Potensi Teknis Energi Surya Indonesia Lebih Tinggi, IESR Dorong Pemerintah Perbaharui Data Potensi Energi Terbarukan

18 Maret 2021-Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya yang jauh lebih besar dibandingkan 207 GW yang merupakan data resmi yang dirilis oleh pemerintah Indonesia melalui kementerian ESDM tahun 2017. Hal ini dibuktikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) dalam peluncuran kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” (18/3).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya menjelaskan bahwa berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp.

“Bila potensi teknis yang paling sedikit saja, 3 GW, dimanfaatkan secara efektif, maka dapat memenuhi 7 kali dari konsumsi listrik dari tahun 2018,” ujarnya.

IESR mengukur potensi teknis ini dengan menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.

Fabby menambahkan bahwa kajian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaharui sumber data energi terbarukan sehingga dapat memberikan sinyal yang lebih baik untuk mengembangkan energi surya ke depan.

“Tentu saja, hal tersebut akan meningkatkan pula kepercayaan diri berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan energi surya bahwa Indonesia dapat mengandalkan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan energi bersih. Selain itu, kajian ini mendukung upaya PLN untuk mengembangkan tenaga surya, dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Rencana Umum Energi Daerah,” tegasnya.

Dalam tataran global, data ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam aksi iklim secara global, seperti yang diungkapkan oleh Mme. Jiaman Jin, Direktur Eksekutif GEI. GEI, secara khusus, mempunyai program untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan energi terbarukan dengan memberikan penguatan kapasitas, bantuan teknis dan finansial.

“Cina dan negara-negara di Asia Tenggara telah berkolaborasi dalam program aksi iklim global, termasuk dengan Indonesia. Bila ditilik dari komitmen Persetujuan Paris, hingga kini ada 29 negara yang sudah menargetkan netral karbon dengan mengandalkan energi terbarukan. Cara lain untuk netral karbon adalah dengan penyimpanan karbon (carbon storage) dan perdagangan karbon (carbon credit). Dua hal ini pula yang Cina sedang kembangkan saat ini,” urainya.

Agar tercapai komitmennya dalam Persetujuan Paris, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Namun hingga akhir tahun 2020, hanya terealisasi sebesar 11,5%. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025.

“Namun target tersebut sedang dalam peninjauan, dan ternyata, surya (fotovoltaik) ditargetkan untuk mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035 dalam grand strategy energi nasional yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung,” ulas Daniel Kurniawan, Penulis Utama Laporan Kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Daniel menjelaskan dari 23 jenis tutupan lahan yang ada, tim peneliti IESR memilih jenis lahan yang sesuai untuk pembangunan PLTS. Terseleksi hanya 9 jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.

“Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan kering campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara,” jelasnya.

Menggunakan skenario paling optimistis, 9 jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta km2, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.

“Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur,” jabar Daniel.

Menyinggung tentang Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) yang sedang disusun oleh PLN, Daniel menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai alokasi target kapasitas untuk untuk tenaga surya dari total 3,7 GW rencana kapasitas gabungan untuk tenaga surya, bayu, dan sampah dalam RUPTL mendatang.

Data Potensi Teknis Akan Dorong Optimalisasi Pengembangan PLTS 

Data kajian potensi teknis teranyar yang diluncurkan IESR ini juga dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan. Daniel mencontohkan Bali dan Sumba sebagai dua pulau di Indonesia yang sudah mempunyai modal yang cukup ditinjau dari konsistensi pemerintah daerah dalam mendorong pemanfaatan PLTS melalui kebijakan yang mereka terbitkan dan juga potensi teknis PLTS-nya.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaharui data potensi teknis tenaga surya di Indonesia.

“Selain itu, kami juga berusaha untuk mengidentifikasi potensi matahari sesuai dengan jalur transmisi. Semakin baik jalur transmisi maka pengembangan PLTS akan semakin besar. Namun bila lokasi di luar jalur transmisi maka kita akan mengembangkan melalui off-grid,” tutur Chrisnawan.

Senada, Wakil Presiden Eksekutif Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN, Cita Dewi mengungkapkan bahwa PLN mempunyai komitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Hanya saja, akibat pandemik COVID-19, PLN masih berhadapan dengan kondisi permintaan energi listrik yang rendah.

“Krisis permintaan ini kemungkinan akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. Namun pendekatan yang kami lakukan untuk mengejar target energi terbarukan diantaranya mempercepat penyelesaian pembangkit listrik surya, air, geothermal, dan mempertimbangkan untuk mengkonversi 5000 pembangkit listrik tenaga diesel dengan surya. Potensinya sebesar 2 GW,” jelas Cita.

Dari sisi pengembang, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan bahwa hasil kajian tersebut bermanfaat bagi pengembang untuk menggali lebih banyak peluang untuk berinvestasi PLTS di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, hal ini tetap harus selaras dengan keberpihakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang ramah bagi para pengembang PLTS.

“Keekonomian PLTS sudah kompetitif, namun hingga kini peraturan net metering masih di 6.5, sebaiknya diubah menjadi 1, sehingga memberikan dampak psikologis yang baik bagi pasar PLTS,” imbuh Andhika.

Sependapat dengan Andhika, Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional mengharapkan bahwa akan ada pembaharuan dalam kebijakan net metering. Ia juga menegaskan bahwa dari segi instalasi, PLTS merupakan energi terbarukan yang paling mudah dikembangkan karena tersedia di hampir semua tempat di Indonesia, sehingga mudah dipanen dalam bentuk  PLTS, serta mempunyai beragam skala, sehingga cepat dibangun.

Wirawan, Plt. Presiden Direktur, PT PJB Investasi mengapresiasi hasil kajian IESR dan menawarkan untuk menghitung pula potensi teknis dari sekitar 192 bendungan dan waduk yang tersebar di Indonesia.

“Daerah tangkapan air di Indonesia kurang lebih sekitar 86 ribu hektar. Ini merupakan potensi yang besar pula untuk pengembangan PLTS apung,”usulnya.

Pemerintah Daerah Berpotensi Besar Kembangkan Obligasi Daerah untuk Pembangunan Hijau

Selain APBN dan APBD, pemerintah daerah kini dapat berinovasi untuk membiayai belanja infrastruktur, terutama yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs),  dengan menerbitkan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah sebagai sumber keuangan berkelanjutan.

Hal tersebut dijelaskan oleh Istiana Maftuchah, Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan dalam workshop “Perkenalan terhadap Pembiayaan Berkelanjutan dan Obligasi Daerah”  yang dilaksanakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), dengan didukung oleh Kedutaan Besar Inggris Jakarta secara daring (9/3).

“Dorongan global sangat terasa hingga saat ini, apalagi kita menghadapi pandemi Covid-19 dan arah industri jasa keuangan sudah mengarah ke sustainability, dan sekarang sudah ada perubahan paradigma: People, Profit, Planet,” ujar Istiana.

Menurutnya, perkembangan ini mengikuti komitmen Indonesia terhadap SDGs dan juga Persetujuan Paris yang sudah diratifikasi dalam UU No. 16/2016. Ia menandaskan bahwa ketertarikan investor terhadap produk hijau semakin besar dan tidak hanya fokus kepada profit saja.

Istiana memaparkan bahwa terdapat peluang investasi hijau kini menjadi global tren di emerging countries, hingga USD 23 triliun untuk sektor energi terbarukan, transportasi, pengolahan limbah, dan bangunan hijau.

“Untuk pemenuhan kebutuhan investasi dan pembiayaan SDGs Indonesia (2020-2030) dibutuhkan sekitar Rp 67 triliun dengan komposisi 62% dari pemerintah dan 38% dari non pemerintah,” jelas Isti.

Demi mencapai target tersebut, OJK mengeluarkan peta jalan keuangan berkelanjutan, diantaranya dengan terbitnya Peraturan OJK (POJK) 51/03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik dan POJK 60/04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).

“POJK 60 adalah efek dan utang yang hasilnya akan mendanai kegiatan yang berwawasan lingkungan. Di situ ada 11 kategori kegiatan berwawasan lingkungan, kita tambahkan satu sektor yaitu UMKM, jadi total ada 12 kegiatan berwawasan lingkungan,” imbuh Istiana.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Ferike Indah Arika, Analis Kebijakan Ahli Muda, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan kembali membahas kebutuhan akan pendanaan yang inovatif untuk pembangunan hijau.

Ferike menuturkan bahwa semenjak tahun 2016, Kemenkeu mengadakan identifikasi anggaran pemerintah yang diarahkan untuk pengendalian perubahan iklim serta untuk mengukur dan mengevaluasi penganggaran itu. Ternyata, rata-rata belanja kementerian dan lembaga (K/L) untuk perubahan iklim mencapai hingga Rp 86,7 triliun.

“Itu adalah angka yang besar yaitu setara dengan 34% kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim pada Second Biennial Update Report (Rp 266,2 triliun per tahun),” ulasnya.

Mengingat APBN Indonesia yang sangat terbatas, maka agar investasi hijau mengalir ke Indonesia, Kemenkeu telah menerbitkan kebijakan fiskal untuk pengendalian perubahan iklim, mencakup 3 kebijakan yakni kebijakan pendapatan negara, kebijakan belanja negara dan kebijakan pembiayaan.

Ferike menjelaskan bahwa dalam kebijakan pendapatan negara, hal yang paling berubah signifikan adalah fasilitas tax holiday dimana sebelumnya persentase pengurangan pajaknya 10-100%, kini menjadi 100%. Ditambah lagi, mengenai jangka waktu tax holiday yang semula dari 5-15 tahun menjadi 20 tahun tergantung nilai investasinya.

Dari aspek kebijakan pembiayaan, Kemenkeu menerbitkan Sovereign Green Sukuk untuk membiayai proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pemerintah.

“Di awal 2018 kami menerbitkan 1st Global Green Sukuk senilai USD 2.25 miliar. Sementara di November 2020, Green Sukuk yang terbit senilai Rp 5.42 Triliun,” papar Ferike.

Selanjutnya, Kemenkeu sedang mempertimbangkan penerapan Carbon Pricing, di antaranya untuk mempromosikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan mendorong Investasi Hijau

“Peraturan terkait Carbon Pricing ini sedang dalam pembahasan yang dikoordinasikan oleh Kemenko Marves dan peraturan tersebut akan berbentuk Perpres,” tandasnya.

 

Peluang Pemerintah Daerah Manfaatkan Obligasi Daerah untuk Pembangunan Hijau

Simon Saimima, Kasubdit Fasilitasi Dana Alokasi Khusus (DAK), Direktorat Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah, Ditjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri menjelaskan mengenai Green Bonds atau Obligasi Daerah.

Sesuai dengan kebijakan penerbitan obligasi daerah, Simon menjelaskan bahwa merupakan hak daerah untuk memberikan pinjaman daerah dengan sinkronisasi dengan RPJMD dan aturan yang terkait.

Selanjutnya, pinjaman daerah akan dibayarkan kembali dari Pemda dalam bentuk obligasi di pasar modal. Green Bonds atau obligasi masuk dalam kategori pinjaman jangka panjang.

Simon memaparkan bahwa tentu obligasi diterbitkan di pasar modal, namun sebagai penjamin adalah pemerintah daerah dalam bentuk aset dan kegiatan yang akan dilakukan di provinsi tertentu. Daerah bertanggung jawab atas segala risiko akibat penerbitan obligasi tersebut.

Secara prosedural, kepala daerah dan DPRD perlu memberikan persetujuan untuk penerbitan obligasi. DPD pun ikut dilibatkan dalam proses tersebut.

“Dokumen untuk persyaratan obligasi daerah ada 9 dokumen, dan ini harus dipenuhi untuk memenuhi syarat dari Kementerian Dalam Negeri,”ungkapnya.

Obligasi yang telah terbit menjadi kewajiban Pemda untuk membayarkan pokok pinjaman dan kupon sesuai dengan perjanjian. Bila tidak membayar, maka Pemda pun akan mendapat sanksi administratif.

Russell Marsh, Green Finance Lead, ASEAN Low Carbon Energy Programme Ernst and Young dalam presentasinya menjelaskan bahwa meskipun kebutuhan akan pendanaan yang berkelanjutan semakin meningkat, namun pihaknya mengidentifikasi tantangan dalam perkembangannya.

Pertama, kurangnya kesadaran dan pemahaman akan risiko lingkungan, sosial dan tata Kelola (LST) dan pentingnya keuangan berkelanjutan baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Kedua, kurangnya definisi, pengukuran, standar dan pengungkapan yang seragam agar lembaga jasa keuangan dapat mengevaluasi proyek-proyek berkelanjutan potensial dan agar pemilik proyek dapat menyusun dokumen pendukung. Ketiga, kurangnya koordinasi antara para pemangku kepentingan dalam implementasi regulasi. Keempat, obligasi berwawasan lingkungan atau green bond bisa saja tidak menciptakan additionality, misalnya hanya membiayai proyek berwawasan lingkungan yang sebelumnya tidak dibiayai.

Adapun beberapa solusi yang Russel tawarkan yakni memberi insentif bagi keuangan berkelanjutan, pengembangan keuangan transisi serta meningkatkan pemahaman dan mambangun kapasitas lembaga jasa keuangan dan pemilik proyek.

 

Kendala Pemerintah Daerah dan Instansi Keuangan dalam Menerbitkan Obligasi untuk Mendukung Pembangunan Hijau

Hadir sebagai narasumber pada workshop hari kedua (10/3) adalah Darwin Trisna Djajawinata, Direktur Operasional & Keuangan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI); serta Rahul Sheth, Executive Director, Head of Sustainable Bonds Standard Chartered Bank. 

 

Dalam paparannya, Darwin banyak membahas tentang kriteria-kriteria proyek yang layak mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan. Kelayakan proyek untuk dibiayai ini tergantung pada beberapa hal misal apakah suatu proyek infrastruktur itu masuk dalam RPJM daerah. 

 

“Untuk proyek-proyek yang bersifat pemenuhan hak dan pemberdayaan masyarakat miskin perlu perencanaan yang jauh lebih matang lagi karena pembiayaan ini kan bersifat pinjaman, dan tidak mungkin membebankan pinjaman ini pada warga miskin, maka pemda yang memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjamannya. Nah, skema-skema ini yang perlu direncanakan dengan cermat,” tandas Darwin

 

Kemampuan daerah dalam melihat sektor potensial untuk dikembangkan, menyusun proposal, dan mengelola hutang sangat menentukan kepercayaan lembaga keuangan. Terutama tentang prosedur penerbitan municipal bond (obligasi daerah) yang sangat bergantung pada rekam jejak daerah tersebut dalam mengelola hutang.

 

“Penerbitan municipal bond ini tergantung pada kemampuan daerah dalam mengelola hutang dengan baik, dan saat ini belum banyak daerah yang mampu mengelola hutangnya dengan baik,” tambah Darwin.

 

Rahul Sheth, Executive Director, Head of Sustainability dari Standard Chartered Bank menambahkan bahwa kesiapan dari daerah untuk menerbitkan obligasi ini berbeda-beda. Bagi daerah yang baru akan pertama kali menerbitkan obligasi perlu persiapan yang lebih matang. Dari sisi institusi keuangan, terdapat 2 jenis obligasi yang biasa diterbitkan untuk membiayai proyek-proyek dengan isu spesifik, yaitu green bond untuk membiayai proyek-proyek terkait lingkungan dan iklim, serta social bond untuk membiayai proyek-proyek sosial kemasyarakatan seperti infrastruktur dan  akses keuangan bagi UMKM. 

 

“Pasar social bond ini salah satu yang terbesar,” jelas Rahul. Hal ini menunjukkan potensi besar bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan obligasi daerah. Di ujung pemaparannya, Rahul menjawab pertanyaan peserta, Yugo dari Bank Kalsel, tentang tantangan yang kerap muncul saat penerbitan obligasi.

 

“Data dan otomatisasi data adalah tantangan yang kerap datang. Ketika data yang dimiliki lengkap berbagai hal dapat dilakukan dan dipantau secara otomatis seperti pajak, saldo, maupun laporan keuangan lainnya. Pengumpulan data dan manajemen data menjadi suatu proses yang kritis dalam industri ini,” pungkas Rahul.

 

Beberapa sharing dari peserta tentang kendala dalam menerbitkan obligasi daerah terkait tentang aturan seperti sovereign guarantee yang baru diberikan pada BUMN bukan BUMD yang otomatis menyulitkan pemerintah daerah dalam merencanakan penerbitan obligasi untuk proyek-proyek strategis.

CASE Indonesia Dorong Sinergi Berbagai Pihak untuk Transisi Energi di Indonesia

Proyek CASE (Clean, Affordable, and Secure Energy) berupaya merangkul banyak pihak untuk mendorong transisi energi di Indonesia agar dapat terealisasi dengan baik. Salah satunya dilakukan lewat diskusi selama 3 hari (22-24/3) yang berlangsung secara daring. Para pemangku kepentingan ini berasal dari berbagai lembaga pemerintah, institusi keuangan, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil,yang berbagi tentang aktivitas-aktivitas yang sudah mereka lakukan untuk berkontribusi dalam transisi energi. 

Pertemuan ini sangat krusial untuk memastikan kegiatan CASE nantinya tetap selaras dan saling melengkapi dengan program kerja yang tengah atau telah direncanakan instansi terkait lain perihal transisi energi, sekaligus mencerminkan inklusivitas proyek CASE.

Saat ini transisi energi masih menjadi suatu isu yang terkesan eksklusif atau dibicarakan oleh kalangan tertentu saja. Sebaliknya topik transisi energi muncul karena adanya perhatian ilmiah tentang krisis iklim yang dialami dan akan berdampak oleh semua orang, maka penting untuk mengenalkan proses ini untuk membentuk kesadaran kolektif tentang langkah-langkah menghindari dampak krisis iklim yang lebih ekstrim melalui transisi energi. 

Masukan dan pendapat dari berbagai pihak ini juga penting untuk melihat berbagai kendala dan situasi yang dialami oleh masing-masing pihak dan bagaimana proyek CASE dapat berperan dalam situasi tersebut. 

Dari sektor keuangan misalnya, diskusi masih adanya kesulitan untuk memberikan pendanaan untuk proyek-proyek energi terbarukan karena masih terhalang oleh beberapa hal, salah satunya tentang penilaian risiko dari proyek energi terbarukan.

“Kami perlu memahami risiko investasi di bidang energi terbarukan ini, dan cara mitigasinya, sehingga proyek energi terbarukan ini lebih bankable,” terang seorang eksekutif dari salah satu lembaga perbankan di Indonesia yang terlibat dalam diskusi ini. 

Dilanjutkannya, “Selain itu perlu adanya suatu badan yang dapat menjadi semacam konsultan untuk memberikan penilaian objektif tentang supply dan demand di sektor ini, terutama untuk menjawab pertanyaan, apakah proyek ini selaras dengan rencana pembangunan pemerintah? Terlebih penting, bagaimana dukungan pemerintah untuk proyek tertentu ini?” 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut selama ini belum direspon oleh pemerintah. Beberapa lembaga berinisiatif untuk mencari solusi dari pertanyaan-pertanyaan ini, namun jawaban pasti dari pemerintah dalam bentuk kebijakan atau aturan resmi dianggap tetap penting dan krusial sebagai sinyal positif dukungan pemerintah. 

“Secara kelembagaan kami sudah memiliki target dan rencana kerja untuk tahun 2021 yang dapat dikolaborasikan dengan program CASE. Beberapa diantaranya adalah kampanye untuk menumbuhkan awareness dari lembaga finansial maupun investor tentang potensi proyek energi terbarukan, juga pertemuan antar lembaga yang akan membahas tentang green recovery dan green jobs,” jelas salah satu pejabat kementerian di Indonesia ini.

Semua pihak sepakat bahwa diperlukan sinergi dari semua pihak untuk merespon isu penyediaan energi bersih yang terjangkau dan berkelanjutan. Hanya saja, pemerintah tetap perlu menjadi inisiator yang pertama kali menggerakkan pihak-pihak tersebut.

“Seperti judul proyek ini CASE, Clean and Affordable, kalau bicara affordable pasti berhubungan dengan harga dan model bisnis. Jadi PLN harus mencari bisnis model yang pas untuk menyediakan energi bersih yang terjangkau untuk masyarakat,” tutur salah satu pejabat dari perusahaan BUMN di Indonesia.

“Sebagai akademisi, kami terbuka untuk dilibatkan dalam pembuatan kajian maupun pengembangan pilot project dari aktivitas di bawah program CASE ini. Kami juga memiliki kelompok-kelompok yang fokus pada pengembangan energi bersih, maka kami menanti pembicaraan lanjut tentang kegiatan yang bisa kita kerjakan bersama,” papar salah satu akademisi kampus teknik di Indonesia.

Kegiatan ini ditutup dengan menyepakati komitmen bersama dari semua pihak yang hadir untuk menyukseskan agenda program penyediaan energi bersih, terjangkau, dan berkelanjutan. Pertemuan dan diskusi lanjutan untuk membahas masing-masing agenda kegiatan dengan lebih detail akan segera dilakukan. 

Ditekankan oleh moderator pada plenary session bahwa Kementerian PPN/BAPPENAS sangat mengharapkan adanya sinergi dari masing-masing pihak yang diundang dalam workshop kali ini, sehingga capaian proyeknya semakin baik. Seperti yang tersurat dalam tagline “To Mobilize Stakeholders, to Make the Output Better”.

Proyek CASE merupakan sebuah inisiatif dari pemerintah Jerman, didanai oleh German Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, and Nuclear Safety (BMU). Secara umum, program ini bertujuan untuk mendorong terjadinya peningkatan pemahaman masyarakat umum tentang isu transisi energi di Asia Tenggara. 

Program CASE ini memiliki cakupan wilayah kerja regional di 4 negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Di Indonesia, program CASE dijalankan oleh GIZ Indonesia bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform dan Kementerian PPN/BAPPENAS sebagai perwakilan pemerintah untuk bermitra dengan CASE. Secara global program ini juga didukung mitra konsorsium internasional Agora Energiewende dan New Climate Institute.

Dorong Berkembangnya Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia, IESR Bandingkan dengan Amerika Serikat, Norwegia dan Cina

Jakarta, 23 Februari 2021- Agar selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia perlu mengutamakan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor transportasi sehingga suhu bumi tetap terjaga di bawah 2oC. Di Indonesia, sektor transportasi mengkonsumsi 45% dari total energi final dimana 94% berasal dari bahan bakar kendaraan. Emisi gas buang hampir sepertiga dari total emisi sektor energi. 

Salah satu cara yang sudah diadopsi di banyak negara di dunia adalah dengan penetrasi secara masif dan agresif kendaraan listrik. Tentu saja sumber tenaga listrik kendaraan tersebut harus pula berasal dari energi terbarukan.

Secara khusus Institute for Essential Services Reform (IESR) menelaah upaya penciptaan ekosistem yang mendukung kemajuan kendaraan listrik di Indonesia, dalam kajiannya berjudul Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina. Lebih dari 100 orang mengikuti secara daring peluncuran kajian tersebut (23/2). Hadir dalam kesempatan yang sama Firdaus Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi Kemenko Marves, Alief Wikarta, Dosen dan Peneliti Jurusan Teknik Mesin, ITS, dan Muhammad Samyarto, PT Wika Industri Manufaktur (WIMA) sebagai penanggap.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam pembukaannya mengatakan bahwa Indonesia mesti bergegas membangun ekosistem yang tepat untuk mendukung akselerasi adopsi kendaraan listrik di Indonesia dengan belajar dari pengalaman negara pembanding dalam studi tersebut.

“Penjualan kendaraan listrik di Norwegia mencapai 54,3% pada tahun 2020 dibandingkan pada tahun 2011 yang hanya 1 %. Hal ini merupakan buah dari hasil konsistensi dari pemerintah Norwegia menerapkan kebijakan untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik,” ungkapnya.

Norwegia tercatat sebagai negara yang mempunyai pangsa pasar kendaraan listrik tertinggi yakni lebih dari 50%, sementara total kendaraan listriknya sekitar 430 ribu. Sedangkan Cina di tahun 2019, total kendaraan listriknya sekitar 3,4 juta dan Amerika Serikat sebesar 1,5 juta.

Indonesia sendiri melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga bulan Agustus 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.

 

Lima Ekosistem Kendaraan Listrik  yang Belum Terbangun di Indonesia

Idoan Marciano, penulis kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina menilai ekosistem kendaraan di Indonesia belum terbangun dengan baik, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 55/2019 yang menjadi dasar dalam akselerasi pengembangan kendaraan listrik, namun kebijakan turunannya masih belum mampu untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik secara signifikan. 

Idoan memaparkan bahwa setidaknya ada lima ekosistem yang harus mendapat perhatian khusus, yaitu a) kebijakan, b) infrastruktur/pengisian daya, c) industri/rantai pasokan, d) kesadaran masyarakat, e) pasokan dan ketersediaan model.

“Secara umum, Indonesia masih tertinggal dari semua aspek ini. Dari segi kebijakan finansial, Indonesia memang sudah memberikan berbagai insentif, namun secara jumlah total insentif pemerintah hanya baru dapat mengurangi 40 persen dari harga kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia. Selanjutnya Indonesia juga belum memiliki aturan pembatasan kendaraan fosil, sementara negara pembanding sudah menargetkan 100 persen kendaraan listrik dan melarang kendaraan konvensional,”jelasnya.

Dari segi infrastruktur pengisian daya, Idoan memandang rasio charger dan kendaraan listrik di Indonesia masih sangat rendah, yakni 70: 1 sementara negara dengan penetrasi kendaraan listrik tinggi rasionya kurang dari 25:1.

Menilik rantai industri dan pasokan, Indonesia juga belum memiliki kapasitas produksi yang sudah beroperasi untuk memproduksi komponen kendaraan listrik, terutama baterai, sementara di Cina sudah mampu memproduksi baterai hingga 200 GWh/tahun.

Selain itu, motivasi masyarakat untuk membeli kendaraan listrik di Indonesia lebih mengacu pada alasan ekonomi dan ketersediaan infrastruktur, sedangkan masyarakat di negara pembanding lebih dipengaruhi oleh alasan ekonomi, lingkungan dan teknologi. 

Lebih lanjut, Idoan menemukan bahwa ketersediaan pasokan dan beragam model juga menjadi faktor penting dalam adopsi kendaraan listrik.

“Di Indonesia, sudah ada 15 perusahaan fasilitas produksi untuk kendaraan listrik beroda dua, dengan total kapasitas sekitar 877 ribu unit/tahun. Di Cina, sudah ada 500 perusahaan dengan total produksi lebih dari 3,5 juta unit/tahun,”ujarnya.

Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni

  1. Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat. 
  2. Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi
  3. Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil
  4. Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional
  5. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
  6. Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional. 
  7. Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik
  8. Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai 
  9. Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik 
  10. Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target
  11. Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
  12. Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah

Firdaus Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi Kemenko Marves, yang hadir dalam webinar peluncuran kajian, mengatakan bahwa pemerintah akan mendorong dan memberikan kemudahan bagi pelaku industri

“Agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, kita mengundang industri pabrikan luar, terutama roda empat, dapat terbangun di dalam negeri. Kami juga mendorong asosiasi hotel, retail, supermarket kecil bisa menyediakan SPKLU roda dua, sehingga saat berbelanja dapat men-charging kendaraan listriknya,” ucapnya. Selain itu beliau menekankan pentingnya kerja sama yang erat dengan semua stakeholder termasuk akademisi, private sector, CSO, dan bahkan masyarakat sebagai konsumen agar dapat mewujudkan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. 

Alief Wikarta, Dosen dan Peneliti Jurusan Teknik Mesin, ITS memandang bahwa kajian IESR ini dapat menjadi solusi bagi diversifikasi bahan bakar. Ia menitikberatkan pada ekosistem kesadaran masyarakat yang menjadi tantangan yang patut menjadi perhatian.

“Konsumen Indonesia itu kebanyakan aware but not care. Jadi mereka tahu bahwa misal teknologi tertentu dapat mengurangi polusi tapi tetap belum memakai teknologi tersebut. Ditambah lagi konsumen kita mempunyai sensitivitas tinggi pada harga, beda harga seribu saja, orang akan cenderung memilih yang lebih murah. Hal ini menjadi tantangan yang butuh strategi marketing dari produksi dan kebijakan dari pemerintah,”tambahnya. Indonesia juga dapat mulai mengembangkan konsep circular economy (ekonomi sirkular) untuk daur ulang baterai yang merupakan salah satu komponen utama kendaraan listrik.

Muhammad Samyarto, PT Wika Industri Manufaktur (WIMA), sepakat pada pemaparan Idoan mengenai kualitas kendaraan listrik yang lebih baik dari kendaraan konvensional.

“Persoalan charging  hanya sebuah kekhawatiran saja, sebenarnya jika sudah menggunakan motor listrik kita bisa mengatur sendiri penggunaan kendaraan listrik sehari-harinya. Namun hal tersebut tetap menjadi tantangan kita bersama sehingga menjawab kekhawatiran masyarakat,”ulasnya.

Saksikan siaran tundanya:

Anda juga dapat mengunduh laporan lengkapnya di: 

Didukung IESR, Jawa Tengah Berikan Peluang Menarik Bagi Masyarakat Untuk Pasang PLTS Atap

Semarang 16 Februari 2021 – Pemerintah provinsi Jawa Tengah melalui Dinas ESDM bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan webinar Central Java Solar Day 2021 (16/2). Acara ini mengundang Gubernur Jawa Tengah, yang diwakili oleh Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo, Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Manajer Revenue Assurance & Mekanisme Niaga, M. Khamzah yang mewakili GM PLN UID Jateng dan DIY. Hadir pula Fabby Tumiwa – Direktur Eksekutif IESR, Chairiman, VP Residential Market, ATW Solar, dan Karyanto Wibowo, Sustainable Development Director Danone.

Dalam kegiatan yang dihadiri sekitar 300 orang secara daring ini, selain membahas pencapaian Jawa Tengah setelah mendeklarasikan diri sebagai Central Java Solar Province yang diresmikan di tahun 2019, pemaparan dari berbagai narasumber mengindikasikan bahwa peluang besar tersedia bagi  provinsi Jawa Tengah untuk mewujudkan cita-cita besarnya tersebut.

Secara konsisten, Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo yang  membacakan sambutan Gubernur Jawa Tengah, mengungkapkan, pemerintah daerah terus mendukung upaya daerahnya dalam memenuhi target bauran energi terbarukan yang sudah tertera pada Rencana Umum Energi Daerah (RUEN).

Dadan Kusdiana menimpali bahwa PLTS menjadi salah satu solusi prioritas untuk pemenuhan bauran energi bersih sebesar 23% di 2025, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% di 2030. Ia mengungkapkan bahwa hal ini menjadi perhatian pihaknya dalam menyusun grand strategy energi nasional, demi mencapai target bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025.

“Kita hanya punya waktu lima tahun lagi untuk menuju kesana, jadi kalau EBT tidak tercapai, pasti target penurunan gas rumah kaca pun tidak akan tercapai,” ujarnya. 

Dadan juga menjelaskan bahwa untuk menarik minat masyarakat untuk memasang PLTS atap, saat ini Dirjen EBTKE sedang merevisi Permen ESDM No. 49/2018, terutama 3 poin utama: perbaikan tarif net-metering, perpanjangan reset ekspor listrik, dan percepatan penyediaan meter ekspor-impor (exim).

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam paparannya menjelaskan bahwa berdasarkan kajian yang telah dilakukan IESR, potensi pengembangan energi surya di Jawa Tengah tinggi, baik untuk PLTS di atas tanah (ground-mounted) juga PLTS terapung (floating PV). 

“Sesuai Permen PUPR No. 6/2020 bahwa sebagian area waduk boleh dimanfaatkan untuk floating PV, kami lihat potensi teknis PLTS terapung bisa mencapai lebih dari 700 MW bila 10 bendungan terbesar di Jawa Tengah juga dimanfaatkan untuk PLTS terapung,” tutur Fabby.

Potensi Teknis PLTS Terapung di Jawa Tengah

Kepala Dinas ESDM Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, menjabarkan bahwa meski situasi sulit karena merebaknya Covid-19,  Jawa Tengah pada tahun 2020 berhasil melampaui target bauran energi terbarukan, dari target 11,60%, menjadi 11,89%. Di tahun 2025, Jateng menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 21,35%.

Ia menegaskan bahwa obsesi ke depan Jateng Solar Province menjadi hal yang serius, tidak sekedar slogan, tapi mencapai hasil yang setinggi-tingginya. Salah satu cara yang pihaknya akan dorong di tahun 2021 ialah dengan membuka ruang konsultasi bagi masyarakat yang tertarik memasang PLTS atap.

Sujarwanto juga menargetkan bahwa sektor industri dan komersial akan menjadi sasaran pengembangan untuk PLTS atap. Agar biaya investasi PLTS atap semakin menarik, pihaknya mendorong berbagai lembaga keuangan untuk terlibat dan menggali potensi skema pembiayaan dengan zero capex, atau tanpa biaya investasi awal dengan kredit lunak.

“Mendukung program pemerintah nasional kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), kami juga berencana membangun pembangunan charging station dari PLTS secara hibrid,”ungkapnya.

Selanjutnya ia menuturkan untuk 2021, pembangunan akan difokuskan pada pemulihan ekonomi pasca-Covid 19 melalui pembangunan PLTS atap pada UMKM dan pondok pesantren. Pembangunan PLTS atap 2021 akan dilakukan pada 31 unit di sekitar delapan kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Muhammad Khamzah dari PLN UID Jateng dan DIY juga memberikan gambaran persebaran pengguna PLTS atap di Jawa Tengah, yang umumnya didominasi oleh rumah tangga golongan R2 (2200 VA ke atas). PLN UID Jawa Tengah dan DIY mengupayakan percepatan proses permohonan pelanggan untuk menggunakan PLTS atap tersambung jaringan dan penyediaan kWh ekspor-impor.

Pelanggan industri seperti Danone merupakan salah satu kelompok yang memiliki minat besar untuk menggunakan energi terbarukan, termasuk PLTS atap. Karyanto Wibowo menggarisbawahi komitmen berbagai perusahaan multinasional untuk menggunakan 100% energi terbarukan pada tahun tertentu. Anggota gerakan RE100 ini juga banyak yang memiliki fasilitas operasional di Indonesia, sehingga pemerintah juga harus melihat kondisi ini dalam perencanaan dan penyesuaian sistem kelistrikan.

Menurut Chairiman dari ATW Solar, product knowledge dari calon pengguna memang menentukan tingkat adopsi PLTS atap, sehingga penyedia layanan dan produk (perusahaan EPC) harus memastikan bahwa edukasi publik juga berjalan dan jaminan mutu produk yang ditawarkan baik. Informasi yang komprehensif mengenai manfaat, biaya, hingga kepastian perawatan dan operasional menjadi faktor penting bagi pengguna untuk memasang PLTS atap. Portal solarhub.id merupakan inisiatif IESR yang diharapkan mampu menjawab ketimpangan informasi bagi masyarakat tentang energi surya secara umum dan PLTS atap secara khusus.

Mengingat Indonesia memiliki target untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025, penetrasi PLTS atap menjadi penting karena cara inilah yang paling strategis untuk dilakukan saat ini. Kerjasama dari berbagai pihak dengan didukung kebijakan dan peraturan yang jelas akan mempercepat penetrasi energi surya dalam bauran energi nasional.

 

Kerjasama Bilateral Jerman dan Indonesia Upayakan Percepatan Transisi Energi di sektor Ketenagalistrikan melalui Program Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE)

 

Peluncuran program Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) (2/2/2021) menandai kerjasama pemerintahan Indonesia dan Jerman untuk mendorong transisi energi, khususnya di sektor ketenagalistrikan, di Indonesia dan juga wilayah Asia Tenggara.

Norbert Gorrißen, Deputy Director General German Federal Ministry For the Environment, Nature, Conservation and Nuclear Safety (BMU) mengatakan dalam pembukaannya bahwa saat ini masalah perubahan iklim menjadi perhatian banyak negara besar di dunia. Menurutnya, Jepang, Cina, Filipina sudah mengambil komitmen untuk memenuhi Perjanjian Paris agar suhu bumi berada dibawah 2°C dengan mengurangi penggunaan batubara di sektor energinya. Indonesia, selaku salah satu negara berpengaruh di Asia Tenggara dan G20, patut juga mengambil komitmen serupa.

“Situasi energi di Indonesia memang sangat kompleks, tapi tidak ada cara lain selain melakukan transisi energi. Proyek CASE ini merupakan proyek besar antara Jerman dan Indonesia. Melaluinya, kami siap berbagi pengalaman terkait transisi energi yang sudah Jerman lakukan. Saat ini, di Jerman, lebih dari 50 persen listriknya berasal dari energi terbarukan,” jelasnya.

Lisa Tinschert, Program Manager CASE Indonesia untuk GIZ Indonesia mengemukakan bahwa salah satu tantangan terbesar yang harus CASE hadapi untuk dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia adalah kapabilitas dan kemauan politik yang masih rendah atau tidak tersedianya informasi mengenai transisi energi.

“Tantangan selanjutnya adalah kebijakan, peraturan dan rencana yang tidak senantiasa konsisten dan tidak memprioritaskan pembangunan desentralisasi energi terbarukan, serta ekosistem bisnis dan akses terhadap pendanaan yang belum terlalu mendukung transisi energi,” urai Lisa.

Fabby Tumiwa, Project Lead CASE Indonesia dari Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan bahwa transisi energi tidak sekedar hanya dengan mengembangkan dan menambah jumlah pembangkit listrik energi terbarukan, tapi juga menghentikan pembangunan PLTU batubara (baru), serta mempensiunkan PLTU batubara yang berumur lebih dari 30 tahun.

“Meski tidak signifikan, terjadi peningkatan pembangunan energi terbarukan di 2020, umumnya berasal dari tenaga air dan juga surya sebanyak 28,8 MW. Total kapasitas pembangkit energi terbarukan yang terpasang hingga 2020 sekitar 10,5 GW,” imbuhnya.

Menurut Fabby, hal penting yang masih menjadi pekerjaan rumah dalam transisi energi adalah efisiensi energi. Beberapa program untuk mendukung efisiensi energi di Indonesia di antaranya adalah mengurangi konsumsi energi di sektor transportasi, memperbaharui dan memperkenalkan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan mewajibkan pencantuman Label Tanda Hemat Energi bagi peralatan-peralatan listrik, dan memanfaatkan potensi bangunan hijau. Mengutip laporan IESR terbaru, Indonesia Energy Transition Outlook 2021, Fabby mengemukakan bahwa kekurangan dana dan minimnya pengawasan menyebabkan potensi besar di energi bangunan hijau menjadi sia – sia.

“Meningkatkan efisiensi energi akan menghentikan permintaan energi sehingga mengurangi beban untuk membangun pembangkit listrik, terutama PLTU batubara di waktu mendatang. Meningkatkan pembangunan energi terbarukan dan efisiensi energi menjadi kunci percepatan transisi energi,” tambahnya.

Menyoal mandat bauran energi terbarukan dengan target 23 persen di 2025, EVP Electricity System Planning PLN Edwin Nugraha Putra, mengatakan PLN berkomitmen untuk mencapainya, salah satunya dengan menggiatkan co-firing di PLTU batubara. Hanya saja ia menyadari tantangan terbesar melakukan co-firing adalah ketersediaan feedstock-nya hingga mencapai 16 juta ton biomassa/tahun.

“Kami berharap dengan kehadiran CASE akan mampu mengurai permasalahan mengenai demand serta mendorong investasi energi terbarukan. Kami siap membangun energi terbarukan dengan (salah satunya-red) renewable energy base on economic development (REBED).,” kata Edwin.

Investasi menjadi bagian yang juga disoroti oleh Zulvia Dwi Kurnaini, Analis Kebijakan Senior, BKF, Kementerian Keuangan. 

“Kementerian keuangan berkomitmen untuk transisi energi. CASE akan menjadi mitra dalam memberikan masukan kebijakan fiskal yang mendukung investasi energi terbarukan untuk  mencapai transisi energi tersebut. Saat ini pemerintah melakukan kewajibannya untuk menyediakan listrik dengan harga terjangkau dengan memberikan subsidi di energi fosil. Namun, di sisi lain, pemerintah juga memiliki kewajiban lain untukmengembangkan energi bersih. Padahal APBN masih sangat terbatas,” tukasnya.

Zulvia berharap Bappenas selaku mitra politik dari program CASE dapat memainkan peranannya sebagai lokomotif untuk melihat berbagai aspek transisi energi seperti kesehatan PLN, APBN, dan keekonomian energi terbarukan menjadi satu bagian yang utuh.

Mewakili Bappenas, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Rachmat Mardiana berharap dengan bekerja sama dalam program CASE bisa membantu untuk memberikan solusi bagi permasalahan di sektor kelistrikan di Indonesia, mulai dari sisi energi primer seperti ketergantungan pada energi fosil, transformasi dalam sistem ketenagalistrikan yang di antaranya belum terintegrasi dan sinergis, serta hambatan di pengguna akhir, seperti akses listrik yang belum merata.

Di Indonesia, program CASE dijalankan oleh GIZ Indonesia bersama Institute for Essential Service Reform (IESR) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Kementerian PPN/Bappenas merupakan mitra politik di dalam Program CASE Indonesia yang menjadi badan pelaksana atas nama Pemerintah Republik Indonesia.  Selanjutnya, Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas akan mengelola dan mengkoordinasikan program CASE di Indonesia. Selain itu, Program CASE Indonesia juga akan mendapatkan dukungan mitra konsorsium internasional yang terdiri dari Agora Energiewende dan NewClimate Institute.


Materi paparan

Fabby Tumiwa_CASE KickOff_Energy Transition Status in Indonesia

Unduh

CASE Kick-Off Workshop - CASE Intro - Lisa Tinschert final

Unduh

02.02.2021 - (rev5)Presentasi Direktorat KTI - Kick Off CASE

Unduh

02.02.2021 - (Pak Yusuf?) Outlook and Agenda

Unduh

Ketenagalistrikan Menjadi Sektor Prioritas Untuk Akselerasi Transisi Energi di Indonesia

Krisis COVID-19 memicu kontraksi yang besar dalam perekonomian dunia, termasuk dalam sektor ketenagalistrikan. Menurut pengamatan Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang diluncurkan pada Selasa, 26 Januari 2021, konsumsi listrik selama pandemi yang rendah dan pelemahan rupiah telah membuat PLN merugi. Pendapatan PLN mengalami sedikit peningkatan sekitar 1,4% YoY, namun keuntungan berubah menjadi negatif Rp 12,2 triliun (USD 872,8 juta) pada September 2020. Hal ini sangat kontras dengan laba Rp 10,8 triliun pada kuartal ketiga 2019.

Penyebab lain kerugian PLN adalah kewajiban PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik yang dimiliki swasta (IPP) dimana sebagian besar merupakan listrik yang dibangkitkan dari PLTU batubara. Kewajiban yang tertuang di Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) PLN dengan IPP ini merupakan salah satu faktor yang membuat investasi PLTU batubara masih terjadi di Indonesia. Namun, pada kondisi permintaan listrik yang rendah karena pandemi ini, PLN masih harus membeli listrik dari PLTU atau jika tidak maka wajib membayar biaya penalti ke IPP. Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), kewajiban pembelian listrik ini dapat mencapai angka USD 7,8 miliar di tahun 2020. Di sisi lain, pendapatan PLN juga mengalami penurunan dengan turunnya penjualan listrik dan adanya program pembebasan dan diskon listrik yang dicanangkan pemerintah sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi.

Tentu saja penurunan konsumsi listrik juga berpengaruh pada permintaan batubara sebagai sumber pembangkit listrik utama di Indonesia. Tidak hanya secara domestik, namun juga secara global telah terjadi penurunan permintaan terhadap batubara. Disisi lain, produksi batubara praktis tidak mengalami banyak perubahan. Akibatnya, volume batubara melimpah di pasar ekspor dan impor sehingga menekan harga batubara menjadi anjlok ke level 49,4 USD / ton pada bulan September, level terendah sejak 2015. Di pasar internasional, Indonesia pun terdampak karena 72% batubara Indonesia ditargetkan untuk pasar ekspor pada tahun 2020. Akibatnya pendapatan negara dari sektor batubara mengalami penurunan. Hal ini juga mengindikasikan, bahwa perekonomian Indonesia jika bergantung pada komoditas seperti batubara akan sangat berisiko kedepannya.

Rentannya sektor ketenagalistrikan berbasis batubara terhadap krisis, membuat banyak negara di dunia mulai mengintegrasikan upaya pemulihan ekonominya dengan membangun sistem ketenagalistrikan yang lebih berkelanjutan. Transisi energi menuju energi terbarukan menjadi pilihan karena dapat menghasilkan listrik yang ekonomis, lebih tahan terhadap potensi krisis serta mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memenuhi Persetujuan Paris untuk menekan kenaikan suhu bumi melebihi 2o C.

Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR, dalam kesempatan yang sama memaparkan analisis International Energy Agency (IEA) dalam laporan World Energy Outlook  yang memberikan skenario mencapai net-zero emission di tahun 2050 sebagai upaya memenuhi target dalam Paris Agreement. Salah satunya ialah mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) jenis subkritikal, yang saat ini memproduksi sekitar 5000 TWh listrik per tahun di global, di tahun 2030. Sedangkan jenis PLTU yang lebih efisien (clean coal technology), seperti superkritikal dan ultra superkritikal pun, harus berhenti beroperasi sebelum 2040.

“Hanya saja, pola pikir lama yang terlalu mengandalkan batubara, membuat banyak orang akan coba membantah skenario ini di Indonesia dengan berbagai alasan seperti pertama, lebih dari 3/4 kapasitas PLTU di Indonesia masih memiliki usia ekonomis, biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik yang akan naik menimbang biaya pembangkitan listrik energi terbarukan yang masih dianggap lebih mahal ketimbang fosil serta sifat intermintensinya,” ulasnya.

Buktinya, menurut menurut Fabby, ada negara yang bisa menyediakan listrik yang handal dengan keekonomian yang baik dengan bauran energi terbarukan yang lebih besar, bahkan tanpa PLTU. 

“Pertumbuhan ekonomi juga akan menjadi lebih baik karena bisa meningkatkan tenaga kerja dan menumbuhkan lapangan kerja baru. Masalahnya pemerintah belum membuat desain dan strategi kebijakannya. Pemerintah, misalnya, dapat mengalihkan subsidi listrik yang saat ini mencapai lebih dari 50 triliun ke pemasangan PLTS atap. Pemerintah dapat memasang PLTS atap di konsumen PLN yang berdaya listrik 450-900 VA yang masih disubsidi. Bila dipraktekkan di satu juta rumah maka subsidi itu dapat berubah menjadi 1 GW energi terbarukan,”jelasnya.

Perkuat Komitmen Politik Pemerintah dan Regulasi Pendukung Energi Terbarukan

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI ini sepakat bahwa peningkatan bauran energi terbarukan harus menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah, termasuk dalam wacana untuk meninjau kembali Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“Revisi RUEN seharusnya bukan merevisi target 23% energi terbarukan, namun yang harus diperbaiki adalah porsi minyak, gas, dan batu bara. Langkah yang dapat diambil adalah renegosiasi dan penjadwalan ulang (rescheduling) proyek-proyek PLTU, terutama yang 35 GW, yang saat ini dalam proses perencanaan.”

Sugeng sepakat, bahwa sebagai negara yang taat konstitusi, Indonesia harus taat pada Persetujuan Paris yang sudah diratifikasi dalam UU No 16/2016.

Di lain pihak, Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Perwakilan Industri melihat transisi energi tergantung pada komitmen politik DPR dan pemerintah, terutama dalam menentukan arah skenario.

“Harus ada skenario yang pasti dalam transisi energi, antara moderat atau radikal. Tentu saja kebijakannya harus memperhatikan realitas,” sarannya.

Satya juga mengulas bahwa di Indonesia, pengelolaan sumber daya alam tidak didanai oleh APBN melainkan pada investasi, sehingga pemerintah perlu membuat kebijakan yang ramah investasi dari swasta.

Mengutip laporan IRENA, Sugeng mengungkapkan bahwa investasi besar saat ini terpusat pada energi bersih sekitar USD 13.3 triliun. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung pembangunan energi terbarukan di dalam negeri dapat menjadi peluang menarik investasi tersebut sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi di masa depan.

“Intinya dari berbagai riset di dunia, energi terbarukan menjadi pintu masuk pasca COVID-19 dan bangkit secara ekonomi,” imbuh Sugeng.

IESR dalam laporan IETO 2021, memberikan arahan yang jelas bagi pembuat kebijakan dalam mengukur kesiapan bertransisi energi dengan memperkenalkan Kerangka Kesiapan Transisi (Transition Readiness Framework), khususnya untuk sistem ketenagalistrikan. Pada kerangka kesiapan transisi tersebut, IESR telah mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam empat dimensi utama, yaitu dimensi politik dan regulasi, investasi dan pendanaan, tekno-ekonomik, dan sosial.

“Dua hal yang paling prioritas untuk diperkuat adalah komitmen politik pemerintah khususnya Presiden Jokowi dan kementerian terkait untuk transisi energi dan mengesahkan kerangka regulasi yang diikuti dengan implementasi yang tepat di sektor kelistrikan,” jelas Deon Arinaldo, penulis utama Laporan IETO 2021.

Laporan IETO 2021 – yang merupakan transformasi dari flagship report IESR selama 3 tahun terakhir yaitu Indonesia Clean Energy Outlook –  diluncurkan untuk melacak dan mengukur perkembangan transisi energi di Indonesia dan memberikan kerangka ekosistem pendukung yang memampukan transisi energi di Indonesia terjadi secara cepat. Dilakukan secara daring, peluncuran laporan IETO 2021 melibatkan Satya Widya Yudha, Anggota DEN Perwakilan Industri, Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, Moekti P Soejachmoen, Chief Economist PT Danareksa (Persero) dan Tanah Sullivan, Head of Sustainability PT. Gojek Indonesia, sebagai panelis.

 

Potensi Besar Pasar Surya Atap untuk Capai Target Bauran 23 Persen Energi Terbarukan di 2025

Jakarta, 15 Desember 2020“Berapa biaya investasi dan luasan atap yang saya butuhkan untuk pasang PLTS atap? Apakah benar penggunaannya bisa menghemat biaya listrik? Bagaimana integrasinya dengan jaringan PLN? Peraturan pemasangannya seperti apa?”  

Pertanyaan ini kerap muncul dari masyarakat  sebelum mereka memutuskan untuk menggunakan PLTS atap. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), ini merupakan hal yang wajar sebab umumnya masyarakat sebagai konsumen energi ingin mengetahui dengan jelas sistem PLTS atap yang akan mereka gunakan. Pengetahuan akan produk menjadi bagian penting dari penentuan keputusan tersebut.

“Kebutuhan informasi terkait PLTS atap semakin meningkat dibandingkan 3 tahun lalu saat kita mencetuskan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). Pasar PLTS atap saat ini juga lebih terbuka, bahkan sudah tersedia secara daring,” jelasnya dalam diskusi Mengejar Orde Gigawatt Energi Surya di Indonesia, yang dilaksanakan oleh IESR.

Meski demikian, ketertarikan ini belum menjadi realisasi yang signifikan. Bila dibandingkan dengan Vietnam, dalam periode yang sama, 2-3 tahun terakhir, Vietnam mampu menggenjot instalasi PLTS atap mereka hingga 1,5 GWp. Sementara, Indonesia baru mencatatkan pemasangan PLTS atap kurang dari 20 MW. 

Secara umum, target energi terbarukan Indonesia dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) belum berjalan sesuai rencana. Hingga akhir tahun 2019, capaian energi terbarukan baru 9,15% saja. Sementara, hanya tinggal 5 tahun tersisa untuk mewujudkan 23% energi terbarukan.

“Untuk mengejar target itu, salah satunya dapat dilakukan dengan mendorong implementasi PLTS atap. Sebenarnya GNSSA hadir untuk mendorong terbentuknya orde gigawatt di Indonesia. Jika orde ini terealisasi, maka penetrasi PLTS untuk mencapai target 6,5 GW energi terbarukan dalam RUEN menjadi lebih cepat, tercapainya skala keekonomian, juga akan meningkatkan ketertarikan masyarakat dan harganya menjadi lebih terjangkau,”ungkap Fabby.

Tentu saja, gaungan GNSSA membawa dampak yang cukup baik.Terjadi peningkatan jumlah pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap sepanjang 3 tahun terakhir, dari 268 pada tahun 2017 menjadi lebih dari 2.500 pelanggan hingga Oktober 2020. Kenaikan ini juga dipicu oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah (Permen ESDM No. 49/2018 yang direvisi dengan Permen ESDM No. 13/2019 dan Permen ESDM No. 16/2019), semakin banyaknya perusahaan penyedia layanan pemasangan PLTS atap, dan juga meningkatnya ketertarikan masyarakat untuk menggunakan PLTS atap sebagai bagian dari gaya hidup.

Meski demikian, kenaikan ini masih belum cukup untuk mengejar target energi surya sesuai RUEN dan juga mencapai target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap yaitu 1 GW kumulatif PLTS atap pada 2020.

Menurut Fabby, daripada berharap pada pengembangan PLTS pada skala utilitas yang membutuhkan lahan, waktu dan pembiayaan yang cukup lama, sebaiknya pemerintah dapat pula berfokus pada PLTS atap untuk rumah tangga, sektor bisnis dan komersial, serta UMKM.

“Kajian IESR menunjukkan sampai 2030, potensi pasar untuk PLTS atap di Jawa dan Bali bisa mencapai 10 – 12 GW,” jelasnya pula.

Di Jawa Tengah saja, berdasarkan survei IESR, terdapat potensi pasar hingga 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk UMKM. Lebih jauh, survei ini juga menunjukkan 7 dari 10 orang pemilik rumah memberikan respon positif untuk menggunakan PLTS atap. Namun, 92% masih memiliki keraguan yang besar karena masih belum paham dengan teknologinya, menganggap harganya masih mahal, dan belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap.

Terkait harga, menurut Fabby dalam jangka waktu 3 tahun ini sudah terjadi penurunan biaya investasi pemasangan PLTS atap yang semula sebesar Rp 25 – 35 juta per kWp menjadi Rp.15 – 20 juta per kWP. Begitu juga dengan harga modul surya yang turun 40% dari $30 per Wp menjadi 20 sen per Wp. 

“Kebimbangan para pelanggan untuk memasang PLTS atap ini dilatari oleh minimnya informasi yang terpercaya dan rendahnya sosialisasi aturan mengenai penggunaan PLTS atap. Selain itu, informasi mengenai prosedur pemasangan PLTS atap tersambung jaringan (on-grid), manfaat yang bisa dirasakan pengguna, hingga di mana mereka bisa membeli produknya pun masih terbatas dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa,” papar Fabby.

Bambang Sumaryo, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) yang sudah menjadi konsumen PLTS atap selama 6 tahun juga mengungkapkan keraguan lain yang biasanya menjadi pertimbangan calon konsumen dalam pemasangan PLTS atap.

“Ketersediaan kWh exim (export-import) yang membuat pengguna PLTS masuk ke jaringan on grid sehingga lebih hemat. Namun justru kWh exim ini yang sulit untuk didapat, terutama di daerah,” keluhnya. Bambang juga sepakat dengan pengamatan IESR terkait kurang meratanya informasi yang bisa diakses calon pengguna.

Selain itu, Bambang menyinggung  aturan tarif net-metering 1:0,65 di Permen ESDM No. 49/2018. Tarif ini menyebabkan periode balik modal menjadi lebih dari 5 tahun dan persentase penghematan tidak setinggi yang diharapkan.

Menjawab kurangnya akses informasi untuk masyarakat, IESR membangun sebuah portal daring (online) SolarHub Indonesia (solarhub.id) yang bertujuan untuk memberikan informasi seputar energi surya bagi calon pengguna PLTS atap dan menghubungkan mereka dengan perusahaan penyedia produk dan pemasangan PLTS atap.

“Mungkin masih ada juga masyarakat yang menganggap perlu lahan yang besar untuk pasang PLTS. Padahal dengan kemajuan teknologi, kami bisa pasang PLTS di atap rumah, kanopi atau sebagai sistem hybrid,” ujar Chairiman dari ATW Solar sebagai salah satu penyedia produk dan jasa pemasangan PLTS yang bergabung di SolarHub Indonesia.

Menurut Chairiman, portal ini akan menarik lebih banyak orang untuk berinvestasi di PLTS atap dengan ketersediaan dan keakuratan narasinya.

Di sisi lain, Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan IESR, menjelaskan bahwa keberadaan portal SolarHub Indonesia akan menjembatani masyarakat Indonesia, khususnya warga di luar perkotaan dan di luar Pulau Jawa untuk mendapatkan informasi tentang PLTS atap.

“Mereka yang tinggal di Jakarta misalnya, terbilang beruntung karena bisa langsung terpapar pada kegiatan sosialisasi dan terhubung dengan penyedia produk dan layanan bila ingin tahu lebih banyak tentang desain, manfaat penghematan, hingga layanan purna jual PLTS atap,” jelasnya.

Di SolarHub Indonesia tersedia pula kalkulator canggih yang dapat menghitung besaran penghematan biaya listrik, rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan calon pengguna, dan besar anggaran yang diperlukan untuk investasi tersebut.

Potensi pasar listrik surya atap ini juga menunjukkan bahwa target energi surya di Indonesia dapat dicapai dengan mudah melalui pemanfaatan PLTS atap saja, tentunya dengan adanya kombinasi kebijakan dan regulasi yang mendukung, serta tersedianya informasi yang lengkap dan merata tentang PLTS atap, prosedur pemasangan, penyedia produk dan layanan pemasangan, hingga pilihan skema pembiayaan. 

Survei pasar IESR juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan periode balik modal kurang dari 5 tahun, yang sulit dicapai bila tarif net-metering yang dipakai masih 1:0,65 seperti aturan Permen ESDM No. 49/2018. Selain itu, kejelasan prosedur pemasangan di wilayah yang berbeda juga perlu diseragamkan sehingga pengguna PLTS atap tidak perlu menunggu hingga berbulan-bulan untuk mendapatkan kWh exim (export-import). Pemerintah perlu memperhatikan aspirasi masyarakat seperti ini sehingga ketertarikan mereka dapat didorong menjadi adopsi dan praktik.  

Kunjungi SolarHub Indonesia


Saksikan kembali siaran tundanya di sini:

Ekspor Batubara Menurun, Saatnya Transisi Energi

Hari ke-4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Energy transition in the power sector and its implications for the coal industry

Jakarta, 10 Desember 2020 – Negara tujuan ekspor batubara Indonesia di Asia mulai beralih menggunakan energi terbarukan. Menurut riset Institute for Essential Services Reform (IESR) industri batubara akan mengalami kerugian. Transisi energi menjadi satu-satunya jalan untuk mempersiapkan penurunan ekspor ke Asia.

Menurut Spesialis Data dan Informasi IESR, Deon Aprinaldo, negara tujuan ekspor batubara seperti Cina dan Jepang mulai berkomitmen pada zero carbon mulai 2025 hingga 2050. Kebijakan ini secara tidak langsung mempengaruhi permintaan ekspor batubara Indonesia. 

“Kecenderungan permintaan negara-negara itu menurun, sedangkan Jepang mulai beralih ke batubara kualitas tinggi. Di mana kalau Indonesia mau bersaing ke sana, akan bersaing dengan Amerika Serikat, Rusia dan Kanada,” kata Deon.

Di Asia Tenggara, permintaan ekspor batubara Indonesia masih tinggi. Akan tetapi, Vietnam yang berhasil meningkatkan transisi energi terbarukan kemungkinan akan dicontoh oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sehingga permintaan batu bara dari Asia Tenggara akan menurun di masa depan.

“Sementara itu, saat ini 27 GW dari pembangunan pembangkit listrik batubara masih dilakukan oleh pemerintah. Direktur PLN sendiri pada Agustus 2020 mengatakan saat ini PLTU memasang kontrol polusi untuk upaya penurunan karbon, akan tetapi menggunakan itu PLTU akan mengalami peningkatan biaya operasional,” kata Deon.

Staf Khusus Batu Bara dan Mineral Kementerian ESDM, Irwandy Arif mengatakan 2027 akan menjadi puncak penurunan permintaan batu bara di seluruh dunia. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia sebab saat ini pemerintah sedang menggunakan produk turunan batu bara untuk mengatasi defisit anggaran akibat impor LPG.

“Oleh karena itu saat ini kementerian ESDM sedang menyusun grand strategy komoditas penting energi terbarukan. phaseout-nya batubara itu sangat ditentukan oleh energi terbarukan dan kebijakan menyeluruh yang dirancang pemeintah,” kata Irwandy.Transisi energi juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan milik negara, misalnya PT Bukit Asam.

PTBA melakukan program green airport dengan membangun infrastruktur panel surya. Selain itu, mereka membangun panel surya di beberapa kabupaten.