Mandalay : Kota Wisata dalam Gelap

Bagi saya, traveling ke kota lain merupakan suatu pengalaman berharga yang memberikan banyak pelajaran. Bukan hanya dari sisi sosial, namun juga dari segi budaya. Untuk menghargai hal tersebut, saya dan ketiga teman saya yang lain, memiliki ritual untuk pergi ke luar kota, selain untuk menghabiskan waktu bersama-sama, kami juga belajar untuk mengenal budaya dari tempat lain, setiap tahunnya. Tahun ini, kami memutuskan untuk menjelajahi Myanmar.

Kota Wisata dalam Gelap4Bepergian ke Myanmar bukanlah suatu hal yang mudah untuk kami lakukan dibandingkan negara-negara Mekong lainnya. Buku andalan kami, Lonely Planet, bahkan menyatakan bahwa lebih baik tidak bepergian ke Myanmar karena beberapa alasan politis. Apabila tidak dapat menghindar dari bepergian ke Myanmar, setidaknya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dan perlu dihindari.

Mandalay merupakan salah satu kota wisata Myanmar yang cukup dikenal lantaran Mandalay merupakan ibukota kerajaan Burma yang terakhir. Itu sebabnya, Mandalay sangat dikenal dengan beberapa bangunan-bangunan monastik. Karena nilai sejarah yang dikandungnya, sangat mudah dimengerti apabila Mandalay menjadi salah satu kota wisata di Myanmar. Mandalay juga sangat terkenal dengan U Bein Bridge, dimana banyak orang akan memenuhi kawasan ini untuk menyaksikan matahari terbenam, yang memang sangat indah.

Kota Wisata dalam Gelap2Seperti layaknya negara-negara Mekong Asia Tenggara lain yang pernah kami kunjungi, kami selalu mengincar Pasar Malam, atau Night Market. Night Market adalah tempat dimana begitu banyak hal tersedia di sana; mulai dari makanan yang paling aneh yang bisa kami temui (tapi enak), sampai ke materi-materi buatan tangan yang terkadang membutuhkan waktu kalau tidak berjam-jam, ya berhari-hari, untuk menawarnya (seperti pengalaman kami di Laos). Tentu saja, buku perjalanan sekaliber Lonely Planet, juga merekam informasi ini. Letak, benda, makanan, jenis apa yang akan kami temui di tempat-tempat seperti ini, terekam dengan sangat rinci.

Berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara Mekong lainnya, kami mengalami kesulitan untuk menemukan Night Market ini. Karena sepanjang perjalanan kami dari hotel ke Night Market, kami harus mengandalkan penerangan yang diberikan oleh rumah-rumah sekitar. Bahkan ada perempatan yang benar-benar tidak memiliki penerangan sama sekali, sehingga kami harus menyesuaikan dalam gelap. Yang satu ini, tidak disebutkan di dalam buku perjalanan kami, dan membuat kami luar biasa bingung.

Kota Wisata dalam Gelap3Tidakkah Anda kemudian berpikir, kota sekelas Mandalay, yang merupakan salah satu kota wisata di Myanmar, dikenal sebagai ibukota Kerajaan Burma terakhir, mengapa bisa tidak memiliki penerangan di malam hari? Masyarakat Myanmar yang tinggal di Mandalay sepertinya sudah terbiasa hidup dengan cara seperti itu, sementara kami meraba-raba jalan, tidak betah dalam kegelapan, berjalan dalam keheranan, berpikir, jika kota seperti Mandalay saja susah untuk mendapatkan akses pada listrik, bagaimana desa-desa sekeliling Mandalay?

Kami merasakan bagaimana pentingnya penerangan, apalagi di kota yang sangat gelap, sementara kendaraan bermotor berseliweran di mana-mana. Penerangan jalan merupakan salah satu hal yang krusial untuk keselamatan manusia. Bukan hanya terhindar dari bahaya kendaraan bermotor, namun juga terhindar dari bahaya-bahaya sosial seperti kekerasan. Dan hal ini, sudah pernah kami rasakan sendiri dan bukan khayalan.

Catatan tambahan:

Rata-rata rasio elektrifikasi Myanmar adalah 28% di tahun 2012, dengan Yangon 72%, NayPyiTaw 65%, serta Mandalay 35% (http://www.bnionline.net/index.php/news/narinjara/16581-adb-loan-for-improving-burmas-electrification-network.html ). Konsumsi energi per kapita masyarakat Myanmar adalah 97 kg minyak ekivalen di tahun 2007 (http://www.nationsonline.org/oneworld/Country-Stats/Myanmar-statistics.htm) , dengan GDP per kapita US$ 578,3 di tahun 2008.

Climate Finance in G20 : Where Are We Now?

Currently, the G20 priority agenda covers sectoral issues that support development, but apparently, climate change has been the one that is left behind. Climate finance, as a result, has not yet become a priority on the agenda.

A G20 report (http://www.theguardian.com/environment/interactive/2011/sep/21/mobilising-climate-finance-report-g20) in 2011 identified several sources of finance that can be allocated for climate change mitigation and adaptation. One of the issue that was discussed within G20 that relates to climate change is the phasing out of fossil fuel subsidies. The issue to phase out  inefficient fuel subsidies have been discussed and agreed among the country leaders since the G20 meeting in Pittsburg 2009; yet, there has been no concrete implementation of this commitment.

The February 2014 meeting for finance and central bankers meeting  resulted in the agreement  (https://www.g20.org/sites/default/files/g20_resources/library/Communique%20Meeting%20of%20G20%20Finance%20Ministers%20and%20Central%20Bank%20Governors%20Sydney%2022-23%20February%202014_0.pdf) for countries to target  2% economic growth through many approaches. The growth should be achieved through increasing the investment, lift employment and participation, enhance trade and promote competition, in addition to macroeconomic policies.

From my perspective, achieving the above growth should also consider the limitation of using inefficient fossil-fuel subsidies and shifting it to finance renewable energy and implementation of energy efficiency measures. Shifting or reforming the subsidy from financing the fossil-fuel driven industry to investment for renewable energy and/or energy efficiency will both reduce  greenhouse gases emissions and at the same time generating opportunity to raise climate finance from existing recources.

G20 countries should be able to answer the following questions:

  1. What should be done by the G20 countries to phase out inefficient fossil fuel subsidies and shift it to finance renewable energy and energy efficiency development?
  2. What should be the contribution of the G20 countries to support the development of developing countries to which they are willing to cooperate with (ASEAN, East Asia Summit, Africa countries) to support them in coping with the impact of climate change, in terms of financial provision?
  3. How to ensure that the G20 countries will implement their agreement and/or following up their findings in terms of climate finance (such as the AGF – the Advisory Group on Climate Financing – report http://www.un.org/wcm/webdav/site/climatechange/shared/Documents/AGF_reports/AGF%20Report.pdf ), that it should not be only be a simple document, but it could be an action plan that could be implemented by the G20 countries.

If you have something in mind on how to answer the above questions, share your thoughts by clicking http://www.c20conversations.org.au/node/425876#comment-64048 . We will collect your ideas and compile it to be submitted as inputs for G20 meetings on climate finance.

Elpiji

Tahun 2014 baru berjalan beberapa hari tetapi masyarakat sudah disuguhkan dengan parodi tentang harga elpiji. Pada awal tahun Pertamina mengumumkan menaikkan harga bahan LPG (elpiji) tabung 12 kg sebesar 68%, setelah penyesuaian harga terakhir pada Oktober 2009. Dengan kenaikan ini, harga LPG yang semula 5850 rupiah/kg menjadi 9809/kg sehingga menjadikan harga satu tabung LPG 12 kg menjadi 117.708 rupiah dari 70.200 rupiah.

Kenaikan ini rupanya dimanfaatkan oleh pengecer untuk mengerek harga jual eceran LPG diatas harga resmi Pertamina, bahkan di Papua LPG dijual dengan harga 300 ribu rupiah. Sontak kenaikan ini menjadi topik besar di media cetak dan elektronik, apalagi menjadi headline setelah media memuat protes dari kalangan dari politisi sampai pengusaha warteg, dan ibu rumah tangga, serta mempertanyakan langkah tersebut.

Menteri ESDM berdalih kenaikan tersebut adalah keputusan Pertamina dan tidak dikonsultasikan dengan pemerintah. Adapun ketentuan Permen ESDM No. 26/2009 pasal 25 (b) menyatakan penetapan harga LPG non-subsidi/PSO dilaporkan kepada Menteri ESDM. Sedangkan menurut Pertamina kenaikan harga LPG 12 kg diputuskan oleh RUPS dengan dasar hasil audit BPK yang menilai pada tahun 2011/2012, Pertamina mengalami kerugian 7.7 triliun dari penjualan LPG 12 kg dan 50 kg.

Hanya selang 5 hari setelah kenaikan terjadi, secara mengejutkan Presiden mengadakan rapat kabinet terbatas di Bandara Halim dan akhirnya meminta Pertamina meninjau ulang kenaikan tersebut dalam waktu sehari. Sesuai arahan Presiden, pada batas waktu yang ditetapkan Pertamina mengumumkan harga baru Elpiji yang hanya mengalami kenaikan 1000 rupiah/kg, menjadi 6850 rupiah/kg atau 82.200 rupiah untuk ukuran 12 kg. Harga baru ini berlaku sejak 7 Januari 2013.

Pertamina menyatakan, walaupun ada kenaikan, perusahaan pelat merah tersebut masih menanggung kerugian. Keputusan ini sepertinya melegakan konsumen elpiji 12 kg yang sebagian besar adalah rumah tangga menengah dan restoran. Bagi pemerintah, mempertahankan tingkat harga LPG 12 kg sejatinya dapat mengurangi resiko fiskal akibat meningkatnya permintaan LPG 3 kg yang masih disubsidi. Migrasi pengguna LPG 12 kg akibat kenaikan harga yang kelewat tinggi dapat menimbulkan disparitas yang besar untuk harga produk LPG 12 kg dan 3 kg. Penurunan harga LPG sudah pasti menyelamatkan citra Presiden dan partai pimpinan Presiden yang bersiap menyambut Pemilu 2014.

Walaupun ketetapan telah diambil, ada sejumlah hal yang perlu menjadi catatan publik terkait dengan keputusan ini, yaitu:

Dasar kenaikan harga sebesar 1000 rupiah/kg. Dari berbagai pemberitaan media, tidak cukup jelas apa dasar keputusan menaikkan harga LPG sebesar itu. Mengapa bukan 500 rupiah/kg atau 1500 rupiah/kg atau lebih? Apakah keputusan ini berlandaskan pada perhitungan ekonomis biaya penyediaan LPG Pertamina?

Kewenangan dan mekanisme penentuan harga LPG non-subsidi (tabung 12 kg). Saat ini bisa dibilang kebijakan dan regulasi yang cukup tegas soal penentuan harga LPG 12 kg masih minim dan kurang jelas. Regulasi tentang harga LPG non-subsidi diatur oleh Permen ESDM No. 26/2009 telah menyebutkan harga jual LPG untuk pengguna LPG umum ditetapkan oleh badan usaha dengan berpedoman pada harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Dengan kata lain, untuk LPG 12 kg pemerintah tidak berwenang menetapkan harganya, melainkan diserahkan kepada Pertamina selaku Badan Usaha. Walau demikian, berkaca dari parodi kenaikan harga LPG yang baru saja terjadi, implementasi peraturan ini tidak dilaksanakan secara konsisten untuk kasus Pertamina. Walaupun dalam konteks Permen ESDM No. 26/2009 pasal 25 (b), kenaikan harga tersebut dilaporkan kepada Menteri ESDM, tidak ada kewenangan pemerintah membatalkan keputusan Pertamina. Tanpa adanya kejelasan terkait mekanisme, kewenangan dan tanggung jawab atas penentuan harga LPG non-subsidi (PSO) khususnya yang diproduksi Pertamina, masyarakat akan menghadapi kondisi yang serupa dan politisasi dalam penetapan harga jual LPG non-subsidi.

Biaya produksi LPG Pertamina. Keputusan kenaikan harga tidak menjawab pertanyaan publik tentang biaya produksi LPG Pertamina. Hanung Budya, Direktur Bisnis dan Pemasaran Pertamina menyampaikan bahwa Pertamina menanggung kerugian sebesar 22 triliun sejak 2008 sampai 2013 karena selisih antara harga jual LPG dengan harga kontrak (contract price) dengan Saudi Aramco yang naik dari $515 per metric ton, menjadi $ 873 per metric ton. Walaupun penjelasan ini rasanya rasional, tetapi tidak menjawab secara transparan struktur dan besaran biaya penyediaan LPG Pertamina. Dari seluruh LPG produksi Pertamina, 20% berasal dari produksi Pertamina, 20% dari Kontraktor Kerjasama Migas (KKS) dan 60% berasal dari hasil impor.

Transparansi biaya produksi LPG baik subsidi dan non-subsidi sangat relevan, tidak hanya untuk pengguna LPG 12 kg, tetapi lebih mendesak untuk perhitungan besaran subsidi LPG 3 kg yang setiap tahun dialokasikan di APBN. Sejauh ini patokan biaya LPG 3 kg ditetapkan oleh Keputusan Menteri ESDM yang menjadi dasar perhitungan biaya produksi. Keputusan ini menggunakan harga CP Aramco, ditambah dengan biaya pengolahan dan handling. Walaupun demikian, biaya produksi LPG 12 kg bisa saja berbeda dengan LPG 3 kg karena sumber pasokan bahan baku yang tidak berasal dari Aramco tetapi dari Pertamina dan KKS. Data menunjukkan bahwa Pertamina memasok 977 Metric Ton LPG 12 kg dan 4.39 Metric Ton LPG 3 kg pada tahun 2013. Pasokan LPG 12 kg hanya 18.4% dan LPG 3 kg sebesar 80.16% dari total LPG produksi Pertamina. Transparansi biaya produksi ini diperlukan mengingat Pertamina adalah BUMN dan secara alami menguasai bisnis produk LPG, yang merupakan bahan bakar utama bagi rakyat Indonesia, setelah minyak tanah tidak lagi tersedia.

Regulasi harga dan pengawasan tata niaga LPG. Permen ESDM No. 26/2009 tentang harga jual LPG untuk umum ditentukan oleh Badan Usaha dengan mengacu pada 3 hal: harga patokan, daya beli konsumen dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Regulasi ini mengandung sejumlah defisit. Dalam ketentuan regulasi ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud harga patokan, dan siapa yang berhak menentukan harga patokan, siapa yang menentukan tingkat kemampuan konsumen, apa dasar penilaiannya. Bisa dikatakan pasal 25 Permen ESDM No. 26/2009 dimaksudkan untuk mengatur, tetapi secara substansi ada keengganan untuk mengatur harga jual LPG, dan memberikan keleluasaan kepada Badan Usaha untuk menentukan harga secara subjektif. Regulasi ini juga tidak mengatur bagaimana harga ditetapkan pada tingkat agen dan pengecer, sehingga dapat terjadi perbedaan harga LPG yang terlampau besar di tingkat pengecer dengan distributor.

Dalam pengawasan, tidak terlalu jelas institusi yang mendapatkan tugas dan kewenangan dalam distribusi LPG non-subsidi. BPH Migas yang dibentuk oleh UU No. 22/2001 tidak secara jelas berwenang mengawasi tata niaga LPG baik subsidi maupun non-subsidi, demikian juga Dirjen Migas. Adapun jika konsisten dengan tupoksi BPH Migas, pengawasan tata niaga LPG seharusnya menjadi kewenangan lembaga ini. Kejelasan regulasi dan mekanisme yang baku dan jelas diperlukan untuk memastikan tata niaga LPG diawasi secara baik untuk kepentingan masyarakat umum.

Jakarta, 8 Januari 2013

Developed Countries, You Can Run but You can’t Hide!

Memasuki masa-masa akhir dari COP 19, beberapa hal ternyata mengalami jalan buntu. Isu-isu krusial seperti pendanaan, peningkatan ambisi penurunan emisi dari negara maju, mekanisme untuk Loss and Damage, masih terus berlangsung hingga hari ini. COP 19 sepertinya tidak menjadi teman yang baik bagi proses negosiasi ini. Pengumuman yang dilontarkan oleh Jepang dan Australia memperburuk keadaan yang ada saat ini. Apalagi Jepang dan Australia mengumumkannya di minggu pertama negosiasi, yang tentu saja sangat mempengaruhi jalannya negosiasi. Belum lagi dengan dilaksanakannya International Coal Summit oleh pemerintah Polandia, bersamaan dengan diadakannya COP 19.

Jepang mengumumkan akan menurunkan emisi sebesar 3,8% dibandingkan dengan emisi mereka di tahun 2005, yang setara dengan peningkatan emisi sebesar 3,1% apabila dibandingkan dengan emisi mereka di tahun 1990. Walaupun Jepang mengumumkan akan memberikan kontribusi pendanaan sebesar 1,6 milyar dolar terkait dengan kegiatan-kegiatan perubahan iklim, komitmen penurunan emisi mereka memberikan sinyal bahwa komitmen pendanaan dapat ‘menghapuskan’ kewajiban penurunan emisi. Hal ini tentu saja memberikan sinyal yang sangat negatif bagi atmosfir negosiasi. Belum juga jelas apakah 1,6 milyar dollar tersebut ada didistribusikan dalam bentuk hibah atau malah pinjaman. Pinjaman, tentunya, tidak menjadi pilihan yang diinginkan oleh negara-negara berkembang.

Perubahan kebijakan domestik Australia memperburuk keadaan. Pemerintah Australia ‘membersihkan’ seluruh komponen terkait dengan perubahan iklim, termasuk Climate Change Authority, Clean Energy Finance Company, terkait pasar karbon termasuk harga karbon, serta kebijakan-kebijakan terkait dengan energi bersih di Australia. Kelompok masyarakat sipil Australia pun mengajukan protesnya pada pemerintah Australia, yang disampaikan bukan hanya secara domestik tapi juga internasional.

Untuk beberapa negara, terutama negara-negara berkembang, hal ini tentu saja mengecewakan. Begitu banyak upaya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang untuk memberikan bukti pada negara-negara maju, bahwa negara-negara berkembang memang layak untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari pihak negara-negara maju. Di bawah proses ADP (Ad hoc Working Group on Durban Platform on Enhanced Action), 3 versi draft text sudah dikeluarkan, dengan konten yang lebih banyak kepada peningkatan ambisi untuk menurunkan emisi, namun melupakan begitu banyak hal mengenai Means of Impelementation, terutama pendanaan. Hal yang sama terjadi untuk komponen adaptasi, terutama Loss and Damage, dimana output yang diinginkan berupa mekanisme untuk menggambarkan Loss and Damage itu sendiri, masih menjadi perdebatan untuk beberapa negara.

Harus disadari bahwa proses negosiasi UNFCCC adalah sebuah proses yang sudah seharusnya dijalani di tataran multilateral. Namun, politik yang terkandung di masing-masing pemerintahan, terutama pemerintah negara-negara maju, seperti contohnya Australia dan Jepang, membuat proses ini berjalan dengan tersendat-sendat.

Kesepakatan yang diambil di Kopenhagen mengenai mobilisasi 100 milyar dolar untuk perubahan iklim, sepertinya dilanggar oleh negara maju. Begitu juga dengan kewajiban negara maju untuk melakukan penurunan emisi secara domestik. Kedua hal ini harus dilakukan, bukan salah satu dilakukan kemudian yang lain dilupakan. Sebagaimana politik sudah mencoreng proses UNFCCC, politik yang sama juga mencoreng negara-negara terkait.

Well, developed countries, you can run, by using your economy crisis as an excuse, but you definitely can’t never hide from your moral responsibilities! Not from the international fora nor from your own citizens.

Developed Countries, You Can Run but You can’t Hide!

Memasuki masa-masa akhir dari COP 19, beberapa hal ternyata mengalami jalan buntu. Isu-isu krusial seperti pendanaan, peningkatan ambisi penurunan emisi dari negara maju, mekanisme untuk Loss and Damage, masih terus berlangsung hingga hari ini. COP 19 sepertinya tidak menjadi teman yang baik bagi proses negosiasi ini. Pengumuman yang dilontarkan oleh Jepang dan Australia memperburuk keadaan yang ada saat ini. Apalagi Jepang dan Australia mengumumkannya di minggu pertama negosiasi, yang tentu saja sangat mempengaruhi jalannya negosiasi. Belum lagi dengan dilaksanakannya International Coal Summit oleh pemerintah Polandia, bersamaan dengan diadakannya COP 19.Continue reading

Leave Most Existing Reserves On The Ground

Di tengah-tengah berjalannya perundingan mengenai perubahan iklim di Warsawa, Polandia, pemerintah Polandia juga mengadakan International Coal Summit di Warsawa. Tentu saja hal ini mengundang kontroversi dari berbagai pihak; di tengah-tengah peliknya perundingan perubahan iklim yang diawali dengan badai Haiyan di Filipina, Polandia masih ‘asyik’ dengan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Menurut World Coal Association 87% listrik di Polandia dibangkitkan dengan menggunakan batu bara. Bahkan Indonesia yang memiliki populasi penduduk jauh lebih besar dari Polandia, penggunaan batubaranya mencapai 44%. International Coal Summit yang dilaksanakan di Warsawa seolah memberikan ‘event’ tandingan untuk COP 19.

International Coal Summit ini pun mengundang Christiana Figueras, sekretaris jenderal UNFCCC untuk memberikan keynote speech di acara tersebut. Christiana justru menggunakan kesempatan ini untuk berbicara keras pada pengusaha batu bara untuk membiarkan batu bara di tempatnya. Salah satu poin yang disampaikan oleh Christiana Figueras kepada para pelaku industri batu bara yang hadir adalah bahwa penggunaan batu bara yang menawarkan energi dengan harga terjangkau bagi negara-negara berkembang juga memberikan konsekuensi seperti ‘kesehatan’ lingkungan dan pada saat yang bersamaan juga mempengaruhi kesehatan manusia.

Christiana juga menyatakan bahwa jelas laporan IPCC ke-5 Working Group 1 yang diluncurkan pada bulan September yang lalu menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca yang ada di atmosfir harus dikendalikan, untuk mencegah kenaikan temperatur global melebihi 2oC. Salah satu cara yang diusulkan oleh Christiana Figueras kepada para pengusaha batu bara adalah “Leave most existing reverse in the ground“!

Polandia merupakan salah satu negara yang masuk dalam kategori negara maju, dan secara politis, Polandia beberapa kali menjadi salah satu ‘penjegal’ keputusan-keputusan di EU berkenaan dengan penurunan emisi. Walau demikian, kelompok masyarakat sipil Polandia menyatakan, harus dipisahkan antara pemerintah Polandia dan masyarakat Polandia, dimana masyarakat Polandia mendukung 100% energi terbarukan. Dengan status negara maju yang disandang oleh Polandia, kewajiban-kewajiban seperti menurunkan emisi gas rumah kaca merupakan hal yang harus diadopsi oleh pemerintah Polandia.

Keynote speech Christiana Figueras dapat diunduh di bawah ini:

  1. CF speech to WorldCoalAssociation 18 Nov EMBARGOED

Climate Conference Warsawa dan Topan Haiyan

Fabby Tumiwa

Climate Conference COP 19/CMP 9 dibuka pada 11 November 2013 dengan suasana prihatin dari para pesertanya. Negara-negara berkembang menyampaikan keprihatinan dan simpatinya atas bencana topan badai Haiyan yang melanda Filipina dan Vietnam minggu lalu, yang telah menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya meregang nyawa.

 

Climate Conference Warsawa dan Topan HaiyanKepala delegasi Filipina secara emosional meminta kepada para peserta konferensi untuk “mengakhiri kegilaan” pemanasan global yang memicu iklim ekstrim. Mengutip bahwa topan Haiyan adalah badai terburuk dan terdahsyat yang pernah tercatat dalam sejarah.

Berbagai kalangan merefleksikan frustrasi terhadap proses negosiasi yang panjang dan bertele-tele, setelah hampir 20 tahun dengan 19 kali COP menegosiasikan isu perubahan iklim, negara-negara anggota UNFCCC belum dapat mencapai kesepakatan menurunkan emisi secara signifikan sesuai dengan rekomendasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pada laporan pertama tahun 1990, IPCC merekomendasikan penurunan emisi 90% dari tingkat emisi 1990. Setelah dua puluh tahun, kesepakatan Protokol Kyoto hanya mampu menurunkan emisi sekitar 3%.

Memasuki abad 21, emisi GRK negara maju tetap menanjak, diikuti oleh peningkatan drastis emisi negara-negara berkembang yang memasuki fase transisi ekonomi. Laporan IPCC ke-5 memberikan indikasi bahwa kita telah menghabiskan lebih dari separuh “anggaran karbon” yaitu volume gas rumah kaca yang terakumulasi sepanjang waktu sejak abad ke-19. IPCC menghitung “anggaran karbon” untuk menghindari kenaikan temperatur rata-rata tidak lebih dari 2oC dari level tahun 1861-1880, adalah sebesar 840 Gt, sekitar 531 Gt sudah dilepas ke atmosfer. Sisanya akan habis dalam waktu 30-40 tahun mendatang jika tidak ada penurunan laju emisi GRK yang signifikan.

Dalam pidato pembukaannya, Christina Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, mengajak para peserta konferensi untuk menarik nafas dalam, sebum melanjutkan pidatonya dengan menyatakan “we are the first human beings to ever breathe air with 400 ppm CO2.”

Dr. Rajendra Pachauri, Chairman IPCC menyatakan bahwa konsentrasi 400 ppm CO2 akan dapat dicapai pada akhir tahun ini, sekaligus mengingatkan akan berbagai dampak perubahan iklim dan tekanan yang dihadapi oleh ekosistem seiring dengan laju pengingkatan emisi GRK di atmosfer.

Kita berharap bahwa bencana topan Haiyan dapat mengugah dan menginspirasi serta memaksa negara-negara yang terlibat dalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan awal di Warsawa atas rencana aksi mitigasi dan adaptasi sebelum 2020, dan rencana yang lebih ambisius lagi pasca 2020, kesepakatan mengenai pendanaan untuk membantu negara-negara berkembang melakukan mitigasi dan adapatasi, serta beranjak menuju jalur pembangunan ekonomi rendah karbon, mekanisme kompensasi bagi negara dan masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim dan terkena dampak akibat bencana iklim yang terjadi.

Kita mendesak negara-negara maju untuk menunjukkan kepemimpinan dalam bentuk komitmen aksi mitigasi GRK yang lebih ambisius dari sekarang hingga 2020, dan setelah 2020, dan kemauan negara berkembang untuk secara sukarela membuat rencana pengurangan emisi yang terukur sesuai dengan prinsip Common But Differentiated Responsibility and Respective Capability (CBDR-RC).

Warsawa, 12 November 2013

Warsawa 2013

IESR, Warsawa (11/11). Mulai 11 sampai 22 November 2013, para utusan khusus, menteri, delegasi pemerintah, dan masyarakat sipil serta pelaku usaha akan berkumpul di ibu kota Polandia, Warsawa, untuk mengikuti UNFCCC COP-19/CMP-9. Perundingan di Warsawa dimaksudkan untuk mendiskusikan kesepakatan baru atas penurunan emisi gas rumah kaca yang melibatkan negara-negara maju dan berkembang dapat dilakukan setelah tahun 2020.

Walaupun tidak diharapkan pertemuan di Warsaw menghasilkan keputusan penting, tetapi hasil pertemuan selama dua minggu mendatang yang berlangsung di Stadion Nasional yang menjadi tempat perhelatan piala dunia 2010 lalu, sangat krusial sekaligus sebagai indikator apakah kesepakatan internasional dapat tercapai pada COP-21 di Paris, tahun 2015 mendatang.

Kesepakatan tersebut sangat penting bagi masa depan bumi dan umat manusia. Bulan September lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan laporan AR-5 yang menyatakan bahwa manusia adalah penyebab utama perubahan iklim, dengan derajat kepastian lebih dari 95%. Hal ini dilakukan, salah satunya, melalui pembakaran bahan bakar fosll (minyak bumi, gas alam dan batubara). IPCC telah menaikkan proyeksi kenaikan muka air laut, dan mengkaji dampak akibat percepatan pemanasan global di berbagai kawasan (regional).

Sejak laporan sebelumnya, IPCC telah memperingatkan bahwa untuk menghindari kenaikan temperatur bumi diatas 2oC pada akhir abad ini, maka emisi gas rumah kaca (GRK) harus mencapai puncak dan turun pada 2020-2050, serta zero-net emisi pada paruh kedua abad ini. Keputusan ini harus melibatkan negara-negara maju dan berkembang, sesuai dengan prinsip-prinsip UNFCCC yaitu Common But Differentiated Responsibility (CBDR) dan Equity.

Kesulitan terbesar adalah bagaimana membagi porsi emisi GRK yang harus diturunkan oleh setiap negara. Sejak revolusi industri pada pertenghaan abad 18 hingga akhir abad 20, sejumlah kecil negara, yang dikenal sebagai kelompok negara maju, bertanggung jawab atas lebih dari dua pertiga emisi GRK. Sejak pembicaraan tentang hal ini dimulai di KTT Bumi di Rio tahun 1992, terjadi pertentangan antara negara maju, berkembang dan misikin, siapa yang harus bertanggung jawab atas pemanasan global dan upaya mengatasinya.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang disepakati tahun 1992 tetapi baru teratifikasi tahun 1994, memberikan tanggung jawab utama penurunan emisi GRK kepada negara-negara maju yang dikategorikan sebagai negara-negara “Annex-1”. Seiring dengan perjalanan waktu, sejumlah negara pengemisi utama seperti GRK menolak untuk berpartisipasi sesuai dengan konvensi. Amerika yang bertanggung jawab atas 40% emisi global hingga tahun 1990, menolak menyepakati Protokol Kyoto yang mengatur pembagian penurunan emisi GRK diantara negara “Annex-1”. Sejumlah negara industri lain seperti Canada dan Jepang, menolak bergabung dengan Protokol Kyoto di periode komitmen kedua yang berlangsung setelah 2012.

Di COP-15 Copenhagen yang berakhir kurang menyenangkan, terdapat kesepakatan diantara sejumlah pemimpin negara untuk memberikan janji penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan oleh setiap negara yang bersangkutan secara sukarela. Indonesia, misalnya memberikan janji penurunan emisi GRK sebesar 26% dari skenario BAU pada tahun 2020.

COP-17 di Durban tahun 2011 sepertinya mengembalikan harapan kesepakatan aksi global untuk mengatasi dan menghadapi dampak perubahan iklim. Di Durban sebuah platform negosiasi baru yaitu Ad Hoc Working Group on Durban Platform for Enhanced Action (ADP) disepakati. Platform baru dibawah Konvensi dimaksudkan dapat menyepakati protokol emisi GRK yang baru dan universal pada tahun 2015 dan berlaku pada periode setelah 2020. Track negosiasi ini mencakup diantaranya mencari cara dan kesepakatan untuk meningkatkan lebih lanjut aksi penurunan emisi GRK di tingkat nasional dan internasional.

Di Warsawa, negosiasi ditujukan untuk menghasilkan kesepakatan mengenai isi dan elemen dari kesepakatan 2015, dan rencana serta strategi aksi untuk dapat memangkas gap ambisi sebelum tahun 2020.

Sejumlah negara berkembang, telah menegaskan bahwa negara-negara maju harus menunjukkan leadership mereka dalam penurunan emisi GRK, dan bertanggung jawab untuk memenuhi komitmen pendanaan, kapasitas dan teknologi yang memampukan negara berkembang untuk melakukan adaptasi dan mitigasi, sesuai ketentuan Konvensi.

Bagi negara maju, sejumlah negara berkembang harus punya rencana yang ambisius untuk menurunkan emisi GRK. Mereka berpendapat bahwa gabungan emisi GRK negara berkembang akan melampaui emisi GRK negara maju setelah tahun 2020. Secara kumulatif, emisi GRK Cina telah melampaui AS sejak beberapa tahun lalu, Adapun emisi India, Brasil, Afrika Selatan, Indonesia dan negara-negara penghasil minyak di teluk mengalami kenaikan.

Menilik dari pengalaman selama ini, kesepakatan multilateral sangat kompleks dan njlimet. Berbagai cara dan argumen akan dipakai oleh sejumlah negara untuk lepas dari tanggung jawabnya. Hasil Warsaw harus menanti 12 hari kedepan.

Walaupun demikian, kita harus merasa optimis walaupun hasil negosiasi di COP seringkali tidak memenuhi harapan, tetapi hanya disinilah tempat untuk membangun kesepakatan bersama, dimana ratusan juta bahkan milyaran penduduk bumi menggantungkan asa dan nasibnya.

IESR berpartisipasi dalam COP-19 di Warsaw dengan kehadiran 2 aktivisnya. Henriette Imelda, bersama dengan delegasi Climate Action Network (CAN), sebuah jaringan global NGO/CSO yang melakukan advokasi dan mengawasi negosiasi perubahan iklim, lebih dari 20 tahun, dimana IESR merupakan salah satu anggotanya. Fabby Tumiwa datang ke Warsawa sebagai anggota Delegasi Republik Indonesia, yang akan membantu negosiasi Indonesia di sejumlah agenda negosiasi, salah satunya pendanaan perubahan iklim.

Direct Dialogue Sobat Esensial di Kebun Raya Bogor : 28 September 2013

Pada tanggal 7 September 2013 yang lalu, IESR mengadakan pelatihan untuk Sobat Esensial batch ke-4 mengenai perubahan iklim. Sobat Esensial adalah sebuah komunitas binaan IESR yang mendapatkan pengetahuan mengenai perubahan iklim, serta isu-isu lainnya yang terkait dengan program-program IESR. Sobat Esensial pertama kali didirikan pada tahun 2011, dan kini anggotanya mencapai lebih dari 30 orang.

Setelah Sobat Esensial 4 mendapatkan bekal teori mengenai perubahan iklim, saatnya mereka terjun ke lapangan; itu sebabnya, pada tanggal 28 September 2013 yang lalu, kami pergi ke Kebun Raya Bogor untuk melakukan uji coba mengenai apa yang sudah dipelajari di tanggal 7 September sebelumnya.

Beberapa Sobat Esensial mulai berpencar untuk mulai memberikan presentasi singkat kepada orang-orang yang sama sekali belum pernah mereka ketahui. Ada yang bertemu dengan rombongan anak-anak SMP yang sedang berkunjung ke Kebun Raya Bogor, sekelompok orang yang sedang menghabiskan waktu bersama-sama dengan teman-temannya, seorang ibu yang sedang menemani anaknya bermain, bahkan beberapa turis asing yang sedang melakukan kunjungan ke Kebun Raya Bogor.

Menjelaskan kepada orang lain ternyata lebih sulit ketimbang waktu kita semua mendapatkan penjelasan mengenai perubahan iklim secara teori, atau bahkan melakukan role-play yang sebenarnya adalah teman sendiri. Itu sebabnya, direct dialogue yang dilakukan oleh Sobat Esensial ini menjadi salah satu kegiatan yang kami lakukan untuk bisa membuat kami terbiasa dalam menyampaikan pengetahuan mengenai perubahan iklim.

Bagaimana dengan kamu, sudahkah kamu menceritakan tentang perubahan iklim dan mengajak mereka untuk mengubah gaya hidup mereka menjadi lebih rendah karbon?

Berikut adalah beberapa testimoni mereka:

Marissa Girsang : “Seru!! Jadi pengen nyobain untuk melakukannya di tempat lain!”

Nugie : “Begitu gue ngomong sama bule, hilang semua perbendaharaan kata-kata gue… Grogi…”

Sabar Raphael : “Masih agak susah sih untuk mengkomunikasikannya. Mungkin kalau ada guidelines sesuai dengan segmennya, jadi lebih mudah untuk menyampaikannya…”