Side Event : Low Emission Development Strategies

Selain daripada pertemuan yang akan dilakukan pada hari ini, Senin 25 Maret 2013, mekanisme lain juga digunakan oleh beberapa pihak untuk menggalang input untuk membentuk kerangka pembangunan pasca 2015. Salah satu side event yang dilakukan adalah mengenai strategi pembangunan rendah karbon. Side event yang dilaksanakan secara tertutup dan hanya dapat diakses bagi para undangan, memberikan usulan mengenai kerangka pembangunan paska 2015.

Salah satu proposal yang diajukan adalah dalam upaya mengentaskan kemiskinan, bukan hanya GDP secara nasional dari sebuah negara yang harus ditingkatkan, namun GDP dari masyarakat miskin. Itu sebabnya, beberapa hal harus dilakukan di tataran grassroot. Contoh yang dipaparkan adalah untuk mengentaskan masalah kemiskinan dan kelaparan, melalui perbaikan pertanian.

Namun, hal yang perlu juga dipikirkan adalah akses pada energi yang harus tersedia untuk mengolah seluruh hasil pertanian tersebut menjadi makanan yang layak untuk dimakan dan bergizi tinggi. Hal yang sama berlaku untuk akses pada pendidikan yang layak. Tanpa adanya akses pada energi yang aman, layak, dan terjangkau, akses pada informasi melalui internet tidak akan berjalan. Transfer pada teknologi maju juga tidak akan berfungsi secara efisien karena ketiadaan sarana energi yang menunjang.

Akses pada energi juga termasuk dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disebut sebagai Sustainable Energy for All. Namun, Olav Kjorven dari UNDP menyatakan, bahwa apabila tidak ada kesepakatan di tingkat HLPEP terutama dalam global partnership and means of implementations di Bali, maka kesepakatan tersebut hanya akan berupa target, tanpa ada tindakan-tindakan implementasi yang jelas.

Sedangkan Bapak Kuntoro Mangkusubroto dari Indonesia menyatakan, akses pada energi juga penting bagi masyarakat miskin yang berada di perkotaan. Bagaimana agenda kerangka pembangunan pasca 2015 harus juga mengakomodir masyarakat yang berada dalam kategori ekonomi tersebut.

Kemana Larinya Equity?

 

Diskusi tentang equity kembali bergulir di forum Ad hoc Working Group on Durban Platform on Enhanced Action (ADP) di Doha. Sayangnya, equity lebih banyak dibicarakan di Workstream 1 dari ADP, dimana workstream tersebut membicarakan mengenai legally binding instrument yang harus dihasilkan di tahun 2015, dan diterapkan setelah tahun 2020. Pertanyaannya adalah dimanakah aspek equity akan diterapkan pada rentang waktu 2012-2020 ? Seperti apa bentuknya?

Hal ini menjadi pertanyaan bagi banyak orang, terutama NGO, terutama karena proposal yang diajukan oleh LCA chair adalah untuk memiliki sebuah Work Programme (WP) mengenai equity dengan masa kerja 2 tahun. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Work Programme ini meliputi workshop atau seminar, sebagai fasilitas untuk memberikan atau menyamakan persepsi antar negara-negara mengenai equity. Proposal tersebut juga menyatakan bahwa WP Equity akan memberikan informasi kepada ADP. WP Equity kemudian akan memberikan laporan kepada COP mengenai pekerjaan yang dihasilkan dalam waktu 2 tahun tersebut. Pertanyaannya adalah dalam waktu 2 tahun, artinya tahun 2014, ‘umur’ ADP tersisa 1 tahun.

Dalam sisa waktu 1 tahun tersebut, kira-kira apa bentuk kesepakatan dari equity? Satu tahun yang tersisa, yang dimiliki oleh Para Pihak adalah sebuah laporan hasil kerja dari WP Equity; dan bukan teks negosiasi; artinya, laporan equity hanyalah sebagai sebuah masukan saja. Bisa saja negara-negara yang terlibat, kemudian melupakannya, karena menganggap bahwa sebuah masukan tidak selalu harus menjadi isu untuk dinegosiasikan. Beberapa negara, tentu saja tidak setuju dengan apa yang telah ditawarkan oleh LCA chair. Namun, negosiasi masih terus berlangsung.

COP 18 – Minggu 2 : Strong Political Decisions Are Highly Needed!

COP 18 merupakan salah satu COP yang paling penting di dalam sejarah dimulainya negosiasi mengenai perubahan iklim. Protokol Kyoto menghadapi akhir dari periode pertamanya, dengan kelanjutan periode yang kedua dimana negara-negara yang seharusnya meletakkan komitmen penurunan emisinya, satu per satu berguguran. Jepang yang mengedepankan masalah ketahanan energi mereka semenjak peristiwa Fukushima menyatakan tidak sanggup untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka. Kanada yang menyatakan tidak tertarik, Rusia yang juga menyatakan akan mundur.

Anehnya, masalah hot air kemudian muncul ke permukaan di area Ad hoc Working Group on Kyoto Protokol, tentang penggunaan carry over hot air ke periode komitmen kedua. Bahkan, ada skenario untuk melanjutkan hot air setelah tahun 2020. Tidak menemukan solusi, masalah hot air ini sepertinya akan diteruskan ke pihak dengan otoritas lebih tinggi, yaitu pemimpin-pemimpin negara yang berkepentingan di minggu ke-2 ini.

Masalah lain yang juga akan menjadi sangat panjang adalah pendanaan. Keputusan mengenai pendanaan terlihat terombang-ambing seiring dengan akan ditutupnya LCA. Padahal, sebagai Ad hoc Working Group yang seharusnya keluar dengan ‘means of implementations’ dari komponen-komponen Bali Action Plan, LCA harus mengeluarkan mandat yang jelas mengenai mitigasi dan pendanaan.

Adaptasi sendiri, kebanyakan komponennya sudah mulai mendiskusikan masalah teknis pelaksanaannya (seperti loss and damage, pembuatan National Adaptation Plans, dan yang terkait). Sementara di mitigasi, keluaran dari Decision 1/CP 13 untuk pasal 1bi (peningkatan ambisi mitigasi negara maju) dan 1bii (peningkatan ambisi mitigasi negara berkembang), harus menghadapi tembok yang tinggi.

Tuntutan bagi negara berkembang semakin tinggi dengan keharusan pengembangan MRV untuk mitigasi dan juga MRV support (pendanaan khususnya), serta format pelaporan setiap 2 tahun dengan format yang akan disepakati di tingkat internasional. Dengan tuntutan yang lebih tinggi, namun tidak ada komitmen pendanaan konkrit oleh negara-negara maju, hal ini menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang.

Hal ini juga menyalahi konvensi, dimana konvensi dengan jelas menyatakan bahwa negara maju HARUS mengambil tongkat kepemimpinan dalam melakukan pledges, baik mitigasi dan kegiatan-kegiatan pencapaian tujuan tertinggi konvensi dalam mencegah kenaikan temperatur bumi hingga, 2 derajat celcius. Transfer teknologi menemui kendalanya untuk masalah IPR (Intellectual Property Right).

Equity menjadi masalah krusial lainnya. Proposal pimpinan sidang LCA, untuk membentuk Work Programme on Equity dengan masa kerja 2 tahun dan akan memberikan feed-in kepada ADP, banyak mendapatkan kontroversi dari Parties.

Dua tahun masa kerja dari WP yang tidak memiliki kekuatan politik akan menjadi terlampau lama, setelah dua tahun kerjanya, sudah tahun 2014, sedangkan di tahun 2015, mandat dari ADP sudah habis, dan pada tahun 2015 juga, sebuah instrumen yang mengikat secara hukum, sudah harus disepakati. Equity sebenarnya bukan isu yang baru, namun, sebagai salah satu prinsip konvensi yang berulang kali berusaha untuk dihilangkan, equity menjadi prinsip konvensi yang harus dipertahankan dan harus dimasukkan, serta diterapkan, baik secara politik maupun teknis, di dalam kegiatan-kegiatan pre-2020 dan post 2020.

LCA menjadi sangat krusial dengan beberapa outstanding issues yang belum diselesaikan, belum menemukan ‘rumah’nya untuk kelanjutan diskusi. Sedang Protokol Kyoto, merupakan satu-satunya instrumen yang memiliki kekuatan legal, serta komponen environmental integrity; walaupun harus diakui, komponen environmental integrity yang dimiliki, jauh dari sempurna. ADP membuka sebuah lembaran baru untuk sebuah instrumen legal setelah tahun 2020.

Jika Protokol Kyoto kemudian ‘dimatikan’ di Doha, maka dunia ini tidak lagi memiliki instrumen berkekuatan legal sebelum tahun 2015, dan belum dapat ‘diaktifkan’ sebelum tahun 2020. Selama periode tersebut, akan berapa banyak lagi emisi yang dihasilkan, dan entah seperti apa dampak-dampak perubahan iklim yang dialami oleh berbagai macam negara di dunia?

Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh negara berkembang saja; negara maju pun mengalaminya. Perbedaannya adalah kemampuan negara maju dalam ‘mengembalikan’ kehidupan mereka, jauh lebih tinggi dari negara berkembang, terutama dari segi kemampuan ekonomi. Dengan jumlah pulau lebih dari 13.000 di Indonesia, berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh Indonesia untuk mengembalikan kondisi suatu propinsi ke tingkat kehidupan yang semula, seperti sebelum dampak perubahan iklim, belum terjadi?

Political will sangat diperlukan di minggu ke-2 ini, terutama karena negara maju diharapkan untuk mengambil tongkat kepemimpinan dalam mencapai tujuan tertinggi dari konvensi, untuk menjaga kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 2 C. Apabila para pemimpin negara maju tidak memberikan sinyal positif dalam aspek ini, kepercayaan dari negara berkembang pada negara maju, sepertinya akan hilang.

COP 18 – Minggu 2 : Strong Political Decisions Are Highly Needed!

COP 18aCOP 18 merupakan salah satu COP yang paling penting di dalam sejarah dimulainya negosiasi mengenai perubahan iklim. Protokol Kyoto menghadapi akhir dari periode pertamanya, dengan kelanjutan periode yang kedua dimana negara-negara yang seharusnya meletakkan komitmen penurunan emisinya, satu per satu berguguran. Jepang yang mengedepankan masalah ketahanan energi mereka semenjak peristiwa Fukushima menyatakan tidak sanggup untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka. Kanada yang menyatakan tidak tertarik, Rusia yang juga menyatakan akan mundur.

Anehnya, masalah hot air kemudian muncul ke permukaan di area Ad hoc Working Group on Kyoto Protokol, tentang penggunaan carry over hot air ke periode komitmen kedua. Bahkan, ada skenario untuk melanjutkan hot air setelah tahun 2020. Tidak menemukan solusi, masalah hot air ini sepertinya akan diteruskan ke pihak dengan otoritas lebih tinggi, yaitu pemimpin-pemimpin negara yang berkepentingan di minggu ke-2 ini.

Masalah lain yang juga akan menjadi sangat panjang adalah pendanaan. Keputusan mengenai pendanaan terlihat terombang-ambing seiring dengan akan ditutupnya LCA. Padahal, sebagai Ad hoc Working Group yang seharusnya keluar dengan ‘means of implementations’ dari komponen-komponen Bali Action Plan, LCA harus mengeluarkan mandat yang jelas mengenai mitigasi dan pendanaan.

Adaptasi sendiri, kebanyakan komponennya sudah mulai mendiskusikan masalah teknis pelaksanaannya (seperti loss and damage, pembuatan National Adaptation Plans, dan yang terkait). Sementara di mitigasi, keluaran dari Decision 1/CP 13 untuk pasal 1bi (peningkatan ambisi mitigasi negara maju) dan 1bii (peningkatan ambisi mitigasi negara berkembang), harus menghadapi tembok yang tinggi.

Tuntutan bagi negara berkembang semakin tinggi dengan keharusan pengembangan MRV untuk mitigasi dan juga MRV support (pendanaan khususnya), serta format pelaporan setiap 2 tahun dengan format yang akan disepakati di tingkat internasional. Dengan tuntutan yang lebih tinggi, namun tidak ada komitmen pendanaan konkrit oleh negara-negara maju, hal ini menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang.

Hal ini juga menyalahi konvensi, dimana konvensi dengan jelas menyatakan bahwa negara maju HARUS mengambil tongkat kepemimpinan dalam melakukan pledges, baik mitigasi dan kegiatan-kegiatan pencapaian tujuan tertinggi konvensi dalam mencegah kenaikan temperatur bumi hingga, 2 derajat celcius. Transfer teknologi menemui kendalanya untuk masalah IPR (Intellectual Property Right).

COP 18bEquity menjadi masalah krusial lainnya. Proposal pimpinan sidang LCA, untuk membentuk Work Programme on Equity dengan masa kerja 2 tahun dan akan memberikan feed-in kepada ADP, banyak mendapatkan kontroversi dari Parties.

Dua tahun masa kerja dari WP yang tidak memiliki kekuatan politik akan menjadi terlampau lama, setelah dua tahun kerjanya, sudah tahun 2014, sedangkan di tahun 2015, mandat dari ADP sudah habis, dan pada tahun 2015 juga, sebuah instrumen yang mengikat secara hukum, sudah harus disepakati. Equity sebenarnya bukan isu yang baru, namun, sebagai salah satu prinsip konvensi yang berulang kali berusaha untuk dihilangkan, equity menjadi prinsip konvensi yang harus dipertahankan dan harus dimasukkan, serta diterapkan, baik secara politik maupun teknis, di dalam kegiatan-kegiatan pre-2020 dan post 2020.

LCA menjadi sangat krusial dengan beberapa outstanding issues yang belum diselesaikan, belum menemukan ‘rumah’nya untuk kelanjutan diskusi. Sedang Protokol Kyoto, merupakan satu-satunya instrumen yang memiliki kekuatan legal, serta komponen environmental integrity; walaupun harus diakui, komponen environmental integrity yang dimiliki, jauh dari sempurna. ADP membuka sebuah lembaran baru untuk sebuah instrumen legal setelah tahun 2020.

Jika Protokol Kyoto kemudian ‘dimatikan’ di Doha, maka dunia ini tidak lagi memiliki instrumen berkekuatan legal sebelum tahun 2015, dan belum dapat ‘diaktifkan’ sebelum tahun 2020. Selama periode tersebut, akan berapa banyak lagi emisi yang dihasilkan, dan entah seperti apa dampak-dampak perubahan iklim yang dialami oleh berbagai macam negara di dunia?

Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh negara berkembang saja; negara maju pun mengalaminya. Perbedaannya adalah kemampuan negara maju dalam ‘mengembalikan’ kehidupan mereka, jauh lebih tinggi dari negara berkembang, terutama dari segi kemampuan ekonomi. Dengan jumlah pulau lebih dari 13.000 di Indonesia, berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh Indonesia untuk mengembalikan kondisi suatu propinsi ke tingkat kehidupan yang semula, seperti sebelum dampak perubahan iklim, belum terjadi?

Political will sangat diperlukan di minggu ke-2 ini, terutama karena negara maju diharapkan untuk mengambil tongkat kepemimpinan dalam mencapai tujuan tertinggi dari konvensi, untuk menjaga kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 2 C. Apabila para pemimpin negara maju tidak memberikan sinyal positif dalam aspek ini, kepercayaan dari negara berkembang pada negara maju, sepertinya akan hilang.

COP 18 : Papersmart COP, is it really ‘Smart’?

Salah satu keunikan dari Papersmart COP adalah penerapan layanan ‘Papersmart’. Artinya adalah seluruh publikasi yang ada akan diperbarui di melalui smartphone apps, dan juga banyak tersedia laptop di koridor-koridor yang menghubungkan antara blue zone dan green zone dari Qatar Convention Center.

Namun tentu saja, bagi banyak pihak, hal ini sama sekali tidak ‘smart’. Beberapa publikasi mengenai jalannya proses negosiasi seperti publikasi ENB (Earth Negotiation Bulletin), artikel-artikel dari NGO seperti Climate Action Network (CAN) dan Third World Network (TWN), tidak lagi beredar dalam bentuk kertas. Mereka menerapkan stiker untuk smartphone application atau mencetaknya dalam ukuran poster, sehingga bisa ditempel di lorong.

Negosiasi perubahan iklim bukanlah sebuah event yang memberikan kesempatan bagi para delegasi untuk bisa ada di satu tempat dalam waktu yang lama; cukup lama untuk membaca berita terbaru seputar negosiasi. Itu sebabnya, poster-poster yang berisi informasi mengenai hal-hal baru di negosiasi tidak terlalu efektif untuk memberikan informasi tersebut.

Hal ini ternyata tidak hanya mempengaruhi ketiga buletin/newsletter terbesar seperti diatas. Ide papersmart ini bahkan mempengaruhi UNFCCC dalam mempromosikan side event yang mereka lakukan. Beberapa orang dari UNFCCC terpaksa harus berdiri dan membagikan flyer mengenai side event yang akan mereka lakukan.

Hal ini memang sesuatu yang baru untuk COP atau mungkin climate change negotiation lainnya. Walau demikian, harus diakui bahwa untuk COP 18 yang sangat penting ini (akhir dari periode pertama Protokol Kyoto serta akan berakhirnya mandat dari LCA), apakah papersmart menjadi pilihan yang smart untuk jalannya negosiasi?

NGO Participations : Is it Still Around?

Partisipasi NGO di dalam pertemuan-pertemuan negosiasi perubahan iklim telah menjadi isu sejak lama. Berkaca dari Daily Programme yang dikeluarkan oleh sekretariat UNFCCC, terlihat bahwa akses NGO untuk dapat mengikuti proses negosiasi semakin lama semakin rendah.

Hal ini terlihat dari jumlah pertemuan yang ‘Open’ atau ‘Open to observers’ yang tertera di Daily Programme semakin sedikit. Bahkan ada pertemuan yang tertulis ‘Open’, namun, sebelum pertemuan dimulai, dinyatakan ‘Closed’ (hanya terbuka untuk negara-negara saja), seperti SBI Informal Consultation mengenai Finance pada hari Kamis, 29 November 2012 yang lalu.

Proses yang semakin lama semakin berada di luar jangkauan dari NGOs ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai transparansi proses negosiasi perubahan iklim.

Pada hari Sabtu, 1 Desember yang lalu, diadakan sebuah ‘Special Event’ dimana banyak NGOs boleh berpartisipasi dengan memberikan intervensi selama 2 jam. Di track negosiasi lainnya, Ad hoc Working Group on Durban Platform Enhanced Action (ADP),

Di lain pihak, keputusan untuk meningkatkan keterlibatan NGOs dalam mengikuti proses juga dipengaruhi oleh Parties, sebagaimana terlihat dari sidang COP untuk aksesibilitas NGO di dalam contact group. Ternyata, banyak negara-negara yang tidak terlalu senang dengan akses NGO pada persidangan mereka. Itu sebabnya, di dalam pembukaan contact group pada hari Kamis tanggal 29 November yang lalu, diputuskan bahwa contact group COP hanya akan dapat diakses di awal, serta di akhir.

Mengintip Dampak Pemanasan Global di Kebun Raya Cibodas

Pemanasan global (global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi.

Dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global adalah Iklim mulai tidak stabil, Peningkatan permukaan laut, Suhu global cenderung meningkat, Gangguan ekologis dan juga Dampak sosial dan politik. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. (Wikipedia).

Dari penjelasan diatas telah diketahui berbagai macam dampaknya sehingga Sobat Esensial ingin mengetahui lebih dekat lagi perubahan iklim yang di timbulkan oleh pemanasan global ini. Dari data tempat yang diambil maka Kebun Raya Cibodas lah yang kami ambil sebagai bahan untuk obyek pembuatan film dan juga melihat lebih dekat dampak dari pemanasan global.

Dalam pembuatan film ini kami berharap bisa memberikan informasi kepada masyarakat luas apa dan bagaimana perubahan alam yang terjadi pada lingkungan sekitar baik yang kita rasakan langsung ataupun yang secara tidak langsung.

Pada hari pembuatan film kami mengubungi petugas LIPI yang notabene adalah peneliti di Kebun Raya Cibodas, bersama Bapak Rustandi B dari bagianteknisi Litkayasa kami di beri penjelasan mengenai dampak pemanasan global di Cibodas ini, beliau menjelaskan bahwa banyak dari tanaman yang siklusnya sudah berubah, yang tadinya di bulan November sudah berbunga sekarang baru mulai berbunga di bulan Juni ataupun sebaliknya. Lain halnya dengan satwa yang ada di sekitar Kebun Raya Cibodas, banyak sekali yang migrasi dari kebun raya menuju taman nasional Gunung Gede.

Koresponden selanjutnya yang kami tanyakan adalah dari para petani disekitaran Cibodas, banyak diantara mereka yang mengakui kalau produksi dari hasil panen tanamannya tidak seperti yang diharapkan seperti dahulu dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Ini diakibatkan dengan perubahan cuaca yang di timbulkan oleh pemanasan global yang mengakibatkan perubahan dari morfologi tanaman itu sendiri sehingga mempengaruhi terhadap suplay pupuk dan juga penanganan hama penyakit tanaman yang di budidayakan oleh para petani.

Koresponden yang terakhir, yang menurut kami cukup menarik untuk ditanyakan opininya adalah para pengunjung. Pengunjung yang kami maksud disini adalah pengunjung tetap atau yang minimal pernah berkunjung sebelumnya ke Cibodas, hal ini bertujuan agar kami mendapatkan opini yang bisa dikomparasi perbedaan Cibodas dulu dan sekarang. Dari total pengunjung yang kami tanyakan, 90% hasil jawabannya kurang lebih sama, mereka merasakan perubahan iklim yang cukup drastis di Cibodas. Sebagai contoh, kami kutip pendapat dari salah satu pengunjung yang sedang berekreasi mereka mengatakan “kalo dulu ke Cibodas harus pakai baju berlapis atau tebal, tetapi kalau sekarang mah cukup dengan kaos saja sudah cukup”.

Dari pembuatan film ini Sobat Esensial mengetahui dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi di Cibodas mulai dari tumbuhan , hewan bahkan social kemasyarakatan pun mengalami perubahan. Menandakan bahwa hal ini menjadi contoh kecil yang cukup serius untuk kita sebagai manusia yang saling membutuhkan dengan alam, untuk membuat perubahan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dan hal tersebut bisa dimulai dari diri sendiri, kemudian meluas ke keluarga sebagai lingkungan terdekat dan diharapkan ke masyarakat.

Cheers,
Gusti & Tantri

Berapa Banyak CO2 yang Anda Hasilkan dalam Sehari?

Tahukah Anda jika banyak aktivitas yang kita lakukan sehari-hari menyumbang emisi karbon dioksida? Penelitian yang dilakukan Institute for Essential Services Reform belum lama ini menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan. Misalnya, menggunakan smartphone selama satu jam akan menghasilkan 5,53 gram CO2, sementara menyalakan TV selama satu jam menghasilkan CO2 sebesar 111 gram.

Berikut ini tabel emisi CO2 yang dikembangkan Institute for Essential Services Reform.

Cara membacanya: Kendaraan bermotor dijalankan satu kilometer menghasilkan 14,8 gram CO2, sementara menjalankan kendaraan bermotor lima jam akan menghasilkan 73,8 gram CO2, demikian seterusnya. Semoga bermanfaat.

Berapa Banyak CO2 yang Anda Hasilkan2

 

Sumber: rumah.com

JURNAL RIO+20

PERNYATAAN PERWAKILAN MAJOR GROUP NGO DI PLENARY TINGKAT TINGGI KONFERENSI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI RIO DE JENEIRO

Hari ini, 20 Juni 2012 Konferensi PBB untuk pembangunan berkelanjutan dibuka. Diperkirakan sekitar 100 lebih kepala negara dan pemerintahan menghadiri acara ini, salah satunya Presiden SBY dengan rombongannya yang cukup besar.

Dalam acara pembukaan, setiap perwakilan kelompok utama (major groups) mendapatkan kesempatan untuk memberikan pernyataan resmi. Berikut ini adalah pernyataan dari major groups NGO, yang disampaikan oleh Wael Hmaida dari Climate Action Network (CAN), dimana IESR juga menjadi anggotanya:

Berikut pernyataannya:

Wael Hmaidan

Climate Action Network

Thank you Vice-President

I am making this statement on behalf of the NGOs in Rio+20

It feels amazing to be in this room among all the world leaders, and feeling all this power around me that can shape the World. We all know the threat that is facing us, and I do not need to repeat the urgency. Science is very clear. If we do not change in the coming five to ten years the way our societies function, we will be threatening the survival of future generations and all other species on the planet. Nevertheless, you sitting here in this room have the power to reverse all of this. What you can do here is the ideal dream of each one of us: to have the opportunity to be the savors of the planet.

And yet we stand on the brink of Rio+20 being another failed attempt, with governments only trying to protect their narrow interests instead of inspiring the World and giving all of us back the faith in humanity that we need. If this happens, it would be a big waste of power, and a big waste of leadership opportunity.

You cannot have a document titled ‘the future we want’ without any mention of planetary boundaries, tipping points, or the Earth’s carrying capacity.  The text as it stands is completely out of touch with reality. Just to be clear, NGOs here in Rio in no way endorse this document. Already more than 1,000 organisations and individuals have signed in only one day a petition called “The Future We Don’t Want” that completely refuses the current text. It does not in any way reflect our aspiration, and therefore we demand that the words “in full participation with civil society” are removed from the first paragraph.

If you adopt the text in its current form, you will fail to secure a future for the coming generations, including your own children.

To mention a few examples of failures in the document:

In the issue of finding resources to implement sustainable development, we see countries using the economic crisis as an excuse, while at the same time spending 100s of billions of dollars subsidizing the fossil fuel industry, the most profitable industry in the world. The first thing you can do is eliminating the existing harmful subsidies, especially fossil fuel subsidies, which was voted as the number one issue during the civil society dialogue.

Under the oceans section, you have failed to give a clear mandate to even start negotiating an implementing agreement to stop the Wild West abuse of the high seas.

There are many other failures in the document related to women’s reproduction health, missed opportunities to start new global treaties on civil society participation and on sustainability reporting, the extraordinary lack of any reference to armed conflicts, nuclear energy (especially in light of the fukushima disaster), and many others.

But it is not too late. We do not believe that it is over. You are here for three more days, and you can still inspire us and the world. It would be a shame and a waste for you to only come here and sign off a document. We urge you to create new political will that would make us stand and applaud you as our true leaders.

Thank you