Inventarisasi Aksi Perubahan Iklim di Asia Tenggara

Johor Bahru, 15 November 2023 – Dalam mencapai agenda transisi energi global, berbagai pihak kawasan Asia Tenggara mengambil langkah-langkah aksi iklim termasuk aktor non-negara. Partisipasi penuh makna dari aktor non-negara sangat penting dalam mencermati kebijakan yang sedang berjalan dan memberikan masukan untuk perbaikan di masa depan.

Inventarisasi menjadi kegiatan penting untuk melihat kemajuan mitigasi dan komitmen iklim saat ini. Hasil penilaian tersebut kemudian dapat digunakan untuk merancang rekomendasi kebijakan yang kuat. Aktor non-negara dapat memperkaya nuansa inventarisasi global dengan menyelaraskan aksi iklim dengan kepentingan komunitas global.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essentials Services Reform (IESR) menyoroti hal-hal penting yang dapat diambil dari survei global pertama pada Asia Pacific Climate Week 2023 dalam sesi “Integrating the role of NSAs focused on the thematic areas–Adaptation, Finance, and Mitigation”. Ketidakseimbangan pertumbuhan emisi global dibandingkan dengan rencana mitigasi iklim membuat kebutuhan untuk bertransformasi secara sistematis menguat.

“Kita memerlukan ambisi iklim yang lebih besar yang diikuti dengan tindakan dan dukungan pada aksi mitigasi iklim di kawasan (Asia Tenggara-red),” katanya.

Wira menambahkan bahwa untuk mencapai emisi net-zero memerlukan transformasi sistematis di semua sektor, dan kita perlu memanfaatkan setiap peluang untuk mencapai output yang lebih tinggi. Sektor bisnis dan komersial merupakan aktor penting dalam mempercepat transisi energi karena mereka mengonsumsi energi dalam jumlah besar. Selain itu, beberapa industri (terutama yang terlibat dalam rantai pasok berskala multinasional), mempunyai kewajiban untuk menghijaukan proses bisnisnya.

“Apa yang dapat dilakukan pemerintah bagi dunia usaha (untuk mendekarbonisasi proses bisnis mereka) adalah menyediakan lingkungan yang mendukung jika mereka ingin beralih ke proses bisnis yang lebih berkelanjutan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan insentif dan disinsentif berdasarkan pilihan sumber energi yang digunakan untuk menggerakkan dunia usaha,” tutup Wira.

Jingjing Gao, dari UNEP Copenhagen Climate Centre, menambahkan bahwa inisiatif yang dipimpin oleh sektor swasta patut diperhatikan dan diapresiasi. Namun saat ini, masih terdapat kesenjangan dalam penggabungan data secara keseluruhan dari sektor swasta.

Menanti Kepastian Regulasi untuk Adopsi Energi Surya

Fabby Tumiwa dalam konferensi pers Smart Transportation and Energy di Indonesia pada Kamis (9/11/2023)

Jakarta, 9 November 2023 – Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia sulit berkembang walaupun berpotensi mengakselerasi energi terbarukan dalam bauran energi primer. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia memiliki potensi terbesar dalam energi surya. Mengacu studi IESR, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan. Meski demikian, terdapat beberapa tantangan untuk perkembangan energi surya di Indonesia, seperti implementasi regulasi tentang PLTS. Berdasarkan data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang PLTS pada 2022 ialah 271,6 MW atau jauh di bawah rencana 893,3 MW. 

“Adanya kebijakan membatasi pemanfaatan PLTS sekitar 10-15 persen dari kapasitas membuat keekonomian PLTS menjadi rendah dan tidak menarik. Sepanjang 2021-2022, kondisi PLTS atap khususnya mengalami stagnasi. Tetapi, sejak awal tahun ini sudah ada upaya untuk merevisi peraturan tersebut untuk mencegah ketidakpastian dan prosesnya cukup panjang, bahkan sudah dibahas di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) revisi tentang PLTS. Sayangnya, proses tersebut belum selesai dan masih memerlukan koordinasi lebih lanjut antar Kementerian/Lembaga,” ujar Fabby Tumiwa dalam konferensi pers Smart Transportation and Energy di Indonesia pada Kamis (9/11/2023). 

Fabby Tumiwa berharap agar kondisi ketidakpastian tersebut perlu segera diselesaikan dan memerlukan ketegasan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terlebih, Indonesia baru saja meresmikan PLTS Terapung Cirata pada Kamis (9/11/2023) dengan kapasitas 192 MWp, menjadikan PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara. 

“Peresmian PLTS Terapung Cirata ini dapat dilihat sebagai komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi surya. Dalam pembangunan PLTS Terapung Cirata ini tak lepas dari teknologi dan inovasi yang canggih dari China. Mengingat, China merupakan produsen terbesar teknologi energi surya di dunia. Apabila dilihat dengan adanya rencananya Indonesia meningkatkan bauran energi terbarukan, kita mengantisipasi adanya permintaan PLTS yang cukup besar dalam beberapa tahun ke depan,” terang Fabby Tumiwa. 

Transformasi Energi Indonesia Menuju Nir Emisi

Fabby Tumiwa dalam acara Green Press Community 2023 pada Rabu (8/11/2023)

Jakarta, 8 November 2023 –  Krisis iklim global menjadi tantangan terbesar yang dihadapi manusia pada abad ke-21. Krisis iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca telah menyebabkan kenaikan suhu global yang signifikan, dengan dampak yang semakin terasa, seperti peningkatan suhu, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, dan kerusakan ekosistem. Indonesia sebagai salah satu pihak yang menandatangani Persetujuan Paris telah berkomitmen  dalam pengurangan emisi.  Bahkan, Indonesia juga telah  menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (E-NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Sebelumnya pada Updated NDC target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) 29% menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. 

Berkaca dari ENDC terbaru Indonesia, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan target iklim Indonesia belum selaras (compatible) dengan ambisi Persetujuan Paris mempertahankan kenaikan suhu bumi pada level 1,5C, serta tidak mencerminkan urgensi menghindari perubahan iklim yang dampaknya kini melanda seluruh dunia.

“Berdasarkan asesmen yang dilakukan oleh Climate Action Tracker (CAT), target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia dinilai tidak memadai (highly insufficient), mengarah ke 2,4ºC. Agar bisa disebut compatible, emisi GRK Indonesia harus mencapai 850 MtCO2 di 2030 dan NZE di 2050 – 2060. Caranya, kita perlu melakukan penurunan emisi di sektor energi yang lebih ambisius lagi,” terang Fabby Tumiwa dalam acara Green Press Community 2023 pada Rabu (8/11/2023). 

Fabby menuturkan, akselerasi penggunaan energi terbarukan memainkan peran kunci dalam mengurangi emisi GRK.  Berdasarkan studi IESR berjudul Beyond 443 GW  Indonesia’s Infinite Renewable Energy Potentials, potensi teknis energi terbarukan di Indonesia mencapai hampir 8.000 GW, dengan energi surya memiliki potensi terbesar sekitar 6.700-7.700 GW. Namun demikian, transisi energi membutuhkan dukungan secara regulasi, tekno-ekonomi, investasi dan sosial. 

“Potensi besar tersebut apabila dimanfaatkan secara optimal akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi di Indonesia. IESR telah memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi mencapai 1600 GW pada 2050.  Lebih lanjut, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan listrik sebesar 1600 GW tersebut dari 100% energi terbarukan dan mencapai nir emisi pada 2050,” ujar Fabby Tumiwa. 

Transisi energi tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan, tetapi juga menciptakan kesempatan baru dan transformasi energi yang berkeadilan dan inklusif. Terlebih, teknologi dekarbonisasi dan energi terbarukan telah semakin murah dan terjangkau. Untuk itu, Fabby mendorong agar pemerintah segera membuat perencanaan yang lebih ambisius untuk mencegah krisis iklim di Indonesia.

Pesan untuk Para Pemimpin Negara Jelang COP 28

Jakarta, 3 November 2023 – Pertemuan para Pihak untuk Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP 28) akan segera diselenggarakan di Dubai, Uni Arab Emirate. Salah satu agenda pertemuan tahunan ini adalah untuk melihat perkembangan aksi berbagai negara untuk menangani krisis iklim. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) hari Jumat 3 November 2023, Marlistya Citraningrum, Program Manajer Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa menyongsong pertemuan tahunan para pemimpin dunia ini, Pemerintah Indonesia baru saja merilis dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan) dan berencana untuk mengumumkan dokumen resmi ini pada COP 28.

“Dalam dokumen ini, secara esensi cukup mengecewakan karena meski menjanjikan proyek-proyek energi terbarukan, namun masih sangat fokus pada energi terbarukan berskala besar (base-load renewables) seperti hidro (PLTA) dan geotermal (PLTP). Energi terbarukan yang bersifat Variable Renewable Energy (VRE) seperti surya dan angin dianggap sebagai proyek berisiko tinggi,” jelas Citra.

Selain keberpihakan pada VRE yang kurang, Citra juga menyoroti rendahnya komitmen untuk pensiun dini PLTU batubara. Dalam dokumen CIPP yang saat ini sedang dalam proses konsultasi publik, negara-negara IPG hanya bersedia memfasilitasi pensiun dini PLTU sebesar 1,7 GW. Dalam draf dokumen tahun lalu, Amerika Serikat dan Jepang awalnya bersedia untuk membiayai 5GW pensiun dini PLTU batubara.

“Padahal untuk mencapai target net zero emission Indonesia butuh mempensiunkan sekitar 8 GW PLTU batubara,” tegas Citra.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, menyetujui pentingnya kenaikan komitmen dan aksi iklim bukan semata-mata sebagai aksi iklim namun juga sebagai bagian dari pembangunan.

“Dalam draf RPJPN yang saat ini sedang digarap, kami menargetkan target pengurangan emisi kita naik ke 55,5% pada tahun 2030 dan 2045% pada tahun 2045 sebesar 80%. Hal ini menjadi keharusan untuk meningkatkan target dan ambisi iklimnya,” kata Medril.

Menuju COP-28: Indonesia Perlu Menyuarakan Aksi Nyata dalam Mengatasi Krisis Iklim

Jakarta, 2 November 2023 – Konferensi para pihak konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim (Conference of the Parties 28, COP-28) akan dilaksanakan di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) pada 30 November-12 Desember 2023. Menjelang pelaksanaannya, Guntur, Analis Kebijakan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyatakan, COP-28 akan menjadi saksi dari hasil inventarisasi global yang pertama (global stocktake, GST) atas implementasi Persetujuan Paris.

“GST menjadi titik balik yang dibutuhkan untuk aksi iklim di dekade kritis saat ini, di mana komunitas global telah mengetahui GST akan memperlihatkan implementasi Persetujuan Paris yang tidak selaras (off track). Untuk itu, diperlukan kolaborasi berbagai pihak dalam upaya course-correcting dan meningkatkan solusi yang tercermin dalam hasil perundingan serta pada COP28 Presidential Actions Agenda,” terangnya di acara Policy Playground Pijar Foundation pada Kamis (2/11/2023). 

Guntur memaparkan, COP28 fokus terhadap beberapa isu untuk memenuhi pilar Persetujuan Paris, salah satunya berkaitan dengan transisi energi, khususnya energi terbarukan. Indonesia juga terus mempersiapkan paviliun sebagai soft diplomacy atau diplomasi dengan pendekatan sosial budaya. Hal ini sekaligus sebagai upaya menyampaikan kepada dunia terkait langkah konkret dan aksi nyata yang telah dilakukan Indonesia dalam mengurangi emisi dan mengatasi perubahan iklim. Selain itu, Indonesia mengambil tema aksi iklim untuk diselenggarakan di paviliun Indonesia saat pelaksanaan COP28. 

Arief Rosadi, Koordinator Diplomasi Iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR) menuturkan, krisis iklim memberikan dampak yang buruk bagi seluruh dunia. Berdasarkan laporan UNFCCC pada 2022, bahwa emisi global akan meningkat hampir 14% selama dekade ini. Bahkan, data UNFCCC 2023 memperlihatkan kebijakan saat ini membawa dunia ke kenaikan suhu 2,8°C pada akhir abad ini. 

“Untuk itu, Indonesia perlu menyuarakan aksi nyata dalam hal krisis iklim serta diperlukan upaya kolektif untuk mengatasi dan menangani dengan menekankan pada prinsip Common But Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC). Saat ini terdapat berbagai kesempatan bagi kaum muda untuk berpartisipasi dalam konvensi internasional, meskipun ada tantangan yang mungkin terjadi seperti proses yang tertutup dan terbatasnya dukungan finansial, regulasi maupun logistik. Padahal, mengutip data Yale Program on Climate Change Communication, sebagian besar orang Indonesia merasa berkewajiban secara moral untuk melindungi lingkungan,” ujar Arief. 

Berdasarkan agenda, kata Arief, delegasi Republik Indonesia (RI) nantinya akan memberi perhatian lebih terhadap tiga krisis global. Ketiga krisis tersebut dikenal sebagai triple planetary crisis, yang terdiri dari perubahan iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiga persoalan tersebut menjadi tantangan global dan perlu kolaborasi dan kerjasama bilateral dan multilateral untuk mempertahankan masa depan Bumi yang tetap layak huni. 

Seberapa Pentingnya Suntik Mati PLTU Batubara Pakai APBN?

Jakarta, 24 Oktober 2023 –  Pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dinilai krusial dalam pemenuhan target transisi energi. Untuk itu, pemerintah merilis aturan pembiayaan untuk mempercepat pensiun dini PLTU batubara dan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Hal tersebut tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Aturan mulai berlaku pada tanggal diundangkan 13 Oktober 2023. Berdasarkan aturan tersebut, sumber pendanaan platform transisi energi dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengapresiasi adanya peraturan tersebut. Namun demikian, terbitnya peraturan tersebut bukanlah suatu momen mengejutkan karena ketika tahun lalu Energy Transition Mechanism (ETM) dibuat, Pemerintah Indonesia telah menunjuk PT SMI sebagai ETM Country Platform Manager dan di dalam kerangka ETM tersebut disebutkan pula sumber pendanaan pensiun dini PLTU batubara bersumber dari APBN. 

“Saya kira PMK tersebut mengukuhkan secara hukum. Secara legal, hal tersebut dimungkinkan sehingga harus dianggarkan di APBN. Mengacu PMK tersebut juga, ada klausul yang menyatakan sesuai dengan kemampuan APBN. Hal-hal mengenai prioritas anggaran dan sumber pendanaan serta lainnya,” ujar Fabby Tumiwa dalam acara “Energy Corner” di CNBC Indonesia pada Selasa (24/10/2023). 

Lebih lanjut, Fabby Tumiwa memaparkan, pensiun dini PLTU batubara menjadi langkah krusial karena adanya ancaman perubahan iklim di mana Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar ke-7 di dunia dengan mengeluarkan 1,24 Gt CO2e pada 2022. Untuk itu, Indonesia perlu ikut serta untuk menurunkan emisi. Salah satu sumber emisi terbesar di Indonesia yakni sektor energi, dengan dominasi pengoperasian PLTU batubara. Fabby berharap  dengan melakukan suntik mati PLTU batubara membuat Indonesia dapat berkontribusi dalam komitmen menurunkan emisi. 

“Pendanaan dari sumber APBN diperlukan dalam rangka membuat transaksi dari pengakhiran operasi PLTU tersebut layak secara finansial. Kita tidak ingin banyak utang, dengan APBN dimungkinkan hutangnya kecil dan transaksinya menjadi lebih visible. Mengingat sumber pendanaan untuk satu PLTU yang dipensiunkan tidak hanya dari APBN, ada juga beberapa sumber pendanaan lainnya. Tergantung nanti dari jenis transaksinya. Diharapkan masuknya dana APBN, biaya pensiun dini PLTU batubara menjadi lebih rendah,” kata Fabby Tumiwa. 

Menurut Fabby Tumiwa, pengakhiran operasi PLTU batubara merupakan satu proses yang harus direncanakan, tidak lakukan semuanya dalam satu waktu. Dasar untuk melakukan pengakhiran dini PLTU batubara sudah ditetapkan juga dalam Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022. Fabby menegaskan, tidak semua PLTU batubara akan dipensiunkan dini karena beberapa PLTU yang akan memasuki masa berakhir kontraknya atau usia ekonomisnya sudah habis. 

“Dalam memilih PLTU batubara mana yang akan dipensiunkan dini, beberapa hal bisa menjadi pertimbangan di antaranya penghasil emisinya tinggi dan tingkat efisiensinya rendah, serta usianya di atas 15 tahun. Sebelum 15 tahun itu biasanya pengembalian investasi dan negosiasinya akan lama. Harus diingatkan juga agar satu PLTU layak dipensiunkan perlu sumber pendanaan campuran (blended finance, red) yang artinya bukan hanya dari APBN, tetapi sumber pendanaan lainnya juga serta pendanaannya distrukturkan sehingga membuat sebuah PLTU menjadi layak secara finansial dan teknis untuk bisa dihentikan operasinya lebih awal,” tegas Fabby. 

Selain APBN, kata Fabby, komitmen pendanaan dari negara maju seperti G7 melalui kerangka  Kerjasama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership, JETP)  masih ada tetapi bagaimana harus bisa direalisasikan. Salah satu pembahasan di JETP yakni mengenai perbedaan nilai pasar (market value) dengan nilai buku (book value) untuk aset PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), hal ini menjadi kendala dan menyangkut banyak hal. Di sisi lain, negara G7 juga memfokuskan terhadap pendanaan energi terbarukan. Fabby menilai, dua hal tersebut dapat dikombinasikan serta membutuhkan perubahan regulasi. Misalnya saja pensiun dini PLTU, kalau usia ekonomisnya dari 30 tahun dipangkas menjadi 20 tahun, maka 10 tahunnya bisa dikonversi menjadi pembangkit energi terbarukan. Sayangnya, belum ada aturan tersebut di Indonesia. Apabila pemerintah nantinya mengatur hal tersebut, Indonesia bisa memperoleh manfaat biaya dari pensiun dini lebih rendah dan ada peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan serta investasi mengikuti tersebut. 

Pengakhiran Dini PLTU Batubara Jadi Langkah Krusial Menuju NZE

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa

Jakarta, 20 Oktober 2023 –  Pada abad ke-21 ini, perubahan iklim telah menjadi permasalahan di seluruh dunia. Upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai Net Zero Emission (NZE) telah menjadi tujuan krusial yang harus dikejar. Untuk mencapai NZE, peralihan dari sumber energi berbasis fosil seperti batubara menjadi sumber energi bersih dan berkelanjutan menjadi langkah yang sangat penting. Oleh karena itu, pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara menjadi langkah krusial untuk mencapai NZE.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menuturkan, dua tahun terakhir Pemerintah Indonesia sudah lebih ambisius untuk melakukan transisi energi. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022, yang menyatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu menyusun peta jalan pengakhiran operasi pembangkit listrik tenaga uap  (PLTU) batubara dengan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian BUMN. Apabila melihat ketentuan tersebut, lanjut Fabby, maka PLTU batubara berhenti beroperasi pada 2050. 

“Pemerintah juga tengah menggodok kebijakan energi nasional (KEN) yang baru untuk menggantikan PP No 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional, revisi ini sepertinya akan menjadi peta jalan bagi Indonesia untuk melakukan transisi energi serta menjadi rencana transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Kita juga bisa melihat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah menyiapkan rencana umum penyediaan tenaga listrik yang baru dengan mengakomodasi peta jalan untuk melakukan transisi energi dan mencapai NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050,” terang Fabby di acara “Market Review” yang disiarkan oleh IDX Channel pada Jumat (20/10/2023). 

Fabby menekankan, transisi energi dapat berhasil apabila terdapat investasi ataupun pendanaan sesuai kebutuhan. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diupayakan untuk mempercepat transisi energi, di antaranya mengakselerasi pembangunan energi terbarukan, membangun infrastruktur pendukung seperti transmisi distribusi dan energy storage yang dibutuhkan untuk mendukung keandalan sistem energi, serta pengakhiran operasi PLTU lebih awal. Hal ini diperlukan agar Indonesia dapat mencapai target porsi energi terbarukan nasional sekitar 34% pada 2030. 

“Kalau tidak ada penurunan kapasitas PLTU batubara di sistem ketenagalistrikan, sukar kiranya meningkatkan bauran energi terbarukan setinggi target tersebut. Kita perlu melakukan transisi energi agar mencapai target NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050,” kata Fabby. 

Fabby menuturkan, terbitnya  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan dapat menjadi dasar pengalokasian APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal. Hal ini menjadi penting karena Indonesia juga telah meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform, sebuah bentuk koordinasi utama dan penggerak untuk mendorong transisi yang adil dan terjangkau di Indonesia untuk sektor energi pada tahun lalu. Pendanaan awal dari ETM berasal dari Asian Development Bank (ADB) dan Climate Investment Fund. 

Platform tersebut saat ini dipakai untuk strukturisasi pendanaan pensiun dini dua PLTU yakni PLTU Cirebon milik swasta dan PLTU Pelabuhan Ratu milik PT PLN. Apabila keduanya berhasil distrukturkan maka akan dipensiunkan pada 2035. Berdasarkan hitungan IESR, kapasitas PLTU batubara yang harus berhenti operasinya sekitar 8-9 GW. Hal ini patut dilihat mengingat sampai sekarang belum ada rencana untuk mengakhiri operasi lebih awal sebelum 2030, padahal kita perlu melakukannya. Mengacu ETM yang sudah ditetapkan, salah satu sumber pendanaan berasal dari APBN. Dengan terbitnya PMK tersebut, maka dasar hukumnya ditetapkan,” papar Fabby. 

Fabby menyatakan, untuk melakukan pensiun dini PLTU batubara perlu ada tiga hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, keandalan pasokan listrik tidak terganggu. Kedua, apabila sebuah PLTU diakhiri maka berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Ketiga, apabila sebuah PLTU dipensiunkan maka terdapat kapasitas penggantinya dari energi terbarukan di sistem tersebut. 

“Untuk itu, agar biayanya pengakhiran operasional PLTU tidak lebih mahal, usia PLTU yang mencapai 20 tahun bisa menjadi pertimbangan untuk pensiun dini. Selain itu, teknologi PLTU batubara yang masih subcritical di mana intensitas emisi sangat tinggi dan dilakukan di sistem kelistrikan yang pasokan daya listriknya cukup (overcapacity),” tegas Fabby. 

Tantangan Ketenagalistrikan Indonesia, Bagaimana Menanggulangi Kelebihan Pasokan Listrik?

Fabby Tumiwa di Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023)

Jakarta, 11 Oktober 2023 –  Indonesia, salah satu negara berkembang terbesar di dunia, tengah menghadapi tantangan dalam sektor ketenagalistrikan. Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang bertanggung jawab atas pasokan listrik, kini dilanda kelebihan pasokan listrik (oversupply). Beberapa faktor kompleks telah berkontribusi pada situasi tersebut di antaranya megaproyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara sebesar 35 gigawatt, yang diumumkan pada tahun 2015. Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam program acara Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023).

Fabby Tumiwa memaparkan, PLN memiliki perencanaan 10 tahun melalui proyeksi kelistrikan dan besaran kapasitas pembangkit yang harus dibangun. Berkaca dari penyediaan listrik di Indonesia, kata Fabby, sebelum 2014 pasokan listrik mengalami defisit karena pembangunan listriknya tertinggal dibandingkan laju pertumbuhan. Oleh karena itu, terdapat program 35 ribu gigawatt (GW) pada 2015 dengan target kebutuhan ekonomi akan mencapai 7% berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) sehingga kebutuhan listrik diproyeksikan tumbuh sekitar 8%. 

“Di dalam perjalanannya, sejak 2015 pertumbuhan ekonomi kita tidak pernah mencapai 7%, rata-rata sekitar 5%. Sementara itu, pertumbuhan listrik sampai tahun 2019 tidak pernah mencapai 5% per tahun, hal ini menjadi persoalan karena implementasi dari program 35 GW sudah berjalan, tetapi nyatanya proyeksi tersebut tidak terlalu tepat,” ujar Fabby Tumiwa.

Lebih lanjut, Fabby menegaskan, kondisi oversupply tersebut menjadi beban karena kontrak listrik PLN menerapkan skema take or pay. Artinya, listrik yang dipakai atau tidak yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP), PLN tetap harus membayar sesuai kontrak.  Menurut Fabby, untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik, dari sisi supply telah mulai teratasi. Hal ini bisa dilihat dari rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 di mana ada lebih dari 13 GW kapasitas pembangkit yang telah dipangkas. Untuk menghindari kasus serupa, ujar Fabby, IESR telah merekomendasikan agar dari kapasitas pembangkit sekitar 3 GW yang telah ada di pipeline berpotensi untuk dihentikan. 

Fabby Tumiwa
Fabby Tumiwa di Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023)

“Informasi dari PLN, setiap 1 GW PLN bisa rugi sekitar Rp3 triliun, namun demikian setiap pembangkit memiliki kontrak yang berbeda.  Memang tidak ada cara lain untuk menyerap kelebihan listrik, kita harus menaikkan permintaan listrik. Permintaan kenaikan listrik pada 2022 terlihat sudah mulai tinggi, sekitar 5,5%. Namun demikian, kita perlu mengejar dengan pertumbuhan di atas 7% melalui permintaan listrik dari rumah tangga maupun industri,” tegas Fabby. 

Fabby menjelaskan, kelebihan listrik terbesar di Sumatera dan Jawa, menyerap konsumsi listrik lebih dari 90% secara nasional. Sebagian besar di Jawa, rasio elektrifikasi dengan rata-rata 100%. Tetapi, terdapat kesenjangan rasio elektrifikasi di bagian Indonesia bagian timur seperti NTT, NTB dan Papua.

“Yang sekarang terjadi rasio elektrifikasi belum 100% di luar Jawa, sedangkan kelebihan listriknya di Jawa. Persoalannya, bukan sekadar kapasitas pembangkit tetapi juga pembangunan jaringan listrik ke daerah pelosok yang cukup mahal. Sebagai gambaran, untuk memberikan akses listrik ke satu rumah di daerah 3T maka diperlukan antara Rp10 juta – Rp100 juta namun daya beli rumah tangga cukup rendah,” ujar Fabby.

 

Menilik Pasar Karbon Indonesia: Tantangan, Peluang dan Jalan untuk Masa Depan

Kemajuan pesat dalam penetapan harga karbon di Indonesia telah mencapai tonggak penting. Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi landasan pembangunan infrastruktur dan kerangka pelaksanaannya. Lahirnya regulasi NEK merupakan respon terhadap Pasal 6 Persetujuan Paris yang memperbolehkan para pihak memperdagangkan karbon guna menurunkan emisi. Beberapa instrumen yang ditawarkan dalam peraturan ini, terdiri dari perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, dan pajak karbon, yang telah dua kali tertunda dan diperkirakan akan diluncurkan pada tahun 2025. Di antara semua instrumen tersebut, perdagangan karbon diidentifikasi sebagai instrumen yang matang dengan mekanisme cap-and-trade yang memungkinkan institusi untuk mengklaim emisi intensif tinggi mereka dengan membeli kredit dari aktivitas lain yang menyediakan stok karbon.

Untuk memperkuat pelaksanaan perdagangan karbon berdasarkan Undang-Undang 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertugas menyelenggarakan dan mengawasi perdagangan karbon di pasar karbon. Hanya dalam waktu 7 bulan, OJK menerbitkan peraturan perdagangan karbon melalui pertukaran karbon dan resmi meluncurkan pasar karbon pada 26 September 2023. Artinya, pembiayaan merupakan salah satu solusi untuk menjembatani kesenjangan dalam pencapaian target iklim dan berperan penting dalam meningkatkan kesadaran akan dampak buruk perubahan iklim, khususnya bagi sektor bisnis.

Sebelumnya, Indonesia telah mengenal Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market, VCM) sejak beberapa dekade terakhir sebelum memutuskan untuk membentuk pasar karbon wajib untuk memenuhi target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) untuk sektor-sektor tertentu. Misalnya, proyek Lahan Gambut Sumatera Merang yang berhasil menjual 3 juta kredit karbon kepada perusahaan-perusahaan besar dan Indonesia Climate Exchange (ICX), sebuah platform perdagangan, diciptakan untuk membangun ekosistem bagi sektor swasta dengan skema sukarela.

Pada tahap pertama perdagangan karbon, 99 PLTU yang mencakup 86% pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia berpartisipasi dalam skema cap and trade. Setiap PLTU mempunyai jatah maksimum atau kuota emisi yang ditetapkan berdasarkan kriteria kinerja dan unit sebelumnya. Bagi mereka yang mengeluarkan emisi kurang dari ambang batas, mereka dapat menukarkan sisa kuota ke perusahaan lain yang melebihi batas maksimum. Ketika emisi PLTU telah melebihi kuota yang diberikan, maka mereka harus mengurangi emisi tersebut dengan membeli kuota dari PLTU lain atau membeli kredit karbon.

Keberhasilan program percontohan ini, meskipun memerlukan beberapa perbaikan, telah mendorong sektor-sektor lain untuk mempertimbangkan perdagangan karbon dan memperluas penerapannya di luar sektor energi, sambil menunggu diterbitkannya peta jalan perdagangan karbon yang saat ini sedang dibahas di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Dengan terbentuknya pasar karbon, maka produk perdagangan yang akan diperjualbelikan adalah kuota karbon dari sektor yang memenuhi syarat yang disebut PTBAE-PU dan kredit karbon atau SPE-GRK. PTBAE-PU hanya dapat diperjualbelikan oleh sektor wajib yang mempunyai batas maksimum emisi emisi, sedangkan kredit dapat diberikan dari berbagai proyek, misalnya proyek restorasi gambut dan energi terbarukan, di mana seluruh peserta dapat membeli kredit tersebut untuk menghindari emisi. Untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon, semua entitas, baik penghasil emisi atau bukan, harus mendapatkan izin dari National Standard Registry (SRN), sebuah platform yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai database emisi nasional dan memvalidasi kredibilitas produk dan peserta yang terlibat dalam pertukaran karbon. Dengan besarnya harapan, pemantauan dan evaluasi emisi yang cermat dapat dengan mudah diintegrasikan antar sektor dalam satu platform dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi data yang diperlihatkan kepada publik.

Peluncuran pertukaran karbon hanya satu bulan setelah OJK mengeluarkan peraturannya telah menimbulkan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah apakah Indonesia cukup siap untuk mengelolanya. Dengan tidak adanya ekosistem pasar yang komprehensif, diperlukan perencanaan dan implementasi yang matang oleh pemerintah, khususnya regulator dan kementerian terkait. Meski antusiasme ditunjukkan oleh 13 transaksi dengan total volume setara 459.914 metrik ton CO2 dengan harga satuan sekitar USD 4,51 yang didominasi oleh BUMN pada hari pertama peluncurannya, pembelajaran dari beberapa sistem perdagangan emisi (ETS) ), seperti Tiongkok, menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama, hampir satu dekade, untuk membangun ekosistem pasar yang kuat dan matang. Validasi, kredibilitas, dan transparansi data merupakan aspek fundamental yang patut diwaspadai oleh berbagai pemangku kepentingan, antara lain OJK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan lainnya. Integrasi pasar antara perdagangan karbon sektor tenaga listrik dan sektor kepatuhan yang akan datang dengan pasar karbon yang baru dirilis harus diterapkan untuk mencapai satu sistem dan mekanisme penetapan harga yang sama, karena pihak sukarela mendominasi pasar saat ini.

Penting juga untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar guna menjaga antusiasme pasar dan menjamin kelancaran transaksi. Mengingat pengalaman awal Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), di mana kelebihan pasokan menyebabkan harga karbon mendekati nol pada tahun 2007, maka tindakan pencegahan harus diambil untuk mencegah harga karbon menjadi tidak kompetitif. Selain itu, pasar karbon akan segera memungkinkan perusahaan-perusahaan di luar Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon, yang dapat menyebabkan kebocoran karbon jika harga tidak kompetitif dan perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak mendapatkan manfaat dari insentif yang diberikan oleh pasar karbon.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang mengatur kuota dan ambang emisi di bidang ketenagalistrikan harus membatasi emisi yang diperbolehkan oleh setiap perusahaan pemilik pembangkit listrik. Dengan rencana kuota maksimal 85% pada tahun 2024, diharapkan dapat mendorong setiap operator untuk menyusun strategi penurunan emisi. Saat ini, kuota masih didasarkan pada intensitas emisi dan rata-rata emisi tahun sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan alokasi yang lebih tinggi pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, pemantauan berkala diperlukan untuk mengurangi kuota emisi setiap pembangkit listrik.

Pasar karbon juga membuka peluang untuk menginformasikan prinsip-prinsip taksonomi hijau secara luas, terutama kepada lembaga keuangan, investor, dan pemilik proyek. Hal ini dapat memungkinkan identifikasi apakah suatu proyek dapat diperdagangkan di pasar karbon dan termasuk dalam klasifikasi taksonomi hijau. Hal ini dapat meningkatkan transparansi dalam penilaian dan kepercayaan sekaligus membantu investor dan lembaga keuangan dalam memobilisasi pendanaan untuk proyek-proyek berkelanjutan. Namun, koordinasi dan kesepakatan kelembagaan lebih lanjut juga diperlukan untuk mencapai hal ini.

Meskipun pasar karbon di Indonesia masih tergolong baru, penerapannya yang efektif diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku industri, khususnya pada sub-sektor pembangkit listrik dan sektor energi secara keseluruhan. Penyebaran informasi kepada khalayak yang lebih luas penting untuk menarik lebih banyak pembeli dan pedagang untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon di luar sektor energi. Pada tahap awal ini, diperlukan insentif dari pemerintah karena untuk bisa lolos kriteria ‘hijau’, diperlukan proses tambahan yang menimbulkan biaya tambahan dan berpotensi menjadi beban, sehingga membuat pasar karbon menjadi tidak menarik. Pasar ini juga menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim, sekaligus mendorong peluncuran pajak karbon sebagai alat pelengkap yang penting. Pemantauan dan evaluasi berkala diperlukan untuk menjaga semua kegiatan pada jalur yang benar, sementara peningkatan dan pengembangan lebih lanjut diperlukan agar pasar memenuhi syarat di tingkat internasional.