Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 1)

(Bagian 1 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Trump vs. Publik AS

foto: media.salon.com

Akhirnya Donald Trump mengumumkan secara resmi Amerika Serikat (AS) keluar dari Paris Agreement. Keputusan ini mewarnai berita media cetak, media elektronik dan media sosial di seluruh dunia sepanjang akhir pekan lalu. Berbagai komentar dari pemimpin-pemimpin negara maju dan berkembang (minus komentar Presiden Joko Widodo), para tokoh politik, akademisi asal AS dan negara lain memenuhi berbagai kanal pemberitaan.

Keputusan ini tidaklah terlalu mengejutkan. Sejak masih menjadi calon Presiden AS, Trump dan para pendukungnya telah mengancam akan membatalkan keikutsertaan AS dalam kesepakatan iklim global ini. Apa yang dilakukan Trump adalah pelaksanaan janji kampanyenya.

Saat berpidato pada Kamis (1/06) lalu berkali-kali Trump mengatakan bahwa Paris Agreement merupakan kesepakatan yang buruk (bad deal) bagi AS Trump. Dia beralasan keikutsertaan AS dalam perjanjian ini berdampak terhadap daya saing ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Trump mengutip hasil kajian NERA Consulting yang mengatakan Amerika dirugikan $ 3 triliun dalam beberapa dekade mendatang, dan kehilangan 6,5 juta kesempatan kerja.

Kajian NERA sesungguhnya didanai oleh dua kelompok pro-bisnis yang anti regulasi di bidang lingkungan, American Chamber of Commerce dan American Council for Capital Formation, yang juga didukung secara finansial oleh Koch Brothers. Oleh karenanya klaim berdasarkan kajian tersebut sangat diragukan, apalagi kajian tersebut tidak memperhitungkan dampak bagi bisnis perusahaan AS dalam bidang energi terbarukan.

Keputusan Trump ini sesungguhnya bertentangan dengan pendapat mayoritas warga AS yang justru tidak menghendaki negaranya keluar dari Paris Agreement. Dalam survei yang dilakukan Harvard School of Public Health dan Politico pada April lalu, sekitar 62 persen warga AS menghendaki tetap ikut dalam Paris Agreement. Survei lain juga menemukan bahwa para pemilih AS mendukung untuk tetap ikut serta dalam Paris Agreement dengan rasio 5 berbanding 1 dengan pemilih yang tidak setuju.

Sejumlah kelompok bisnis, termasuk perusahaan-perusahaan raksasa AS yang masuk dalam Fortune 500, diantaranya Apple, Google, HP, Microsoft, Morgan Stanley, pun secara tegas mendukung agar AS tetap di Paris Agreement. Mereka beralasan hal tersebut dapat memperkuat daya saing, menciptakan lapangan kerja, pasar dan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi risiko bisnis. Paska pengumuman Trump, sejumlah CEO perusahaan-perusahaan terkemuka AS seperti Tesla, Disney, General Electric, dan lembaga keuangan raksasa seperti Goldman Sachs, JP Morgan’s, dan Blackrock menyatakan penolakan mereka atas keputusan Trump tersebut. Bahkan CEO Tesla, Elon Musk dan CEO Disney, Bob Iger, menyatakan mundur dari dewan penasehat Presiden.

Jika mayoritas publik dan pimpinan-pimpinan bisnis raksasa AS menentang keputusan politik ini, mengapa Trump mengambil keputusan yang kontroversial tersebut? Bagi ekonom MIT, Paul Krugman, keputusan Trump menarik dari Paris Agreement tidak ada hubungannya dengan daya saing atau pekerjaan tetapi karena tidak suka dengan keputusan pemerintah Obama, “..mainly it’s about spite: Obama made deals liberal likes, so it must die.”

Dengan kata lain, Krugman bilang bahwa alasannya Trump keluar dari Paris Agreement cukup sepele, dia hanya ingin mematikan inisiatif apapun yang pernah dibuat oleh Obama. Kalau benar adanya, ironis sekali bahwa ego seseorang atau sekelompok orang mengalahkan kepentingan milyaran umat manusia dan mengancam keberlanjutan peradaban.

Partisipasi AS dalam Paris Agreement paska pengumuman Trump

Setelah pengumuman Trump, sesungguhnya tidak secara otomatis AS bisa langsung keluar sebagai party dari Paris Agreement. Sesuai dengan Paris Agreement pasal 28, pihak yang meratifikasi (party) baru dapat meninggalkan kesepakatan ini setelah tiga tahun sejak kesepakatan ini berkekuatan hukum tetap (entered into force) bagi pihak tersebut, dengan menyampaikan pemberitahuan (notifkasi) pengunduran diri. Paris Agreement memang disepakati pada 2015, tetapi baru berkekuatan hukum pada November 2016. Dengan demikian, jika konsisten dengan ketentuan di pasal 28, maka AS baru dapat keluar dengan resmi paling cepat di November 2020.

Jika AS tidak ingin menunggu selama itu, maka opsi yang tersedia adalah AS keluar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berkekuatan hukum tetap (entered into force) pada 1994. UNFCCC adalah perjanjian internasional dalam perubahan iklim, yang menjadi payung Paris Agreement. Dalam pidatonya, Trump tidak menyinggung AS akan keluar dari UNFCCC, tetapi dia menyatakan akan menegosiasikan ulang bagaimana AS akan bergabung kembali (reentered) dengan Paris Agreement, atau dengan kesepakatan yang sama sekali baru. Hingga kini tidak jelas bagaimana bentuk kesepakatan baru yang akan dinegosiasikan Trump.

Dalam situasi dimana AS masih tetap berada dalam Paris Agreement (sebagai party) sampai November 2020, maka delegasi AS masih dapat mengikuti negosiasi di Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA). Jika AS ingin merusak kesepakatan ini, maka mungkin saja negosiator AS melakukan upaya-upaya yang mengganggu dan memperlambat proses negosiasi yang sedang berlangsung untuk mempersiapkan modalitas, prosedur dan peraturan sebagai instrumen operasionalisasi Paris Agreement. Sesuai dengan mandate APA, berbagai instrument ini harus diselesaikan pada 2018, sehingga dapat disahkan sebelum 2020.

Jika skenario ini terjadi dan kesepakatan tidak tercapai pada 2018, implementasi Paris Agreement dapat terlambat, dan menimbulkan situasi ketidakpercayaan diantara para negara pendukung Paris Agreement. Situasi ini dapat membuka kesempatan bagi pemerintah AS (dibawah Trump) untuk menawarkan kesepakatan alternatif kepada negara-negara tertentu.

Tindakan yang merendahkan produk kesepakatan global bukanlah hal baru bagi pemimpin AS yang berasal dari Republikan. Dalam konteks negosiasi perubahan iklim, AS pernah menolak meratifikasi Protokol Kyoto, setelah Bush menggantikan Clinton sebagai Presiden. Padahal AS merupakan salah satu pihak yang membidani lahirnya Protokol Kyoto (PK) di COP-3 tahun 1997. Konsekuensinya adalah AS tidak bisa ikut dalam track perundingan PK, tetapi ada sebagai party UNFCCC, dan merundingkan implementasi UNFCCC.

Tindakan pemerintah AS melalukan aksi unilateral sebagai bentuk penentangan terhadap kesepakatan global juga dilakuan. Pada 2002, pemerintah AS membuat instrumen dapat yang “menandingi” Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakati di tahun 2000. Salah satu keberatan AS sehingga membentuk MCA adalah pendekatan target-setting yang dilakukan MDGs.

Untuk menekankan posisi mereka atas MDGs, pemerintah AS membuat Millenium Challenges Account (MCA) dan membentuk lembaga tersendiri, Millenium Challenge Corporation (MCC), untuk mengelola dana yang diberikan kepada negara-negara berkembang yang memenuhi kriteria kelayakan (eligibility criteria) yang ditetapkan pemerintah AS. Dana diberikan kepada proyek-proyek yang sesuai dengan prioritas dan kriteria lain yang ditetapkan oleh MCC.

Dari dua kasus diatas dapat dilihat bahwa AS tidak segan-segan mengabaikan atau keluar dari kesepakatan internasional dan berjalan sendiri, sepanjang kesepakatan atau perjanjian tersebut dianggap tidak sesuai dengan kepentingan AS.

(bersambung ke bagian 2)

Jakarta, 4 Juni 2017

Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 2)

(Bagian 2 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Sebagai negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia sesudah China, keluarnya AS dari Paris Agreement dapat berdampak terhadap dua hal: pertama, pencapaian target kenaikan temperatur 2/1,5°C, dan kedua, pendanaan untuk mendukung proses negosiasi internasional, dan pendanaan iklim untuk mendukung aksi mitigasi, aksi adaptasi dan pengembangan kapasitas di negara-negara berkembang.

Implikasi terhadap Target 2/1,5°C

Bisa dikatakan keluarnya AS dari Paris Agreement membuat upaya untuk mencapai target kenaikan temperatur global dibawah 2°C, apalagi 1,5°C akan semakin sulit. Saat ini temperatur global telah naik sekitar 1°C, oleh karena itu upaya bangsa-bangsa yang telah meratifikasi Paris Agreement adalah mencegah kenaikan temperatur 1°C yang tersisa.

Pada 2014, emisi AS mencapai 6,87 juta tonCO2eq dan berkontribusi 14% dari total emisi global. Di bulan September 2016, AS meratifikasi Paris Agreement dan sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC), AS berjanji mengurangi emisi 26-28% dibawah tingkat emisi 2005 pada 2025, termasuk emisi dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF). Dengan target ini sekalipun, komitmen penurunan emisi AS dinilai tidak cukup amibisius untuk mencapai target 2°C. Terlebih dengan adanya kebijakan Trump yaitu, America First Energy Plan, dan Executive Order on Energy Independence, yang berpotensi membatalkan kebijakan Clean Power Plan, maka sangat besar kemungkinan AS tidak akan mencapai target NDC-nya.

Apabila AS gagal mengurangi emisi sesuai dengan bagian yang adil (fair share), maka kesempatan untuk mempertahankan kenaikan temperatur global dibahwa 2°C semakin berat. Sejumlah skenario menyatakan bahwa untuk dapat membatasi kenaikan temperatur dibawah 2°C, maka emisi global harus mencapai puncak sebelum 2030 lalu turun hingga pertengahan abad ini. Dalam artikelnya di Jurnal Nature Climate Change Oktober 2011, Rogelj, dkk (2011) menyatakan bahwa untuk dapat tetap dibawah 2°C maka emisi harus mencapai puncak (peak) sebelum 2020, dan turun pada tingkat 44 GtCO2 pada 2020. Intinya adalah aksi mitigasi harus dilakukan secepatnya, dan penurunan emisi tidak boleh terlambat.

Sanderson dan Knutti (2016), dalam artikel yang juga terbit di Jurnal Nature Climate Change, Desember 2016 menyatakan bahwa keterlambatan (delay) dalam target mitigasi di AS dapat membuat target 2°C tidak tercapai. Sanderson dan Knutti menyatakan bahwa jika AS tidak bertindak untuk mengurangi emisi GRK dalam periode tanpa aksi (inaction) 4-8 tahun (sesuai dengan masa jabatan Presiden AS), maka emisi gas rumah kaca di atmosfer akan meningkat setara atau lebih dari emisi GRK yang harus dipotong untuk mencapai target yang disepakati dalam Paris Agreement.

Tim Climate Interactive dari MIT dalam analisisnya menyampaikan bahwa tanpa partisipasi AS, temperatur global akan lebih tinggi 0.3°C pada akhir abad ini dibandingkan dengan tingkat temperature yang terjadi jika janji penurunan emisi negara-negara yang tergabung dalam Paris Agreement berupa target INDC/NDC dapat tercapai. Kontribusi AS terhadap total penurunan emisi global mencapai 21 persen. Menurut kajian Climate Interactive, jika tidak ikut serta dalam Paris Agreement, emisi AS akan mencapai 6,7 GtCO2/tahun pada 2025, dibandingkan dengan 5,3 GtCO2/tahun jika AS menjalankan komitmen penurunan emisinya sesuai dengan NDC.

Sumber: Climate Interactive (Mei, 2017)

Walaupun demikian, terdapat keyakinan bahwa walaupun pemerintah federal AS keluar dari Paris Agreement, hal ini tidak mempengaruhi negara-negara bagian dan kota-kota yang telah menetapkan target penurunan emisi dan energi terbarukan. Aksi dari negara bagian dan kota-kota ini dapat memenuhi target penurunan emisi AS. Sehari setelah pengumuan Trump, perwakilan dari negara bagian, kota-kota dan universitas serta perusahaan di AS merencanakan penyampaian rencana pengurangan emisi kepada UN, untuk memenuhi janji penurunan emisi AS yang dibuat sebelumnya. Mereka menyampaikan target penurunan emisi 26 persen pada 2025, setara dengan target NDC.

Implikasi terhadap pendanaan iklim

Pada tahun 2016, AS merupakan pendukung dana utama dengan jumlah $ 6,44 juta per tahun atau 20 persen dari operasionalisasi UNFCCC. Posisi AS terhadap agenda perubahan iklim global dan penarikan diri dari Paris Agreement dapat mengancam kemampuan operasionalisasi UNFCCC. Sebelumnya, Trump telah merencanakan untuk menghentikan dukungan pendanaan dari AS kepada UNFCCC dan inisiatif perubahan iklim lainnya dimulai pada tahun anggaran 2018.

Dengan menyatakan keluar dari Paris Agreement, secara logika pemerintahan Trump bisa berdalih bahwa tidak ada urgensi untuk ikut serta dalam UNFCCC dan menarik dukungan pendanaan yang diberikan selama ini. Dengan demikian, tanpa adanya sumber dana lain yang menambal celah yang ditinggalkan AS, operasionalisasi UNFCCC, termasuk proses negosiasi yang sedang berjalan untuk merumuskan modalitas operasional Paris Agreement dapat terganggu. Demikian juga dengan operasionalisasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan yang memberikan kajian dan rekomendasi berbasis ilmiah untuk isu perubahan iklim kepada UNFCCC, dapat terpengaruh.

Absennya AS dalam Paris Agreement dapat mengganggu arus pendanaan iklim yang dimaksudkan untuk mendukung proyek-proyek adaptasi dan mitigasi di negara-negara berkembang. Sebelumnya, Obama menjanjikan $ 3 miliar dari total target $ 10 miliar untuk GCF. AS sudah mengucurkan sebesar $ 1 miliar sampai dengan 2016. Sesuai kesepakatan Paris, negara-negara maju berjanji untuk mobilisasi pendanaan iklim hingga mencapai $ 100 milyar pada 2020-2025. Tanpa kontribusi AS, mobilisasi pendanaan iklim akan menghadapi tantangan yang cukup serius.

Di era Obama, aliran pendanaan iklim (climate finance) dari AS sebesar $ 2.6 milyar per tahun, dengan total 2010 – 2015 sebesar $15,57 milyar. Sebagai contoh, pada 2015, lebih dari 86 persen pendanaan iklim diberikan melalui kerjasama bilateral dan sekitar 16 persen atau senilai $ 422 juta disalurkan melalui lembaga multilateral seperti Global Environmental Fund (GEF) dan Climate Investment Fund (CIF) dan Montreal Protocol Multilateral Fund. Lebih dari 60 persen pendanaan iklim disalurkan dalam bentuk kredit investasi melalui lembaga pendanaan milik pemerintah AS, OPIC dan Exim Bank.

Proposal anggaran yang disusun Trump meniadakan anggaran untuk program Global Climate Change Initiative (GCCI). Program ini dibentuk di masa Obama dengan total anggaran $2.4 miliar pada 2010-2016, atau $ 330-340 juta setiap tahunnya. Melalui program ini, AS memberikan dana kepada UNFCCC, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dukungan untuk proses internasional melalui Clean Energy Ministerial (CEM), Climate and Clean Air Coalition, dan Enhance Capacity for Low Emission Strategies (LEDS). Anggaran tersebut juga menghilangkan alokasi untuk GCF, Clean Technology Fund (CTF), Strategic Climate Fund (SCF). Total dana yang dihilangkan dari keempat inisiatif ini sebesar $1,59 miliar. Dengan demikian, pada 2018, Trump menghilangkan kontribusi AS untuk agenda perubahan iklim global dengan total $2 miliar.

Memperkuat kerjasama dan kemitraan global untuk menghadapi perubahan iklim

Keluarnya AS dari Paris Agreement memberikan ketidakpastian terhadap pencapaian target kenaikan temperatur global 2/1.5°C, dan target mobilisasi pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tanpa adanya upaya untuk menutupi kesenjangan emisi sebesar 1,5 – 1,6 GtCO2eq per tahun, target Paris Agreement bisa tidak tercapai. Paling tidak diharapkan negara-negara yang telah meratifikasi Paris Agreement untuk konsisten dengan target mitigasi dan mulai melakukan aksi mitigasi sedini mungkin, sebelum 2020.

Tahap berikutnya adalah mengkaji target penurunan emisi yang lebih ambisius sesuai dengan porsi yang adil (fair share), khususnya bagi negara-negara G-20, yang menghasilkan 70 persen emisi global. Ini artinya negara-negara tersebut harus meningkatkan ambisinya, diatas komitmen INDC/NDC, dan mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mengurangi pembangkit batubara secara bertahap. Kajian yang dibuat oleh Climate Analytics memberikan gambaran untuk dapat mencapai target Paris Agreement, pembangkit batubara negara-negara OECD dan EU harus sepenuhnya dipensiunkan sebelum 2030, dan 2040 untuk Cina.

Dalam jangka pendek, operasionalisasi GCF dapat terkena dampak. Persetujuan proposal dan Implementasi proyek-proyek mitigasi dan adaptasi dapat terhambat karena terdapat kekurangan penerimaan $2 milyar dari total mobilisasi 10 milyar, yang berasal dari pembatalan kontribusi AS yang seharusnya berjumlah $ 3 miliar.

Berkurangnya dukungan pendanaan AS untuk sejumlah inisiatif global atau multilateral yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan energi bersih dapat mempersempit ruang-ruang untuk membuat konsensus bagi sejumlah negara kunci, diluar proses UNFCCC. Kerjasama internasional seperti Clean Energy Ministerial (CEM) yang dapat mendorong inovasi teknologi dan kebijakan untuk mendorong pengembangan energi bersih dapat melambat, jika tidak ada upaya dari negara lain untuk menutupi lubang yang ditinggalkan AS. Kerjasama bilateral antara AS dengan sejumlah negara berkembang untuk mendorong transisi pembangunan rendah karbon secara lebih cepat sepertinya akan terhenti.

Dalam situasi ini, pilihannya adalah meningkatkan solidaritas global untuk mempertegas komitmen masyarakat internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Sepertinya diperlukan sebuah aliansi global baru minus AS untuk memastikan keberhasilan Paris Agreement. Negara-negara anggota G-20 dapat mengambil alih kepemimpinan global mengatasi perubahan iklim secara kolektif melalui kerjasama investasi, inovasi dan teknologi energi bersih.

Peluang ini juga dapat digunakan Indonesia, yang merupakan salah satu negara besar secara ekonomi dan emisi, untuk memperkuat diplomasi perubahan iklim global bersama-sama dengan India dan China (juga Brazil, Mexico dan Africa Selatan) membentuk “Aliansi Selatan-Selatan” untuk mendorong peran negara berkembang dalam kerjasama pendanaan, dan alih teknologi bersih, dan pelestarian hutan dan gambut. Indonesia juga dapat memperkuat kerjasama dan kemitraan dengan negara-negara kecil di Pacific, yang telah ada selama ini melalui kerjasama teknik, dengan memperluasnya ke kerjasama teknologi dan finansial untuk adaptasi perubahan iklim.

Semoga Presiden Joko Widodo memiliki visi global dan bertransformasi menjadi salah satu pemimpin dunia yang berkomitmen menyelamatkan dunia dari ancaman perubahan iklim.

Jakarta, 4 Juni 2017

Pencabutan Subsidi Listrik: Mahal atau Wajar?

Pencabutan subsidi listrik bagi rumah tangga golongan 900 VA telah diterapkan pemerintah. Apa implikasinya bagi konsumen?

Rumah saya di desa berlangganan listrik dengan kapasitas terpasang 900 VA. Kebutuhan listrik di rumah memang cukup dengan kapasitas segitu, tidak ada peralatan elektronik yang memakan daya besar seperti AC atau oven. Sehari-hari, yang rutin digunakan hanya penerangan, kulkas, dan televisi. Ada pompa air dan mesin cuci, yang penggunaannya kadang-kadang saja. Lampu di rumah juga kebanyakan sudah ganti lampu LED. Saya kira ini alasan terbesar Ibu tidak ikut menaikkan kapasitas ke golongan rumah tangga 1.300 VA seperti anjuran pemerintah (golongan yang tarif listriknya tidak disubsidi) karena memang konsumsinya sedikit.

Dengan berlakunya Permen ESDM No. 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik PT PLN, maka otomatis rumah saya adalah rumah yang diases ulang untuk urusan subsidi tarif. Dan seperti sudah diduga pula, rumah saya termasuk yang tidak lagi mendapatkan subsidi tarif listrik. Penyesuaian tarif ini dilakukan untuk seluruh rumah tangga golongan 900 VA yang dinilai sudah mampu. Jadi pemerintah melakukan pencabutan subsidi listrik yang selama ini dinikmati oleh 18,94 juta pelanggan berdaya 900 VA terhitung mulai 1 Januari 2017. Jumlah pelanggan golongan 900 VA yang dicabut subsidinya berkisar 82% dari total jumlah pengguna listrik 900 VA, termasuk rumah saya. Subsidi tersebut akan dicabut dalam tiga tahap, di mana tarif listrik per kilowatt-hour (KWh) setiap periodenya akan naik 33 persen.

Tagihan listrik rumah saya biasanya berkisar di angka 100 ribu rupiah per bulan, yang di bulan Maret langsung terasa kenaikannya menjadi ±150 ribu rupiah. Terang saja, tarif listrik yang sebelumnya “hanya” Rp 585/kWh kini menjadi Rp 1.032/kWh. Tarif ini akan naik lagi di bulan Mei 2017 menjadi Rp 1.352/kWh. Untungnya Ibu saya tidak lekas panik atau protes, karena sebelumnya sudah mengetahui bahwa pencabutan subsidi ini akan mempengaruhi tagihan listrik bulanan. Kemudian kami juga menyadari bahwa kami memang tidak layak untuk menerima subsidi. Barangkali harusnya kami menaikkan kapasitas listrik di rumah sehingga membayarnya juga tarif normal, namun penggunaan listrik kami juga tak terlalu besar.

Dinilai Tak Berpihak Pada Rakyat Miskin

Meskipun bertujuan menghemat anggaran dan mengalihkannya untuk membiayai listrik perdesaan, kebijakan ini menuai banyak protes dari konsumen pengguna listrik, terutama yang merasa berat dengan kenaikan tarif tersebut. Ribuan pengaduan mengenai kenaikan TDL ini masuk ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Januari lalu. Pencabutan subsidi listrik ini juga dinilai tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah.

Pemerintah menilai pencabutan subsidi listrik ini adalah langkah yang baik karena selama ini subsidi yang diberikan dianggap salah sasaran. Dengan pencabutan subsidi ini, diharapkan anggaran subsidi listrik di tahun 2017 bisa ditekan menjadi Rp 45 triliun, dari sebelumnya Rp 60,44 triliun di tahun 2016. Sekitar 4,1 juta rumah tangga yang dievaluasi masih berada pada golongan tidak mampu tetap mendapatkan subsidi. Dasar evaluasinya dilakukan bersama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang selanjutnya dilakukan verifikasi ulang oleh PLN. Evaluasi seperti ini tentunya tak kebal error, sehingga Kementerian ESDM juga membuka kesempatan pengaduan masyarakat melalui kantor kelurahan/desa atau secara online. Kerangka waktu jelasnya perlu dipublikasikan agar masyarakat bisa tahu kapan keluhan mereka akan ditanggapi. Harapannya subsidi listrik TETAP diberikan bagi mereka yang tergolong tidak mampu.

Sementara verifikasi data dan bagaimana menanggapi keluhan masyarakat kurang mampu terkait pencabutan subsidi listrik itu adalah tantangan, kita juga hendaknya mencermati mengapa pengalihan subdisi listrik itu penting.

Hingga saat ini, rasio elektrifikasi (persentase penduduk yang mendapatkan akses listrik) Pulau Jawa (dan Indonesia bagian barat) memang timpang dibandingkan Indonesia bagian timur. Citra satelit NASA yang acapkali digunakan sebagai ilustrasi ketimpangan itu memang benar adanya. Rasio elektrifikasi DKI Jakarta misalnya, sudah mencapai hampir 100%, dan rata-rata provinsi di Jawa sudah di atas 90%. Provinsi-provinsi di luar Jawa, khususnya Indonesia bagian timur, masih di bawah 70%. Tercatat lebih dari 2.500 desa di seluruh Indonesia yang masih gelap total, sama sekali belum tersentuh listrik dalam bentuk jaringan PLN atau mesin diesel. Konsumsi listrik antara Jawa dan pulau-pulau di kawasan timur Indonesia (KTI) juga menunjukkan ketimpangan yang besar. Ini artinya pemenuhan energi di Indonesia belum merata, yang salah satunya disebabkan oleh kurangnya anggaran pemerintah untuk melistriki daerah-daerah yang memiliki tantangan geografis yang cukup besar.

Pertanyaan fundamentalnya bagi saya pribadi sebagai pelanggan 900 VA adalah, bersediakah saya membayar listrik lebih mahal sehingga saudara-saudara saya di KTI bisa merasakan nikmat listrik?

Saya dan Ibu berpendapat, pertanyaan itu bisa diiyakan. Tentu saja harus ada prasyarat kepercayaan bahwa pengalihan subsidi ini akan digunakan sebagaimana mestinya, dan itulah harapan kami. Ini juga tak menihilkan harapan lain bahwa kualitas listrik bagi daerah yang sudah terlistriki akan terus ditingkatkan. Jamak kita dengar bahwa banyak daerah di Indonesia yang sering mengalami pemadaman bergilir. Berdasarkan data yang didapat dari inisiatif pemantauan kualitas pasokan listrik ESMI yang dikelola oleh IESR di Indonesia, banyak lokasi di Jabodetabek yang mengalami pemadaman atau ketidakstabilan tegangan. Permasalahan ini semakin jamak ditemui di Kupang, salah satu kota yang menjadi lokasi pilot project ESMIInilah PR lain bagi penyedia layanan listrik di Indonesia: bagaimana pemerataan kualitas dilakukan.

 

Cermati Konsumsi Listrik Sendiri

“Wah parah nih pemerintah, masa tagihan gue naik dua kali lipat dari bulan lalu,” seorang teman mendadak curhat. Saat itu saya menyempatkan bertanya mengenai kapasitas terpasang di rumahnya. Karena si teman ini tidak yakin, saya menanyakan apa saja peralatan elektronik yang ada di rumahnya. Dia menjawab ada dua AC, kulkas, mesin cuci, pompa air, oven, dan beberapa yang lain. Dengan AC yang digunakan harian, saya cukup yakin bahwa kapasitas terpasang di rumahnya pasti setidaknya 1.300 VA.

“Coba cek dulu tagihan sama penggunaannya, harusnya sih rumah elo tarifnya normal aja kagak ada pencabutan subsidi karena emang nggak disubdisi, Neng,” saya menjawab sembari memberikan ilustrasi berapa konsumsi listrik yang dipakainya di rumah dengan peralatan elektronik sebanyak itu.

Saat ini kenaikan TDL hanya terjadi pada golongan rumah tangga 900 VA yang dianggap mampu, belum ada kenaikan TDL untuk golongan lain. Jadi ketika ada yang mengeluh seperti teman saya tadi, saya memang memilih bertanya kapasitas terpasang di rumahnya berapa. Dari sana bisa diperiksa kenaikannya karena TDL yang berubah atau karena konsumsi yang naik. Bulan April kemarin cukup panas di Jakarta, barangkali itu yang menyebabkan konsumsi listrik naik, akibatnya tagihan pun naik.

Sebagai manusia modern yang selalu mencari colokan di mana pun berada (tunjuk diri sendiri), membicarakan listrik ini menarik. Sering tak kelihatan (karena tidak membayar tagihan), tapi begitu naik, langsung terasa dampaknya. Apakah kita menyadarinya, dan kemudian peduli?

Hening Marlistya Citraningrum, Program Manager for Sustainable Energy Transition di IESR.

Seri Diskusi Pojok Energi 03: Melistriki Indonesia

Pemerintah dengan persetujuan DPR telah memutuskan untuk mencabut subsidi listrik bagi 19 juta pelanggan katergori 900 VA. Apa dampak pencabutan subsidi ini terhadap anggaran pemerintah dan pembangunan lisrik di Indonesia, dan bagaimana dampaknya pula bagi masyarakat luas. Ikuti diskusi Pojok Energi yang akan berlangsung tanggal 23 Mei 2017, bertempat di Ke; Kini, Cikini Jakarta dengan narasumber :
  • Dr. Ir Andy Noorsaman (tbc), DirJen Ketenagalistikan, Kementerian ESDM
  • Tulus Abadi, Ketua YLKI
  • Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
  • RSVP pojokenergi3.eventbrite.com

Berjalan Bersama, Lebih Jauh, Lebih Cepat: Catatan dari Sustainable Energy for All Forum 2017

“In Quebec, there are no climate change sceptics,” Pierre Arcand, politisi dari Quebec menjawab pertanyaan mengapa Quebec sangat progresif dalam mengejar efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan.

Pierre menambahkan, “Tentu pilihan politik bisa berbeda, tapi untuk urusan satu ini, semua satu suara.”

Awal April 2017, lebih dari 1.000 orang yang mewakili pemerintah, sektor swasta, organisasi sipil masyarakat, dan organisasi internasional menghadiri Sustainable Energy for All Forum di New York, Amerika Serikat. Cerita Pierre Arcand adalah satu di antara melimpahnya cerita keberhasilan dan dampak transisi energi yang dibagikan dalam forum tersebut.

Dunia memang sedang mengalami transisi energi. Era keemasan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara sudah menurun. Tak hanya karena cadangannya mulai habis, juga karena dampaknya yang tak baik pada bumi dan kesehatan manusia. Sustainable energy merupakan salah satu aspek dalam tujuan pembangunan global yang berkelanjutan, guna memastikan kebutuhan energi dunia dipenuhi dari sumber-sumber energi bersih dan terbarukan.

Dalam SE4ALL Forum ini ini, tiga tujuan energi global dibahas dalam kerangka cerita dan diskusi di lebih dari 60 sesi. Tiga tujuan itu, yaitu akses listrik, energi terbarukan, dan efisiensi energi, direfleksikan bersama untuk dilihat perkembangan yang sudah dibuat, tantangan yang muncul, dan bagaimana proyeksi ke depan untuk mengantisipasi target bersama di tahun 2030: pemenuhan akses pada energi modern, menggandakan efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan.

Dalam recap yang disampaikan di pembukaan forum, Rachel Kyte, CEO SE4ALL dan Special Representative of the United Nations Secretary-General for Sustainable Energy for All menggarisbawahi sebuah pernyataan “We need to move faster.” Dalam laporan 2017 Global Tracking Framework yang juga diluncurkan dalam forum, tren negara-negara di dunia menunjukkan peningkatan jumlah akses pada energi bersih untuk memasak, listrik, dan energi terbarukan, namun masih terdapat 1 miliar orang atau 1 dari setiap 7 orang di dunia yang masih hidup dalam gelap. Indonesia adalah salah satu negara high impact, di mana lebih dari 56 juta orang saat ini sudah menggunakan energi bersih untuk memasak.

Pelaku teknologi dan swasta juga banyak berbagi cerita. Teknologi energi terbarukan saat ini berkembang pesat, yang membuat biaya energi terbarukan juga menurun, misalnya harga solar PV yang turun hingga dua kali lipat sejak tahun 2012. Dengan perkembangan teknologi ini, energi terbarukan bisa menjangkau lebih banyak area, pengguna, dan menciptakan dampak yang lebih besar.

Kawasan yang menjadi fokus dalam forum ini adalah Afrika Timur, seperti Kenya dan Tanzania. Pemerintah yang terbuka pada investasi dan teknologi energi terbarukan, terutama energi sirya, serta penggunaan telepon genggang dan mobile money membuat Afrika Timur menjadi kawasan yang ramah untuk energi bersih terdesentralisasi. Faktor-faktor ini juga ditambah dengan kebijakan yang mendukung, misalnya tarif dan biaya impor yang rendah, tersedianya dukungan pendanaan lokal, dan target energi terbarukan yang jelas.

Cerita-cerita dari level akar rumput pun tak luput diangkat, seperti Ibu Niru Shresta dari Nepal yang berhasil menjual lebih dari 6.000 tungku bersih biomassa dalam 1 tahun. Sebagai salah satu penerima penghargaan ENERGIA Women Entrepreneurship Award 2017, Ibu Niru Shresta mengajak puluhan perempuan lain di sekitar tempat tinggalnya untuk peduli energi bersih dan berganti ke tungku bersih biomassa untuk memasak. Dari Indonesia, Ibu Detty sebagai peserta Program Wonder Women Kopernik memiliki cerita serupa. Sebagai ibu, istri, dan juga guru sekolah; Ibu Detty aktif berbagi mengenai pentingnya energi bersih dan dampaknya pada kesehatan dan lingkungan. Dengan berwirausaha mendistribusikan teknologi energi bersih, Ibu Detty bahagia karena melihat banyak orang merasakan dampak positifnya: keluarga dapat menghemat waktu, biaya, dan lebih sehat.

Pencapaian target energi global memang mensyaratkan kerjasama berbagai pihak. Percepatan pemenuhan energi global dengan energi bersih dan terbarukan ini juga mencakup kesetraan gender, inklusi sosial, dan pemberdayaan perempuan. Dengan berkolaborasi, kita bisa memastikan bahwa transisi energi ini memberikan dampak bagi semua orang.

Leaves no one behind. We need to move faster, further, together.

Foto kredit: SEforALL.org

Mengevaluasi Kinerja 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Pada 20 Oktober 2016, duet Jokowi-JK genap dua tahun lamanya dalam memimpin Republik Indonesia. Koalisi Masyarakat Sipil PWYP Indonesia menyoroti kinerja dari dua tahun pertama masa pemerintahan Jokowi-JK, khususnya dalam sektor energi dan sumberdaya mineral (ESDM). Dalam mensosialisasikan hasil evaluasi tersebut, PWYP Indonesia menyelenggarakan media briefing dengan menghadirkan Maryati Abdullah (Koordinator PWYP Indonesia), Fabby Tumiwa (Direktur IESR), dan Berly Martawardaya (Akademisi Universitas Indonesia) sebagai nara sumbernya. Media briefing tersebut diselenggarakan di kawasan Cikini pada 21 Oktober 2016.

Jokowi-JK mengusung nawacita sebagai sembilan agenda prioritas selama masa kepemimpinannya. Empat dari sembilan agenda tersebut terkait langsung dengan sektor ESDM, yaitu nawacita nomor 1, 2, 4, dan 7. Keempat agenda tersebut menghasilkan sembilan program yang terkait langsung dengan sektor ESDM. Program-program tersebut adalah:

  1. aspek regulasi, ketahanan, keamanan, dan penegakan hukum;
  2. aspek pemberantasan korupsi;
  3. aspek produksi dan penerimaan negara dari sektor SDA;
  4. bidang energi;
  5. peningkatan nilai tambah dan hilirisasi industri SDA;
  6. renegosiasi kontrak pertambangan;
  7. investasi, perdagangan dan pengembangan industri;
  8. aspek sosial: konflik dan hak masyarakat; dan
  9. aspek kelembagaan.

Komitmen pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tercermin dalam terbentuknya Korsup Energi yang anggotanya merupakan gabungan dari masyarakat sipil dengan KPK. Selain itu, pemerintah juga melakukan penataan izin usaha pertambangan dengan melakukan, salah satunya, pencabutan izin usaha pertambangan yang bersifat non Clean and Clear. Namun, kemajuan yang tidak terlalu signifikan dalam isu renegosiasi kontrak pertambangan juga terlihat selama dua tahun terakhir ini. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah perusahaan PKP2B dan KK yang telah menandatangani amandemen Kontrak Karya sesuai amanat UU Minerba.

Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor ESDM, pemerintah melakukan upaya untuk menaikkan tingkat produksi dan jumlah investasi serta meningkatkan transparansi penerimaan. Untuk meningkatkan jumlah produksi, pemerintah mengeluarkan insentif fiskal dan juga mengembangkan teknologi Enhanced Oil Recovery. Terkait dengan upaya peningkatan investasi, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi pembangunan kilang dan infrastruktur listrik. Di samping itu, izin investasi disederhanakan hingga 60% dalam dua tahun terakhir. Namun sayangnya nilai investasi di sektor ESDM tetap saja terus menurun. Implementasi dari Extractive Industry Transparency Initiative dalam tata kelola sektor pertambangan di Indonesia pun juga dilakukan untuk meningkatkan transparansi penerimaan.

Pemerintah pun telah melakukan perubahan tata kelola dalam bidang energi selama dua tahun terakhir ini, seperti menetapkan tata niaga gas dan mengalihkan subsidi dari sektor energi ke sektor produktif lainnya. Mengenai peningkatan hilirisasi industri SDA, saat ini sudah banyak perusahaan pertambangan yang membangun pabrik smelter. Meskipun begitu, di sisi lain, pemerintah tidak menunjukkan upaya yang progresif dalam mengatasi konflik dan pemenuhan hak masyarakat.

Mengenai aspek kelembagaan, pemerintah melakukan upaya penguatan kelembagaan melalui pembentukan Direktoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Percepatan Infrastrukur Migas yang menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam mengantisipasi kebocoran penerimaan di sektor ini.

Pemanfaatan EBT dalam Listrik

Di dalam Kebijakan Energi Nasional melalui PP No. 79/2014, ditargetkan bahwa, pada tahun 2025, peran EBT adalah minimal 23% serta kapasitas pembangkit listrik adalah 115 GW. Konsekuensinya, EBT harus menjadi sumber pembangkit listrik dengan kapasitas sebesar 45 GW pada tahun 2025. Diketahui bahwa kapasitas pembangkit listrik EBT saat ini adalah 9 MW; sehingga dibutuhkan tambahan 36 MW lagi sampai akhir tahun 2025. Untuk dapat mencapai target tersebut, diharapkan ada tambahan 16 MW sampai akhir tahun 2019; sehingga terdapat total 25 GW kapasitas pembangkit listrik EBT pada 2019.

Namun, sangat disayangkan, pengembangan pembangkit listrik EBT dalam dua tahun terakhir ini tidak signifikan. Tidak ada pembangkit listrik EBT dengan kapasitas ratusan MW yang masuk ke dalam grid. Sebenarnya, ada beberapa pembangkit listrik EBT dengan skala kecil (kapasitas ratusan KW) masuk ke dalam grid, namun ini semua berasal dari proyek Kementerian ESDM sebagai bagian dari program listrik desa.

Di dalam rancangan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang akan segera disahkan oleh Jokowi melalui Perpres, kembali ditegaskan bahwa 45 GW listrik pada tahun 2025 ditargetkan berasal dari EBT. Meskipun demikian, RUPTL 2016-2025[1] memasang target yang lebih rendah untuk tambahan pemanfaatan EBT dalam penyediaan listrik, yaitu sekitar 22 GW, pada tahun 2025. Hal ini mengakibatkan total pemanfaatan EBT dalam penyediaan listrik adalah 31 GW (22+9) pada akhir tahun 2025. Dengan kata lain, PLN hanya dapat menyediakan 2/3 dari target RUEN. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat mengakselerasi pemanfaatan EBT sebagai sumber pembangkit listrik dalam 3 tahun ke depan.

Untuk itu, pemerintah harus dapat mengatasi permasalahan yang mengakibatkan mandeknya pemanfaatan EBT dalam sumber listrik selama dua tahun terakhir ini, yaitu:


1Dokumen ini menjadi acuan oleh PLN dalam menjalankan bisnisnya.

  1. PLN tidak mau bekerja sama dengan IPP dalam pemasokan listrik EBT

Selama ini, PLN menolak untuk menandatangani Purchase Power Agreement dengan harga Feed-in Tariff (FiT) yang telah ditentukan oleh pemerintah. Menurut PLN, FiT tersebut lebih mahal daripada biaya produksi PLN ataupun harga yang PLN terima ketika PLN melakukan kontrak langsung dengan perusahaan lain (Business to Business). PLN tidak ingin menanggung kerugian dari selisih harga ini. Ketidakpastian sikap PLN ini dianggap sebagai risiko investasi yang besar oleh perusahaan penyedia listrik (IPP).

2) Tidak adanya paket regulasi insentif pemanfaatan EBT yang komprehensif, baik untuk PLN dan IPP

3) Sulit mendapatkan pendanaan untuk proyek-proyek listrik EBT

Selama ini, tidak ada kerangka regulasi perbankan yang memungkinkan adanya pinjaman-pinjaman skala kecil dan menengah untuk proyek-proyek listrik EBT sehingga proyek-proyek ini cenderung tidak dapat disetujui oleh pihak perbankan.

Listrik

Satu hal positif dari pemerintahan Jokowi-JK adalah terjadinya peningkatan rasio elektrifikasi sebesar 1,2% dari 2015 sampai Juni 2016.

Pemerintahan Jokowi-JK memiliki dua program utama: (1) meningkatkan kapasitas pembangkit listrik sehingga dapat meningkatkan tingkat konsumsi per kapita; dan (2) meningkatkan rasio elektrifikasi dari 82% pada 2014 menjadi 97% pada 2019. Strategi utama dalam menjalankan program tersebut adalah: (2) meningkatkan kapasitas pembangkit listrik dengan program 35 GW; (2) meningkatkan rasio elektrifikasi di perdesaan serta di daerah terpencil.

Namun, pada nyatanya, apa yang terjadi? (1) belum ada kemajuan yang substansial dari pelaksanaan program 35 GW; (2) tidak seluruh pembangkit listrik beroperasi, bahkan masih ada beberapa pembangkit listrik yang mengalam krisis; (3) tingginya jumlah investasi yang dibutuhkan untuk pembangkit, listrik, transmisi dan distribusi, yaitu hampir Rp 2.000 T untuk 10 tahun mendatang.

Untuk mencapai akses listrik universal, pilihan penyediaan listrik dengan skema off-grid patut dipertimbangkan mengingat tidak semua daerah listrik bisa dijangkau dengan skema on-grid. Dalam penyediaan listrik dengan skema on-grid, institutional arrangement menjadi penting selain isu teknis. Pihak lokal harus dilibatkan dalam proses perawatan dan monitoring secara berkala.

Mineral

Dalam perjalanannya mengelola mineral, sudah sepatutnya Indonesia memiliki perusahan mineral skala dunia. Hal ini penting mengingat sifat mineral yang tidak terbarukan.

Rekomendasi

Secara umum, untuk ke depannya, dalam rangka mencapai target-target yang telah tertuang dalam dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMN, RUEN, dan lain sebagainya, pemerintah harus konsistensi dalam pembuatan regulasi, konsistensi dalam pelaksanaan regulasi, serta konsistensi dalam kaitannya dengan pencapaian target.[1] Dokumen ini menjadi acuan oleh PLN dalam menjalankan bisnisnya.

Menyerap Aspirasi Masyarakat Setempat dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) di Muara Laboh

Listrik memang telah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Namun siapkah masyarakat jika sebuah pembangkit listrik dibangun di desa mereka. Apa saja keuntungan yang akan mereka dapatkan, dan bagaimana dengan dampak serta resiko yang akan mereka hadapi? Sebuah konsultasi publik bisa menjadi media bagi perusahaan, pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengurangi resiko dari pembangunan sebuah proyek energi.

menyerap-aspirasi-masyarakat-setempat“Apakah pengeboran sumur uap air ini akan membuat sumber mata air kami menjadi kering? Bagaimana dengan sawah kami nantinya? Apakah sumur ini bisa mengalami kebocoran seperti yang terjadi di pulau Jawa sana?”

“Anak saya sudah mengirimkan lamaran kerja kepada wali nagari, tapi mengapa tidak dipanggil untuk wawancara? Apakah perusahaan menyediakan pelatihan bagi para karyawan?”

Berbagai pertanyaan tersebut disampaikan masyarakat Muara Laboh saat mengikuti acara konsultasi publik yang diselenggarakan PT Supreme Energi Muara Laboh (PT SEML) pada Rabu lalu (28/9), sebagai persiapan untuk pembangunan konstruksi 13 sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang rencananya akan dimulai pada Januari 2017.

Jika pembangunan kontruksi ini berjalan dengan lancar selama dua tahun, maka PLTP Muara Laboh yang memiliki kapasitas 80 MW, akan siap beroperasi untuk menyediakan pasokan listrik bagi PLN di wilayah Sumatera (Riau, Jambi dan Sumatera Barat), termasuk juga kebutuhan listrik untuk masyarakat Muara Laboh sendiri.

Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau PLTP adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat Muara Laboh yang terletak di Kabupaten Solok Selatan, sekitar 150 km dari kota Padang, Sumatera Barat. Ada berbagai kekhawatiran sekaligus harapan yang muncul dengan adanya proyek ini. Jika situasi ini tidak dikelola secara baik dapat muncul resiko yang serius terjadinya konflik antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah

“Konsultasi publik ini merupakan media untuk mengurangi resiko tersebut.” jelas Ismoyo Argo, Manager of Business Relations Supreme Energy.

Melalui konsultasi publik ini, jelasnya lagi, masyarakat akan mendapatkan informasi yang benar mengenai keberadaan sebuah proyek energi di wilayah mereka. Dengan begitu mereka bisa memahami apa yang menjadi saja yang menjadi keuntungan atau resikonya bagi kehidupan mereka.

Proses konsultasi publik sendiri merupakan bagian dari persyaratan yang ditetapkan oleh Asian Development Bank (ADB) atas pinjaman 90 juta dollar yang diberikan kepada Supreme Energy Muara Laboh yang sahammnya dimiliki oleh PT Supreme Energy, Sumitomo dan Engie Electrabel SA.

Sesuai dengan naskah Safeguard ADB, proyek ini memiliki dampak lingkungan berkategori A, pemindahan penduduk berkategori B, dan masyarakat adat berkategori C. Berdasarkan kategori tersebut, PT SEML harus melakukan pencegahan dampak lingkungan dan merancang relokasi penduduk lokal. Kedua aspek tersebut diatas tentunya berpotensi menciptakan ketegangan dengan masyarakat setempat dan Pemda, apabila tidak dapat dikendalikan dan diantisipasi dengan baik.

Tim SEML sepertinya berusaha mempersiapkan acara konsultasi publik dengan sebaik-baiknya. Konsultasi ini juga yang dihadiri oleh sekitar 260 peserta dari berbagai kalangan. IESR dan WWF Indonesia adalah dua organisasi non-pemerintah yang diundang pada acara konsultasi publik ini.

“Kami mengundang perwakilan dari pemerintah hingga wali nagari, termasuk pula tokoh masyarakat dan adat dan perwakilan kelompok masyarakat. Kami juga menyiapkan tim dari Jakarta dan Muara Laboh guna memberikan penjelasan yang berkaitan dengan proses teknis konstruksi dan dampak lingkungan,” ujar Ismoyo

Untuk menanggapi berbagai keluhan masyarakat, PT SEML juga menyiapkan mekanisme penanganan keluhan serta tim khusus yang menanganinya. Pihak Supreme Energy juga telah menyiapkan langkah-langkah mitigasi untuk mengatasi persoalan lingkungan akibat kegiatan konstruksi tersebut, termasuk pengelolaan arus lalu lintas kendaraan proyek.

Secara keseluruhan masyarakat Muara Laboh terlihat cukup antusias dan aktif dalam mengikuti konsultasi ini. Terlebih dalam forum ini juga dibahas mengenai peluang kerja dan usaha yang tersedia bagi masyarakat dan juga pasokan listrik yang selama ini telah ditunggu-tunggu masyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa lokal juga memudahkan masyarakat untuk membahasi topik pembahasan dan kerakraban dalam proses dialog.

Para peserta konsultasi juga diperkenalkan dengan komite yang berperan sebagai mediator antara perusahaan dan perwakilan wali nagari. Komite ini nantinya akan melakukan pendataan kebutuhan tenaga kerja serta pemasok lokal untuk material pembangunan sumur PLTP.

Namun demikian, ada pula sejumlah masukan yang disampaikan IESR kepada Supreme Energy dalam memperkuat pelaksanaan konsultasi publik di kemudian hari. Saran ini mungkin juga perlu diperhatikan bagi perusahaan lain yang melakukan konsultasi publik, sejenis yaitu:

  • Proses konsultasi publik. Idealnya konsultasi publik dilakukan di setiap tahap proyek, masa persiapan, implementasi dan pengoperasian. Pertemuan konsultasi publik juga dapat dirancang secara bersama-sama atau dilakukan untuk masing-masing kelompok pemangku kepentingan. Konsultasi publik membutuhkan persiapan matang yang dipakai untuk memetakan pemangku kepentingan, jenis kepentingan, kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat, potensi konflik horizontal, perilaku dan isu-isu spesifik yang muncul dan berkembang. Memahami aspirasi masyarakat dan kebutuhan serta keinginan mereka akan membantu perusahaan mempersiapkan materi dan tanggapan yang sebaik-baiknya, yang dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan.
  • Pengelolaan waktu. Sebuah konsultasi publik efektif berjalan antara 2-4 jam saja. Hal ini disebabkan oleh kemampuan berkonsentrasi dari para pesertanya. Oleh karena itu waktu yang singkat ini perlu dikelola dengan baik sehingga seluruh topik yang hendak dibahas mendapatkan porsi yang cukup, demikian pula waktu yang cukup bagi masyarakat untuk bertanya atau berdiskusi. Salah satu cara untuk mengefektifkan waktu adalah adalah dengan menyiapkan materi pembahasan dalam bentuk alat peraga, animasi, atau media komunikasi lain yang lebih sederhana. Ini dapat membantu masyarakat memahami PLTP dengan lebih baik, ketimbang menggunakan presentasi dengan power point berikut dengan paparan yang sangat teknis.
  • Keberadaan Fasilitator. Fasilitator berbeda dengan pembawa acara atau MC. Fasilitator berperan untuk mengatur lalu lintas percakapan dalam konsultasi termasuk menggali aspirasi masyarakat dan membantu n warga untuk mengekspresikan gagasan. Seorang fasilitator juga mengelola waktu dan mengalokasikan waktu yang cukup untuk proses diskusi yang seimbang diantara para pemangku kepentingan, dan merangkum hasil konsultasi yang nantinya bisa disebarkan kepada masyarakat lainnya. Fasilitator juga berperan untuk memastikan bahwa suara kelompok perempuan, masyarakat kurang mampu dan yang berkebutuhan khusus bisa disampaikan di dalam forum konsultasi.
  • Suara dan aspirasi kelompok perempuan. Dalam forum pertemuan atau konsultasi kelompok perempuan sering kali terabaikan atau dianggap telah diwakili oleh kelompok laki-laki. Padahal mereka mempunyai peran yang khusus dan penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan pemenuhan akses energi, seperti air, penerangan dan alat masak. Perempuan juga berperan untuk menjamin kelangsungan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan hidup keluarganya. Oleh karena itu suara perempuan perlu diperhatika untuk memastikan bahwa pembangunan sebuah proyek energi seperti PLTP dapat mendukung peran dan tugas perempuan dan bukan malah menambah beban dan persoalan baru.

Konsultasi publik bukanlah ajang untuk mendapatkan persetujuan, tetapi suatu tahap dari sebuah proses untuk membantu masyarakat untuk memahami proyek yang akan dilaksanakan, dan mengidentifikasi manfaat yang akan diterima langsung atau tidak langsung. Pemahaman yang baik atas proyek dan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas perusahaan merupakan faktor penting mendapatkan persetujuan dan sokongan masyarakat setempat.

Indonesia dan Ratifikasi Paris Agreement: Di Manakah Kita?

Paris Agreement atau Kesepakatan Paris yang diadopsidi Conference of Party (COP) 21, dinilai sebagai keberhasilan diplomasi perubahan iklim global. Paris Agreement merupakan angin segar bagi diplomasi multilateral perubahan iklim setelah kegagalan COP 15 di Copenhagen tahun 2009 dalam menyepakati rejim iklim global. Paris Agreement yang bertujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan disepakati oleh 195 negara, diibaratkan oleh Christiana Figueres, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif UNFCCC, sebagai huge flame of hope. Paris Agreement menjadi model kontrak sosial dunia yang baru dalam mengatasi persoalan-persoalan global.

Kesepakatan Paris yang mengadopsi prinsip applicable to all Parties (berlaku untuk seluruh Pihak), memberikan pekerjaan rumah yang cukup besar untuk negara berkembang. Negara-negara berkembang, yang dalam konvensi disebut sebagai negara non-Annex, harus ikut serta dalam upaya global untuk me-mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dan pada saat yang bersamaan harus beradaptasi menghadapi dampak perubahan iklim. Untuk itu negara-negara tersebut harus ber-transformasi dengan cepat, menuju pembangunan rendah karbon dan berdaya lenting terhadap dampak perubahan iklim.

Bagi negara-negara non-Annex yang berstatus emerging economy, tantangan yang lebih berat terletak di aspek dukungan pendanaan perubahan iklim, mengingat prioritas dana perubahan iklim akan lebih banyak dialokasikan bagi negara-negara di blok Least Developing Countries (LDCs) dan Small Island Developing States (SIDS).

Sebelum Kesepakatan Paris diadopsi oleh seluruh Negara Pihak yang tergabung dalam UNFCCC, terdapat pertimbangan bahwa akan diperlukan waktu yang cukup lama, sebelum New Agreement – istilah yang digunakan saat itu – dapat berlaku (entry into force). Hal ini didasarkan pada pengalaman pemberlakuan Protokol Kyoto, yang diadopsi pada 11 Desember 1997, namun baru bisa berlaku (entry into force) di tahun 2005. Itu sebabnya, pada negosiasi awal, tahun 2020 menjadi tenggat waktu yang disepakati bersama untuk memberlakukan Kesepakatan Paris. Namun, di Paris disepakati bahwa Kesepakatan Paris akan berkekuatan hukum pada saat minimal 55 negara yang mewakili 55% dari total emisi gas rumah kaca global meratifikasi kesepakatan ini[1].

Pada kenyataannya, ratifikasi berjalan cukup cepat. Sampai dengan 4 Oktober 2016, tercatat 62 negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris, dengan total emisi sebesar 51,89% dari 55% yang dibutuhkan.

Tabel 1 Lima Negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris dengan emisi terbesar

Negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris Emisi yang diwakilkan oleh Negara tersebut
Amerika Serikat 17.89%
Brazil 2.48%
China 20.09%
India 4.10%
Meksiko 1.70%

Sesuai dengan ketentuan PBB, ada dua langkah yang perlu untuk dilakukan Negara Pihak (Parties) pada Konvensi untuk menyatakan kesediaannya meratifikasi Kesepakatan Paris. Pertama adalah melakukan proses domestik yang diperlukan dan/atau prosedur legislatif untuk menyetujui instrumen legal untuk ratifikasi perjanjian yang dimaksud; dalam hal ini Paris Agreement. Kedua adalah melakukan deposit instrumen ratifikasi yang diperlukan ke Depositary PBB[2]. Instrumen ratifikasi ini merupakan pernyataan dari Negara Pihak yang bersangkutan mengenai kesediaannya untuk mengikatkan diri pada kesepakatan yang dimaksud; dalam hal ini Kesepakatan Paris.

Dengan status saat ini, dimana diperlukan 3,11% dari total emisi lagi untuk memenuhi persyaratan minimal untuk diberlakukannya Kesepakatan Paris, maka jika sebelum tanggal 7 Oktober 2016 terdapat Negara Pihak yang mendepositkan instrumen ratifikasinya dengan besar emisi minimal 4%, maka Kesepakatan Paris akan resmi dimulai pada COP 22 di Marakesh.

Setelah ratifikasi, lalu?

Meratifikasi Kesepakatan Paris berarti mengambil tempat di dalam forum pengambilan keputusan untuk Konferensi Para Pihak (COP) yang diadakan di bawah payung Kesepakatan Paris, atau yang nantinya akan disebut sebagai Conference of Parties serving as the Meeting of the Parties to this Agreement (CMA). CMA, serupa dengan CMP untuk Protokol Kyoto, adalah forum pengambilan keputusan tertinggi untuk mengimplementasikan Kesepakatan Paris. Adapun bagi Negara Pihak yang tidak meratifikasi Kesepakatan Paris tidak akan memiliki hak suara di dalam forum tersebut. Dalam kasus CMP, Amerika Serikat tidak menjadi bagian dan tidak memiliki hak suara terkait implementasi Protokol Kyoto, dikarenakan Amerika Serikat tidak meratifikasi Protokol Kyoto. Itu sebabnya, sangat penting bagi suatu negara untuk meratifikasi Kesepakatan Paris sehingga memiliki suara dan dapat terlibat dalam pembahasan tentang penentuan mekanisme, penyusunan kelengkapan (modalitas) yang diperlukan untuk mengimplementasikan Kesepakatan Paris yang nantinya akan dibahas di CMA.

Salah satu contoh Artikel yang masih abu-abu di dalam Kesepakatan Paris adalah Artikel 6 mengenai Pendekatan Kooperatif (Cooperative Approaches), tentang penggunaan mekanisme pasar karbon dan non-pasar karbon untuk pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). Artikel ini masih memerlukan begitu banyak rincian sebelum dapat dilaksanakan, contohnya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan mekanisme non-pasar atau transaksi internasional terkait dengan keluaran mitigasi (mitigation outcome). Selain itu Artikel ini juga memuat ketentuan penyisihan pendapatan (share of proceeds) dari pasar karbon untuk pendanaan adaptasi, yang kemungkinan besar hanya akan dapat dinikmati oleh negara-negara yang meratifikasi Kesepakatan ini.

Perlukah Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris?

Meratifikasi Kesepakatan Paris sesungguhnya dapat membantu Indonesia untuk memastikan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim untuk sungguh-sungguh dilakukan dan terencana secara ke dalam rencana pembangunan nasional.

Kesepakatan Paris menetapkan proses kajian berkala. Dengan demikian NDC yang dikomunikasikan kepada UNFCCC akan ditinjau bersama-sama setiap lima tahun. Dari proses ini diharapkan upaya atau ambisi dari masing-masing Negara Pihak akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Itu sebabnya, akan lebih mudah bagi Indonesia untuk menyusun NDC dengan mengacu pada perencanaan jangka panjang dan menengah yang sudah ada. Misalnya, target dan aksi mitigasi sektor energi di NDC disusun dengan mempertimbangkan dan mengacu pada Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) serta mempertimbangkan hasil dari implementasi Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).

Dengan mengacu pada perencanaan yang sudah ada, Indonesia dapat memastikan bahwa aksi-aksi perubahan iklim di sektor-sektor terkait dapat diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan dan dilaksanakan dengan dukungan pendanaan yang memadai. Dalam jangka menengah, dokumen-dokumen perencanaan sektoral ini pun dapat juga diselaraskan dengan perkembangan negosiasi perubahan iklim global. Kondisi ini menuntut perencanaan sektoral yang lebih fleksibel tapi berorientasi pada penurunan emisi GRK dan peningkatan daya lenting.

Perlu disadari juga, bahwa terdapat perbedaan pada status Indonesia jika meratifikasi Kesepakatan Paris dibandingkan dengan ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) atau Protokol Kyoto. Dengan meratifikasi Kesepakatan Paris Indonesia akan terikat dengan segala ketentuan yang berlaku, termasuk ketentuan melakukan penurunan emisi gas rumah kaca secara konsisten sebagaimana yang akan dijanjikan dalam naskah NDC.

Kesepakatan Paris mewajibkan seluruh Negara Pihak untuk transparan dan bertanggung-gugat (accountable) dalam melakukan aksinya. Negara-negara secara universal diminta untuk melaporkan hasil aksi mitigasinya, pembangunan dan penguatan daya lenting dalam rangka aksi adaptasi, dan mampu melakukan penelusuran (tracking) berbagai dukungan yang didapat baik melalui mekanisme bilateral maupun bilateral. Kesepakatan Paris telah menyetujui proses untuk memverifikasi data dan informasi untuk aksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan cara atau mekanisme yang diberikan untuk mendukung aksi-aksi tersebut. Kesepakatan Paris juga menetapkan adanya sebuah komite, yang bertugas untuk memfasilitasi implementasi kesepakatan-kesepakatan yang ada, dan mempromosikan kepatuhan. Modalitas dan mekanisme kerja dari komite ini belum ditetapkan tetapi akan menjadi bagian dari pembahasan dalam CMA.

Oleh karena itu sebagai anggota CMA nantinya Indonesia dituntut untuk menerapkan seluruh ketentuan transparansi dan akuntabilitas melalui pelaksanaan instrumen MRV (measured, reported and verified) dalam melakukan aksi mitigasi, aksi adaptasi, penggunaan dukungan pendanaan, teknologi, dan pengembangan kapasitas. Instrumen MRV tidak hanya melibatkan aksi mitigasi dari proyek-proyek publik, tapi juga aksi mitigasi yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara khususnya industri dan bisnis, yang akan terkena ketentuan untuk melakukan aksi mitigasi. Sistem MRV untuk aksi adaptasi dan dukungan-dukungan yang diterima dalam bentuk dana, teknologi, dan pengembangan kapasitas juga perlu dibangun dan terintegrasi serta terpelihara.

Dalam hal transparansi untuk dukungan (support) saja, perlu sistem yang mengintegrasikan hibah luar negeri, pinjaman dan dukungan pendanaan lainnya, serta bantuan teknis dari untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari sumber-sumber bilateral dan multilateral yang perlu dikonsolidasikan secara nasional. Sistem result-based support/result based finance (bantuan/pendanaan berbasis hasil) yang menjadi roh dari elemen pendukung (support) dalam Kesepakatan Paris perlu mulai ditelaah kompatibilitasnya dengan instrumen penganggaran dan pelaporan yang saat ini berlaku di Indonesia.

Tantangan lainnya adalah memobilisasi pendanaan di tingkat domestik untuk mendanai aksi-aksi perubahan iklim. Dengan demikian Indonesia tidak harus selalu mengandalkan bantuan internasional, khususnya untuk melakukan aksi mitigasi yang dijanjikan dalam NDC.

Walaupun, kebutuhan pendanaan negara berkembang untuk mengimplementasikan masih menjadi prioritas untuk dukungan pendanaan, namun untuk negara seperti Indonesia sebaiknya mulai mengoptimalkan sumber pendanaan domestik yang tersedia, sembari memperbaiki kesiapan institusi domestik dan kemampuan mengakses pendanaan iklim di tingkat internasional secara langsung (direct access).

Bank Dunia dalam kajiannya yang bejudul Turn Down the Heat[3], menyatakan bahwa wilayah Asia Tenggara akan mengalami risiko di daerah pesisir dan juga dari segi produktivitas. Hal ini disebabkan karena Asia Tenggara memiliki paparan yang terus meningkat terhadap dampak slow-onset yang terkait dengan kenaikan muka air laut, pemanasan laut dan peningkatan asidifikasi yang dikombinasikan dengan peningkatan panas ekstrim dengan cepat. Kajian tersebut menyatakan bahwa hampir semua terumbu karang di wilayah Asia Tenggara akan mengalami tegangan termal dengan tingkat pemanasan antara 1.5oC – 2oC. Terkait dengan hal ini, kajian tersebut menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah wisata yang paling rentan dengan dampak ini.

Meratifikasi Kesepakatan Paris juga memberi kesempatan bagi Indonesia memahami secara utuh dampak perubahan iklim yang akan terjadi di Indonesia, termasuk potensi kehilangan dan kerusakan yang akan terjadi, jika temperatur rata-rata bumi meningkat lebih dari 2oC. Ini adalah modal baik untuk menetapkan sektor-sektor prioritas di masa depan, sasaran dan ragam intervensi yang perlu diambil untuk meningkatkan daya lenting dan mengurangi resiko dampak perubahan iklim. Meratifikasi Kesepakatan Paris berarti Indonesia juga memikirkan masa depan bangsa dengan berkontribusi secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, demi mengurangi dampak perubahan iklim yang mungkin terjadi di Indonesia.

Memperhatikan beberapa keperluan yang disebutkan di atas, sepertinya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak meratifikasi Kesepakatan Paris, sebelum CMA 1 berlangsung, yang diperkirakan akan terjadi pada COP 22 di Marakesh mendatang. Sebagai negara yang merepresentasikan 1,49% dari total emisi dunia[4], Indonesia sudah seharusnya menunjukkan komitmennya untuk berbagi upaya (effort sharing) dengan negara lainnya, baik negara maju maupun negara berkembang, untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, serta mendukung aksi-aksi perubahan iklim lainnya, termasuk adaptasi perubahan iklim baik secara domestik, maupun bekerja sama melalui Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation).

Kerjasama erat dan komunikasi dari eksekutif, yang diwakili oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan legislative yaitu DPR dan DPD merupakan kunci untuk Indonesia dapat meratifikasi Kesepakatan Paris melalui instrumen Undang-Undang sebelum COP-22 yang akan berlangsung mulai tanggal 7 November 2016. Tidak bisa ditinggalkan juga adalah kepedulian dan dukungan publik untuk memastikan Indonesia mengambil tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan dan situasi nasional untuk mengatasi tantangan perubahan iklim global.

[1] Artikel 21 dari Kesepakatan Paris paragraf pertama menyatakan bahwa, Kesepakatan Paris akan diberlakukan pada hari ketigapuluh setelah tanggal di mana 55 negara Pihak di bawah Konvensi dengan total perhitungan kontribusi emisi gas rumah kaca sebesar 55%, telah mendepositkan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau pun aksesi.

[2] UNFCCC Legal Affairs Programme. Entry into force of the Paris Agreement: legal requirements and implications. Information Note.

[3] World Bank. Turn Down the Heat. Juni 2013.

[4] Report of the Conference of the Parties on its 21st session: Proceedings, Annex I, diambil dari: http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/10.pdf#page=30