun 2025. Sebuah target yang ambisius untuk dicapai, mengingat saat ini ekosistem kendaraan listrik di Indonesia masih perlu banyak pengembangan.

Dalam paper “Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina” yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekosistem kendaraan listrik meliputi: (1) infrastruktur pengisian daya; (2) model dan pasokan kendaraan listrik; (3) kesadaran dan penerimaan publik; (4) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik; (5) insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah. Studi ini secara khusus melihat strategi dan kebijakan yang dipakai tiga negara, Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dalam membangun ekosistem kendaraan listriknya. 

Dalam publikasi tersebut, dijelaskan bahwa kunci keberhasilan ketiga negara dalam meningkatkan penetrasi kendaraan listrik adalah dengan menyediakan ekosistem pendukung yang memadai. Mengingat target pemerintah untuk capaian kendaraan listrik yang cukup ambisius, perlu untuk segera membangun ekosistem yang memadai untuk kendaraan listrik.

Saat ini pengembangan kendaraan listrik di Indonesia menemui berbagai rintangan salah satu yang cukup besar adalah belum ada target dan peta jalan yang terintegrasi antar lembaga yang menaungi pengembangan kendaraan listrik Indonesia. Saat ini setidaknya ada 2 target berbeda yang dikeluarkan pemerintah tentang kendaraan listrik. Pertama, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) disebutkan bahwa target kendaraan listrik adalah sebanyak 2.200 mobil dan 2,1 juta motor pada tahun 2025. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) di sisi lain memiliki target yang lebih ambisius lagi untuk kendaraan listrik ini yaitu, 20% dari total produksi kendaraan (400.000 mobil dan 1.760.000 motor) di tahun 2025 hingga 30% (1.200.000 mobil dan 3.225.000 motor) pada tahun 2035.

Alief Wikarta, dosen dan peneliti di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, menyatakan bahwa pembangunan ekosistem kendaraan listrik tidak bisa dilakukan dengan skema business as usual. Perlu peran investor swasta untuk ikut serta menyediakan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

Salah satu kendala kendaraan listrik saat ini terkait harganya yang masih lebih mahal daripada kendaraan konvensional. Komponen yang membuat mahal kendaraan listrik adalah baterai. “40-50% harga EV dialokasikan untuk harga baterai. Jika ada skema bisnis yang bisa mengeluarkan biaya baterai dari harga yang harus ditanggung konsumen, harga kendaraan listrik akan turun drastis,” jelas Alief.

Berbagai skema untuk menekan harga kendaraan listrik diperkenalkan salah satunya yang diperkenalkan oleh kementerian ESDM yaitu skema battery swap. Dalam skema ini biaya baterai dapat ditekan, dengan syarat ada investor yang mau berinvestasi untuk membuka swap station

Skema apapun nanti yang diambil sebagai solusi, pemerintah perlu mencari investor yang siap untuk lari marathon dalam membangun ekosistem battery swap ini yaitu menanggung biaya baterai dan membuat swap stationnya. Komitmen jangka panjang dari investor ini penting karena yang akan dibangun adalah ekosistem pendukung supaya industri kendaraan listrik dalam negeri dapat bersaing di kancah global. 

“Tentu kita berharap industri kita tidak hanya dipasarkan untuk segmen pasar dalam negeri, namun juga dapat diterima pasar global. Maka kita harus memastikan kualitas kendaraan listrik yang kita buat itu baik dan memiliki ekosistem pendukung yang memadai,”

 

Integrasi Bisnis Energi Bersih

Komitmen jangka panjang dari investor ini termasuk juga kemampuan penelitian dan pengembangan (research & development) dari investor tersebut. Kemampuan penelitian dan pengembangan ini penting karena yang ingin diwujudkan adalah lahirnya ekosistem secara keseluruhan bukan sekedar capaian produksi yang meningkat. 

“Saya coba berpikir searah dengan agenda pemerintah saat ini yang sedang memberikan perhatian pada baterai. Kita perlu lebih menyuarakan lagi tentang second-life battery. Baterai-baterai yang kapasitasnya sudah di kisaran 80% mungkin sudah tidak optimal lagi untuk digunakan di mobil/motor listrik, namun baterai tersebut masih dapat digunakan untuk bidang lain misalnya PLTS atap atau turbin angin.”

Artinya apa? Kita dapat mengintegrasikan kendaraan listrik dan energi terbarukan menjadi satu ekosistem yang utuh, yang lebih bersih dan secara ekonomi menguntungkan. Kesempatan untuk menggunakan kembali (reuse) ini tidak dapat dilakukan pada kendaraan konvensional.

“Di kendaraan konvensional kan hasil pembakaran BBM berupa polusi. Kita sudah nggak bisa apa-apakan lagi. Berbeda dengan kendaraan listrik yang baterainya dapat digunakan lagi untuk keperluan lain,” jelas Alief.

Sampai saat ini kebijakan yang ada dan cara pemerintah melihat kendaraan listrik ini sebagai komponen yang terpisah-pisah, juga aspek circular ekonomi belum banyak dipertimbangkan.

“Sampai saat ini hanya dikatakan bahwa jika kita banyak memakai kendaraan listrik, maka impor BBM kita akan berkurang. Ya itu memang benar, tapi ada hal yang jauh lebih besar lagi yang bisa kita capai jika kita mengembangkan ekosistem kendaraan listrik ini dengan serius,” pungkas Alief. 

Dengarkan Perbincangan Alief Wikarta dan IESR di IESR Bicara Energi:

 

Indonesia Kelebihan Pasokan Listrik, Bisakah di Ekspor?

Ekspor Listrik PLTU Tidak Akan Efektif

Pemerintah melalui Kementerian ESDM sedang mengkaji kemungkinan untuk ekspor listrik ke Singapura. Hal ini didasari oleh surplus pasokan listrik yang dialami PLN. Dengan masuknya pembangkit listrik dari proyek 35 GW, dan penurunan permintaan listrik dari dalam negeri. Indonesia akan mengalami surplus pasokan listrik sekitar 40%. Surplus pasokan listrik yang cukup besar ini terjadi karena ada mismatch asumsi saat perencanaan dan penyusunan proyek.

“Proyek 35 GW dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7%. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut diproyeksikan kebutuhan listrik akan meningkat sekitar 8%. Kita tahu sendiri selama 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kita rata-rata hanya 5% setiap tahun, dan pertumbuhan permintaan listrik hanya sekitar 4%, ditambah tahun 2020 ada pandemi Covid–19 yang berdampak langsung pada perekonomian,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review oleh IDX Channel.

Dalam kesempatan yang sama, Fabby menanggapi rencana ekspor listrik oleh pemerintah.

“Hal yang perlu dipahami adalah, ekspor-impor listrik bukanlah hal yang tidak mungkin, tapi perlu ditinjau lagi efektivitasnya dalam konteks saat ini,” tutur Fabby.

Dalam konteks ASEAN, pembicaraan tentang ekspor-impor listrik antar negara ASEAN sudah dimulai sejak 15 tahun lalu. Indonesia sendiri sudah melakukan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) ekspor listrik dengan Tenaga Nasional Berhad (TNB) Malaysia untuk mengekspor listrik dari sistem Sumatera ke Peninsula Malaysia. Kerjasama ini mempertimbangkan periode beban puncak antara Sumatera dan Peninsula Malaysia. Tercatat bahwa sistem Sumatera mengalami periode beban puncak tenaga listrik pada pukul 17.00 – 22.00 sementara beban puncak Peninsula Malaysia terjadi pada pukul 8.00 – 16.00. Melihat perbedaan periode beban puncak tenaga listrik ini maka proses ekspor listrik dari sistem Sumatera ke Peninsula Malaysia memungkinkan terjadi. Proyek ini rencananya akan mulai bergulir pada 2028 mendatang.

Potensi Penerimaan Pasar Luar Negeri

Terkait potensi pasar ekspor listrik, dalam lingkup Asia Tenggara, negara-negara ASEAN sudah banyak berbicara tentang clean electricity. Hal ini disebabkan beberapa negara ASEAN sudah memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) bahkan zero emission. Tahun lalu Singapura menyatakan akan membeli 100 MW listrik dari Malaysia yang berasal dari energi terbarukan.

“Perlu disadari dan dipahami bahwa tren global saat ini adalah pergerakan menuju energi terbarukan,” tambah Fabby

Menurutnya, berdasarkan fakta ini, maka listrik yang berasal dari energi terbarukan akan lebih diminati oleh pasar global karena terkait dengan agenda penurunan emisi GRK dari masing-masing negara.  Indonesia perlu memikirkan hal ini jika ingin serius memasuki pasar global terutama untuk isu ekspor listrik. Hal yang tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah pajak karbon (carbon border tax) yang akan mulai diperhitungkan dari tiap-tiap komoditas dalam perdagangan global, tidak terkecuali daya listrik.

“Akan tidak elok jika kita membangun banyak PLTU, lalu listriknya kita ekspor, nah itu emisinya harus ditanggung Indonesia. Ketika GRK kita tinggi reputasi kita (Indonesia-red) di kancah global akan kurang baik,” jelas Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menyatakan bahwa jika tujuannya untuk menyerap surplus tenaga listrik, ekspor listrik tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka pendek dan solusi ini bukanlah solusi yang berkelanjutan (sustain). Alternatif yang ditawarkan Fabby selain ekspor listrik untuk mengatasi permasalahan surplus daya listrik, yaitu reconsider dan renegotiate

Reconsider berarti Pemerintah harus berani menimbang ulang bahkan menghentikan pembangunan PLTU baru dan mengalihkannya untuk pembangkitan energi terbarukan. Strategi ini akan menghindari over supply pada 2-3 tahun ke depan sekaligus memenuhi target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Saat ini ada sekitar 7,5 GW pembangkit listrik PLTU dari proyek 35 GW yang masih dalam proses perencanaan (perizinan, kontrak, dan lain-lain).  Dengan mengalihkan proyek PLTU menjadi pembangkit energi terbarukan, PLN akan memiliki pembangkit listrik rendah karbon, otomatis emisi gas rumah kaca dari sektor sistem energi akan berkurang.

Sementara re-negotiate adalah upaya pemerintah perlu bernegosiasi dengan pengusaha PLTU untuk menurunkan kapasitas produksi PLTU-PLTU tua, supaya memberi ruang untuk pembangkit energi terbarukan dalam sistem energi. Untuk mendorong penetrasi energi terbarukan dalam sistem energi Indonesia, perlu penurunan kapasitas dari PLTU yang ada saat ini.  

Pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19 diproyeksikan belum berbalik positif dengan cepat. Begitu juga pertumbuhan permintaan listrik. Maka menimbang ulang, dan menghentikan pembangunan PLTU baru akan menghindari over supply pasokan listrik dalam 2-3 tahun ke depan. Karena ketika terjadi over supply pasokan listrik biaya yang harus dikeluarkan (subsidi pemerintah) mahal.

Penurunan Emisi Karbon Melalui Pengembangan Energi Terbarukan Butuh Kolaborasi Semua Pihak

Rangkaian kegiatan 3rd Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 #IETD2020 #TransisiEnergi

 

Jakarta, 7 Desember 2020 Emisi karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) cenderung rendah selama pandemi Covid-19 akibat konsumsi energi listrik yang menurun. Meski demikian, target pengurangan emisi karbon belum di dalam jalur pemenuhan komitmen Perjanjian Paris. Agar penurunan emisi karbon ini berkelanjutan, pemerintah Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan pemulihan pasca Covid-19 dengan lebih masif mengembangkan potensi energi terbarukan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya saat membuka Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 (IETD 2020) menyoroti pula fenomena turunnya harga batubara di pasar internasional dan makin kuatnya komitmen negara pengimpor batubara seperti Cina, Korea dan Jepang untuk netral karbon di 2050.

“Sepuluh tahun lalu, orang mungkin tidak membayangkan bahwa teknologi panel surya akan menjadi salah satu energi untuk menyalakan listrik. Atau, dekade yang lalu, orang mungkin tidak percaya kalau batubara akan menjadi sejarah karena sudah tidak ekonomis lagi. Namun, semua itu sedang terjadi saat ini. Energi surya semakin murah, dan batubara menjadi tidak populer,” ujarnya.

Fabby menjabarkan pula bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar dari sinar matahari, panas bumi, biogas dan tenaga air. Menggunakan potensi-potensi tersebut, Indonesia harus mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025.

Menurut riset IESR, peluang Indonesia untuk mencapai target bauran energi cukup positif. Penetrasi bauran energi di Indonesia dapat mencapai 40%. Studi terbaru IESR dengan Lappeenranta University of Technology (LUT) Finlandia dan Agora Energiewende mengatakan Indonesia dapat mencapai 100 persen permintaan energi terbarukan pada 2050 dengan biaya efektif tanpa berkompromi soal keamanan energi. Untuk mencapai hal itu, diperlukan kolaborasi dari seluruh pemangku kebijakan pemerintah dan masyarakat.

Meskipun belum secepat negara ASEAN seperti Thailand dalam mendorong pengembangan energi terbarukan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan membuat berbagai kebijakan fiskal yang mendukung industri energi terbarukan. Beberapa diantaranya adalah tax holiday (cuti pajak) dan tax allowance (pengurangan pajak) untuk industri energi terbarukan.

Selain itu, Suahasil Nazara, Wakil Menteri Keuangan yang hadir dalam Indonesia Energy Transition Dialog (IETD) menekankan pentingnya sinergi antar lembaga untuk menentukan arah energi terbarukan Indonesia ke depannya.

“Pemerintah pada dasarnya sangat bersemangat terhadap pengembangan energi terbarukan. Mari, setiap lembaga terutama Kementerian ESDM dan lembaga terkait untuk duduk bersama dan berdiskusi secara mendalam, sehingga kami, dari Kementerian Keuangan dapat memberikan dukungan yang maksimal dalam hal mendorong investasi energi terbarukan di Indonesia,” ajak Suahasil.

Pemerintah juga terus berupaya memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia melalui berbagai program pemulihan ekonomi nasional (PEN), yaitu alokasi dana sebesar Rp. 318 triliun. Berkat program tersebut ekonomi Indonesia mulai membaik dilihat dari grafik perkembangan pendapatan nasional sebesar -5,32 persen yang naik menjadi -3,49 persen pada kuartal tiga.

Namun sayangnya, stimulus ekonomi tersebut lebih banyak mengalir ke energi fosil dibandingkan energi terbarukan. Oleh karena itu pemerintah menyediakan pendanaan industri energi baru terbarukan dengan berbagai sumber pendanaan. Salah satunya melalui penerbitan sukuk hijau.

Artikel ini diolah dari hasil diskusi hari pertama di Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Senin, 7 Desember. Ikuti rangkaian kegiatan IETD 2020 yang akan berlangsung dari Senin – Jumat, 7 – 11 Desember 2020, kunjungi ietd.info

Di hari kedua dari rangkaian kegiatan IETD 2020, akan menghadirkan Gubernur dari Jawa tengah, DKI Jakarta, Sumatera Selatan, NTT, dan Bupati Musi Banyuasin dengan penampilan spesial dari Gubernur Chungcheongnam-do, Korea Selatan.

https://ietd.info

IETD 2020: Memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 untuk mengakselerasi transisi energi rendah karbon

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) akan menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) tahun ketiga mulai tanggal 7 hingga 11 Desember 2020 secara virtual dengan fokus pada pemanfaatan momentum pemulihan ekonomi pasca covid untuk mendorong pengembangan energi terbarukan guna mengakselerasi transisi energi di Indonesia.

Ditengah berbagai diskusi tentang strategi untuk pulih dari krisis akibat pandemi, penting bagi Indonesia untuk memiliki agenda pemulihan ekonomi hijau (green economy). Dengan agenda ini, Indonesia diharapkan dapat membangun perekonomian yang lebih tangguh dan berkelanjutan kedepannya, sekaligus dapat memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan sembari mengurangi porsi energi fosil. Untuk itu, penyusunan paket-paket pemulihan perlu dilakukan dengan bijak dan inovatif agar dapat menarik modal dari berbagai sumber. Indonesia juga perlu meningkatkan kerangka investasi  energi terbarukan untuk menarik minat investor swasta yang lebih tinggi guna membantu mendukung pemulihan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.

Dalam sesi selama lima hari ini, para pembicara dan panelis dari berbagai institusi ternama, baik dari dalam maupun luar negeri, akan berbagi pandangan dan pendapatnya lewat serangkaian diskusi-diskusi dan dialog-dialog seputar tema utama IETD 2020. Pada akhirnya, lewat IETD 2020 ini kita berharap untuk dapat juga memfasilitasi diskusi transisi energi nasional, mulai dari bedah hambatan dan tantangan, hingga memikirkan solusi untuk melakukan akselerasi transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

Daftar dan ikuti dialog nya di ietd.info

Konservasi Air Wudhu di dua Pondok Pesantren NU, sebagai bentuk kepedulian kurangi Krisis Iklim

 

Suhu bumi terus meningkat lebih dari 1 derajat celcius, dibandingkan dengan tahun 1900 mengakibatkan adanya perubahan iklim. Berbagai pihak dari beragam kelompok berinisiatif untuk ikut mengambil langkah untuk menjaga kenaikan suhu bumi supaya tidak lebih dari 2℃ bahkan untuk menurunkan suhu bumi. Salah satunya adalah Nahdlatul Ulama. 

Dalam program IESR Bicara Energi, M. Ali Yusuf, Ketua LPBI NU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama), mengatakan bahwa aksi untuk merespon perubahan iklim ini didasari oleh beberapa pandangan dalam Islam, salah satunya tentang relasi manusia dengan alam. Dikatakan Ali Yusuf bahwa “Allah adalah Tuhan untuk semesta alam, bukan hanya untuk manusia. Jadi manusia itu hidup berdampingan dengan alam (tidak bisa dipisahkan). Maka jika alamnya rusak, maka kehidupan manusia pun akan terancam.”

Untuk merespon perubahan iklim yang terjadi saat ini, LPBI NU memiliki beberapa program yang banyak dilakukan di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama yang jumlahnya mencapai 2400 dan tersebar di seluruh Indonesia. 

Beberapa program tersebut antara lain:

  1. Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dengan Gerakan Hijau dan Konservasi Energi Terbarukan
  2. Konservasi Air
  3. Konservasi Pesisir
  4. Penerbitan buku-buku terkait isu lingkungan dan perubahan iklim

Secara khusus Ali Yusuf menjelaskan tentang program konservasi limbah. Program yang masih bersifat rintisan dan swadaya ini berawal dari isu limbah sampah di pesantren. Jika PBNU memiliki 2400 pesantren dan di satu pesantren penghuninya bisa mencapai 15000 santri maka dapat dibayangkan berapa banyak produksi limbah dan sampah yang ada di satu pesantren, kalikan dengan banyaknya pesantren yang ada. 

“Kita mengawali program ini dengan kajian bersama untuk membangun awareness santri-santri ini tentang bagaimana limbah ini dapat menghasilkan energi terbarukan seperti biogas yang bahkan dapat menghasilkan listrik,” ungkap Ali Yusuf.

Karena program ini bersifat swadaya dari masing-masing pesantren, maka capaian masing-masing pesantren berbeda-beda. Ada yang memang sudah bisa memproduksi dan memanfaatkan energi terbarukan ini, namun ada juga yang belum mampu memproduksi, dan baru di level awareness saja.

Salah satu program yang patut mendapatkan apresiasi adalah konservasi air wudhu yang dilakukan di dua pesantren di Pasuruan, Jawa Timur. Secara singkat program ini mengolah kembali air buangan wudhu, dan menjadikannya air minum alkali. 

“Air wudhu itukan bebas deterjen, pembuangannya juga sendiri, tidak bercampur dengan air bekas mandi atau yang lain. Lebih daripada itu, air wudhu itukan penuh dengan doa, sayang sekali kalau terbuang sia-sia.”

Sebelum menutup sesi obrolannya dengan IESR, Ali Yusuf berpesan bahwa masing-masing kita perlu memiliki empati untuk menjaga lingkungan masing-masing.

‘Masing-masing kita ini memiliki tanggung jawab untuk menjaga bumi. Kalau kita biarkan begini terus bumi rusak, bukan tidak mungkin bumi akan hilang suatu saat nanti.’

“Juga untuk pemerintah, masyarakat perlu dilibatkan dalam penyusunan kajian risiko, supaya tahu perubahan apa saja yang pernah terjadi di lingkungannya. Selain itu pemerintah juga perlu mensosialisasikan dokumen-dokumen tentang Perubahan Iklim. Karena (pemerintah) kita seringkali puas ketika sudah menyetujui suatu dokumen. Namun seringkali informasi ini tidak sampai ke masyarakat,” pungkas ketua LPBI NU ini.

Simak perbincangan lengkapnya di IESR Bicara Energi:

Indonesia Harus Siapkan NDC Ambisius Agar Sejalan dengan Deklarasi Silesia

Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia (Silesia Declaration)

Mengenal Silesia

Silesia atau sering juga disebut sebagai Silesia Atas merupakan sebuah provinsi di Polandia dengan ibukota Katowice.  Sebagai wilayah dengan tingkat populasi tertinggi di Polandia, Silesia mengandalkan 85% listriknya dari PLTU sehingga sangat bergantung pada industri batubara. Tercatat di tahun 2017, total produksi batubara tahunannya sebesar 59 juta ton. Industri ini juga menyerap sekitar 73 ribu orang atau mewakili 4,2% dari total pekerjaan di wilayah ini di 2019. Jumlah ini jauh merosot dibandingkan pada 1990, dengan jumlah pekerja 400 ribu orang.

Tidak dipungkiri, aktivitas penambangan batubara yang berjalan sejak abad ke-19 ini melahirkan masalah lingkungan yang signifikan. Gas metana yang dilepas pada saat produksi batubara semakin memperparah kondisi iklim dunia. Hal lain yang menjadi perhatian dunia, selain kerusakan alamnya, adalah polusi udara. Merujuk pada data IQAir, di 2019, salah satu kota di Silesia, Goczalkowice Zdroj, bahkan menjadi kota terpolusi di negara-negara Uni Eropa (UE). Secara tidak langsung, Silesia berkontribusi terhadap sekitar 48 ribu orang, kebanyakan lansia, meninggal secara prematur setiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan polusi udara. Udara yang kotor telah mempersingkat harapan hidup warga Polandia rata-rata sekitar 9 bulan.

Silesia Mau Berubah

Pada COP24 tahun 2018 yang dilaksanakan negaranya sendiri, tepatnya di Katowice, Polandia berkomitmen berubah menuju negara yang bertransformasi ke energi yang ramah lingkungan. Hal ini juga menjadi upaya negaranya untuk memenuhi Kesepakatan Paris untuk membatasi pemanasan global dalam skenario 1,5 – 2°C di tahun 2050.

Ada 3 fokus yang ingin pemerintah Polandia capai yakni inovasi di bidang teknologi yang ramah lingkungan, mengutamakan perubahan yang berorientasi pada sumber daya manusia melalui solidaritas dan transformasi yang berkeadilan, serta memperbaiki alam dengan melakukan manajemen hutan multifungsi secara berkelanjutan. Kepresidenan Polandia mengkonsepkan janjinya ini dalam Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia (Silesia Declaration). Sebanyak 45 perwakilan negara yang hadir di COP24, termasuk Indonesia bersepakat untuk mengadopsi Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia, yang ditandatangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo

Pentingnya Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia 

Semua negara di dunia seharusnya sudah menyadari bahwa transisi energi membawa konsekuensi yang amat mahal dan mengancam sistem ekonominya bila tidak direncanakan dengan matang. Betapa tidak, proses beralihnya suplai energi dari bahan bakar fosil ke sistem energi terbarukan yang lebih efisien, rendah karbon, dan berkelanjutan akan berdampak pada industri energi fosil yang selama ini menjadi sumber pendapatan bagi negara yang kaya sumber daya tidak terbarukan dan lebih dari 10 juta pekerja di dunia.

Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia memuat 7 hal penting yang menjadi arahan negara di dunia untuk mempersiapkan proses transisi energinya. Secara ringkas, Deklarasi Silesia menekankan bahwa proses transisi energi yang efektif dan inklusif bagi para pekerja akan dapat terjadi dengan membangun infrastruktur yang mampu bertahan terhadap perubahan iklim, meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam menciptakan lapangan kerja yang ramah lingkungan, menegaskan tersedianya kesempatan kerja yang lebih luas di energi terbarukan, memitigasi tantangan yang dihadapi oleh industri energi fosil sehingga dapat memastikan masa depan yang layak bagi pekerja terdampak, dan membuka dialog sosial untuk mempromosikan banyaknya keuntungan dari lapangan kerja hijau atau ramah lingkungan.

Sepuluh negara G20 yang mewakili negara di dunia menandatangani Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia adalah Argentina, Kanada, Uni Eropa, Prancis, Jerman, Jepang, Korea Selatan, UK, Amerika dan Indonesia.

Pengaruh Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia Terhadap Strategi dan Kebijakan Energi Tiap Negara

Climate Transparency Report 2020 – sebuah laporan penilaian aksi iklim dari negara – negara G20 yang paling komprehensif di dunia, yang akan segera diluncurkan pada 18 November secara global merangkum respon beberapa negara dalam menjawab komitmennya pada Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia.

Kanada membentuk gugus tugas untuk mempersiapkan pekerja di industri batubara memasuki era transisi energi. Di tahun 2019, sebanyak 150 juta dolar Kanada dipersiapkan bagi komunitas terdampak.

Jerman mengadopsi coal exit law di Juli 2020 yang memuat peta jalan untuk lepas dari ketergantungan pada batubara . Negara ini juga menyiapkan 40 miliar euro sebagai dana kompensasi bagi wilayah penghasil batubara yang terdampak.

Uni Eropa membuat wadah berbagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman dari wilayah penghasil batubara yang sedang melakukan transisi energi kepada masyarakat luas. Uni Eropa juga menyiapkan mekanisme Transisi Berkeadilan yang bertujuan mengumpulkan dana sedikitnya 100 juta euro di 2021-2027.

Afrika Selatan memprioritaskan transisi berkeadilan pada Rencana Pembangunan Nasionalnya (2012). Komisi Perencanaan Nasional telah memulai proses dialog sosial untuk menyusun peta jalan transisi berkeadilan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia berkomitmen dalam Kontribusi (penurunan emisi gas rumah kaca) yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk memenuhi Kesepakatan Paris. NDC Indonesia memiliki target penurunan emisi sebesar 29% dari Business as Usual (BaU) 2030 dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% dengan bantuan internasional. Namun aksi mitigasi untuk energi fosil dalam NDC, menurut kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), tidak memperlihatkan keambisiusan.

Climate Transparency Report 2020 mencatat Indonesia bahkan semakin menggenjot industri batubaranya. Hal ini terlihat dari :

  1. Peningkatan kapasitas PLTU sebesar lebih dari 10 GW selama 2015-2019 dari 24.4 GW menjadi 34.7 GW (Statistik ketenagalistrikan, 2019; Mulyana, 2020).
  2. Meningkatnya konsumsi batubara untuk kelistrikan domestik sebesar 36.5 juta ton selama 2015-2019 dari 61.4 juta ton menjadi 97.9 juta ton (Dirjen Minerba, 2020)
  3. Dalam RUPTL PLN 2019-2028, Indonesia berencana untuk menggandakan kapasitas pembangkit listrik batubara saat ini dengan membangun tambahan 27,1 GW kapasitas PLTU dalam dekade berikutnya. Ini mengindikasikan pangsa batubara dalam bauran listrik menjadi semakin meningkat (PLN, 2019). Di Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN 2019-2038), pemerintah memproyeksikan pada tahun 2038, kapasitas terpasang PLTU batubara dapat mencapai 91 GW (sepertiga dari total kapasitas terpasang) dan pangsa batubara dalam bauran kelistrikan akan tetap 47% (Ditjen Ketenagalistrikan, 2019).
  4. Pemerintah Indonesia juga memberi kelonggaran bagi industri batubara untuk berkembang dengan hilirisasi batubara, memberikan jaminan pinjaman, pembebasan pajak, royalti, dan penetapan batasan harga batubara.

Selaras dengan NDC yang tidak ambisius maka langkah Indonesia untuk mengarah pada tujuan Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia masih sangat jauh. Untuk itu IESR mendorong pemerintah untuk memperbaharui NDCnya dengan melakukan aksi mitigasi di bidang energi seperti, moratorium PLTU baru dan penonaktifan PLTU berdasarkan usia operasi, penggantian pembangkit listrik termal dengan pembangkit energi terbarukan, peningkatan bauran energi terbarukan secara optimal di sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali dan Sumatera tanpa mengurangi keandalan sistem, peningkatan fuel economy pada kendaraan bermotor (mobil dan motor) sesuai dengan standar Global Fuel Economy Initiative (GFEI), peningkatan pemanfaatan electric vehicle (EV) di Indonesia dan peningkatan efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga.

Ikuti peluncuran profil Indonesia:

 

Ini 5 Cara Jadikan Kamu Generasi Sadar Transisi Energi

Jika energi fosil sudah tak lagi tersedia, bagaimana kita memastikan keberlanjutan energi di bumi?

 

Saat ini, mungkin kamu merasa menggunakan energi fosil adalah sah-sah saja. Untuk apa sibuk ganti jalur ke energi terbarukan? Toh, sampai sekarang hidup kita aman-aman saja kok. Kalau panas, tinggal hidupkan AC. Gelap, nyalakan lampu. Atau, saat bangun telat dan harus segera ke kampus, tinggal tarik gas, motor langsung melaju ke tempat tujuan.
Tapi pernahkan kita membayangkan ketika energi fosil yang menjadi bahan bakar semua teknologi yang kita gunakan untuk mempermudah hidup kita itu, dilarang penggunaannya karena semakin tidak ekonomis dan memparah iklim dunia? Belum lagi dampak bawaannya seperti peningkatan gas rumah kaca yang berujung pada krisis iklim yang menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia. Di masa itu akan jamak terjadi cuaca yang ekstrim, munculnya berbagai penyakit baru, banjir, kekeringan, dan kelaparan.
Lebih buruknya lagi, dunia sedang mengarah ke tahapan tersebut. Jika tidak ada antisipasi yang nyata dari pemerintah dan dari diri sendiri, maka seperti itulah gambaran masa depan kita, Indonesia. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasinya? Berikut 5 cara yang bisa kamu terapkan dalam kehidupanmu sehari-hari.

1. Mulai akrabkan dirimu dengan isu transisi energi dan ikut gaungkan, agar pemerintah lari cepat susun strategi tepat dalam pengembangan energi terbarukan!

Meski kelak bahan bakar fosil (batu bara, minyak, dan gas) sudah tidak populer lagi karena dunia mengalami transisi energi, tidak berarti hidupmu mundur ke masa zaman prasejarah. Indonesia punya potensi besar di energi yang bisa menggeser keberadaan energi fosil. Energi ini dikenal sebagai energi terbarukan seperti pada air, bayu, surya dan bioenergi.

Araújo (2014) mendefinisikan transisi energi sebagai proses transformasi dalam suplai energi berbasis bahan bakar fosil menuju sistem energi yang lebih efisien, rendah karbon, dan berkelanjutan dengan energi terbarukan.Transisi saat ini mendorong tercapainya tujuan mitigasi perubahan iklim global dalam membatasi pemanasan global dalam skenario 1,5-2°C di tahun 2050.

Sayangnya, Menurut Agus Praditya Tampubolon, salah seorang peneliti di Institute for Essential Services Reform (IESR) yang juga penulis laporan pembelajaran berjudul National Energy Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario, di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang pemerintah susun, target pengembangan energi terbarukan hanya kecil, 23 persen di tahun 2025, berarti sisanya masih menggunakan energi fosil. Hingga tahun 2020, pencapaian target itu masih sebatas 15 persen. Bandingkan dengan India yang punya target 42 persen energi terbarukan di tahun 2022, dan sudah tercapai 18 persen. Indonesia kalah jauh. Supaya bisa mengejar ketertinggalan, mari kita dorong agar para pemangku kebijakan dan berbagai pihak harus duduk bersama untuk merumuskan ulang RUEN yang memuat porsi energi terbarukan lebih masif, termasuk strategi pencapaiannya.

2. Jadikan aktivitas jalan kaki, bersepeda, menaiki kereta, bus atau moda transportasi publik lainnya sebagai gaya hidup kekinian

Selain memang untuk berpartisipasi dalam pengurangan penggunaan karbon, lifestyle ini juga cara untuk membiasakan diri sebelum kendaraan berbahan bakar minyak tidak beroperasi lagi. Lho kok bisa? Tentu saja ini mungkin terjadi, menilik di Kesepakatan Paris termuat perjanjian bahwa di tahun 2035-2040 tidak boleh lagi ada penjualan kendaraan konvensional, berbasis bahan bakar minyak, melainkan beralih ke kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.

Pasalnya, perkembangan ekonomi sejalan dengan naiknya kebutuhan akan transportasi. Di Indonesia sendiri, 90 persen kendaraan di Indonesia menggunakan bahan bakar minyak yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi rumah kaca yang berbahaya bagi kehidupan manusia.

Julius Christian Adiatma, periset di IESR dan penulis seri kedua dari lima seri laporan studi mengenai Peta Jalan Transisi Energi Indonesia yang berjudul A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia: A Technological Perspective menekankan jika pemerintah tidak melakukan sesuatu untuk menyiasati hal ini misalnya dengan (lagi-lagi) menyiapkan strategi transisi energi yang holistik, seperti menyediakan pola transportasi barang dan orang yang ramah lingkungan, pengembangan kendaraan listrik, bahan bakar nabati, dan peraturan pendukung lainnya, maka akan terjadi kerugian ekonomi yang besar akibat sistem distribusi yang tidak terencana dengan baik. Bayangkan berapa banyak kang paket yang kelelahan karena mengantar barang orderanmu sambil berjalan kaki? hujan-hujanan lagi…

3. Pikirkan baik-baik karirmu ke depan, jangan sampai terjebak di industri yang mau tutup!

Bila melihat perkembangan di dunia internasional dengan tren transisi energinya, salah satu industri energi fosil yang paling terdampak adalah pertambangan batubara.

Deon Arinaldo, salah seorang periset di IESR yang juga merupakan penulis laporan telaah Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry menjelaskan bahwa negara pengekspor batu bara dari Indonesia seperti Cina mempertimbangkan untuk membatasi penggunaan batubara karena menghasilkan polusi udara dan melindungi batubara domestiknya. Sementara Indonesia adalah salah satu negara pengekspor batubara terbesar. Cadangan batubara Indonesia saja sebesar 26,2 miliar ton.

Bayangkan bila pemerintah tidak melihat tren ini dan menyiapkan langkah-langkah pencegahan menjelang pertambangan batubara tutup seiring dengan munculnya berbagai inovasi dan teknologi di bidang energi terbarukan. Ratusan ribu orang akan kehilangan mata pencahariannya. Jangan sampai kamu salah satunya!

4. Pertimbangkan bangunan rumah impian masa depanmu yang menggunakan lebih banyak energi terbarukan dan adaptif terhadap perubahan iklim

Studi IESR pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sistem yang menggunakan 43% energi terbarukan akan menurunkan biaya operasi dan investasi (sistem) sepuluh tahun lebih rendah daripada sistem berbasis bahan bakar fosil yang ditetapkan pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018. Tentu saja, hal ini akan dirasakan oleh semua konsumen energi terbarukan, baik di bidang industri maupun rumah tangga.

Kamu pun bisa menjadi bagian dari transisi energi dan adaptasi perubahan iklim ini dengan memperhatikan bangunan rumah impianmu. Nah, mulailah merancang konstruksi rumah yang aman bencana, misalnya menyiapkan tempat penyimpanan air yang cukup bila terjadi musim kering berkepanjangan. Bangun atap yang kuat untuk menahan terpaan hujan lebat. Persiapkan perahu karet bila sewaktu-waktu rumahmu kebanjiran. Terpenting, pilih peralatan elektronik yang hemat energi, atap yang mampu memantulkan cahaya sehingga tidak perlu menghidupkan lampu sepanjang hari, dan memasang panel surya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam rumah. Terakhir, yah, jangan jomblo…

5. Perbanyak makan protein nabati dibandingkan protein hewani

Memang sih, praktek pertanian dan peternakan tidak membutuhkan banyak energi dibanding dengan sektor lain tapi bidang ini mengeluarkan banyak gas rumah kaca, terutama dari kotoran ternak. FAO mencatat 14,5 persen gas rumah kaca dihasilkan dari peternakan, terutama peternakan sapi. Poore and Nemece menghitung 17.7 kg karbondioksida dihasilkan dari produksi 50-gram daging sapi, sementara peternakan ayam menghasilkan 2.9 kg karbondioksida untuk produksi 50-gram daging ayam.

Kamu bisa mulai dengan mengurangi mengkonsumsi daging sapi, dan menggantinya dengan daging ayam, atau yang paling baik lagi beralih ke protein nabati yang bersumber dari kacang-kacangan.

Tentu, kedepannya pemerintah perlu memikirkan hal ini juga saat mempersiapkan strategi yang jelas dalam menghadapi transisi energi. Dengan demikian, akan terbentuk pertanian dan peternakan dengan standar ramah lingkungan.


Want to deepen your knowledge about the energy transition? How is Indonesia’s preparation regarding the energy transition?

Join our third annual Indonesia Energy Transition Dialogue, Virtual Conference on December 7 – 11 2020. Submit your application now at ietd.info

Subscribe now to prove you are a part of energy transition generation!

Mengadopsi “Resep Surya” India dan Vietnam untuk Indonesia

 

“Energi surya adalah raja (solar power is king),”

demikian salah satu kesimpulan dari laporan World Energy Outlook 2020 dari International Energy Agency (IEA). Secara global, harga listrik dari energi surya telah menjadi yang terendah dibandingkan dengan sumber energi fosil dan sumber energi terbarukan lain. Pertumbuhan tahunan pembangkit listrik tenaga surya terus memimpin dari tahun ke tahun, dan IEA memperkirakan di tahun 2040 pertumbuhannya akan mencapai 200 GW/tahun, dua kali lipat dari pertumbuhan saat ini. 

 

Belajar dari India

India merupakan salah satu pemain terdepan energi surya di dunia. Sejak tahun 2000an, pemerintah India telah menggarap energi surya secara serius. Misi Surya Nasional (National Solar Mission) dideklarasikan oleh India pada tahun 2010, dengan target “hanya” 20 GW pada tahun 2022. Selain komitmen politik yang kuat, target yang jelas, serta turunan kebijakan dan regulasi yang mendukung, terbukanya pasar energi surya global yang berkontribusi pada penurunan harga modul surya kemudian mendorong India untuk merevisi target tersebut menjadi 100 GW, dan ditambah kembali menjadi 200 GW dengan tenggat waktu yang sama. 

“Resep surya” India yang membuat mereka berhasil mengembangkan energi surya hingga puluhan dan akan mencapai ratusan gigawatt mencakup:

  1. Komitmen politik dan kebijakan yang konsisten dengan target jangka panjang yang jelas dan terarah. Dengan adanya komitmen ini, pengembang lokal dan internasional memiliki keyakinan untuk membangun PLTS di India karena mampu memproyeksikan bisnis mereka dalam 10 sampai 20 tahun mendatang. Selain itu, banyaknya pengembang yang tertarik membangun PLTS juga meningkatkan daya saing, banyak dari mereka yang mampu menawarkan harga energi surya rendah. Pemerintah India juga menetapkan ketentuan Renewable Purchase Obligation (RPO), di mana setiap negara bagian wajib menetapkan target  energi terbarukan sebagai prioritas yang harus dicapai. Pemerintah negara bagian juga membantu pencapaian target ini dengan mempermudah akuisisi lahan atau perizinan.
  2. Implementasi kebijakan dalam program dan proyek yang lebih nyata. Pemerintah India membuat satu perusahaan milik negara yang khusus membantu pencapaian Misi Surya Nasional, yaitu Solar Energy Corporation of India Limited (SECI). Dengan misi sangat spesifik ini, SECI bertanggung jawab akan penyaluran bantuan pembiayaan untuk pengembangan PLTS melalui berbagai skema, misalnya viability gap fund (VGF) untuk PLTS skala besar, pembukaan solar park, dan skema khusus, seperti skema canal-top (PLTS di atas kanal/saluran air). 
  3. Tersedianya dukungan pembiayaan melalui National Clean Energy and Environmental Fund (NCEEF), pendampingan finansial kepada pengembang proyek dan optimalisasi pendanaan secara publik.
  4. Proses pengadaan (procurement) yang efektif dan menciptakan daya saing. Dengan desain yang baik, dilakukan transparan, serta dibuat dalam skala besar, lelang terbalik (reverse auction) yang diadopsi pemerintah India mampu menghasilkan harga pembangkitan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan energi fosil.  

Meski demikian, terdapat juga beberapa risiko yang harus digarisbawahi, di antaranya penundaan pembayaran dari offtaker (perusahaan listrik), curtailment (keterbatasan penyerapan energi surya ke jaringan), fluktuasi mata uang asing, proses akuisisi lahan dan bangunan yang terkadang menemui kendala, serta beberapa perubahan kebijakan dan regulasi yang juga bisa bervariasi di masing-masing negara bagian. 

Simak diskusi daring IESR #GigawattClub episode pertama di tautan berikut:


 

Belajar dari Vietnam

Di Asia Tenggara, Vietnam saat ini dikenal sebagai solar power house karena menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam waktu singkat. Hingga 2019, Vietnam berhasil meningkatkan kapasitas total PLTS (skala besar dan PLTS atap) hingga lebih dari 5 GW, dari sekitar 100 MW pada 2017. Akhir tahun ini, kapasitas terpasang mereka diprediksikan akan mencapai 10 GW. Untuk PLTS skala besar, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk konstruksi dan commissioning juga sangat cepat, yakni 275 hari.

Apa “resep surya” Vietnam sehingga bisa mencatatkan perkembangan yang masif ini? Terdapat beberapa kesamaan strategi Vietnam dan India untuk mendorong energi surya mereka, juga beberapa langkah inovatif yang disesuaikan dengan konteks negara, yaitu:

  1. Pemerintah Vietnam merespon ancaman krisis listrik di masa depan dengan memastikan keamanan pasokan energi dari energi terbarukan. Energi surya menjadi pilihan Vietnam karena lebih cepat dibangun, melibatkan banyak pihak untuk investasinya sehingga tidak membebani anggaran negara dalam jangka panjang, dan harga teknologi surya yang semakin lama semakin rendah akan berkontribusi pada penurunan harga energi secara keseluruhan.
  2. Selain untuk mengamankan pasokan energi, energi surya juga menjadi strategi pemerintah Vietnam untuk pembangunan hijau, menumbuhkan ekonomi dalam negeri, dan upaya keluar dari jebakan negara berpendapatan rendah (middle-income trap).
  3. Adanya kebijakan yang tepat, konsisten, dan menarik, salah satunya dengan penetapan feed-in-tariff (FiT). Sejak 2017 hingga saat ini, pemerintah Vietnam merancang dan menerapkan FiT dengan desain adaptif yang disesuaikan dengan lokasi serta perkembangan pasar surya dalam negeri. Dengan kepastian regulasi dan dukungan pemerintah, proyek-proyek surya di Vietnam dinilai menarik secara ekonomi dengan IRR pada angka belasan. Pengguna PLTS atap rumahan dan bangunan komersial juga dapat menikmati FiT ini sehingga penggunaan PLTS atap dilihat sebagai investasi yang menguntungkan.
  4. Terbukanya akses pada sumber pembiayaan, di mana pengembang dapat memobilisasi pembiayaan dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing.
  5. Adanya berbagai insentif dan kemudahan, misalnya pembebasan tarif impor barang, termasuk modul surya, dan pembebasan pajak penghasilan untuk pengembang selama 4 tahun pertama dan diskon di tahun-tahun berikutnya. Selain itu, pemerintah juga membebaskan sewa tanah untuk proyek-proyek PLTS tertentu sampai dengan 14 tahun.
  6. Perusahaan listrik negara (EVN) mendukung pemanfaatan energi surya secara masif dan memiliki beberapa skema yang ditujukan untuk target berbeda-beda; misalnya platform EVNSolar untuk pengguna PLTS atap, dan direct/corporate PPA (power purchase agreement), di mana penjualan listrik dimungkinkan antar pihak tanpa terlebih dahulu menjualnya ke EVN.
  7. Dukungan lembaga pembiayaan dan perbankan dalam bentuk skema pembiayaan menarik, misalnya soft loan. 

Simak diskusi daring IESR #GigawattClub episode kedua di tautan berikut:


 

“Resep Surya” yang bisa diadopsi oleh Indonesia

Meski memiliki potensi energi surya yang tinggi, pertumbuhan energi surya di Indonesia terbilang lambat, termasuk karena iklim investasi yang kurang mendukung. “Resep surya” India dan Vietnam yang dapat diadopsi ke dalam konteks Indonesia di antaranya:

  1. Adanya komitmen politik yang kuat dengan target dan perencanaan yang strategis dan jelas. Konsistensi kebijakan dan adanya target serta rencana jangka panjang dianggap sebagai sinyal kepastian untuk pengembang.
  2. Proses dan prosedur administrasi yang lugas, sederhana, dan transparan.
  3. Jaminan ketersediaan jaringan dan penyerapan, sehingga tidak terjadi curtailment. 
  4. Reformasi subsidi listrik dan tarif listrik, dengan mempertimbangkan potensi aset terdampar (stranded assets) dari energi fosil dan keekonomian energi terbarukan termasuk energi surya saat ini. Untuk penyediaan listrik perdesaan, PLTS dapat menjadi alternatif penyediaan akses energi yang least-cost dan untuk menggantikan PLTD berbahan bakar diesel. PLTS atap juga bisa menjadi pengganti subsidi listrik untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin.
  5. Perlunya skema inovatif untuk mendorong pemanfaatan energi surya bagi beragam sektor, seperti direct PPA yang memungkinkan sektor komersial atau industri (C&I) untuk menjual atau mendapatkan listrik energi terbarukan secara langsung dari perusahaan lain.  
  6. Untuk PLTS skala besar, pemerintah perlu menyediakan lokasi atau kawasan eksklusif (solar park) atau membantu pengembang untuk mengakuisisi atau menyewa lahan dengan biaya rendah. Solar park ini perlu terintegrasi dengan kegiatan ekonomi atau industri terdekat.
  7. Perlunya strategi sosialisasi dan peningkatan kesadaran atau minat berbagai kalangan. Sebagai sumber energi yang demokratis, peran serta pemerintah di berbagai tingkat, masyarakat, kelompok industri dan komersial akan membantu peningkatan pemanfaatan energi surya dengan sumber-sumber pembiayaan yang beragam. Lembaga keuangan juga dapat berpartisipasi secara aktif untuk menyediakan skema pembiayaan yang menarik. 

Jadi bisakah Indonesia segera menyusul India dan Vietnam masuk ke dalam Gigawatt Club energi surya?