Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi : Bersinar di ADP

Pembahasan di dalam Ad hoc working group on Durban Platform membawa energi terbarukan dan efisiensi energi menjadi 2 aktivitas yang mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Berawal dari AOSIS non-paper yang diajukan oleh Alliance of Small Islands States (AOSIS) paska sesi ADP di Bonn April lalu, dimana AOSIS secara spesifik mengajukan proposal mengenai peningkatan kegiatan energi terbarukan dan efisiensi energi untuk meningkatkan ambisi sebelum tahun 2020, energi terbarukan dan energi efisiensi kini menjadi 2 jargon yang selalu diungkit. Proposal AOSIS ini kemudian didukung oleh proposal EU yang juga mendukung implementasi energi terbarukan dan efisiensi energi.

Proposal AOSIS juga menggambarkan bagaimana implementasi energi terbarukan dan energi efisiensi dapat memanfaatkan inisiatif-inisiatif yang ada di luar UNFCCC untuk mempercepat implementasi peningkatan ambisi sebelum 2020, sesaat sebelum perjanjian yang baru mulai diterapkan. Salah satu inisiatif yang kemudian diundang untuk memberikan penjelasan lebih lanjut adalah Sustainable Energy for All, sebuah inisiatif mengenai energi yang berkelanjutan yang diluncurkan oleh Ban Ki Moon di tahun 2011 lalu, yang memberikan penjelasannya di workshop mengenai Energy Transformation, Jum’at 7 Juni 2013 yang lalu.

Workshop mengenai Energy Transformation juga mengundang IEA mengenai peran dari energi terbarukan dan efisiensi energi, serta Carbon Sequestration Leadership Forum yang menyampaikan mengenai Carbon Capture Storage.

IEA menyampaikan bahwa saat ini, efisiensi energi merupakan sumber energi kelima, yang dengan menerapkannya, sebenarnya bisa memberikan energi di tempat lain. Walau demikian, IEA juga menyatakan bahwa implementasi energi terbarukan dan energi efisiensi tidak akan cukup. Energi fosil masih diperlukan untuk memenuhi permintaan energi yang ada.

Memasuki Minggu ke-2 Negosiasi, SBI masih belum dimulai

Memasuki minggu ke-2 negosiasi, Subsidiary Body for Implementation masih belum juga dimulai. Rusia masih bersikeras dengan memasukan agendanya yang terkait dengan prosedur dan legalitas dari pengambilan keputusan di COP, dimana G77 juga bersikeras untuk tidak meluluskan keinginan Rusia tersebut.

Hal ini menyebabkan begitu banyak agenda yang harus dibahas di SBI menjadi mundur. Beberapa workshop yang telah direncanakan pun bahkan tidak dapat berlangsung, seperti :

  • Workshop mengenai bagaimana negara berkembang menyiapkan dan menerapkan target penurunan emisi
  • Upaya-upaya untuk menolong negara-negara berkembang menerapkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hutan untuk penurunan emisi

Seluruh pihak tentunya ingin agar pengambilan keputusan di dalam negosiasi perubahan iklim dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati. Walau demikian, Rusia pun tidak melakukan tanggung jawabnya dengan keluar dari Protokol Kyoto tanpa melakukan kewajiban menurunkan emisi, padahal mereka merupakan salah satu negara dengan emisi terbesar.

Perilaku Rusia tersebut menyebabkan Climate Action Network – sebuah jaringan organisasi nonprofit beranggotakan lebih dari 850 organisasi untuk perubahan iklim – memberikan fossil award of the week untuk Rusia, yang diumumkan lebih dulu dari jadwal yang seharusnya. Hingga hari Sabtu, 8 Juni 2013 pukul 20.30 waktu Bonn, Jerman, plenary SBI belum juga dimulai.

Ketidakpastian akan adanya sesi tambahan di bulan September memperburuk suasana. Itu artinya, memasuki COP 19 di Warsawa November mendatang, akan sangat banyak agenda yang harus dikerjakan dimana 2 minggu belum tentu dapat mengakomodir seluruh pekerjaan tersebut.

Town Hall Meeting : 4th Meeting High Level Panel of Eminent Persons on Post 2015 Development Agenda

Setelah melalui 2 (dua) hari persiapan dari kelompok masyarakat sipil di Hotel Goodway, Nusa Dua, Bali, kelompok masyarakat sipil kemudian menyatakan posisi mereka di hadapan High Level Panel on Eminent Persons.

Beberapa hal yang telah disampaikan oleh kelompok masyarakat sipil adalah adanya akses pada energi dan sumber daya alam bagi semua, serta membangun kehidupan masyarakat yang lenting terhadap dampak perubahan iklim melalui pembangunan yang rendah karbon.

Town Hall Meeting merupakan salah satu mekanisme yang dibuat agar masyarakat sipil dapat berdialog langsung dengan para pemimpin yang tergabung dalam High Level Panel on Eminent Persons.

Pertemuan High Level Panel of Eminent Persons mengenai agenda pembangunan pasca 2015 telah berlangsung selama 3 kali, pertemuan terakhir dilangsungkan di Nusa Dua, Bali.

Empat pertemuan ini dibuat untuk memberikan masukan kepada High Level Panel of Eminent Persons, dalam rangka memberikan submisi kepada Sekretaris Jenderal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan merancang kerangka pembangunan paska 2015.

Konsultasi Publik Academia Pertemuan High Level Panel on Eminent Person mengenai Kerangka Agenda Pembangunan Pasca 2015

Salah satu pertemuan konsultasi yang diadakan oleh United Nations dalam rangka mengembangkan kerangka agenda pembangunan pasca 2015 adalah dengan berusaha mengakomodasi masukan dari akademia. Institute for Essential Services Reform (IESR) merupakan salah satu akademia yang diundang untuk ikut memberikan masukan.

Pertemuan akademia ini dilakukan dalam 2 sesi dimana sesi pertama dipaparkan mengenai pertumbuhan populasi dunia dan pentingnya kualitas pendidikan, fakta mengenai kemiskinan yang dipaparkan oleh Ibu Vivi Alatas dari Bank Dunia, serta energi dan sumber daya oleh Bapak Darmawan Prasodjo dari Surya University.

Beberapa poin yang disampaikan adalah fakta bahwa pendidikan adalah strong driver dari perubahan demografi, misalnya kesehatan yang lebih baik dan adanya pembangunan manusia yang lebih baik. Hal lain yang disampaikan adalah bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh planet ini (planetary boundaries) harus menjadi perhatian dimana isu konsumsi dan produksi di negara-negara berkembang harus dicermati. Akses pada energi juga harus ditingkatkan, terutama karena kebanyakan penduduk miskin ada di negara-negara berkembang. Sesi ini dimoderatori oleh Pavan Sukdhev dari GIST Advisory.

Sesi kedua yang dimoderatori oleh Jeffrey Sachs dari UN Secretary General’s Special Advisor on the Millenium Development Goals, lebih banyak berbicara mengenai tantangan di masa yang akan datang, dimana global partnership seharusnya memainkan peranan. Hal ini tentunya akan lebih banyak didominasi oleh tata kelola dari kepemimpinan yang ada, bagaimana kepemimpinan secara politik harus ditingkatkan, demikian juga dengan kapasitas untuk meningkatkan ide-ide. Masalah pendanaan sebagai bentuk dari kemitraan global (global partnership) juga harus diubah.

Paradigma bahwa tidak adanya dana untuk implementasi kegiatan harus dirubah, karena sebenarnya pendanaan itu ada, hanya saja peruntukan pendanaan tersebut yang salah tempat. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana untuk meyakinkan pendanaan tersebut bisa mengalir ke tempat yang tepat. Isu seperti teknologi transfer juga diangkat, yang diusulkan untuk diubah menjadi difusi teknologi, dimana transfer teknologi tidak hanya berupa peralatan, namun juga peningkatan kapasitas yang mencakup know-how dan know-why.

Side Event : Low Emission Development Strategies

Selain daripada pertemuan yang akan dilakukan pada hari ini, Senin 25 Maret 2013, mekanisme lain juga digunakan oleh beberapa pihak untuk menggalang input untuk membentuk kerangka pembangunan pasca 2015. Salah satu side event yang dilakukan adalah mengenai strategi pembangunan rendah karbon. Side event yang dilaksanakan secara tertutup dan hanya dapat diakses bagi para undangan, memberikan usulan mengenai kerangka pembangunan paska 2015.

Salah satu proposal yang diajukan adalah dalam upaya mengentaskan kemiskinan, bukan hanya GDP secara nasional dari sebuah negara yang harus ditingkatkan, namun GDP dari masyarakat miskin. Itu sebabnya, beberapa hal harus dilakukan di tataran grassroot. Contoh yang dipaparkan adalah untuk mengentaskan masalah kemiskinan dan kelaparan, melalui perbaikan pertanian.

Namun, hal yang perlu juga dipikirkan adalah akses pada energi yang harus tersedia untuk mengolah seluruh hasil pertanian tersebut menjadi makanan yang layak untuk dimakan dan bergizi tinggi. Hal yang sama berlaku untuk akses pada pendidikan yang layak. Tanpa adanya akses pada energi yang aman, layak, dan terjangkau, akses pada informasi melalui internet tidak akan berjalan. Transfer pada teknologi maju juga tidak akan berfungsi secara efisien karena ketiadaan sarana energi yang menunjang.

Akses pada energi juga termasuk dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disebut sebagai Sustainable Energy for All. Namun, Olav Kjorven dari UNDP menyatakan, bahwa apabila tidak ada kesepakatan di tingkat HLPEP terutama dalam global partnership and means of implementations di Bali, maka kesepakatan tersebut hanya akan berupa target, tanpa ada tindakan-tindakan implementasi yang jelas.

Sedangkan Bapak Kuntoro Mangkusubroto dari Indonesia menyatakan, akses pada energi juga penting bagi masyarakat miskin yang berada di perkotaan. Bagaimana agenda kerangka pembangunan pasca 2015 harus juga mengakomodir masyarakat yang berada dalam kategori ekonomi tersebut.

Kemana Larinya Equity?

 

Diskusi tentang equity kembali bergulir di forum Ad hoc Working Group on Durban Platform on Enhanced Action (ADP) di Doha. Sayangnya, equity lebih banyak dibicarakan di Workstream 1 dari ADP, dimana workstream tersebut membicarakan mengenai legally binding instrument yang harus dihasilkan di tahun 2015, dan diterapkan setelah tahun 2020. Pertanyaannya adalah dimanakah aspek equity akan diterapkan pada rentang waktu 2012-2020 ? Seperti apa bentuknya?

Hal ini menjadi pertanyaan bagi banyak orang, terutama NGO, terutama karena proposal yang diajukan oleh LCA chair adalah untuk memiliki sebuah Work Programme (WP) mengenai equity dengan masa kerja 2 tahun. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Work Programme ini meliputi workshop atau seminar, sebagai fasilitas untuk memberikan atau menyamakan persepsi antar negara-negara mengenai equity. Proposal tersebut juga menyatakan bahwa WP Equity akan memberikan informasi kepada ADP. WP Equity kemudian akan memberikan laporan kepada COP mengenai pekerjaan yang dihasilkan dalam waktu 2 tahun tersebut. Pertanyaannya adalah dalam waktu 2 tahun, artinya tahun 2014, ‘umur’ ADP tersisa 1 tahun.

Dalam sisa waktu 1 tahun tersebut, kira-kira apa bentuk kesepakatan dari equity? Satu tahun yang tersisa, yang dimiliki oleh Para Pihak adalah sebuah laporan hasil kerja dari WP Equity; dan bukan teks negosiasi; artinya, laporan equity hanyalah sebagai sebuah masukan saja. Bisa saja negara-negara yang terlibat, kemudian melupakannya, karena menganggap bahwa sebuah masukan tidak selalu harus menjadi isu untuk dinegosiasikan. Beberapa negara, tentu saja tidak setuju dengan apa yang telah ditawarkan oleh LCA chair. Namun, negosiasi masih terus berlangsung.

COP 18 – Minggu 2 : Strong Political Decisions Are Highly Needed!

COP 18 merupakan salah satu COP yang paling penting di dalam sejarah dimulainya negosiasi mengenai perubahan iklim. Protokol Kyoto menghadapi akhir dari periode pertamanya, dengan kelanjutan periode yang kedua dimana negara-negara yang seharusnya meletakkan komitmen penurunan emisinya, satu per satu berguguran. Jepang yang mengedepankan masalah ketahanan energi mereka semenjak peristiwa Fukushima menyatakan tidak sanggup untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka. Kanada yang menyatakan tidak tertarik, Rusia yang juga menyatakan akan mundur.

Anehnya, masalah hot air kemudian muncul ke permukaan di area Ad hoc Working Group on Kyoto Protokol, tentang penggunaan carry over hot air ke periode komitmen kedua. Bahkan, ada skenario untuk melanjutkan hot air setelah tahun 2020. Tidak menemukan solusi, masalah hot air ini sepertinya akan diteruskan ke pihak dengan otoritas lebih tinggi, yaitu pemimpin-pemimpin negara yang berkepentingan di minggu ke-2 ini.

Masalah lain yang juga akan menjadi sangat panjang adalah pendanaan. Keputusan mengenai pendanaan terlihat terombang-ambing seiring dengan akan ditutupnya LCA. Padahal, sebagai Ad hoc Working Group yang seharusnya keluar dengan ‘means of implementations’ dari komponen-komponen Bali Action Plan, LCA harus mengeluarkan mandat yang jelas mengenai mitigasi dan pendanaan.

Adaptasi sendiri, kebanyakan komponennya sudah mulai mendiskusikan masalah teknis pelaksanaannya (seperti loss and damage, pembuatan National Adaptation Plans, dan yang terkait). Sementara di mitigasi, keluaran dari Decision 1/CP 13 untuk pasal 1bi (peningkatan ambisi mitigasi negara maju) dan 1bii (peningkatan ambisi mitigasi negara berkembang), harus menghadapi tembok yang tinggi.

Tuntutan bagi negara berkembang semakin tinggi dengan keharusan pengembangan MRV untuk mitigasi dan juga MRV support (pendanaan khususnya), serta format pelaporan setiap 2 tahun dengan format yang akan disepakati di tingkat internasional. Dengan tuntutan yang lebih tinggi, namun tidak ada komitmen pendanaan konkrit oleh negara-negara maju, hal ini menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang.

Hal ini juga menyalahi konvensi, dimana konvensi dengan jelas menyatakan bahwa negara maju HARUS mengambil tongkat kepemimpinan dalam melakukan pledges, baik mitigasi dan kegiatan-kegiatan pencapaian tujuan tertinggi konvensi dalam mencegah kenaikan temperatur bumi hingga, 2 derajat celcius. Transfer teknologi menemui kendalanya untuk masalah IPR (Intellectual Property Right).

Equity menjadi masalah krusial lainnya. Proposal pimpinan sidang LCA, untuk membentuk Work Programme on Equity dengan masa kerja 2 tahun dan akan memberikan feed-in kepada ADP, banyak mendapatkan kontroversi dari Parties.

Dua tahun masa kerja dari WP yang tidak memiliki kekuatan politik akan menjadi terlampau lama, setelah dua tahun kerjanya, sudah tahun 2014, sedangkan di tahun 2015, mandat dari ADP sudah habis, dan pada tahun 2015 juga, sebuah instrumen yang mengikat secara hukum, sudah harus disepakati. Equity sebenarnya bukan isu yang baru, namun, sebagai salah satu prinsip konvensi yang berulang kali berusaha untuk dihilangkan, equity menjadi prinsip konvensi yang harus dipertahankan dan harus dimasukkan, serta diterapkan, baik secara politik maupun teknis, di dalam kegiatan-kegiatan pre-2020 dan post 2020.

LCA menjadi sangat krusial dengan beberapa outstanding issues yang belum diselesaikan, belum menemukan ‘rumah’nya untuk kelanjutan diskusi. Sedang Protokol Kyoto, merupakan satu-satunya instrumen yang memiliki kekuatan legal, serta komponen environmental integrity; walaupun harus diakui, komponen environmental integrity yang dimiliki, jauh dari sempurna. ADP membuka sebuah lembaran baru untuk sebuah instrumen legal setelah tahun 2020.

Jika Protokol Kyoto kemudian ‘dimatikan’ di Doha, maka dunia ini tidak lagi memiliki instrumen berkekuatan legal sebelum tahun 2015, dan belum dapat ‘diaktifkan’ sebelum tahun 2020. Selama periode tersebut, akan berapa banyak lagi emisi yang dihasilkan, dan entah seperti apa dampak-dampak perubahan iklim yang dialami oleh berbagai macam negara di dunia?

Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh negara berkembang saja; negara maju pun mengalaminya. Perbedaannya adalah kemampuan negara maju dalam ‘mengembalikan’ kehidupan mereka, jauh lebih tinggi dari negara berkembang, terutama dari segi kemampuan ekonomi. Dengan jumlah pulau lebih dari 13.000 di Indonesia, berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh Indonesia untuk mengembalikan kondisi suatu propinsi ke tingkat kehidupan yang semula, seperti sebelum dampak perubahan iklim, belum terjadi?

Political will sangat diperlukan di minggu ke-2 ini, terutama karena negara maju diharapkan untuk mengambil tongkat kepemimpinan dalam mencapai tujuan tertinggi dari konvensi, untuk menjaga kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 2 C. Apabila para pemimpin negara maju tidak memberikan sinyal positif dalam aspek ini, kepercayaan dari negara berkembang pada negara maju, sepertinya akan hilang.

COP 18 : Papersmart COP, is it really ‘Smart’?

Salah satu keunikan dari Papersmart COP adalah penerapan layanan ‘Papersmart’. Artinya adalah seluruh publikasi yang ada akan diperbarui di melalui smartphone apps, dan juga banyak tersedia laptop di koridor-koridor yang menghubungkan antara blue zone dan green zone dari Qatar Convention Center.

Namun tentu saja, bagi banyak pihak, hal ini sama sekali tidak ‘smart’. Beberapa publikasi mengenai jalannya proses negosiasi seperti publikasi ENB (Earth Negotiation Bulletin), artikel-artikel dari NGO seperti Climate Action Network (CAN) dan Third World Network (TWN), tidak lagi beredar dalam bentuk kertas. Mereka menerapkan stiker untuk smartphone application atau mencetaknya dalam ukuran poster, sehingga bisa ditempel di lorong.

Negosiasi perubahan iklim bukanlah sebuah event yang memberikan kesempatan bagi para delegasi untuk bisa ada di satu tempat dalam waktu yang lama; cukup lama untuk membaca berita terbaru seputar negosiasi. Itu sebabnya, poster-poster yang berisi informasi mengenai hal-hal baru di negosiasi tidak terlalu efektif untuk memberikan informasi tersebut.

Hal ini ternyata tidak hanya mempengaruhi ketiga buletin/newsletter terbesar seperti diatas. Ide papersmart ini bahkan mempengaruhi UNFCCC dalam mempromosikan side event yang mereka lakukan. Beberapa orang dari UNFCCC terpaksa harus berdiri dan membagikan flyer mengenai side event yang akan mereka lakukan.

Hal ini memang sesuatu yang baru untuk COP atau mungkin climate change negotiation lainnya. Walau demikian, harus diakui bahwa untuk COP 18 yang sangat penting ini (akhir dari periode pertama Protokol Kyoto serta akan berakhirnya mandat dari LCA), apakah papersmart menjadi pilihan yang smart untuk jalannya negosiasi?

NGO Participations : Is it Still Around?

Partisipasi NGO di dalam pertemuan-pertemuan negosiasi perubahan iklim telah menjadi isu sejak lama. Berkaca dari Daily Programme yang dikeluarkan oleh sekretariat UNFCCC, terlihat bahwa akses NGO untuk dapat mengikuti proses negosiasi semakin lama semakin rendah.

Hal ini terlihat dari jumlah pertemuan yang ‘Open’ atau ‘Open to observers’ yang tertera di Daily Programme semakin sedikit. Bahkan ada pertemuan yang tertulis ‘Open’, namun, sebelum pertemuan dimulai, dinyatakan ‘Closed’ (hanya terbuka untuk negara-negara saja), seperti SBI Informal Consultation mengenai Finance pada hari Kamis, 29 November 2012 yang lalu.

Proses yang semakin lama semakin berada di luar jangkauan dari NGOs ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai transparansi proses negosiasi perubahan iklim.

Pada hari Sabtu, 1 Desember yang lalu, diadakan sebuah ‘Special Event’ dimana banyak NGOs boleh berpartisipasi dengan memberikan intervensi selama 2 jam. Di track negosiasi lainnya, Ad hoc Working Group on Durban Platform Enhanced Action (ADP),

Di lain pihak, keputusan untuk meningkatkan keterlibatan NGOs dalam mengikuti proses juga dipengaruhi oleh Parties, sebagaimana terlihat dari sidang COP untuk aksesibilitas NGO di dalam contact group. Ternyata, banyak negara-negara yang tidak terlalu senang dengan akses NGO pada persidangan mereka. Itu sebabnya, di dalam pembukaan contact group pada hari Kamis tanggal 29 November yang lalu, diputuskan bahwa contact group COP hanya akan dapat diakses di awal, serta di akhir.