Mengejar dan Menjaga Momentum Kenaikan Energi Surya

Jakarta, 9 September 2021– Dalam setahun terakhir, terjadi perubahan dinamis di sektor energi. Batas waktu yang semakin dekat dari Perjanjian Paris dan laporan IPCC AR6 terbaru menyatakan bahwa waktu kita semakin singkat untuk menjaga kenaikan suhu. Hal ini telah mengangkat wacana tentang dekarbonisasi dan komitmen netral karbon (net-zero emission) dari seluruh dunia. Penyebaran cepat energi terbarukan adalah salah satu kunci penurunan emisi karena sektor energi adalah salah satu penghasil emisi terbesar. Faktanya, biaya energi bersih terus turun. Studi menunjukkan bahwa angin dan surya adalah yang termurah untuk 2/3 populasi dunia (BloombergNEF, 2020).

Energi surya akan menjadi tulang punggung dekarbonisasi karena fleksibilitasnya untuk dipasang di berbagai skala, mulai dari skala rumah tangga hingga skala utilitas. Sehingga memungkinkan instalasi tenaga surya secara besar-besaran di Indonesia “Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, dengan semakin murahnya biaya sistem energi surya dan kemampuannya untuk dipasang di berbagai skala daya, akan memungkinkan lebih banyak pihak untuk mengambil bagian aksi kolektif ini tidak hanya untuk menyebarkan energi terbarukan tetapi juga untuk memerangi krisis iklim,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR merangkum pidatonya saat peluncuran laporan Scaling Up Solar in Indonesia: Reform and Opportunity.

Caroline Chua, Senior Associate BloombergNEF Southeast Asia, sekaligus penulis utama laporan tersebut, menekankan bahwa pencapaian target energi terbarukan Indonesia sebesar 23% pada tahun 2025 membutuhkan upaya dua kali lipat dari kondisi saat ini.

“Target energi terbarukan Indonesia sebesar 23% dapat dicapai dengan memasang solar PV sebesar 18 – 23 GW. Solar sendiri dapat membantu Indonesia memenuhi target 2025 karena dapat digunakan dengan cepat dan teknologinya sudah tersedia dan semakin murah dari waktu ke waktu,” katanya.

Faktor keekonomian tenaga surya juga semakin kompetitif, dan di masa depan akan mengalahkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Tarif solar di Indonesia turun 76% dari 25 sen/kWh di 2015 menjadi 5,81 sen/kWh di 2020. Daniel Kurniawan, Analis Solar IESR mengatakan sudah ada minat dari pasar untuk berkembang di Indonesia.

“Tantangannya di sini benar-benar untuk mereplikasi pengadaan solar. Saya pikir pasar sudah mengirimkan sinyal kuat bahwa mereka tertarik dengan Indonesia dan itu bisa dicapai. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Indonesia dapat berpikir tidak hanya untuk mencapai target energi terbarukan tetapi juga untuk meng-dekarbonisasi sistem energinya,” katanya.

Awal tahun ini, PLN mengumumkan bahwa perusahaan setrum plat merah ini akan menjadi emisi nol bersih pada tahun 2060. Dalam draf baru RUPTL, rencana untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara lama disertakan.

“PLN menyiapkan roadmap menjadi net zero-emission pada 2060. Dalam RUPTL baru kami juga memberikan ruang lebih untuk energi terbarukan dan memasukkan rencana pensiun PLTU batu bara. Menurut kami, semua PLTU batubara akan kami pensiunkan pada tahun 2056 dan akhirnya mencapai net zero-emission pada tahun 2060,” jelas Zainal Arifin, Executive Vice President Engineering, and Technology PT PLN.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sepakat bahwa tenaga surya akan menjadi kunci untuk mencapai target Indonesia sekaligus memerangi perubahan iklim.

“Kita perlu mengatasi masalah intermiten dan mengembangkan sistem penyimpanan energi. Dalam perencanaan kami, kami mengharapkan sistem penyimpanan energi berasal dari penyimpanan pompa-hidro yang dapat dikembangkan pada tahun 2030,” katanya.

Komitmen untuk mencapai net zero-emission telah diperbarui, namun perlu kita pastikan bahwa komitmen tersebut diwujudkan dalam perencanaan yang konkrit. Sehingga seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dapat menggunakan momentum ini untuk memanfaatkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia untuk kepentingan bersama yang lebih besar dalam memerangi krisis iklim.

Peran Media Dalam Perjalanan Transisi Energi Indonesia

Dalam perjalanan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid 19, Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan jalan untuk memilih jalur pemulihan ekonomi hijau, atau jalur pemulihan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi. Pandemi Covid 19 menghantam keras perekonomian Indonesia, nampak dari pertumbuhan ekonomi negatif yang kita alami. Namun di sisi lain, Covid 19 membuka kesempatan untuk mengubah arah pembangunan ekonomi menjadi lebih hijau dan lebih rendah emisi. Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change Assessment Report 6 (IPCC AR6), kita tidak lagi punya waktu lama untuk menjaga kenaikan suhu bumi dalam batas aman. Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia sekaligus penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menurunkan emisinya terutama dari sektor energi. Dalam situasi pemulihan ekonomi pasca Covid19, Indonesia harus menemukan cara untuk keluar dari krisis ekonomi sekaligus mengatasi krisis iklim. Melakukan transisi energi menjadi suatu keharusan jika Indonesia bersungguh-sungguh ‘menghijaukan’ program pemulihan ekonominya.

 

Dalam mengawal proses pemulihan ekonomi Indonesia segala lapisan masyarakat perlu ikut mengawasi dan menyuarakan pendapatnya untuk memastikan jalan yang ditempuh pemerintah adalah jalan yang akan membawa Indonesia menuju pemulihan ekonomi rendah emisi. Penting untuk Indonesia sebagai suatu bangsa melakukan pemulihan ekonomi yang memperhatikan kondisi krisis iklim karena krisis yang menjadi sumber segala krisis di masa mendatang. Urgensi krisis iklim dan pemulihan ekonomi yang rendah emisi ini perlu disampaikan pada masyarakat, salah satunya melalui media massa, sehingga masyarakat dapat ‘menuntut’ pemerintah saat pemerintah tidak memilih jalan pemulihan ekonomi yang lebih hijau. 

 

Untuk membantu para awak media memberikan liputan yang komprehensif tentang isu transisi energi, program Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia, IESR menyelenggarakan pelatihan untuk para jurnalis. Pelatihan ini meliputi input materi mengenai energi dan transisi energi, serta bagaimana menuliskan liputan transisi energi supaya dapat lebih dipahami oleh masyarakat luas. Program ini akan berlangsung dalam sepuluh sesi yang berlangsung dari bulan September hingga Oktober 2021, dan diikuti oleh 20 wartawan pilihan dari berbagai daerah di Indonesia.

 

Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR menekankan pentingnya peran media dalam proses transisi energi. “Masyarakat harus dapat mendukung, mendorong, dan menyuarakan pendapatnya ke pembuat kebijakan. Disinilah  media berperan penting untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat supaya Indonesia membangun ekonominya lebih hijau,” tutur Fabby.

 

Dalam sesi pertama yang berlangsung pada Selasa, 7 September 2021, peserta dikenalkan dengan konsep energi dan transisi energi dipandu oleh tiga narasumber dari Agora Energiewende. 

 

Tharinya Supasa, Project Lead Energy Policy South East Asia Agora Energiewende, menekankan penting untuk seluruh lapisan masyarakat memahami pentingnya transisi energi.

 

“Karena energi sangat dekat dengan kita, mulai dari memasak, menonton TV hingga bekerja dengan komputer atau perangkat elektronik lainnya. Jadi apapun yang terjadi di bidang energi akan mempengaruhi kehidupan semua orang,” ungkap Tharinya.

Peta Jalan Energi Bersih, Terjangkau dan Aman untuk Mencapai Emisi Nol Bersih Indonesia di 2050

Para pemangku kepentingan di Indonesia sudah menyadari bahwa perubahan iklim menjadi aspek penting dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Selain pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor kunci sesuai kaidah pembangunan berkelanjutan, aspek penurunan emisi juga memerlukan perhatian khusus agar cepat mencapai emisi nol bersih. Atas dasar tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerjasama dengan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) mengadakan sebuah paparan dan diskusi terkait peta jalan menuju emisi nol bersih Indonesia pada 2050.

Pada kesempatan ini Koordinator Riset IESR, Pamela Simamora, menyatakan bahwa dalam membentuk strategi untuk mencapai penurunan emisi adalah dengan mengingat kembali Perjanjian Paris tahun 2015 tentang perubahan iklim. Terkait pada perjanjian dan target global tersebut, Pamela mengatakan bahwa pemerintah perlu mengacu kembali kepada komitmen Indonesia (melalui UU No.16 Tahun 2016, tentang Pengesahan Persetujuan Paris) untuk menurunkan emisi sebanyak 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. 

Namun pada perjalanannya, sesuai laporan yang dikeluarkan oleh Climate Action Tracker pada tahun 2020, dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada tahun tersebut tidak sejalan dengan target yang disetujui pada Persetujuan Paris. Selain itu, dokumen Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) Indonesia juga tidak menunjukan nir emisi sebagai target yang harus dicapai pada tahun 2050. Pamela mengatakan, perencanaan yang dilakukan pemerintah melalui dokumen-dokumen perencanaan pembangunan rendah karbon tadi tidak sejalan dengan tren penurunan harga listrik dengan sumber energi terbarukan (yang diharapkan dapat berkontribusi banyak terhadap penurunan emisi).

Studi IESR yang berjudul Deep Decarbonization on Indonesia’s Energy System: A Pathway to Zero Emission by 2050 menunjukkan bahwa sektor energi (pembangkit listrik, transportasi dan industri) dapat mencapai nol emisi pada tahun 2050 karena sudah mencapai kelayakan teknis dan ekonomis. Peta jalan tersebut memiliki 4 pilar utama, yaitu energi terbarukan, elektrifikasi, pengurangan bahan bakar fosil, dan bahan bakar bersih. Studi tersebut menyatakan bahwa peningkatan drastis penggunaan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan pemanas listrik perlu terjadi dalam dekade ini.

Kajian ini juga menyatakan perlunya penerapan moratorium batubara untuk mencapai puncak karbon dari batubara pada tahun 2025. Studi ini juga memproyeksikan bahwa sektor ketenagalistrikan akan menjadi sektor pertama yang bebas emisi karbon pada tahun 2045 dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan dan teknologi baterai. Atas dasar inilah, Pamela mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia bisa lebih meningkatkan target penurunan emisi. 

Menanggapi paparan tersebut, Satya Widya Yudha dari Dewan Energi Nasional mengatakan bahwa sejalan dengan Persetujuan Paris, Indonesia juga memiliki target dan visi Indonesia Emas pada tahun 2045 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 6%. Atas target tersebut Indonesia memiliki strategi untuk mengembangkan dan menumbuhkan industri manufaktur dan jasa, yang tentunya akan mengikuti kaidah pertumbuhan hijau. Berdasarkan hal ini Satya mengatakan bahwa konsumsi energi akan meningkat juga, sehingga puncak emisi nasional dirasa masih sulit dicapai bahkan pada tahun 2040-2050.

Selain aspek pertumbuhan industri, Satya juga menanggapi masukan IESR terkait moratorium batubara yang perlu diberhentikan penggunaannya secepat mungkin. Satya menjelaskan bahwa ada resiko hukum dan dampak finansial yang merugikan Indonesia jika penggunaan batubara secepatnya dihentikan, hal ini dikhawatirkan menjadi kebijakan yang prematur dan dirasa masih perlu banyak dipelajari lagi strategi implementasinya. 

Hal serupa disampaikan juga oleh Chrisnawan Anditya, Direktur dari Direktorat Aneka Energi Terbarukan, Ditjen. EBTKE, Kementerian ESDM. Chrisnawan menyatakan bahwa adanya kebutuhan studi terkait penghitungan puncak emisi Indonesia yang meliputi seluruh Industri yang terkait. Hal ini dirasa menjadi hal yang sangat penting sebagai basis perencanaan pembangunan net zero emission di Indonesia. Chrisnawan menyampaikan pula, bahwasanya penggunaan teknologi baru seperti baterai dan pumped storage perlu ditargetkan oleh Kementerian ESDM untuk diaplikasikan pada 2030.

Disamping itu, aspek penting akibat pandemi COVID-19 juga sempat dibahas pada acara ini. Rachmat Mardiana, Direktur dari Direktorat Energi, Telekomunikasi, dan Komunikasi Bappenas, menyatakan bahwa diproyeksikan sampai dengan tahun 2022, perubahan dinamika geopolitik global dan pemulihan ekonomi global yang belum merata sedikit banyak akan menjadi tantangan sendiri untuk Indonesia, khususnya dalam hal transisi energi. Untuk mengimbangi hal ini, Rachmat mengatakan Indonesia perlu dengan cepat merubah struktur ekonomi, menjadi ekonomi yang lebih hijau. Beliau juga menyampaikan bahwa sub-sektor energi memiliki struktur yang sangat kompleks sehingga mempengaruhi struktur sektor lain seperti ekonomi dan populasi, hal ini menyimpulkan bahwa perencanaan energi perlu dilakukan melalui kajian yang teliti. 

Noor Syaifudin, Analis Kebijakan Ahli Madya PKPPIM BKF, Kemenkeu menyampaikan bahwa menuju target penurunan emisi 41%, Indonesia memerlukan bantuan global, yang sejauh ini didapati hanya berbentuk pinjaman yang memiliki konsekuensi pengembalian dana publik. Selain hal ini, Noor juga mengatakan perlunya mempersiapkan strategi pemanfaatan dan optimalisasi sumberdaya alam yang ada, juga strategi transisi energi yang terjangkau untuk Indonesia. Menutup sesi panel, Noor menyampaikan pemerintah daerah juga memiliki andil penting dalam mencapai target emisi nol bersih. 

Sebagai penutup acara, panelis dan pembicara bersepakat bahwa keterlibatan anak muda dan mahasiswa dalam proses transisi energi dan mensukseskan target emisi nol bersih sangatlah penting. Sebagai contoh, mahasiswa bisa melakukan riset-riset yang berkaitan dengan efisiensi teknologi sehingga biaya energi baru terbarukan diharapkan akan menjadi semakin murah. Hal ini diharapkan dapat mempermudah pembuatan kebijakan pendukung, yang selama ini masih dipengaruhi anggapan bahwa energi terbarukan merupakan teknologi yang mahal.

Paparan Pamela Simamora, Peta Jalan Menuju sektor energi nol emisi di 2050

Shareable_Net Zero Indonesia by 2050_ Roadmap for Clean, Affordable, and Secure Energy

Unduh

 

 

Waspadai Potensi Aset Terdampar di Industri Batubara Akibat Transisi Energi

Jakarta, 26 Agustus 2021 – Industri batubara di Indonesia memiliki peluang yang cukup tinggi untuk menjadi salah satu aset terdampar di masa yang akan datang, baik di sektor hulu maupun hilirnya. Hal ini diungkapkan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam seminar Exploring Potential Risks of Coal Exit Towards Economics and Finance in Indonesia. Seminar ini diselenggarakan oleh IESR berkolaborasi dengan Climate Transparency – kemitraan internasional dari think tank di beberapa negara G20, dan dengan didukung oleh Kementerian Luar Negeri Jerman telah mengadakan seminar daring selama dua hari bertema “Aligning International Energy Finance toward the Net-Zero Economy” pada 25-26 Agustus 2021. 

“Permintaan energi batubara di Indonesia akan mengalami peningkatan dari 130-140 juta ton menjadi 160-170 juta ton namun sesudahnya  akan ada penurunan seiring dengan mulai pensiunnya pembangkit listrik,” ungkap Fabby.

Sebagai salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia, Indonesia menerima peningkatan permintaan batubara ke negara-negara seperti India dan Cina,yang awalnya berkisar pada 550 juta ton menjadi 625 juta  ton. Namun di sisi lain negara-negara ini sudah siap sedia untuk mengumumkan transisi energi mereka.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyadari fenomena transisi energi tersebut dan adanya pergerakan peralihan pembiayaan dari energi fosil ke energi terbarukan.  

“Kita mengakui adanya beberapa hal yang secara faktual sudah terjadi, misalnya mengenai financing, dimana banyak lembaga-lembaga perbankan dunia dan nasional yang mengurangi support atau portofolionya kepada industri berbasis batubara,” kata Hendra Sinadia, Energy and Mineral Resources Committee, Indonesian Entrepreneurs Association (APINDO).

“Lebih dari 100 lembaga keuangan yang sekarang sudah berkomitmen untuk tidak lagi membiayai batubara namun masih ada dukungan keuangan terhadap sektor batubara dari APBN dalam bentuk subsidi untuk fossil fuel.” kata Tiza Mafira, Associate Director, Climate Policy Initiative. Tiza juga menambahkan bahwa Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih didominasi oleh sektor-sektor kotor, padahal PEN selama ini diganyang sebagai green economic recovery. 

Pengamat Ekonomi Senior, INDEF, Faisal Basri mengemukakan bahwa para pengambil keputusan harus melakukan upaya yang komprehensif  untuk melakukan transformasi ekonomi maupun energi agar dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah perlu segera memitigasi risiko aset terdampar di industri batubara sehingga dapat mencegah kerugian ekonomi yang lebih besar.

“Tantangan terbesar adalah kesadaran kita dalam mentransformasi ekonomi dari low value added ke high value added, dari value extraction (aktivitas yang mengeksplorasi sumber daya yang ada) menjadi value creation. Saya percaya bahwa ada mekanisme hukum pasar dimana produk dan saham yang tidak pro pada pengurangan emisi GRK akan ditinggalkan investor,” tegas Faisal.

Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui kajian Coal as Stranded Assets: Potential Climate-related Transition Risk and Its Financial Impacts to Indonesia Banking Sector mengingatkan

Indonesia untuk segera mempertimbangkan dan menghitung potensi nilai aset terdampar dari industri batubara untuk mencegah kerugian ekonomi yang lebih besar. IESR juga merekomendasikan, terutama bagi investor dan lembaga keuangan untuk memperhatikan risiko tersebut sehingga berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.

Bergesernya investasi menuju energi terbarukan yang dilakukan oleh negara maju akan mempengaruhi sektor ekonomi dan keuangan di negara berkembang, seperti Indonesia.

“Hal ini juga disampaikan oleh Mengenai potensi risiko tersebut telah disampaikan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). bahwa terdapat risiko finansial yang timbul dari proses penyesuaian menuju ekonomi rendah karbon ditinjau dari sisi kebijakan/hukum, teknologi, pasar, maupun reputasi.  Salah satu dampak finansial dari transisi energi adalah aset terdampar, di mana aset sektor batubara mengalami devaluasi bahkan menjadi tidak dapat digunakan,”ujar penulis kajian, Hadi Prasojo.kajian Coal as Stranded Assets: Potential Climate-related Transition Risk and Its Financial Impacts to Indonesia Banking Sector, Hadi Prasojo.

Perencanaan Komprehensif Diperlukan untuk Pengembangan Energi Surya Skala Utilitas

Dianugerahi potensi energi surya yang mencapai 20.000 GW, pemanfaatan energi surya dalam skala utilitas atau skala besar masih sangat kecil di Indonesia. Tercatat hingga tahun 2020, jumlah kapasitas terpasang energi surya sebesar 186 MW. Terkhusus untuk PLTS skala utilitas, jumlah lelang yang terjadi selama ini masih bersifat sporadis dan belum terstruktur. Agar akselerasi energi surya semakin masif, diperlukan perencanaan yang lebih terstruktur dan komprehensif untuk memastikan ketersediaan proyek. Reformasi kebijakan ini tentu menuntut adanya komitmen dan kepemimpinan politik yang kuat dari pemerintah saat ini.

Ikut menandatangani dan meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia memiliki target untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Sayangnya, hingga saat ini capaian bauran energi baru mencapai sekitar 12%. Dalam jangka waktu pendek ini, Indonesia harus menambah kapasitas energi terbarukannya. Diungkapkan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Aneka EBT dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM dalam webinar peluncuran laporan “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia” bahwa dibutuhkan usaha paling tidak 4 kali lipat untuk mencapai target bauran energi 23%.

“Saat ini kita sedang berusaha mencapai target 23%. Dari sektor kelistrikan kita sedang menyusun RUPTL yang baru yang mengakomodasi porsi EBT yang lebih besar, angkanya sampai 51%,” jelas Dadan.

Cita Dewi, Executive Vice President Divisi Energi Baru dan Terbarukan PT PLN, menyambung bahwa kehadiran dan kontribusi PLTS menjadi salah satu pilihan utama untuk peningkatan EBT ke depan di samping hydro.

“Kami senang sekali melihat perkembangan (teknologi PLTS) saat ini, khususnya untuk sisi intermitensi yang semakin berkurang. Dampaknya semakin bersaing dan tarifnya cenderung turun. Baik negara dan PLN bisa mendapatkan keuntungan,” tuturnya.

Arah komitmen pemerintah yang semakin mantap untuk mengakselerasi energi terbarukan merupakan suatu pertanda baik. Namun, menimbang kondisi Indonesia saat ini yang harus mengejar target kapasitas terpasang energi terbarukan dalam waktu singkat, perlu strategi khusus demi terciptanya ekosistem surya yang dewasa.

Daniel Kurniawan, peneliti spesialis fotovoltaik sekaligus penulis laporan ini memaparkan penyebab PLTS IPP perkembangannya kurang pesat di Indonesia salah satunya karena perencanaan sistem ketenagalistrikan yang kurang ambisius untuk memasukkan PLTS di dalamnya.

“Lelang PLTS selama ini kami lihat masih bersifat sporadis, atau beli putus, dan tidak memiliki skala besar untuk memaksimalkan manfaat keekonomian. Dalam hal ini penetapan target lelang dalam misalnya 5 tahun ke depan penting. Pemerintah dapat membantu dengan membuat studi kelayakan atau pembebasan lahan,” tuturnya.

Aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) masih menjadi hambatan untuk akselerasi industri surya di Indonesia karena harga panel produksi dalam negeri lebih mahal, namun efisiensinya lebih rendah. Pengusaha pun agak kesulitan untuk mendapat bantuan modal internasional karena secara kualitas panel buatan dalam negeri ini belum teruji kualitasnya. Untuk menangani isu ini, pemerintah perlu mempertimbangkan pemisahan lelang TKDN dan non-TKDN sesuai kesiapan industri lokal.

Melina Gabriella, Staff Program Transformasi Energi IESR, yang juga ikut menulis laporan ini menambahkan bahwa untuk mencapai harga listrik PLTS yang terjangkau Indonesia dapat belajar dari negara-negara dengan harga lelang PLTS murah seperti Brazil, India, dan Uni Emirat Arab.

“Beberapa pembelajaran yang bisa kita ambil dari negara-negara tersebut antara lain komitmen dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah yang diturunkan dalam produk kebijakan misal standar kualifikasi dan PPA, serta transparansi proses dan kejelasan aturan. Pembentukan satu lembaga khusus untuk mengurusi proses lelang perlu juga dipertimbangkan. Selain itu pemerintah Indonesia juga perlu meninjau kembali peraturan pendukung seperti TKDN dan kebijakan penetapan tarif,” jelas Melina.

Integrasi surya pada program penyediaan listrik nasional menjadi kunci pengembangan energi surya. Maka perencanaan lelang yang terstruktur dan terukur serta komprehensif perlu dilakukan oleh pemerintah. Target nasional untuk energi surya perlu ditetapkan dan dibuat strategi pencapaiannya.

Gigih Udi Atmo, Koordinator Penyiapan Usaha Ketenagalistrikan, Dirjen Ketenagalistrikan, KESDM, mengapresiasi laporan terbaru dari IESR ini, dan menyatakan saat ini pemerintah sedang fokus untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada 2025.

“Kita perlu lihat mengapa kita perlu mengakselerasi surya. Paling tidak ada dua target besar yaitu 2025 bauran EBT 23% dan net-zero emission. Maka konteksnya adalah bagaimana surya dapat berkontribusi untuk tercapainya target-target yang ada,”

Salman Baray, Country Director Indonesia ACWA Power, membagikan pengalamannya mengikuti lelang PLTS di berbagai tempat baik Indonesia maupun luar negeri.

“Sudah banyak investor yang melirik Indonesia untuk dijadikan tempat berinvestasi, namun dari sisi regulasi dan dukungan pemerintah perlu ada perbaikan-perbaikan tertentu. Misalnya, membantu dalam proses lelang lahan, insentif pajak, aturan terkait TKDN, serta kemudahan untuk mendapatkan pendanaan lokal,” Salman menutup penjelasannya.

 

Potensi Dampak Risiko Iklim dan Finansial pada Sektor Perbankan Indonesia, Apabila Batubara menjadi Aset Terdampar

Isu Krusial untuk dibahas pada KTT G20

 

Berdasarkan Gugus Tugas Pengungkapan Keuangan Terkait Iklim (Task Force on Climate-related Financial Disclosures/TCFD), risiko transisi merupakan salah satu risiko keuangan yang dapat timbul dari proses penyesuaian menuju ekonomi rendah karbon, baik dari sisi kebijakan/legalitas, teknologi, pasar, dan reputasi. Salah satu dampak finansial dari risiko tersebut adalah aset terdampar, di mana aset mengalami devaluasi bahkan menjadi tidak dapat digunakan. Sebagai negara penghasil batu bara, kajian ini dapat menjadi pengingat bagi Indonesia yang berisiko merugi jika tidak mempertimbangkan potensi nilai aset terdampar (stranded assets) di masa mendatang. Oleh karena itu, semua pihak terutama investor dan lembaga keuangan harus memperhatikan risiko ini dan berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. 

Kontribusi batubara dalam bauran energi nasional masih tinggi. Dengan sektor ketenagalistrikan yang masih menjadi konsumen batubara domestik terbesar, pemerintah masih enggan beranjak dari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). PLTU kemungkinan akan menjadi aset terdampar karena biaya investasi yang lebih kompetitif dari teknologi pembangkit listrik energi terbarukan. Dengan adanya prioritas harga termurah (merit order) maka utilisasi PLTU dalam sistem tenaga listrik akan berkurang.

Pemerintah juga masih melihat industri hilir batubara sebagai peluang yang menarik untuk meningkatkan nilai tambah batu bara. Padahal, industri ini kemungkinan akan menimbulkan risiko aset terdampar di masa depan, karena kelayakan ekonomi dari proyek-proyek ini masih diragukan dengan perlunya berbagai insentif dari pemerintah. Industri hulu/pertambangan batubara juga berpotensi menjadi aset terdampar dimana cadangan batubara yang ada seharusnya tidak lagi di eksploitasi. 

Aset terdampar dari industri batubara secara langsung akan berdampak negatif pada sektor keuangan yang terlibat dalam pembiayaan proyek-proyek tersebut. Tren global yang menjauh dari proyek pembiayaan batubara diperkirakan akan meningkatkan permintaan sumber pembiayaan dalam negeri, termasuk dari sektor perbankan. Hal ini dapat semakin meningkatkan risiko dan dampak terhadap sistem keuangan domestik. Lebih lanjut, jika risiko ini tidak dikelola dengan baik, dapat berdampak lebih luas pada stabilitas keuangan melalui berbagai mekanisme transmisi.

Menanggapi munculnya risiko terkait iklim (climate-related risk), pemerintah Indonesia telah mengembangkan kebijakan dan peraturan untuk mendorong keuangan berkelanjutan. Namun dalam pelaksanaannya masih difokuskan pada upaya memanfaatkan peluang yang muncul. Sementara itu, upaya mitigasi risiko masih rendah. Indonesia harus mulai menggali pelajaran dari respon yang telah dilakukan di tingkat global untuk meningkatkan pemanfaatan keuangan berkelanjutan menuju mitigasi iklim. 

Kajian ini merekomendasikan berbagai pemangku kepentingan untuk menghindari risiko aset terdampar dari proyek batubara. Pemerintah harus memberikan sinyal yang jelas dalam menerapkan kebijakan iklim agar pelaku ekonomi dapat mengantisipasinya. Bank sentral dan regulator keuangan harus melakukan penelitian komprehensif seperti penilaian risiko keuangan terkait iklim, dan mengungkapkannya dengan mengikuti rekomendasi TCFD. Sementara itu, lembaga keuangan/investor harus mengelola investasi dan portofolio yang terpapar risiko terkait iklim, serta mengungkapkan informasi risiko tersebut kepada publik. Informasi ini penting untuk menghindari kesalahan harga atau nilai aset, yang mengarah pada mis-alokasi modal.

Risiko transisi bukan merupakan masalah satu negara saja, sehingga perlu juga di arusutamaan melalui berbagai cara termasuk melalui forum diskusi internasional. Momentum kepemimpinan Indonesia pada KTT G20 2022 dan Menkeu RI sebagai co-chair Coalition of Finance Ministers for Climate Action 2021-2023 dapat digunakan sebagai media diskusi dan meningkatkan kesadaran negara-negara global terhadap masalah ini.

Koperasi Punya Peluang Besar Jajaki Pembiayaan PLTS atap

Jakarta, 24 Juni 2021, Survei IESR menunjukkan bahwa  banyak masyarakat yang berminat untuk mengadopsi PLTS atap, terutama jika tersedia skema pembiayaan yang menarik. Hal ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk memperluas pasar PLTS atap sekaligus menjawab tantangan krisis iklim dengan bertransisi menuju energi terbarukan.

Dorongan untuk mengembangkan energi terbarukan demi menjaga bumi dari kenaikan suhu di atas 1.5 derajat C, khususnya PLTS sudah dimulai sejak tahun 2017 melalui Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). IESR bersama dengan 13 lembaga lainnya menginisiasi GNSSA tersebut. Target gerakan ini adalah untuk mencapai 1 GW PLTS atap di Indonesia sebelum 2020, dengan asumsi satu rumah memasang 1 KWp PLTS atap. Dibandingkan dengan potensi tenaga surya di Indonesia, target 1 GW adalah target yang kecil. Indonesia sendiri memiliki potensi teknis surya menurut data ESDM sebesar 207 GWp namun berdasarkan kajian IESR, potensi teknis surya di Indonesia lebih dari 20.000 GWp, “Target ini dibuat sebagai benchmark, mengingat waktu itu belum ada peraturan menteri, maupun pasar yang terlihat potensial. Ketika kita berhasil mencapai 1 GW berarti sudah ada kombinasi dari aturan yang mendukung, perusahaan yang handal, dan pasar yang dewasa . Jadi target ini bukan semata-mata memasang 1 GW PLTS, namun juga memperjuangkan ekosistem pendukungnya,” jelas Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, dalam lokakarya daring bertajuk “Koperasi Sebagai Agen Perubahan dalam Pembiayaan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim”.

Dalam perjalanannya, meskipun inisiasi sejuta surya atap ini belum berhasil mencapai target 1 GW PLTS atap, namun telah terjadi kenaikan pesat dari sisi jumlah pengguna PLTS atap.

“Saat inisiasi ini diluncurkan, pelanggan PLTS atap baru sekitar 200 rumah. Saat ini pelanggan PLTS atap sudah sekitar 3000 rumah tangga. Belum mencapai target satu juta atap, namun ada kenaikan yang cukup signifikan,” lanjutnya.

Kenaikan pelanggan PLTS atap mengindikasikan bahwa minat dan informasi yang diterima masyarakat tentang teknologi ini semakin tersebar luas. Sejak tahun 2018, IESR melaksanakan studi pasar di berbagai kota seperti, Jabodetabek, Surabaya, tujuh kota di Jawa Tengah, dan tiga kota di Bali. Hasil survei di berbagai kota ini menunjukkan bahwa terdapat beragam potensi pasar PLTS di masing-masing kota tersebut. 

Di Jabodetabek 13% responden termasuk dalam kategori early followers dan early adopters. Kelompok ini adalah responden yang memiliki pengetahuan tentang PLTS atap dan secara finansial mampu untuk membelinya. Kelompok ini hanya perlu informasi komprehensif yang mencakup teknologi PLTS atap, prosedur pemasangan, juga penyedia jasa pemasangan PLTS atap. Kelompok early followers dan early adopters ini jumlahnya cukup banyak di berbagai kota Surabaya 19%, Jawa Tengah 9.6%, dan Bali 23.3%. 

Hal menarik lain dari survei pasar IESR tersebut adalah masalah harga masih menduduki peringkat kedua dari pertanyaan yang paling sering diutarakan calon konsumen. Pertanyaan tentang penghematan adalah hal yang paling sering ditanyakan calon konsumen. Fenomena ini menunjukkan bahwa harga masih menjadi pertimbangan utama calon konsumen PLTS atap. 

Skema pembiayaan PLTS atap yang menarik menjadi suatu peluang bagi lembaga keuangan termasuk koperasi. 

“Paling tidak, ada 3 peluang yang dapat diambil oleh koperasi untuk ikut serta dalam skema pembiayaan PLTS atap ini. Pertama, dengan bekerjasama dengan perusahaan jasa pemasangan PLTS dan menyediakan skema pembiayaan. Tentu perlu memastikan perusahaan pemasang PLTS nya adalah mereka yang terpercaya. Kedua, dengan berjualan produk PLTS sekaligus menyediakan skema pembiayaan. Ketiga, menyediakan skema pembiayaan sekaligus layanan purna jual,” jelas Marlistya. 

Skema pembiayaan menarik dan terjangkau masih sulit ditemukan saat ini karena perusahaan penyedia layanan PLTS atap baru bekerjasama dengan bank saja. Hal ini tentu harus dilihat sebagai peluang bagi koperasi untuk mengembangkan programnya. 

Menutup sesi pertama lokakarya pagi itu, Fitrian Ardiansyah, chairperson Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, menyatakan bahwa pembiayaan PLTS atap akan menjadi salah satu ceruk bisnis bagi koperasi.

“Ekonomi hijau itu terbentuk di tingkat masyarakat lokal, koperasi adalah lembaga keuangan yang pas untuk menjemput bola pada peluang ini,” tuturnya.

Utamakan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia, PLTN menjadi pilihan akhir

Sejak awal kemunculannya energi nuklir telah menimbulkan suatu dialog bahkan perdebatan tentang manfaat dan risiko yang dibawanya. Di satu sisi nuklir dapat memenuhi kebutuhan energi, dan dapat digunakan dalam berbagai bidang seperti medis dan militer. Namun nuklir juga membawa risiko kebocoran radiasi. Terdapat peristiwa kecelakaan nuklir yang patut dicatat mulai dari Three Mile Island (1979), Chernobyl (1986), dan Fukushima (2011). Dari sini muncul pertanyaan, apakah nuklir masih layak untuk dikembangkan dalam skala besar? Jika iya, aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam pengembangannya? Menghadirkan tiga pembicara dengan latar belakang yang berbeda, FISCO UGM menggelar webinar Potensi dan Kontroversi Nuklir untuk mencoba mengurai pertanyaan tersebut. 

Dalam kesempatan tersebut, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan terkait pengembangan energi nuklir di antaranya  tiga faktor keselamatan reaktor nuklir yaitu regulasi atau badan regulator, keamanan operasional, dan sistem keamanan. 

“Perdebatan tentang PLTN dari awal bukan semata-mata teknologinya. Tapi lebih banyak tentang risiko keamanannya. Bencana yang paling ditakutkan dari nuklir adalah bocornya radiasi ke lingkungan luar, jadi kontroversinya bukan semata-mata teknologi tapi lebih kepada lingkungan di mana PLTN itu berada,” jelas Fabby.

Untuk memastikan aspek keamanan ini, selain badan regulasi dan prosedur keamanan yang ketat, masalah keekonomian atau biaya yang dibutuhkan juga perlu dicermati ulang. 

“Tren investasi PLTN dari tahun ke tahun semakin mahal. Jika tujuan pembangunan PLTN adalah untuk memenuhi permintaan listrik yang terus tumbuh, maka ada alternatif energi terbarukan lain yang lebih terjangkau dan tidak berbahaya,” sambung Fabby.

Faktor lingkungan termasuk penerimaan masyarakat ini menjadi hal penting dan membuat isu nuklir ini menjadi dinamis. Derajad S. Widhyharto, Dosen Sosiologi Fisipol UGM, mengungkapkan pula bahwa kekhawatiran masyarakat pada nuklir baik itu sebagai PLTN maupun  energi baru  ada pada isu pengelolaan. 

Aspek pengelolaan yang menjadi kekhawatiran masyarakat ini makin diperburuk dengan dinamika regulasi nuklir yang tidak saling terkait dengan temuan survei atau riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga. 

Alexander Agung, dosen Teknik Nuklir UGM, melengkapi diskusi ini dengan perspektif yang lebih bersifat teknis tentang energi nuklir. Nuklir terutama PLTN dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, serta mendukung industrialisasi. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa memang memenuhi kebutuhan listriknya dari pembangkit nuklir. 

“Adanya badan regulasi yang khusus mengatur dan mengawasi pengembangan dan pengerjaan membuat keamanan dari PLTN ini terjamin sejak awal, saat survei pemilihan lokasi hingga pembangunan,” pungkas Alexander.

Namun, dalam perkembangannya, perlu pula memastikan agar badan regulasi ini tetap bekerja secara optimal agar pengembangan energi nuklir tidak membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Justru Sampaikan Pesan Bahwa Batubara itu Intermittent dan Mahal! Bukan Energi Terbarukan

ACEF side event

Evidence-based Communications to Propel the Energy Transition

Komunikasi menjadi salah satu instrumen kuat yang bisa digunakan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap transisi energi dan energi terbarukan. Adapun cara menggunakan alat ini dalam menjangkau berbagai golongan masyarakat, tidak hanya orang yang kesehariannya bergelut di dunia energi, menjadi topik perbincangan yang menarik dalam Side Event Asia Clean Energy Forum 2021 berjudul Evidence-based Communications to Propel the Energy Transition yang diselenggarakan oleh Anggota konsorsium Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia” (CASE) bekerja sama Asian Development Bank.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa komunikasi memainkan andil yang penting dalam mencapai tujuan CASE. Adapun tujuan CASE diantaranya membangun dialog yang konstruktif dengan para pemangku kepentingan yang berasal dari sektor non energy  dan menciptakan lebih banyak diskusi publik yang mendukung percepatan transisi energi.

Christiane Rossbach, Business Director, Multilateral, Sustainability, Agri Food and Health di Edelman dan Co – lead for CASE Communication Team, dalam presentasinya menekankan bahwa hal yang paling penting dalam mengomunikasikan transisi energi adalah dengan mendefinisikannya, sebagai misi krusial yang patut diketahui oleh masyarakat yang dituju.

“Apa peran komunikasi untuk mendorong transisi energi ke depan dengan membuat pemangku kepentingan menyadari transisi energi memberikan manfaat bagi mereka. Mereka ini adalah para pengambil keputusan, pemangku kepentingan non-energi, keuangan, entitas bisnis, para konsumen yang mampu memberikan pengaruh dengan banyak terlibat dalam pertemuan publik atau senang menyatakan pendapatnya, meskipun mereka bukan pengambil keputusan tapi mereka nyatanya lebih berpengaruh dalam menentukan arah bisnis, ”ujar Christiane.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, selama pandemi, konsumsi konten daring berlipat ganda, oleh karena itu, perlu lebih teliti memilih bukti atau argumen mana yang paling cocok untuk audiens tertentu. Pendekatan yang ia sarankan dalam menyampaikan pesan pentingnya transisi energi agar terjadi peningkatan kesadaran, mendorong keterlibatan, dan menciptakan diskusi adalah dengan cerita bertutur.

“Di luar fakta dan angka, cerita bertutur merupakan cara yang kuat dalam menyampaikan suatu pesan. Otak manusia terprogram untuk memproses dan menyimpan informasi dalam bentuk cerita. Cerita akan merangsang indera kita secara emosional dan intelektual; bahkan dapat memberikan ‘wajah’ pada suatu isu sehingga dapat membantu pendengarnya terhubung secara empati, ”tambahnya.

Menyoal tentang narasi transisi energi, Renato Redentor Constantino Executive Director of Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) dari Filipina berbagi pandangannya. Menurutnya narasi yang perlu disampaikan baik oleh organisasi non pemerintah maupun pemerintah adalah bahwa transisi energi sedang berlangsung.

“Tujuan pendaratan kita yaitu energi bersih yang akan dominan. Pertanyaannya sekarang, seberapa cepat kita sampai di sana? Bisakah kita tiba lebih cepat sehingga dapat memberikan manfaat energi modern dan bersih, terjangkau, dan handal ke meja ke ruang rumah suatu keluarga. Organisasi non pemerintah tidak perlu merasa sebagai satu-satunya pihak yang memiliki niat baik dalam menyuarakan energi bersih, sehingga seakan memonopoli narasi ini. Kita perlu menyadari bahwa pemerintah juga mempunyai mimpi tentang energi aman yang bersih, terjangkau, dan andal sebagai tujuan utama mereka, ”imbuh Constantino.

Berbeda dengan Filipina yang mengalami kemajuan dalam mengomunikasikan narasi, Gandabhaskara Saputra, Outreach and Engagement Adviser CASE Indonesia, mengungkapkan bahwa sebagian besar ranah pemberitaan di Indonesia masih didominasi oleh batubara.

“Merupakan hal yang menantang untuk membawa percakapan transisi energi melalui berbagai diskusi partisipatif dan advokasi publik selama 5-10 tahun terakhir. Menjadi hal yang sulit diterima oleh masyarakat karena transisi energi tidak mereka alami secara langsung dalam kehidupan sehari-hari serta selama mereka masih memiliki akses ke energi, ” urainya.

Di sisi lain, Markus Steigenberger, Deputy Executive Director of Agora Energiewende memandang perlu pula merancang penelitian yang sejalan dengan agenda politik.

“Masalah yang sering kita hadapi adalah, setelah penelitian selesai akan tetapi agenda politik sudah bergerak maju. Tentu saja sudah terlambat. Maka apapun yang Anda katakan menarik bagi pembuat kebijakan ini tetap tidak relevan bagi mereka,”jelasnya.

Menurutnya ada 2 hal yang perlu dilakukan yakni antisipasi strategis dengan memprediksi situasi politik dua atau beberapa tahun mendatang dan mengaitkan pada penelitian atau bukti yang relevan.

“Kami sudah harus mulai memikirkan tentang komunikasinya, sebelum kami benar-benar memulai penelitian yang sesungguhnya,”

Selanjutnya, menentukan metodologi yang terintegrasi dan inklusif dengan melibatkan stakeholder sedini mungkin dalam riset.

“Kami melibatkan pemangku kepentingan terkait untuk duduk bersama. Kami berbagi dan membuat transparansi data dan asumsi. Kami mengundang mereka untuk berbagi pandangan dan pendapat mereka. Hal ini sangat membantu dalam menciptakan rasa memiliki,” jelasnya.

Menurutnya, melalui cara ini, tanpa peluncuran kajian secara formal pun telah membantu mengkomunikasikan hasil riset kepada kalangan stakeholder yang terlibat dan relevan tersebut.

Rana Adib, Executive Secretary of REN21, menuturkan bahwa untuk menggerakkan suatu narasi perlu pula untuk melihat dari dua sisi, yakni dari energi terbarukan dan juga dari energi fosilnya. Mengutip laporan terbaru yang REN 21 rilis, selama satu dekade terakhir terjadi peningkatan konsumsi energi final di energi terbarukan yang semula hanya 9 persen menjadi 11 persen. Ironisnya, konsumsi final energi fosil justru tidak mencatat perubahan yang signifikan, hanya bergerak dari semula 80.3 persen menjadi 80.2 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa perlu ada dorongan yang kuat kepada pemerintah dan pelaku bisnis untuk menargetkan pemanfaatan energi terbarukan di segala sektor dengan segera.

“Kita masih sangat jauh dari jalur. Energi terbarukan telah menunjukkan terutama di sektor listrik sebagai energi yang dapat diandalkan, mempunyai teknologi yang matang, dan biaya terendah. Namun, saat ini belum cukup hanya dengan mengatakan dukungan terhadap energi terbarukan, juga perlu memberikan pesan yang jelas tentang pelarangan bahan bakar fosil,”tegasnya pula.

Senada, Renato memandang, mengkomunikasikan narasi yang didukung dengan bukti konkret perlu bagi pengembangan energi terbarukan dan  penghentian penggunaan energi fosil.

“Kenyataan yang perlu kita komunikasikan dengan lebih baik adalah bahwa batubara sebenarnya bersifat intermiten, umumnya tidak dapat diandalkan, mahal dan tidak aman,” tutupnya.