IESR Tunjukkan Indonesia Mampu Mencapai Emisi Nol pada 2050, Pemerintah Diminta Berkomitmen Penuh Wujudkan Transisi Energi

Jakarta, 28 Mei 2021Institute for Essential Services Reform (IESR) sebuah lembaga think-tank yang fokus pada isu energi terbarukan dan lingkungan, meluncurkan studi terbarunya yang berjudul “Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: a Pathway to Zero Emission by 2050”. Studi ini adalah buah kerjasama IESR, Agora Energiewende Jerman, dan Lappenranta University of Technology (LUT) Finlandia. 

Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menekankan bahwa dekade ini merupakan dekade yang penting untuk mewujudkan nol emisi pada 2050. 

“Laporan ini menunjukkan bahwa secara teknis dan ekonomis Indonesia mampu mencapai nol emisi di sistem energinya pada tahun 2050. Dengan demikian, Indonesia seharusnya mampu memenuhi target Paris yaitu membatasi kenaikan temperatur global di bawah 1.5 derajat dan mencapai netral karbon pada tahun 2050. Kajian ini berbeda dengan pemodelan pemerintah yang menyatakan bahwa kita baru akan mencapai netral karbon pada 2070,” tutur Fabby. Perbedaan hasil ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya perbedaan pemodelan. Namun ditegaskan oleh Fabby bahwa perbedaan ini harusnya menumbuhkan diskusi. 

“Laporan ini adalah laporan komprehensif pertama yang melihat sistem energi di Indonesia meliputi pembangkitan listrik, transportasi, dan industri,” imbuh Fabby.

Philip Godron, Senior Associate Global Energy Transition menegaskan bahwa tren transisi energi global menuju energi terbarukan adalah hal yang sedang terjadi saat ini. Semakin cepat kita bertindak, akan makin banyak ruang inovasi terbuka dan juga meningkatkan daya saing global negara yang melakukan transisi energi. 

“Misalnya Uni Eropa yang akan menerapkan standar jejak karbon barang-barang yang boleh dipasarkan di sana dengan ketat. Maka menentukan target untuk menjadi nol emisi akan sangat berguna bukan hanya untuk memenuhi komitmen internasional dan menangani krisis iklim, namun juga menjaga bahkan meningkatkan daya saing di kancah internasional,” tutur Philip.

Hasil pemodelan ini  sejalan dengan laporan terbaru IEA (International Energy Agency) yang menyatakan bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi bauran energi pada tahun 2050, karena biaya pembangkitan listrik energi terbarukan di Indonesia, khususnya dari energi surya, akan semakin murah.  

Dalam jangka panjang, terdapat beberapa keuntungan mencapai nol emisi pada sistem energi di tahun 2050 antara lain, biaya sistem dan Levelized Cost of Electricity (LCOE) yang lebih murah dibandingkan jika Indonesia tetap melakukan business as usual. Hal ini berarti masyarakat akan menikmati harga listrik yang lebih murah. Pamela Simamora, penulis utama laporan ini,  menambahkan keuntungan lainnya dari Indonesia capai nol emisi pada 2050, seperti jutaan lapangan kerja yang akan tumbuh.“Akan ada 3,2 juta lapangan pekerjaan baru. Angka ini masih lebih tinggi daripada jumlah pekerjaan yang terancam akan hilang yaitu sebesar 1,3 juta. Jadi sebenarnya kita tetap gaining bukan losing saat menjadi nol emisi pada 2050,” ungkap Pamela.

Terdapat empat pilar penting dalam proses dekarbonisasi Indonesia. Pertama, penggalakan energi terbarukan yang bersandar pada energi surya serta integrasi jaringan listrik untuk ekspor dan impor tenaga listrik antar pulau. Kedua, elektrifikasi di sektor transportasi dan industri . Ketiga, pengurangan penggunaan energi fosil terutama PLTU batubara karena tidak akan kompetitif pada 10-15 tahun ke depan. Empat, pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar bersih bisa berupa hidrogen, bahan bakar sintetik, maupun biofuel untuk dekarbonisasi sistem transportasi dan industri.

“PLTS akan menjadi tulang punggung sistem energi kita, didukung dengan sistem penyimpanan (baterai), elektrifikasi, dan bahan bakar bersih yang menjadi kunci di masing-masing sektor,” pungkas Pamela menutup paparannya.

Darmawan Prasodjo, Wakil Presiden Direktur PLN, menyambut positif laporan ini namun tidak memungkiri realita bahwa PLN tidak dapat melakukan segala upaya dekarbonisasi bidang kelistrikan sendiri. 

“Kami sangat apresiasi laporan yang komprehensif ini, dan seperti sudah dipaparkan bahwa Indonesia mampu melakukan dekarbonisasi dan mencapai nol emisi pada tahun 2050. PLN mendukung inisiatif ini dan saat ini kami sedang menyusun model yang mencakup hitungan teknis dan kebijakan. Yang pasti PLN mendukung inisiatif ini, RUPTL yang akan keluar adalah green RUPTL,” tuturnya.

Menyadari bahwa dekarbonisasi membawa manfaat secara langsung kepada masyarakat, Yahya Rachmana Hidayat, Direktur Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan, BAPPENAS mendukung upaya dekarbonisasi.

“Setidaknya ada 3 manfaat yang bisa dirasakan masyarakat dari dekarbonisasi yakni menangani perubahan iklim, mendukung penggunaan energi terbarukan, dan menjamin daya saing industri. Saya kira semuanya (upaya dekarbonisasi-red) dapat dilakukan dan realistis untuk diimplementasikan. Sebenarnya semakin kita cepat mencapai zero emission akan semakin besar peluang kita untuk lolos dari middle income trap,” tuturnya.

Di lain pihak, Luh Nyoman Puspa Dewi, direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM menyatakan bahwa kesadaran untuk menuju zero emission sudah ada, namun menurutnya, kondisi Indonesia saat ini masih agak sulit jika harus melakukan perubahan drastis, 

“Kita sadar bahwa kita harus mulai berpikir ke arah net-zero, ini memang sudah dilakukan, namun kita harus realistis dengan melihat kondisi di Indonesia,” tukasnya menanggapi materi paparan.

Tentu saja, demi mewujudkan dekarbonisasi dan mencapai zero emission pada 2050,  perlu keyakinan dari pembuat kebijakan, kepemimpinan politik yang kuat dan tindakan nyata dari pemerintah. Komitmen politik yang terwujud nyata, diantaranya dengan menetapkan target NDC yang lebih ambisius serta mengeluarkan kebijakan yang mendukung terciptanya ekosistem yang mumpuni bagi energi terbarukan, agar menarik lebih banyak investor. Hal ini penting, mengingat upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 20-25 miliar/tahun di periode 2021-2030 dan  USD 60 miliar/tahun untuk kurun waktu 2030-2040.

Masa Depan Cerah Energi Surya Butuh Dukungan Penuh Pemerintah

“Surya akan menjadi komoditas unggulan yang diperebutkan banyak pihak di masa depan, seperti minyak saat ini,” tutur Fabby Tumiwa dalam forum REinvest Indonesia – China (25/5/2021).

Forum tersebut bertujuan untuk menjembatani kedua negara dalam kolaborasi investasi energi terbarukan. Indonesia secara aktif sedang mencari cara untuk menyediakan sumber energi yang lebih bersih, lebih murah, dan lebih handal untuk merevitalisasi sistem energinya yang saat ini sangat bergantung pada fosil. Sementara itu, China menghadapi desakan global untuk mengurangi emisi karbon, dan telah berjanji untuk mencapai netral karbon pada tahun 2060. Karena kedua negara memiliki kesamaan untuk mengurangi emisi karbon, maka dialog untuk menjembatani kebutuhan tersebut diadakan.

Fabby Tumiwa, Ketua Indonesia Solar Association dan Direktur Eksekutif IESR, mengatakan bahwa Indonesia perlu mempercepat pemanfaatan energi terbarukan untuk mengejar target RUEN yaitu 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional dan selanjutnya menjadi nol emisi pada tahun 2050. Walaupun pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target net emisi pada tahun 2070.

PLTS dapat menjadi penggerak utama dan kunci untuk mencapai target dekarbonisasi. Hal ini sejalan dengan urgensi global untuk menerapkan dekarbonisasi secara menyeluruh. Disebutkan oleh IEA dalam laporan terbarunya bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi sistem energi di masa depan hingga 78% pembangkit listrik pada tahun 2050, dimana tenaga surya harus meningkat dari 160 GW sekarang menjadi 650 GW pada tahun 2030. Pada kesempatan yang sama, IEA menekankan pentingnya peningkatan energi terbarukan dalam dekade ini untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050. Dari segi strategis, tenaga surya sedikit lebih mudah didorong pemanfaatannya karena dapat dipasang secara modular. Kedepannya, energi surya akan menjadi komoditas yang populer seperti minyak bumi saat ini.

Namun, masa depan yang tampak cerah dan menjanjikan ini bukannya tanpa kekurangan. Ada banyak situasi yang menghambat percepatan industri PLTS di Indonesia.

Kondisi kelebihan pasokan listrik yang dialami PLN adalah salah satu hambatan terbesar untuk penggunaan tenaga surya. Situasi tersebut membuat pemerintah dan pengusaha swasta sulit untuk memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan.

Sementara itu Eka Satria, CEO Medco Power Indonesia, menyoroti beberapa hal antara lain preferensi pemerintah dan pasar Indonesia untuk memilih sumber energi berbiaya rendah jangka pendek, ketidakpastian kebijakan dan regulasi, persyaratan BPP vs kandungan lokal, serta masalah pembebasan lahan untuk PLTS skala utilitas.

Selaku Ketua Umum Asosiasi Produsen Panel Surya Indonesia (APAMSI) Linus Sijabat menyampaikan hal-hal yang harus disiapkan investor asing dalam kesempatan kali ini China, sebelum menembus pasar Indonesia. Manajemen rantai pasok, terutama terkait dengan kebutuhan konten lokal menjadi poin utamanya.

“Diperlukan kerja sama luar dan dalam negeri untuk produk lebih dari 60% yang harganya kompetitif, kualitasnya bersertifikat internasional, dan pasarnya berkelanjutan,” tuturnya.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan energi surya atau secara umum energi terbarukan harus tersurat dalam regulasi seperti RUPTL (Rencana Umum Pemenuhan Tenaga Listrik) agar investor swasta bisa melihat potensi pasar energi terbarukan di Indonesia. Apalagi di Indonesia PLN merupakan pembeli tunggal listrik, maka calon investor harus sungguh memperhitungkan potensi pasar yang ada. Selain peluang yang harus terlihat dalam dokumen perencanaan resmi, lingkungan pendukung lain seperti kejelasan regulasi, dan skema insentif untuk investasi energi terbarukan juga harus dipastikan tersedia. 

Pengembangan Biofuel di Indonesia Perlu Terintegrasi Dalam Strategi Jangka Panjang Transisi Energi

Jakarta, 4 Mei 2021– Sejak awal 2000-an, produksi minyak Indonesia terus menurun dan untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, pemerintah Indonesia melakukan impor minyak. Oleh karena itu, pemerintah juga berupaya mencari bahan bakar alternatif untuk mengurangi impor minyak. Biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) menjadi salah satu fokus pemerintah untuk dikembangkan dan telah menjadi mainstream dari kebijakan energi Indonesia,

“Ada harapan bahwa biofuel ini akan menjadi prime energy supply di Indonesia, namun perlu disoroti beberapa hal, diantaranya mengenai rencana dan strategi pemerintah untuk masa depan biofuel di tengah perkembangan teknologi alternatif seiring dengan akselerasi transisi energi” tutur Fabby Tumiwa pada pembukaan peluncuran laporan Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia.. Selain itu pertemuan yang dihadiri sekitar 70an orang secara daring ini juga membahas ketersediaan bahan baku (feedstock) dan disparitas harga dengan bahan bakar fosil saat ini. 

Strategi pemerintah Indonesia dalam pengembangan biofuel menjadi pemantik diskusi. Julius Christian Adiatma, Penulis laporan “Critical Review on the Biofuel Development in Indonesia” menyebutkan bahwa penggunaan bahan bakar cair di Indonesia didominasi oleh sektor transportasi dan trennya terus meningkat. Dengan skenario business as usual, peningkatan konsumsi bahan bakar cair akan mencapai tiga kali lipat. Pada skenario intervensi teknologi, penetrasi kendaraan listrik dan penggunaan fuel cell dipilih sebagai solusi. Jika tidak direncanakan dengan baik pengembangan biofuel dan percepatan penetrasi kendaraan listrik akan bertabrakan pada suatu saat di masa mendatang. Tren global yang mengarah pada penggunaan kendaraan listrik juga menimbulkan ancaman bahwa investasi pada sektor biofuel berpotensi menjadi aset terdampar (stranded asset).

Djoko Siswanto selaku Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN)  mengatakan bahwa berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sampai tahun 2050 Indonesia akan menggunakan berbagai macam sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, “Kita menggunakan bahan bakar fosil dan EBT. Saat ini kita masih impor minyak mentah, LPG, dan bensin. Jadi fokus kita sekarang adalah bagaimana caranya mengurangi impor, karena kita percaya bahwa jika impor semakin sedikit maka ketahanan energi kita tentu akan semakin baik.”

Merespon kondisi disparitas harga, pihaknya mengakui bahwa selisih harga yang cukup jauh antara biofuel dengan BBM fosil lainnya menjadi tantangan tersendiri. 

“Sebagai contoh, green gasoline saat ini harganya mencapai 19.000 dengan harga sekian apakah masyarakat mampu untuk membeli? Atau apakah negara mampu mensubsidi selisih harganya jika dijual dengan harga yang lebih murah?” ujarnya.

Senada dengan Djoko Siswanto, Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, juga mengatakan bahwa salah satu tujuan pengembangan biofuel, seperti biodiesel di Indonesia adalah untuk menekan angka impor bahan bakar minyak yang masih tinggi. 

“Kita mengacu pada RUEN sebagai roadmap pengembangan biofuel. Tahun 2020 ini target kita adalah 8 juta kilo liter. Target ini tercapai dengan penggunaan biodiesel mencapai 8,4 juta kilo liter.Meskipun demikian dalam Grand Strategy National, ada penyesuaian yaitu penurunan target biodiesel sebanyak 15% dengan pertimbangan masuknya kendaraan listrik,” jelas Feby.  Feby menambahkan bahwa yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah adalah bensin yang 50% masih impor.   

Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia, Tatang Hernas Soerawidjaja menyoroti kecenderungan pemerintah yang bersifat responsif bukan antisipatif dalam mengeluarkan kebijakan juga dalam hal biodiesel ini. “Kebijakan pemerintah itu sifatnya reaktif, tidak ada kebijakan yang bersifat antisipatif untuk teknologi baru yang akan datang,”

Bahan baku biodiesel yang saat ini masih bergantung pada sawit, juga menjadi sorotan Tatang. Ia menyebut jika ketergantungan pada sawit dalam pengembangan biodiesel merupakan suatu indikator ketidakberlanjutan. 

Ketergantungan pada satu bahan baku ini juga menjadi perhatian Ricky Amukti, Engagement Manager Traction Energy Asia. “Sayang sekali produk biodiesel kita masih single feedstock dari sawit. Padahal kita punya potensi bahan baku lain seperti selulosa dari batang sawit yang dapat diolah menjadi bensin. Potensi lain yang ada juga biodiesel dari minyak jelantah yang memiliki emisi daur hidup yang lebih rendah yaitu sebesar 0,31 – 0,62 Kg CO2 equiv/L.” Menurut Ricky, jika potensi ini direalisasikan akan ada enam juta kiloliter biodiesel yang dihasilkan dan 2,2 juta lapangan kerja baru yang akan tercipta. 

IESR memandang penting bagi pemerintah untuk memastikan ketersediaan energi bagi masyarakat. Kedepannya, bahan bakar cair akan tetap dibutuhkan mengingat penetrasi kendaraan listrik di berbagai wilayah di Indonesia akan beragam rentang waktunya dan ada sektor transportasi yang akan sulit untuk dielektrifikasi. Melalui peluncuran kajian Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia  ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk: 1) mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi, selaras dengan pengembangan teknologi alternatif. 2) Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan untuk mengukur manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program biofuel. 3) Melakukan diversifikasi bahan baku biofuel. 4) Menetapkan dukungan kebijakan untuk mendorong produksi dan pengembangan biofuel generasi kedua, ketiga dan berikutnya. 5) Mengubah skema insentif untuk mendorong inovasi dengan memasukkan aspek keberlanjutan sebagai persyaratan.


Pembangunan Rendah Karbon: Kunci Mengatasi Darurat Iklim dan Krisis Ekonomi

Jakarta, 28 April 2021 – Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Leader Summit on Climate Change yang menyatakan akan serius menangani isu krisis iklim dinilai kurang progresif oleh sejumlah pihak. Pasalnya, dalam pernyataan Presiden Jokowi menitikberatkan sektor FOLU (penggunaan dan alih guna lahan), sementara sektor energi yang akan menjadi penyumbang terbesar emisi di masa mendatang tidak dibahas sama sekali. Sementara, dalam kesempatan yang sama, sejumlah pemimpin negara juga menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi dan target untuk menjadi netral karbon. Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah merilis dokumen Strategi Jangka Panjang (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. yang menargetkan  bahwa Indonesia akan menjadi netral karbon pada tahun 2070. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa target ini dinilai kurang ambisius dan menunjukkan upaya pemerintah yang tampak setengah hati menangani krisis iklim.

Merespon hal ini, IESR melanjutkan seri diskusi #Sebelum2070 untuk melihat peluang Indonesia dalam mencapai netral karbon sebelum 2070. Webinar ini merupakan bagian kedua dari seri webinar #Sebelum2070 yang bertujuan mendorong pemerintah untuk membuat target kebijakan iklim yang lebih ambisius. Target Indonesia untuk menjadi netral karbon pada 2070 dinilai tidak sejalan dengan komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang ditandatangani Indonesia pada tahun 2015 dan diratifikasi melalui UU No. 16 tahun 2016. 

Menyiapkan Strategi Jangka Panjang untuk menuju karbon netral pada 2050 adalah kewajiban tiap-tiap negara yang menandatangani Paris Agreement. Hanya saja, dokumen LTS-LCCR 2050  yang dimiliki pemerintahmenjadi perdebatan dan menimbulkan kontroversisl bahkan di kalangan pemerintah sendiri. Hal ini terlihat dari inkonsistensi dokumen dan pemaparan antar lembaga pemerintahan mengenai target netral karbon Indonesia.

Sebagai contoh Kementerian Bappenas sebelumnya memaparkan tentang  Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia (LCDI) yang menawarkan beberapa skenario jika Indonesia menjadi netral karbon pada 2045, 2050, 2060, atau 2070. Berbagai skenario ini menunjukkan korelasi target menjadi netral karbon yang diwujudkan melalui pembangunan rendah karbon dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Komitmen iklim haruslah diintegrasikan dengan program pembangunan nasional. Komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission telah tertuang dalam RPJMN,” jelas Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas. Dia juga menekankan bahwa tidak boleh ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya penurunan emisi. Menurutnya, untuk mencapai netral karbon, diperlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, selain kerja sama dan komitmen multipihak, Indonesia perlu mendapat dukungan yang kuat dari negara internasional. 

Dari sektor energi, Agus Cahyono Adi, Kepala Pusdatin Kementerian ESDM menyatakan bahwa pihaknya tengah bersiap untuk mendukung Indonesia mencapai net-zero emission memenuhi kebutuhan energi dengan berbagai upaya. 

“Sektor energi menjadi sektor penting dalam rencana net zero emission karena kita sebagai salah satu kontributor emisi. Selain penurunan emisi kita juga sedang berusaha menaikkan demand (permintaan), peningkatan energi terbarukan dan penggunaan bahan bakar bersih berperan penting dalam meningkatkan permintaan energi,” ucap Agus. 

Namun demikian pihaknya belum berani mengumumkan target angka atau batas  waktu untuk menjadi netral karbon dari sektor energi.

“Untuk setiap pilihan yang akan kami ambil, kami perlu mempertimbangkan sisi ketersediaan (available), kemudahan untuk diakses (accessible), dan keterjangkauan (affordable),” jelasnya. 

Untuk mencapai netral karbon perlu upaya yang lebih inovatif terutama melalui pengembagan iklim investasi seperti melakukan perdagangan karbon (carbon trading). Kus Prisetiahadi, Asisten Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memaparkan bahwa saat ini RPerpres untuk nilai ekonomi karbon sebagai pedoman penurunan emisi GRK dan pembangunan nasional yang rendah karbon  masih dirancang. Ada setidaknya 8 komponen pengaturan dalam RPerpres ini dan sektor kelautan menjadi salah satu sektor yang akan dikembangkan untuk upaya menuju mitigasi.  

Dian Afriyanie, peneliti senior Lokahita, menyoroti kurangnya integrasi lintas sektor dan lintas skala dalam pembuatan kebijakan. Hal ini berakibat pada produk kebijakan yang kerapkali  terasa tidak sinkron antara satu kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga lainnya. 

Lebih lanjut, Eka Melissa, Penasihat Senior The Partnership for Governance Reform (Kemitraan), menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon mestinya dilihat sebagai suatu kesempatan untuk membangun negeri, menjadi ramah lingkungan sekaligus memenuhi target perjanjian internasional. 

“Saya melihat Bappenas sudah melihatnya begitu (sebagai suatu kesempatan) namun kementerian lain sepertinya masih memandangnya sebagai tantangan terbukti dari berbagai dokumen yang dihasilkan, pembangunan rendah karbon masih dilihat sebagai ganjalan dan tantangan,” tuturnya. 

Sinkronisasi sudut pandang ini harus pertama-tama dilakukan supaya produk kebijakan yang dihasilkan tiap-tiap lembaga mengarah pada satu muara yang sama. Jika sudut pandang masing-masing lembaga pada satu isu sudah berbeda, maka hasil akhir pada produk kebijakannya pasti tidak akan berjalan searah. 

Peran pemerintah daerah dinilai sangat penting dalam mencapai pembangunan dengan netral karbon. Andy Simarmata, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) memberikan pandangan agar pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya dapat mengkampanyekan netral karbon sampai ke tingkat daerah sehingga dapat ditranslasikan ke dalam RPJMD. Insentif terhadap dunia usaha terutama pola perilaku usaha bisnis juga perlu diberikan selain mendorong teknologinya. 

Untuk komitmen iklim terutama target untuk menuju netral karbon, masing-masing pihak terkait perlu melihat situasi iklim saat ini sebagai suatu krisis yang memerlukan strategi penanganan yang cepat dan tepat. Semakin kita menunda penanganan krisis iklim ini, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dan semakin berat upaya yang harus dilakukan di kemudian hari. 

 

Krisis Iklim Makin Serius, Transisi Energi Mesti Dipercepat

Jakarta, 27 April 2021 – Indonesia dapat menjaga bumi dari emisi karbon dengan mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan. Desakan agar pemerintah lebih yakin, berani dan ambisius untuk mengembangkan energi bersih disuarakan dalam Diskusi dan Peluncuran soft launching buku berjudul “Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia” yang ditulis oleh Tim Kompas. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Harian Kompas dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) (27/4).

Sutta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, mengatakan bahwa kebijakan editorial Harian Kompas mendukung percepatan energi terbarukan. Menurutnya, naiknya suhu bumi saat ini disebabkan penggunaan energi fosil sehingga akselerasi energi terbarukan akan mampu menjaga suhu bumi di tidak melebihi 2 derajat celcius.

“Bencana meteorologis di Indonesia selama satu tahun membawa kerugian sebesar 22,3 triliun rupiah. Saya iseng menghitung bila uang sebesar itu digunakan untuk membeli nasi padang, maka setara dengan 639 juta boks nasi padang. Sangat rugi sekali,”tegasnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menuturkan bahwa makin tahun, krisis iklim akan menjadi lebih serius.

“Kajian para ahli menyatakan bahwa kalau temperatur global naik lebih dari 1,5 derajat implikasinya sangat luas terhadap ekosistem, produksi pangan, dan ekonomi secara keseluruhan,”urainya.

Transisi energi menjadi pilihan yang harus diambil oleh para pembuat kebijakan untuk menurunkan emisi rumah kaca. Sistem energi fosil berkontribusi pada 75 persen GRK di seluruh dunia. Persetujuan Paris bahkan mengamanatkan seluruh negara di dunia untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai netral karbon di tahun 2050.

“Hal ini berarti, saat ini, target NDC kita tidak compatible dengan Persetujuan Paris. Kalau ingin compatible emisi, maka kita harus mencapai puncak (peak emission) pada 2030 dan harus turun drastis sampai 2050. Jika terlambat maka upaya yang dilakukan menjadi lebih berat dan akan lebih mahal,” ungkapnya.

IESR telah merampungkan sebuah pemodelan netral karbon Indonesia di tahun 2050 yang  menunjukan bahwa Indonesia mampu mencapai net zero pada tahun 2050. Bahkan dengan menggunakan 100% energi terbarukan, biaya sistem energi akan menjadi lebih murah dibandingkan dengan sistem yang berbasis energi fosil.

“Sektor listrik merupakan quick win karena pengembangan energi terbarukan di sektor ini bisa lebih cepat dibanding industri dan transportasi. Tentu saja, kebijakan transisi energi merupakan sesuatu yang membutuhkan banyak inovasi, perubahan regulasi, dan cara pandang kita melihat sumber daya energi yang kita miliki. Namun, jika kita bisa melakukan 100% energi terbarukan maka akan tercipta 3,2 juta lapangan kerja baru,” tegas Fabby.

Senada dengan Fabby, ketua tim penulis, Aris Prasetyo, menjabarkan bahwa pengembangan energi terbarukan dengan mendorong transisi energi adalah suatu yang pasti akan terjadi. Ia juga menceritakan tentang kemandirian energi yang ia temui saat kunjungannya ke Desa Kamanggih di Kecamatan Kahaungu Eti di Sumba Timur.

“Masyarakatnya sudah mandiri energi. Listriknya dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) bahkan kelebihannya dijual ke PLN. Untuk memasak, mereka menggunakan biogas dari kotoran ternak. Namun saat terjadi pandemi, ternyata pelanggan PLTMH tidak dapat diskon tarif listrik artinya sesuatu yang bersih dan mendukung program pemerintah dan adaptasi perubahan iklim tidak ada dukungan, sementara untuk program yang bergantung pada energi fosil mendapat insentif,” tuturnya.

Aris juga menambahkan bahwa ketimpangan kebijakan juga terjadi di skala industri, terutama dalam hal masalah tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan. Menurutnya, bahkan bagi pengembang sendiri, tarif yang ditawarkan PLN tidak ekonomis karena biaya produksinya lebih tinggi. Sedangkan untuk kebijakan tarif energi terbarukan, Perpresnya tidak kunjung keluar.

Menyoal mengenai kebijakan energi terbarukan, Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, bertekad untuk menyelesaikan UU mengenai energi terbarukan. Meskipun menurutnya banyak kepentingan yang tidak mendukung kemunculan UU ini.

“Padahal keberadaan UU ini akan menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan EBT,” imbuh Sugeng. 

Di lain pihak Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional memandang bahwa membangun ketahanan energi, pemerintah harus memastikan keamanan pasokan, mudah diakses, affordability kaitannya dengan kemampuan dan environmentally friendly.

“Jika kita berbicara keekonomian, maka energi terbarukan yang dapat dikembangkan lebih jauh adalah PLTS. PLTS sedang kita pompa besar-besaran,”ujarnya.

Komitmen Iklim yang Ambisius dan Perumusan Kebijakan secara Seksama Kunci Indonesia Mencapai Netral Karbon #Sebelum2070

Jakarta, 9, April 2021, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini mengumumkan Strategi Jangka Panjang untuk mencapai netral karbon dan ketahanan iklim. Dalam strategi tersebut disebutkan bahwa Indonesia baru akan menjadi netral karbon pada tahun 2070. Dalam dokumen strategi tersebut disebutkan bahwa emisi Indonesia ditargetkan akan mencapai puncak (peak) pada tahun 2030. Dalam perumusan suatu target, perlu kejelasan tentang dukungan kebijakan bagi masing-masing sektor untuk mencapai peak emisi 2030.

Sebagai negara yang ikut menandatangani Persetujuan Paris, target netral karbon 2070 menjadi tidak sesuai dan kurang ambisius. Berkolaborasi dengan Yayasan Madani Berkelanjutan, ICLEI Indonesia, Walhi, dan didukung oleh Thamrin School of Climate Change and Sustainability, IESR menyelenggarakan webinar diskusi publik bertajuk “Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon sebelum 2070”. Webinar yang dihadiri sebanyak kurang lebih 100 orang ini bertujuan menjadi sarana partisipasi publik dalam menanggapi dan memberi masukan pada pemerintah terhadap kebijakan publik yang menyangkut kepentingan hidup semua orang.

Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa meningkatnya bencana hidrometeorologi akhir-akhir ini bisa jadi diakibatkan krisis iklim yang semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC yang menyatakan bahwa peningkatan suhu bumi sebesar 1.1 derajat sejak masa pra-industri telah meningkatkan frekuensi dan magnitude cuaca ekstrem.

Menurutnya, desakan berbagai pihak terutama pemerintah untuk meningkatkan ambisinya dalam merespon krisis iklim menjadi penting. 

“Kita ingin mendorong upaya-upaya ambisius yang membutuhkan bukan hanya cara berpikir yang berbeda namun juga komitmen dan leadership dari pemimpin politik kita, presiden, yang seharusnya dapat melihat bahwa krisis iklim ini berdampak pada kehidupan orang banyak,” tandas Fabby mengakhiri sambutannya.

Farhan Helmy, Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability juga sependapat bahwa keputusan Indonesia untuk mencapai netral karbon pada tahun 2070 terlalu lama. Dalam sambutannya, Farhan memaparkan setidaknya ada empat poin yang kerap kali luput dalam perbincangan tentang iklim, yaitu (1) tidak adanya koherensi agenda dan kebijakan iklim, (2) tidak ada upaya serius untuk melibatkan aktor non negara, termasuk kota yang menjadi ujung tombak proses perubahan, (3) skala aksi yang masih pada level pilot project belum sebagai transformasi yang melembaga dan didukung dengan transformasi ekonomi, (4) pergantian pemimpin tanpa ada aturan mendasar tentang iklim membuat arah kebijakan kurang jelas. 

“Indonesia tidak bisa mengerjakan ini sendiri. Peran negara tidak bisa lagi sekedar prosedural mengikuti negosiasi saja,” tutur Farhan. 

Salah satu sektor yang mendapat sorotan dalam upaya menuju netral karbon adalah energi. Penting untuk memahami sistem energi dan meningkatkan ambisi pengurangan emisi di sektor energi karena sektor ini merupakan penghasil emisi terbesar. Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR menjelaskan ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk dekarbonisasi sistem energi.

 “Dari analisis IESR, skenario transisi energi yang lebih ambisius bisa tercapai jika, (1) tidak ada pembangunan PLTU baru mulai dari 2025, (2) Inisiatif Kementerian ESDM untuk menggantikan 13.5 GW pembangkit fossil dengan energi terbarukan dilaksanakan, dan (3) melakukan phase-out PLTGU dan PLTD,” tuturnya.

Deon juga menambahkan bahwa secara teknis dan ekonomis, Indonesia mampu melakukan langkah-langkah di atas, dan melakukan dekarbonisasi sistem energi sebelum 2050. Yang diperlukan adalah komitmen politik dan dukungan yang menyeluruh.

Beberapa tahun lalu Bappenas merilis laporan Low Carbon Development Indonesia; yang menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia meningkat walaupun kita menggunakan konsep Low Carbon Development dalam pembangunan. Maka anggapan bahwa melakukan pembangunan dengan konsep rendah karbon itu mahal, dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tersendat telah dijawab oleh laporan ini sebenarnya. 

Anggalia Putri, Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan, menambahkan Indonesia berkepentingan untuk mencapai target 1.5 derajat C daripada 2 derajat untuk menghindari risiko iklim seperti bencana hidrometeorologi yaitu contohnya banjir yang semakin meningkat. Dalam konteks Indonesia, akan banyak ekosistem unik akan musnah jika kita melewati batas 1.5 derajat.

“Terdapat perbedaan dampak iklim yang signifikan antara 1.5 dan 2 derajat, maka kita keukeuh untuk mencapai 1.5 derajat,” tutur Anggalia.

Selanjutnya Anggalia menambahkan bahwa dengan adanya net sink di sektor FOLU di 2030, sebenarnya Indonesia masih dapat mengurangi kuota deforestasinya.  

Ari Mochamad, Country Manager ICLEI Indonesia, menekankan peran kota yang tidak kalah pentingnya dalam pengurangan emisi dan perjalanan menuju netral karbon. “Kota itu mengandung permasalahan dan solusi sekaligus. 70% emisi gas rumah kaca itu berasal dari aktivitas perkotaan, namun di sisi lain kota adalah tempat yang dapat dikelola. Beberapa pemimpin dan aktor non pemerintah sudah menjadikan isu perubahan iklim suatu keniscayaan karena dampaknya sudah ada di depan mata,” pungkasnya.

Beberapa kota di Indonesia tergabung dalam Global Covenant of Mayors (GCoM), sebuah komitmen pemimpin kota di seluruh negara yang menyadari perubahan iklim adalah keniscayaan sehingga mengubah pola pikir dalam pengambilan keputusan.

Target Indonesia untuk mencapai netral karbon menjadi satu persoalan penting menyangkut keadilan lintas generasi antara generasi kita dengan generasi anak dan cucu. 

Ditegaskan oleh Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, bahwa target Indonesia untuk menjadi netral karbon pada tahun 2070 terlambat.

“Jelas sangat terlambat kalau 2070 baru akan netral karbon, banyak pemimpin negara bahkan Sekjen PBB sudah menyatakan bahwa kondisi sekarang sudah darurat iklim, kita harus ambisius dalam membuat target dan menjalankan aksi. Kita butuh sesuatu (kebijakan) yang cepat baik negara maju maupun negara berkembang.” 

Di lain sisi, terdapat banyak celah untuk mengelak dari kewajiban pengurangan emisi yang ambisius seperti skema offset perdagangan karbon ke negara berkembang. Skema ini akan membuat negara berkembang mesti menanggung beban ganda di kemudian hari yaitu beban offset dari negara maju dan target pengurangan emisi negara masing-masing. 

Terkait dengan keadilan lintas generasi, Yuyun menegaskan kita selayaknya bertanya kita mau mewariskan kondisi bumi seperti apa pada anak cucu kita mendatang. 

“Apakah kita akan menjamin mereka aman dari krisis ekologi dan krisis iklim? Atau kita mewariskan sesuatu yang akan membuat mereka celaka kedepannya? Dalam keadilan iklim, keadilan antar generasi ini juga merupakan konteks penting dalam, maka harus diperhatikan. Kita mau menuntut kebijakan iklim yang lebih ambisius yang merefleksikan keadilan antar generasi dan keadilan iklim,” tegas Yuyun di akhir paparannya.

Menutup webinar #Sebelum2070 ini, Dian Afriyanie, pengurus Thamrin School of Climate Change and Sustainability, mengemukakan dua poin yang menjadi benang merah webinar kali ini. Pertama, pentingnya koherensi antar kebijakan pemerintah dalam menjawab akar persoalan; serta koherensi kebijakan antar sektor, lokasi dan hirarki pemerintah. 

“Hasil riset IESR dan Madani menunjukkan bahwa target pemerintah untuk penurunan emisi di sektor energi dan FOLU masih dapat ditambah dan dipercepat realisasinya, maka pemerintah jangan hanya melakukan negosiasi prosedural saja namun juga melihat dan mengacu pada temuan-temuan riset ini,” tegas Dian.

Kedua, proses deliberatif dalam perumusan kebijakan. Partisipasi dan keterwakilan berbagai kalangan memang menjadi tantangan tersendiri di masa pandemi ini, namun dalam perumusan kebijakan publik proses ini tetap harus diupayakan, supaya produk kebijakannya tidak asing bagi masyarakat.

MoU Pemerintah Daerah Jambi dan IESR

Tandatangani MoU dengan IESR, Pemerintah Jambi Serius Dorong Transisi Energi dan Capai Target Bauran Energi Terbarukan Daerah 2025

Jambi mempunyai target bauran energi terbarukan daerah sebesar 24 persen di tahun 2025 dan 40 persen di tahun 2050. Target ini sudah ditetapkan dalam Perda No. 13 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019-2050. Jumlah target bauran energi terbarukan ini memang jauh lebih besar dari pada target bauran energi terbarukan nasional yang masing-masing 23 persen dan 31 persen di tahun 2025 dan 2050. Demi mencapai target RUED, pemerintah Jambi membangun kerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), untuk mengatasi tantangan diantaranya pemahaman mengenai transisi energi yang belum merata. Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan membangun infrastruktur yang mendukung juga menjadi pekerjaan rumah ESDM Jambi dalam mengembangan energi terbarukan.

“Padahal potensi energi terbarukan di Jambi cukup besar. Hanya saja, belum menjadi prioritas, sehingga harus dimulai dengan pemahaman yang benar mengenai transisi energi. Untuk itulah kami bekerja sama dengan IESR sehingga dapat memulai arah yang benar untuk hasil yang maksimal,” tandas Kepala Dinas ESDM Jambi, Harry Andria dalam acara Penandatanganan Kesepakatan Kerja Sama Dinas ESDM Provinsi Jambi dan IESR (22/3).

Menurutnya, pemahaman transisi energi yang benar di tingkat eksekutif dan legislatif daerah akan mempermudah dalam implementasi program untuk pencapaian target energi terbarukan daerah. 

Senada, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama juga menyatakan bahwa transisi energi telah menjadi fenomena yang terus diadaptasi oleh banyak negara di dunia. Hal ini dipicu oleh komitmen negara di dunia dalam Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi kurang dari 2°C .

“Transisi energi merupakan hal yang tidak ditawar. Akselerasi energi terbarukan membutuhkan komitmen seluruh stakeholder, baik di pimpinan daerah, pembuat kebijakan dan masyarakat yang akan terdampak. Kerja sama yang instrumental dibutuhkan untuk mencapai target RUED serta membangun konsensus bersama untuk pemanfaatan energi terbarukan,” tegasnya.

Fabby memandang pula bahwa implementasi transisi energi dan pencapaian target energi terbarukan di Jambi akan menjadi daya tarik Jambi ke depannya. Jambi akan terus berkembang dari segi ekonomi, baik di sektor sektor industri, bisnis, pertanian, perikanan, dan pariwisata yang membutuhkan banyak energi, salah satunya dengan pemanfaatan energi terbarukan.

IESR akan memberikan bantuan teknis bagi Pemerintah Jambi dalam hal peningkatan pemanfaatan potensi energi terbarukan, konservasi energi, dan transisi energi. Acara ditutup dengan melakukan penandatanganan dokumen Perjanjian Kerja Sama antara Dinas ESDM Jambi dan IESR secara daring.

IESR dan Unhan Tandatangani Nota Kesepahaman untuk Pengembangan Energi Terbarukan

Bogor, 30 Maret 2021Institute for Essential Services Reform (IESR) menandatangani nota kesepahaman untuk kerjasama dengan Universitas Pertahanan (Unhan). Kerjasama ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi masing-masing dalam penelitian tentang energi terbarukan dan ketahanan energi. 

Unhan sedang membuka sekolah vokasi yang berlokasi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, salah satu fokus dari sekolah vokasi ini adalah mengembangkan sumber energi terbarukan seperti surya dan bayu (angin) di lokasi tersebut untuk menyediakan sumber energi yang handal bagi sekolah, serta menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam sambutannya, Rektor Universitas Pertahanan Indonesia, Amarulla Octavian menyatakan bahwa melalui kerjasama ini pihaknya terbuka untuk saling berbagi dalam hal pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat terkait energi terbarukan.

“Kita sudah bisa mulai untuk mengadakan seminar dan workshop, juga penelitian bersama. Silahkan juga untuk melibatkan mahasiswa kami untuk magang dalam proyek maupun penelitian ke depan,” tuturnya.

Dalam kesempatan terpisah saat wawancara Pojok Energi IESR, Amarullah Octavian menyatakan bahwa Unhan berencana membuka 10 sekolah vokasi di daerah-daerah terluar Indonesia. 

“Atambua ini yang pertama dan akan menjadi pilot project, jika ini berhasil akan kita replikasi di tempat-tempat lain,” pungkas Amarullah.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menekankan bahwa tren untuk menggunakan energi bersih akan membawa potensi tenaga kerja terampil sebagai installer di sektor energi bersih.

“Sebagai lembaga think-tank yang fokus pada energi terbarukan dan lingkungan, kami mendukung Unhan untuk membuka sekolah vokasi dan pengembangan energi terbarukan di daerah terluar Indonesia, salah satu implikasi dari dibangunnya microgrid yang berasal dari energi terbarukan ini adalah kebutuhan tenaga kerja terampil sebagai installer. Nah, fenomena dan peluang ini harus kita lihat dan bisa kita tangkap untuk mengembangkan ketahanan energi,” tandas Fabby dalam sambutannya.

Potensi Teknis Energi Surya Indonesia Lebih Tinggi, IESR Dorong Pemerintah Perbaharui Data Potensi Energi Terbarukan

18 Maret 2021-Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya yang jauh lebih besar dibandingkan 207 GW yang merupakan data resmi yang dirilis oleh pemerintah Indonesia melalui kementerian ESDM tahun 2017. Hal ini dibuktikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) dalam peluncuran kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” (18/3).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya menjelaskan bahwa berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp.

“Bila potensi teknis yang paling sedikit saja, 3 GW, dimanfaatkan secara efektif, maka dapat memenuhi 7 kali dari konsumsi listrik dari tahun 2018,” ujarnya.

IESR mengukur potensi teknis ini dengan menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.

Fabby menambahkan bahwa kajian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaharui sumber data energi terbarukan sehingga dapat memberikan sinyal yang lebih baik untuk mengembangkan energi surya ke depan.

“Tentu saja, hal tersebut akan meningkatkan pula kepercayaan diri berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan energi surya bahwa Indonesia dapat mengandalkan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan energi bersih. Selain itu, kajian ini mendukung upaya PLN untuk mengembangkan tenaga surya, dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Rencana Umum Energi Daerah,” tegasnya.

Dalam tataran global, data ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam aksi iklim secara global, seperti yang diungkapkan oleh Mme. Jiaman Jin, Direktur Eksekutif GEI. GEI, secara khusus, mempunyai program untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan energi terbarukan dengan memberikan penguatan kapasitas, bantuan teknis dan finansial.

“Cina dan negara-negara di Asia Tenggara telah berkolaborasi dalam program aksi iklim global, termasuk dengan Indonesia. Bila ditilik dari komitmen Persetujuan Paris, hingga kini ada 29 negara yang sudah menargetkan netral karbon dengan mengandalkan energi terbarukan. Cara lain untuk netral karbon adalah dengan penyimpanan karbon (carbon storage) dan perdagangan karbon (carbon credit). Dua hal ini pula yang Cina sedang kembangkan saat ini,” urainya.

Agar tercapai komitmennya dalam Persetujuan Paris, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Namun hingga akhir tahun 2020, hanya terealisasi sebesar 11,5%. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025.

“Namun target tersebut sedang dalam peninjauan, dan ternyata, surya (fotovoltaik) ditargetkan untuk mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035 dalam grand strategy energi nasional yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung,” ulas Daniel Kurniawan, Penulis Utama Laporan Kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Daniel menjelaskan dari 23 jenis tutupan lahan yang ada, tim peneliti IESR memilih jenis lahan yang sesuai untuk pembangunan PLTS. Terseleksi hanya 9 jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.

“Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan kering campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara,” jelasnya.

Menggunakan skenario paling optimistis, 9 jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta km2, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.

“Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur,” jabar Daniel.

Menyinggung tentang Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) yang sedang disusun oleh PLN, Daniel menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai alokasi target kapasitas untuk untuk tenaga surya dari total 3,7 GW rencana kapasitas gabungan untuk tenaga surya, bayu, dan sampah dalam RUPTL mendatang.

Data Potensi Teknis Akan Dorong Optimalisasi Pengembangan PLTS 

Data kajian potensi teknis teranyar yang diluncurkan IESR ini juga dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan. Daniel mencontohkan Bali dan Sumba sebagai dua pulau di Indonesia yang sudah mempunyai modal yang cukup ditinjau dari konsistensi pemerintah daerah dalam mendorong pemanfaatan PLTS melalui kebijakan yang mereka terbitkan dan juga potensi teknis PLTS-nya.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaharui data potensi teknis tenaga surya di Indonesia.

“Selain itu, kami juga berusaha untuk mengidentifikasi potensi matahari sesuai dengan jalur transmisi. Semakin baik jalur transmisi maka pengembangan PLTS akan semakin besar. Namun bila lokasi di luar jalur transmisi maka kita akan mengembangkan melalui off-grid,” tutur Chrisnawan.

Senada, Wakil Presiden Eksekutif Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN, Cita Dewi mengungkapkan bahwa PLN mempunyai komitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Hanya saja, akibat pandemik COVID-19, PLN masih berhadapan dengan kondisi permintaan energi listrik yang rendah.

“Krisis permintaan ini kemungkinan akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. Namun pendekatan yang kami lakukan untuk mengejar target energi terbarukan diantaranya mempercepat penyelesaian pembangkit listrik surya, air, geothermal, dan mempertimbangkan untuk mengkonversi 5000 pembangkit listrik tenaga diesel dengan surya. Potensinya sebesar 2 GW,” jelas Cita.

Dari sisi pengembang, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan bahwa hasil kajian tersebut bermanfaat bagi pengembang untuk menggali lebih banyak peluang untuk berinvestasi PLTS di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, hal ini tetap harus selaras dengan keberpihakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang ramah bagi para pengembang PLTS.

“Keekonomian PLTS sudah kompetitif, namun hingga kini peraturan net metering masih di 6.5, sebaiknya diubah menjadi 1, sehingga memberikan dampak psikologis yang baik bagi pasar PLTS,” imbuh Andhika.

Sependapat dengan Andhika, Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional mengharapkan bahwa akan ada pembaharuan dalam kebijakan net metering. Ia juga menegaskan bahwa dari segi instalasi, PLTS merupakan energi terbarukan yang paling mudah dikembangkan karena tersedia di hampir semua tempat di Indonesia, sehingga mudah dipanen dalam bentuk  PLTS, serta mempunyai beragam skala, sehingga cepat dibangun.

Wirawan, Plt. Presiden Direktur, PT PJB Investasi mengapresiasi hasil kajian IESR dan menawarkan untuk menghitung pula potensi teknis dari sekitar 192 bendungan dan waduk yang tersebar di Indonesia.

“Daerah tangkapan air di Indonesia kurang lebih sekitar 86 ribu hektar. Ini merupakan potensi yang besar pula untuk pengembangan PLTS apung,”usulnya.