Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia Tumpang Tindih

Hari ke- 4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Better energy system planning to transition the Indonesian power sector

Jakarta, 10 Desember 2020 – Iklim kebijakan energi terbarukan di Indonesia dinilai belum mendukung energi terbarukan. Para peneliti dan pakar melihat adanya tumpang tindih antara Rencana Umum Energi Negara (RUEN) dengan Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) yang dibuat oleh PT PLN. 

Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) Dr Surya Darma mengatakan pemerintah sudah rinci memaparkan upaya penurunan emisi karbon dalam RUEN. Namun, disisi lain, pemerintah masih menandatangani RUPTL PT PLN yang tidak sesuai dengan RUEN. “Ini adalah paradoks. Targetnya saja sudah tidak sesuai apalagi pencapaiannya?” kata Surya.

Menurut Surya, penetapan target yang tidak satu suara antara RUEN dan RUPTL akan terus menimbulkan kebijakan yang tumpang tindih dalam bidang energi terbarukan. Masih ada jeda 8 tahun bagi pemerintah untuk melakukan revisi RUEN. 

Namun apabila tidak memungkinkan satu-satunya cara adalah melakukan percepatan transisi energi untuk mengejar gap antara RUEN dan RUPTL. “Jika target energi terbarukan dalam RUEN itu 45,2 GW, maka skenario realisasi bisa mencapai 22,62 hingga 25 GW,” kata Surya. 

Selain RUEN dan RUPTL yang saling bertentangan, iklim kebijakan di Indonesia masih abu-abu soal siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap implementasi penerapan energi terbarukan di lapangan. Hal tersebut dipaparkan oleh akademisi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Pekik Argo Dahono. 

“Dalam implementasi RUEN itu belum jelas siapa yang akan bertanggung jawab, ini yang menyebabkan banyak kebijakan energi terbarukan yang tumpang tindih. Yang mengawasi tiap saat berbeda,” kata Pekik.

Pekik menilai revisi kebijakan terlalu memakan waktu. Maka yang bisa dilakukan adalah menepati target yang sudah ditulis dalam RUEN. Selain itu, pemberian insentif terhadap pengembangan energi terbarukan juga harus dibarengi dengan kesiapan sistem kelistrikan menerima energi terbarukan. Pekik mengatakan pemerintah harus menghindari ketidaksiapan sistem saat batu bara benar-benar dieliminasi dari sistem kelistrikan Indonesia.

Akselerasi Transisi Energi Harus Berkeadilan

Hari ke-4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 | #IETD2020 #TransisiEnergi

Strategi pengurangan emisi karbon dengan melakukan transisi energi terbarukan perlu mempertimbangkan semua aspek selain aspek energi. Tujuannya agar tercipta akselerasi transisi energi yang berkeadilan.

Oleh karena itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) menerbitkan satu seri laporan skenario struktur model transisi energi terbarukan untuk peta jalan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan perubahan kebijakan nasional tahun ini, struktur model transisi RUEN tidak akan mencapai target pengurangan emisi karbon di tahun 2025. “Transisi energi terbarukan hanya tercapai 15 persen,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Namun, jika menggunakan skenario penghentian PLTU pada 2029, Indonesia bisa menyumbang 24 GW energi terbarukan pada 2025 dan 408 GW pada 2050. Dengan menggunakan skenario struktur model tersebut, emisi Gas Rumah Kaca bisa turun sebanyak 700-750 juta ton karbon hingga 2050.

Dalam laporan tersebut, IESR juga memaparkan rekomendasi untuk mencapai angka dekarbonisasi tersebut. Pertama, dua sektor utama yang harus diprioritaskan untuk transisi adalah sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Pemerintah harus akselerasi bauran listrik di sektor transportasi dengan energi terbarukan, sedangkan dalam sektor ketenagalistrikan pemerintah harus melakukan moratorium PLTU baru.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman Hutajulu mengatakan pembatasan konsumsi batu bara pada PLTU harus diimbangi dengan upaya pemerintah mempertahankan tarif listrik terjangkau untuk masyarakat. “Batubara porsi konsumsinya besar dan itu yang membuat harga listrik tetap terjangkau, jika harga EBT bisa mendekati harga itu, kita bisa agresif transisi energi,” kata Jisman.

Jisman mengatakan untuk saat ini pemerintah sudah melakukan blending, yaitu menggunakan biofuel untuk pembangkit listrik. Jisman mengatakan 815 GW yang dihasilkan dalam proses blending berjalan dengan lancar. Hingga kini ada potensi 1,8 GW yang dihasilkan dari proses blending.

Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Dr. Deendarlianto mengatakan transisi batu bara menuju ke energi terbarukan harus dilakukan dengan perlahan. Berdasar survei PSE, Indonesia masih memerlukan penelitian dan pengembangan yang lebih masif. Dengan penelitian dan pengembangan yang terbatas, pembatasan batu bara akan mengganggu sistem kelistrikan negara.

“Impor akan besar, kemudian ekonomi terganggu. Kita bisa melakukan elektrifikasi pada kendaraan, tapi hanya bisa untuk kendaraan baru supaya investasinya tidak terlalu mahal. Menurut studi kami, mobil listrik yang bisa masuk ke Indonesia maksimal hanya 400.000 dan hanya bisa bertambah 2 persen tiap tahunnya,” kata Deen.

Tren Energi Terbarukan Global Meningkat, Indonesia Harus Bersiap!

Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 – Hari Ke 3 | #IETD2020 #TransisiEnergi

Jakarta, 9 Desember 2020 – Transisi energi mulai terjadi di seluruh dunia. Menurut data yang dihimpun oleh Bloomberg NEF, ada 10 juta bus listrik yang beredar di seluruh dunia dan jumlahnya terus meningkat.  Kepala Riset APAC Bloomberg NEF, Dr Ali Izadi mengatakan data peningkatan jumlah bus listrik itu berbanding lurus dengan kenaikan tren energi terbarukan di masa depan. 

“Pada 2050, energi terbarukan sinar matahari dan angin akan mendominasi dunia. Lima tahun ke depan, energi terbarukan sinar matahari dan angin mulai on track,” kata Ali. Oleh karena itu Ali mengatakan dalam enam bulan ini terjadi perubahan pasar energi di dunia yang begitu pesat. Negara-negara di seluruh dunia harus melakukan transisi energi mulai saat ini.

Peningkatan tren minat dunia pada energi terbarukan berdampak pada permintaan batu bara di Indonesia. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia, Hendra Sinadia, mengatakan saat ini permintaan ekspor batu bara Indonesia masih menjanjikan di Asia Tenggara dan Asia Timur. Namun, pada 2019, permintaan itu sudah mencapai puncaknya.

“18 persen ekspor batu bara kita pergi ke Cina dan India. Kemudian 30 persen diekspor ke Taiwan, Thailand dan Jepang. Kita tetap akan menandatangani kerjasama ekspor dengan Cina untuk menjaga hubungan baik dengan negara itu. Akan tetapi pada 2019 permintaan batu bara sudah klimaks, akan ada penurunan pelan-pelan ke depannya, memang harus transisi energi terbarukan,” kata Hendra.

Saat ini Indonesia sudah mulai melakukan transisi energi terbarukan melalui PT PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fase pertama transisi diesel ke energi terbarukan dilakukan di 200 titik dengan total kapasitas 225 MW. 

Direktur Mega Proyek PLN, M Ikhsan Asaad mengatakan untuk mendukung fase pertama transisi, PLN tidak hanya melakukan dekarbonisasi, namun juga digitalisasi. “Smart grid, smart meter, smart home. Kemudian kami juga mengadakan storage terdistribusi. Pertamina, PLN, Antam juga berkolaborasi berupaya mengembangkan industri batu baterai di indonesia,” kata Ikhsan.

Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat ini Indonesia memiliki surplus energi sebesar 3500 MW, dari surplus tersebut masyarakat menggunakan energi sebesar 1000 MW. “Dari penggunaan itu 60 persennya masih batubara dan 15 persen gas alam,” kata Budi.

Di sisi lain, saat ini Indonesia masih melakukan ekspor batu bara murah ke luar negeri dan memberi subsidi pada konsumsi LPG sebesar 40 triliun. Menurut Budi, seharusnya 10 triliun dari anggaran pemerintah bisa digunakan sebagai biaya riset dan pengembangan energi terbarukan. 

Akan tetapi, dalam implementasinya, Indonesia tidak bisa meniru mentah-mentah strategi transisi energi terbarukan yang dilakukan oleh negara lain. “Tidak bisa mentah-mentah karena kita negara kepulauan. Harus memikirkan bagaimana energi itu tidak hanya terdistribusi tapi terkoneksi dari satu pulau ke pulau lain,” kata Budi.

Faisal Basri, anggota Indonesia Circular Economy Forum mengatakan, selain ketersediaan, pemerintah juga harus mewujudkan keterjangkauan energi terbarukan untuk masyarakat. Untuk itu pemerintah harus menyediakan subsidi energi terbarukan daripada subsidi bahan bakar fosil. 

Dalam hal ini, Faisal menilai pemerintah masih belum satu suara dengan BUMN seperti Pertamina. Faisal mengatakan di tengah pandemi, pemerintah memberikan peningkatan fasilitas untuk energi berbasis fosil. Apalagi dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, banyak pasal yang justru menguntungkan mekanisme harga dalam industri batu bara.

“Contohnya ketika pertamina launching ide mengeliminasi 88 ton karbon dengan pertalite. Tapi pertalite ini harganya sama dengan premium. Pemerintah tidak mengatakan apa apa. Pemerintah masih alokasi subsidi untuk premium. Pertamina lebih progresif daripada pemerintah,” kata Faisal.

Faisal mengatakan untuk mewujudkan transisi energi terbarukan, pemerintah perlu mendukung industri energi terbarukan dengan kebijakan di bidang infrastruktur energi terbarukan, subsidi energi terbarukan dan mekanisme harga energi terbarukan.

Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan transisi energi secara global sudah terjadi dan tidak terelakan. Bagi BUMN energi di Indonesia, penting untuk dapat bertahan di era transisi energi ini dengan melakukan transformasi bisnis dan melakukan inovasi-inovasi. 

“Di sektor kelistrikan, pemerintah perlu merancang perubahan struktur industri kelistrikan dan penetapan tarif listrik yang merefleksikan biaya produksi marginal jangka panjang (long term marginal cost),” kata Fabby. 

PLN perlu mengintegrasikan sistem penyediaan energi terdistribusi dan memperkuat konsumen. Dengan begitu, konsumen dapat menjadi produsen energi dan membantu PLN mengatasi kebutuhan investasi penyediaan energi yang membutuhkan investasi $25 milyar per tahun menurut IEA (2020) untuk mengakselerasi transisi energi.

“Tantangan bagi pemerintah adalah membuat peta jalan, merencanakan, dan mengelola proses transisi ini mengingat aset infrastruktur fossil fuels yg dimiliki BUMN sangat besar. Tidak banyak waktu tersisa, maksimal 5 tahun untuk menghindari BUMN energi seperti PLN menanggung kerugian finansial karena aset PLTU-nya tidak kompetitif terhadap teknologi pembangkit listrik surya dan storage,” kata Fabby.

 

Komitmen Pemerintah Daerah Jadi Kunci Transisi Energi Terbarukan

Jakarta, 8 Desember 2020 – Banyak daerah di Indonesia menyimpan banyak potensi energi terbarukan yang belum diolah secara optimal. Oleh karena itu selain kebijakan yang berpihak pada energi terbarukan, kepemimpinan pemimpin daerah menjadi kunci penting untuk mengolah potensi energi terbarukan.

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan NTT memiliki potensi energi terbarukan dari sinar matahari sebanyak 60.000 MW. Namun hanya 100 MW yang berhasil dimanfaatkan oleh masyarakat. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mengharapkan adanya kolaborasi dengan pemerintah pusat dan PLN untuk melakukan langkah konkrit.

“Tidak ada pilihan lain, kita harus transisi menuju energi terbarukan, sebab ini berpengaruh ke sektor lain. Contohnya saat kita produksi seaweed [rumput laut], itu ditolak oleh perusahaan Eropa karena belum 100 persen diproduksi menggunakan energi terbarukan. Artinya minat dunia sudah ke energi terbarukan, kita tidak ada pilihan selain transisi,” kata Viktor dalam diskusi panel The 3rd Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2020, Selasa (08/12/2020).

.

Indonesia juga memiliki budaya kemasyarakatan yang luar biasa. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memanfaatkan gerakan masyarakat di desa untuk turut berpartisipasi membangun Desa Mandiri Energi. Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko mengatakan masyarakat di desa mandiri energi memanfaatkan energi sinar matahari, biomassa, aliran air dan biodigester untuk pembangkit listrik.

Wakil Bupati Musi Banyuasin Sumatera Selatan, Beni Hernedi mengatakan beberapa masyarakat di seluruh kabupaten Sumatera Selatan kini mulai memanfaatkan biomass untuk bahan bakar pembangkit listrik. Namun program-program pemerintah daerah untuk mengoptimalkan bauran energi butuh dukungan dari pemerintah pusat dan PLN selaku penyedia listrik utama.

Provinsi Bali juga membutuhkan dukungan pemerintah pusat untuk kolaborasi smart grid energi terbarukan dengan grid lama. Menurut IGW Samsi Gunarta selaku Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, dukungan ini dibutuhkan untuk mendukung pemanfaatan kendaraan listrik yang mulai diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi. “Selain itu tidak mungkin kita produksi terus tetapi tidak digunakan. Selain produksi, penggunaannya juga harus dipikirkan,” kata Samsi.

Provinsi Chungnam, Korea Selatan menjadi contoh bahwa keberhasilan pemimpin daerah menjadi kunci keberhasilan provinsi untuk mengarahkan masyarakat melakukan transisi energi. Gubernur Chungnam, Yang Seung Jo melakukan komitmen dengan 300 organisasi masyarakat untuk mengeliminasi emisi karbon. Harapannya Indonesia bisa mencontoh langkah Chungnam yang bekerjasama dengan masyarakat, yang disampaikan dalam pidatonya di hari kedua dalam perhelatan IETD 2020.

Simak pidato lengkap dari Gubernur Yang Seung Jo, yang disampaikan dalam rangkaian IETD 2020 hari ke 2 berikut ini:

Green Jobs menjadi Jawaban Bangkitnya Ekonomi Pasca Krisis Covid-19

Green Job menjadi Jawaban Bangkitnya Ekonomi Pasca Krisis Covid-19

Jakarta, 3 Desember 2020 – Kontraksi ekonomi yang kuat akibat Pandemi Covid-19, membuat banyak negara, termasuk G20, menyalurkan stimulus untuk menyelamatkan perekonomiannya. Meski belum sebesar dukungan terhadap sektor energi fosil, sebanyak 17 negara anggota G20 (selain Meksiko, Rusia, dan Arab Saudi) memberikan beberapa sokongan bagi industri hijau, dengan fokus utama pada peningkatan kapasitas energi terbarukan dan transportasi rendah emisi.

Pemulihan hijau juga menjadi  rekomendasi Climate Transparency Report 2020 agar penurunan emisi CO2 dapat berkelanjutan.

Climate Transparency Report (sebelumnya dikenal sebagai “Laporan Brown to Green”) adalah tinjauan tahunan paling komprehensif di dunia atas tindakan iklim negara-negara G20 dan transisinya menuju ekonomi yang netral karbon. Climate Transparency merupakan kemitraan global dari 14 lembaga think tank dan LSM dari sebagian besar negara G20 yang mendapat dukungan dari Kementerian Federal Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir, Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia atau BMU Jerman.

“Pemulihan ekonomi pasca Covid-19 merupakan saat yang tepat bagi Indonesia untuk bertransformasi ke ekonomi rendah karbon. Indonesia memiliki kesempatan untuk menyelaraskan respon ekonomi dengan strategi dekarbonisasi jangka panjang, “ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada peluncuran Laporan Transparansi Iklim 2020.

Menurut Fabby, daripada mendukung industri bahan bakar fosil, paket stimulus ekonomi jika diarahkan dengan tepat dapat menyediakan dana untuk memulai transisi energi.

“Pemulihan hijau  menyediakan peluang yang baik secara global untuk menghasilkan pekerjaan yang sesuai dengan inisiatif hijau misalnya pada tenaga surya dibandingkan dengan energi fosil. Generasi muda harus mulai mempertimbangkan dan mengambil peluang dalam pekerjaan ramah lingkungan (green job),” jelasnya.

Andhyta Firselly Utami, Ekonom Lingkungan dan salah satu pendiri Think Policy Society, dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa sektor yang dapat menciptakan lebih banyak pekerjaan cenderung berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Andhyta atau yang akrab disapa dengan Afu ini menjelaskan tentang konsep pekerjaan hijau (green job) sesuai definisi ILO.

“Pekerjaan hijau berarti menghasilkan produk yang membantu menurunkan emisi, meningkatkan efisiensi proses secara umum dan rendah emisi serta layak ditinjau dari jam kerja dan kondisi lingkungan kerja,” jelasnya.

Sepakat dengan Afu, Gita Syahrani, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari, mengatakan bahwa apapun profesinya dapat berkontribusi terhadap pemulihan hijau.

“Sinergikan profesi yang sudah ada untuk terlibat dalam pemenuhan target perubahan iklim. Misalnya sebagai ahli bangunan, bisa membuat bangunan yang efisien secara energi,” jelasnya.

Melihat tren dunia yang mulai membuka kesempatan besar bagi pekerjaan hijau, Gita mengungkapkan tentang perlunya peningkatan kapasitas SDM lokal.

“Tanpa SDM lokal yang berdaya saing, mimpi kita (dalam berpartisipasi terhadap pekerjaan hijau) akan sulit terwujud. Kita membutuhkan riset dan pengembangan yang cukup kuat untuk mengelola sumber daya alam,” terangnya.

Gita mencontohkan, upaya masyarakat kabupaten untuk menjaga kawasan bakau agar tidak terbakar dengan menanam nanas harus pula dilengkapi dengan kemampuan untuk mengelola nanasnya.

“Misalnya, hasil pengolahan nanas berupa masker akan jauh lebih mahal harganya,” jelasnya.

Dari segi penciptaan lapangan kerja hijau, menurut Sean Nino L, pendiri & CEO Eco-Mantra, Indonesia mempunyai potensi yang besar.

“Indonesia mempunyai banyak pulau dengan sinar matahari untuk menghasilkan listrik melalui tenaga surya,” tukasnya.

Ia pun berbagi tentang pengalamannya mengembangkan PLTS di hotel di Bali. Ia berhasil mengefisiensikan energi hingga separuhnya sehingga menghemat biaya operasional.

Menurutnya, tantangan terbesar dalam pengembangan pekerjaan hijau ialah kebijakan sering berubah.

“Di tahun 2016 saja, peraturan tentang tenaga surya bisa berubah hingga 4 kali,” ceritanya.

Hubungan pusat dan daerah dalam hal pembagian kewenangan menjadi tantangan lain yang disoroti oleh Gita.

“Sulit bila tidak ada payung dari nasional meskipun di daerah sudah semangat. Sebaiknya menggunakan pendekatan yuridis sehingga kebijakan nasional bisa diterjemahkan secara lebih spesifik di daerah dan lebih kontekstual,” jelasnya.

Lebih jauh, menurut Gita, pemerintah seringkali menyusun rencana pembangunan dan tata ruang, namun abai dalam menyusun rencana penanaman modal. Padahal hal ini penting untuk sinkronkan dengan visi pembangunan rendah karbon.

Direktur Ketenagakerjaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Mahatmi Parwitasari Saronto menuturkan tantangan lain dalam mewujudkan pemulihan hijau adalah penyiapan SDM untuk implementasi pekerjaan hijau.

“Tren saat ini green job menjadi potensi besar. Kita tidak bisa menafikan, karena negara lain sudah lari di green job. Kita sudah ketinggalan,”ungkap Mahatmi yang akrab disapa Ami ini.

Persoalannya, saat ini pihaknya belum memiliki kerangka kerja pekerjaan hijau, seperti berapa banyak permintaan untuk mendorong ekonomi hijau di Indonesia.

Ami mengusulkan strategi untuk mempercepat pemulihan hijau seperti meningkatkan kesadaraan masyarakat tentang pekerjaan hijau, mendorong stimulus untuk pengembangan ekonomi hijau, menyiapkan regulasi yang sesuai, mendorong lembaga vokasi untuk mengadopsi prinsip keberlanjutan, dan mendorong perusahaan untuk turut serta dalam penciptaan lapangan kerja di pekerjaan hijau.

“Bappenas siap dan berpedoman pada kebijakan pembangunan rendah karbon yang diadopsi pemerintah. Saat ini ekonomi hijau masuk ke dalam strategi kebijakan vokasi pemerintah yang sedang kami susun,”tutupnya. (US/Gb/LW).

Pemulihan Hijau Perlu Diterapkan Dalam Upaya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Pasca Pandemi

Climate Transparency Report 2020 Launch and Virtual Discussion “Just Transition to a Low Carbon Economy: Accelerating Indonesia’s Recovery and Green Economic Growth”
Session 1: Panel Discussion on “Just Transition to a Low Carbon Economy: “Accelerating Indonesia’s Recovery and Green Economic Growth”

 

Jakarta, 3 Desember 2020 – “Semua negara, secara global, termasuk negara G20 tengah menghadapi darurat kesehatan dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun dunia juga tetap harus fokus melawan musuh dengan kekuatan penghancur yang lebih besar, yakni perubahan iklim,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya membuka peluncuran Laporan Transparansi Iklim 2020 (Climate Transparency Report 2020) secara daring.

Laporan Transparansi Iklim (sebelumnya dikenal sebagai “Laporan Brown to Green“) adalah tinjauan tahunan paling komprehensif di dunia atas tindakan iklim negara-negara G20 dan transisinya menuju ekonomi yang netral karbon. Transparansi Iklim merupakan kemitraan global dari 14 lembaga think tank dan LSM dari sebagian besar negara G20 yang mendapat dukungan dari Kementerian Federal Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir, Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia atau BMU Jerman.

Laporan tahun ini menganalisis kinerja negara-negara G20 di 100 indikator adaptasi iklim, mitigasi, dan sektor finansial. Tahun ini, Laporan Transparansi Iklim memuat pula respon pemerintah G20 terhadap krisis Covid-19 serta data dan proyeksi emisi terbaru untuk tahun 2020.

Lebih jauh, Fabby menuturkan negara G20, yang mewakili 75% emisi gas rumah kaca global, harus segera mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi pandemi dan perubahan iklim. Hal ini untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris agar tidak terjadi kenaikan suhu global diatas 1,5-20C yang berakibat pada bencana alam, kelaparan, kemiskinan dan gelombang pengangguran.

Demi mempertajam ambisi mitigasi iklim, di tahun 2020, semua negara yang ikut menandatangani Perjanjian Paris diminta untuk memperbaharui target iklim Nationally Determined Contributions (NDC) nya. Namun, Indonesia telah menyatakan tidak akan memperbaharui atau meningkatkan target NDC-nya karena masih harus fokus pada penanganan Covid-19 dan dampak dari resesi ekonomi di perekonomian Indonesia.

Ekonomi Indonesia memang mengalami kontraksi yang signifikan. Terlihat dari pertumbuhan ekonomi telah dua kali berturut-turut negatif di kuartal II (- 5.32%) dan di kuartal III (- 3.49%).  Pemerintah telah berupaya untuk keluar dari jurang resesi, diantaranya dengan memberikan stimulus perlindungan sosial dan stimulus untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) demi menggeliatkan kembali sektor perekonomian Indonesia yang utamanya ditopang oleh industri UMKM.

Selain itu, pada April 2020, Indonesia telah menetapkan anggaran di dalam APBN untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sebagian besar anggaran ini dialokasikan untuk perusahaan produsen bahan bakar fosil dibandingkan untuk investasi hijau. Hampir sekitar Rp 100 triliun dari hampir lebih Rp 327 triliun akan disalurkan untuk perusahaan milik negara, Pertamina (minyak) dan PLN (listrik). Pada pertengahan Juli 2020, pemerintah telah berkomitmen untuk menyalurkan dana sebesar USD 6,49 miliar yang mendukung energi bahan bakar fosil, sementara hanya sekitar USD 237,17 juta digunakan untuk mendukung energi bersih melalui kebijakan yang dikeluarkan sejak awal tahun 2020.

“Langkah yang tepat untuk pulih dari krisis kesehatan dan resesi ekonomi akibat Covid-19 ini adalah dengan melakukan investasi lebih besar ke arah energi terbarukan dan menerapkan pemulihan hijau (green recovery),” tukas Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR dalam pemaparannya mengenai temuan hasil Laporan Transparansi Iklim.

Status NDC Indonesia Sangat Tidak Mencukupi

Laporan Transparansi Iklim 2020 merekomendasikan lima Prinsip Pemulihan Ekonomi Hijau yakni, 1) Pemerintah negara anggota G20 dapat mengarahkan investasi ke infrastruktur yang berkelanjutan. 2) Investasi yang berbasis alam dan lingkungan. 3) Investasi pada pendidikan, pelatihan, dan pengembangan (litbang) industri ramah lingkungan. 4) Menyalurkan dana talangan bersyarat yang sejalan dengan komitmen iklim jangka panjang. 5) Negara anggota G20 dapat memperkuat kebijakan, peraturan, dan insentif untuk mendukung transisi yang berkelanjutan.

“Pemulihan hijau dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Juga sanggup menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan nilai ekonomi lokal, mampu meningkatkan keanekaragaman hayati dan lingkungan serta memberikan keamanan finansial dan manfaat fiskal. Keuntungan lainnya ialah meningkatkan akses dan keamanan energi,” urai Lisa.

Berdasarkan analisis Laporan Climate Transparency, Lisa menyayangkan target NDC Indonesia masih sangat tidak mencukupi (highly insufficient) untuk mengurangi 26 persen gas emisi rumah kaca di tahun 2025 dan 29 persen di tahun 2030.

“Penghasil emisi tertinggi berasal dari sektor industri (37%), menyusul bidang transportasi (27 %), dan sektor energi (27%). Sejauh ini ada beberapa hal positif yang sudah pemerintah lakukan. Kementerian ESDM telah mengeluarkan Permen No. 4 tahun 2020 untuk memperkuat daya saing energi terbarukan. Sementara, saat ini Perpres tentang energi terbarukan sedang menunggu persetujuan Presiden yang memuat peraturan tentang fit in tariff untuk energi terbarukan dengan kapasitas di bawah 5 MW,” jelas Lisa.

Namun dari laporan Climate Transparency ini  tetap mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah untuk melepaskan diri dari industri fosil dengan penghapusan bertahap penggunaan batubara, pembatasan biaya publik untuk bahan bakar fosil, peningkatan target energi terbarukan, penetapan kebijakan untuk memperkuat dan memperbaiki struktur bangunan yang ada, penetapan harga karbon dan penghijauan sektor keuangan.

Indonesia Menjadi ‘ Titik-panas’ Hotspot Pekerja Industri Hijau

Meresponi pemaparan hasil Laporan Climate Transparency, Kuki Soejachmoen, Pendiri Lembaga Penelitian Dekarbonisasi Indonesia pun menyadari bahwa penurunan emisi karbon tahun ini lebih banyak berasal karena pembatasan kegiatan dan mobilisasi untuk mencegah penularan Covid-19. Namun Kuki menekankan bahwa persoalan perubahan iklim ini bukanlah suatu fenomena yang tiba-tiba.

“Upaya pembatasan suhu global ini sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Sepatutnya kita sudah lebih bersiap menghadapinya,” tegasnya.

Ia berharap, kebijakan yang mempertimbangkan perubahan iklim juga bisa teraktualisasi di sistem keuangan di Indonesia.

Noor Syaifudin, Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal mengatakan bahwa pihaknya telah mengeluarkan kebijakan terkait insentif cuti  pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan atau tax holiday dan juga pengurangan pajak (tax allowance) bagi perusahaan, termasuk yang bergerak di energi terbarukan.

“Kami juga terus mendorong pihak swasta untuk terlibat dalam pendanaan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Sekarang kami sedang mendiskusikan kebijakan terkait harga karbon dan penyusunan kerangka fiskal perubahan iklim yang memuat strategi pemenuhan target NDC dan SDG,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, Cristina Martinez, International Labour Organization (ILO), Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok mendorong pemerintah Indonesia melakukan koordinasi kebijakan lintas kementerian serta memberikan dukungan stimulus.

“Terutama untuk mereformasi sistem pendidikan agar lebih bersaing dengan perkembangan energi terbarukan,” ujar Martinez.

“ILO memproyeksikan di tahun 2030 kawasan Asia Pasifik sebagai titik terpanas (hottest spot) untuk pekerjaan di sektor energi terbarukan di dunia. Terutama China, India dan Indonesia,” ungkapnya.

“Kesempatan kerja di industri ramah lingkungan atau industri hijau akan terbuka sangat lebar,” sambung Dessi Yuliana, Spesialis Investasi Hijau di Global Green Growth Institute (GGGI).

Dessi menjelaskan berdasarkan hasil kajian yang ia pelajari dari industri hijau akan tercipta lapangan pekerjaan sebanyak 2 hingga 5 kali lipat dibandingkan industri fosil.

“Untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan, sebenarnya Indonesia dapat menciptakan 7 juta pekerjaan di tahun 2030. Bandingkan dengan industri fosil yang hanya mampu menciptakan 3,9 juta lapangan kerja saja,” tandasnya.

Tentu saja, dampak menguntungkan selain memberikan pendapatan bagi para pekerja, juga menjawab masalah-masalah lingkungan seperti kekurangan air dengan restorasi gambut, dan penghijauan bakau.

Lucia Karina Direktur Public Affairs, Communications & Sustainability, Coca-Cola Amatil Indonesia menyebutkan bahwa investasi dalam bidang penelitian ramah lingkungan juga penting. Pihaknya dalam proses pendistribusian produk juga sudah berinovasi dalam sistem pendingin yang 2 kali lebih hemat energi.

Coca Cola Amatil, yang mempekerjakan lebih dari 9500 karyawan menargetkan penggunaan 60 persen energi terbarukan dalam mengoperasikan bisnisnya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sayangnya, banyak tantangan yang harus perusahaan hadapi dalam pembangunan PLTS ini.

“Semacam sulitnya mengurus perizinan dan birokrasi yang panjang serta investasi yang cukup mahal. Sebaiknya pemerintah harus segera memperbaiki ini sehingga industri tidak ragu dalam implementasi energi terbarukan sebagaimana negara lain di dunia sudah lakukan,” ungkapnya.

Secara umum, pemerintah Indonesia sepakat bahwa pemulihan ekonomi dan sosial Indonesia harus ditempatkan tepat dalam kerangka tujuan pembangunan berkelanjutan dengan penekanan bahwa tidak ada yang boleh tertinggal (no one left behind). Hal ini disampaikan oleh Agustaviano Sofjan, Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, pada kesempatan yang sama.

“Pada KTT G20 di bawah kepemimpinan Saudi Arabia, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pasca-pandemi Indonesia bercita-cita untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif, berkelanjutan dan tangguh. Presiden juga menekankan bahwa Indonesia akan melakukan transformasi besar dengan komitmen pada ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan,” ulasnya.

Agustaviano menambahkan bahwa beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memainkan peran strategis di percaturan internasional. Hal ini akan mendukung pemulihan sosial dan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.

“Kepresidenan Indonesia untuk G20 telah dipercepat dari sebelumnya tahun 2023 sekarang menjadi 2022. Mulai tahun 2021 kita juga akan menjadi anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Pada 2023 indonesia juga akan menjadi ketua ASEAN,”ujar Agustaviano.

Pemerintah berharap agar terjalin kerjasama yang baik antara parlemen, pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, seperti IESR dan juga media untuk mendorong pemulihan ekonomi Indonesia.

PLTS Atap Akan Genjot Pencapaian Target Energi Terbarukan di Sumatera Utara

Membuka pasar surya atap di sumatera utara

International Renewable Energy Agency (IRENA) melaporkan bahwa energi terbarukan (ET) terus mengalami kemajuan dengan penambahan kapasitas ET selama 8 tahun terakhir. Hal ini sejalan pula dengan perkembangan inovasi dan kompetisi teknologi ET yang membuat harga ET semakin murah dari pada energi fosil di 85% negara di dunia. Selain itu, dalam UN Climate Action Pathway for Energy, IRENA memetakan bahwa di tahun 2025 seluruh penambangan batubara di dunia akan mengalami penurunan drastis karena tidak ekonomis dibandingkan ET.

Gerakan massif peralihan energi fosil ke ET atau yang lebih dikenal sebagai transisi energi ini, disadari pula oleh Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan. Ia memaparkan perkembangan ET, khususnya energi surya, dalam acara daring Membuka Pasar Surya Atap di Sumatera Utara (Sumut). Acara ini diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sumut dalam melanjutkan kampanye Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yang genap berusia tiga tahun pada September lalu. Setelah Jawa Tengah yang berkomitmen sebagai provinsi surya, AESI kini mendorong Sumut untuk memberdayakan potensi ET untuk memenuhi kebutuhan energinya.

Harris menjelaskan bahwa Indonesia sedang dalam upaya mencapai target 23% bauran ET di tahun 2025, sementara realisasinya hingga kini hanya 10,9%.

“Salah satu cara potensial untuk mengejar ketertinggalan bauran ET adalah dengan implementasi PLTS. Dengan demikian, industri dalam negeri bisa bergeliat dengan adanya industri ET, khususnya tenaga surya, sehingga bisa membuka peluang kerja hijau dan terjadi penurunan emisi CO2,”ungkapnya.

Harris yakin PLTS akan berkembang semakin besar setelah rancangan Perpres mengenai ET ditandatangani presiden. Penyediaan PLTS tidak hanya pada PLN sebagai skala utilitasnya, tapi juga bisa digunakan untuk menggantikan pembangkit diesel.

“Kami merencanakan penggunaan ET untuk mensubstitusi pembangkit listrik tenaga diesel hingga 2.600 MW, baik dengan energi surya maupun biomassa,” jelas Harris.

Irwansyah Putra, General Manager PLN Unit Induk Wilayah Sumatera Utara yang turut hadir dalam diskusi mengemukakan bahwa pihaknya mendukung penuh kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan PLTS di Sumut.

“PLN mendukung penggunaan PLTS untuk digunakan di Sumatera Utara baik PLTS Atap ataupun PLTS komunal, baik on-grid maupun off-grid. Baik non-pelanggan PLN seperti desa yang belum berlistrik ataupun pelanggan PLN yang sudah ada dengan mengacu pada regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.”

Irwansyah menuturkan bahwa PLN Sumut pun berencana untuk mengevaluasi program desentralisasi untuk wilayah kepulauan (desa-desa berlistrik) agar menggunakan PLTS Atap dalam waktu dekat.

Dalam kesempatan yang sama, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menggaris bawahi besarnya potensi energi surya di Indonesia berdasarkan hasil studi IESR.

“Melihat kapasitas lahan yang ada, potensi pemasangan PLTS secara ground mounting (lahan terbuka) bisa mencapai 9.000 GWp dengan potensi pembangkitannya hingga 13 ribu TWh/tahun. Dengan potensi sebesar ini, Indonesia dapat memenuhi 100% kebutuhan energinya dari energi surya, sebenarnya. Potensi PLTS Atap di bangunan rumah saja mencapai 655 GWp,”tukasnya.

Ia juga menjabarkan potensi teknis PLTS Atap di Sumut yakni 10,2-34,6 GWp untuk bangunan rumah. Sedangkan bila merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang mendorong aplikasi PLTS Atap di kantor pemerintahan, bupati dan walikota, maka Sumut memiliki potensi mencapai 9 MWp.

Dinas ESDM Sumut, yang diwakili oleh Karlo Purba, Kepala Bidang Kelistrikan, memaparkan pihaknya mulai menerapkan strategi pemanfaatan PLTS Atap seperti yang tercantum dalam rancangan RUED-P (Rencana Umum Energi Daerah Provinsi)) yakni dengan mewajibkan pemanfaatan sel surya minimum sebesar 30% gedung pemerintah, serta 25% bagi komplek rumah mewah dan apartemen dan berharap dapat meningkatkan minat masyarakat dan kelompok komersial serta industri.

Sementara itu, dalam diskusi yang sama, tiga pengembang PLTS Atap yakni SUN Energy, PT Engie Indonesia, dan PT ATW Solar Indonesia menawarkan berbagai model pembayaran yang menarik dalam pemasangan panel surya.

“Yang menjadi primadona adalah skema performance-based rating. Pelanggan tidak perlu mengeluarkan sepeserpun untuk investasi awal surya atap. Bahkan, sistem surya atap akan menjadi milik pelanggan sepenuhnya setelah kontrak berakhir,” jelas I Made Aditya Suryawidya, Head of Business Solution SUN Energy.

Hingga Oktober 2020, terdapat 2.556 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS Atap dengan total kapasitas terpasang 18,2 MW.


Saksikan kembali siaran tundanya:

Kesempatan Besar Kembangkan Startup Energi Terbarukan

Financing Sustainable Energy Startup to Promote Climate Justice

Jakarta, 11 November 2020 – Di tengah pandemik COVID-19 yang menerjang kuat perekonomian negara di dunia, International Energy Agency (IEA) melaporkan bahwa energi terbarukan (ET), terutama di bidang kelistrikan, terus berkembang dibandingkan energi fosil lainnya.  Bahkan, IEA optimis bahwa di tahun 2025, energi terbarukan akan menjadi sumber pembangkit listrik terbesar di dunia dengan memasok sepertiga listrik dunia.

Perkembangan energi terbarukan yang menjanjikan ini sejalan dengan semangat dunia dalam memenuhi Kesepakatan Paris untuk mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari 2 derajat Celcius. Krisis iklim (climate crisis) yang merupakan tantangan lingkungan di tingkat global mensyaratkan penanganan dan aksi bersama untuk menghindari dampak pada semua sektor dan semua kalangan. Setiap kelompok masyarakat berhak atas lingkungan yang bersih, asri, dan sehat, udara yang bersih, dan peluang peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup yang layak, sehingga paradigma climate justice menjadi penting.

Tren transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan dalam agenda penanganan krisis iklim ini tentu saja semakin membuka lebar untuk merintis perusahaan atau entitas bisnis yang bergerak di bidang ET. Partisipasi inklusif semua pihak, termasuk komunitas dan kelompok pemuda di berbagai level diperlukan untuk memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat menjangkau semua pihak.

Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Friedrich Naumann-Stiftung for Freedom (FNF) menggelar diskusi dari berjudul Financing Sustainable Energy Start up to Promote Climate Justice untuk membangun jejaring bagi angkatan muda yang berminat untuk mengembangkan usaha ET. Hadir sebagai pembicara adalah Khoiria Oktaviani, Manajer Komunikasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Aditya Mulya Pratama, Program Manager, New Energy Nexus, Yulia Safitri, Founder Pendulum, dan Dodiet Prasetyo, CEO Bumdesma Banyumas dengan Athariq Dias Muyasar, Vice President, Society of Renewable Energy (SRE) ITS sebagai moderator diskusi.

Khoiria Oktaviani mengungkapkan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan gas rumah kaca sebesar 29% dari business as usual (BAU) pada 2030 dan 41% dengan bantuan internasional. Indonesia mempunyai target bauran ET sebesar 23% di 2025, namun, hingga saat ini baru mencapai 9%.

Menurutnya, kesempatan mengembangan usaha di bidang ET sangat besar, terutama karena Indonesia mempunyai potensi yang besar di ET. “Indonesia punya potensi ET mencapai 400 GW, tapi yang dimanfaatkan baru 10 GW (2,5%)”, ungkapnya.

Khoiria mengundang para pemuda Indonesia untuk terlibat dalam pengembangan startup ET. Ia menjabarkan bahwa sejak 2018, Kementerian ESDM 2018 mengambil peran lebih aktif sebagai pusat penghubung beragam pemangku kepentingan untuk mendorong pemanfaatan ET.

“Kami menyediakan akses kepada ide, inovasi, proyek pilot dan semi komersial, dan menghubungkan startup dengan pemerintah, asosiasi, atau pemberi dana atau pengembangan kapasitas di bidang energi,” jelasnya.

Ia memandang, saat ini sangat mudah untuk mendapatkan pembiayaan usaha di bidang ET. Hanya saja, Khoiria mengingatkan untuk para startup untuk memastikan produk mereka tidak hanya inovatif, tapi juga aplikatif bagi masyarakat. Hal ini akan membuat produk bisa bertahan lama dan berkelanjutan karena menjawab permasalahan masyarakat. Selain itu, ia menghimbau perintis usaha ET untuk mengenali pasar dan mengembangkan produknya.

“Jadi, kita tidak berhenti di satu produk saja. Bila pola konsumsi masyarakat berubah, maka kita pun harus berubah. Penting pula untuk melakukan promosi produk kita dan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak,” jelasnya.

Kolaborasi ini pula yang Dodiet rasakan dalam upaya mengembangkan ET di desa dampingannya. Sebagai penyedia jasa konsolidasi bagi 25 Bumdes di Banyumas, ia merasa terbantu saat masyarakat desa menemukan potensi air sungai, ada pihak yang melakukan studi kelayakan untuk pengembangan listrik ET di desa.

Meski Dodiet menemukan tantangan untuk mengembangkan ET di desa, misalnya seperti kontur desa yang sulit atau sumber ET yang tidak merata, namun ia yakin masyarakat desa dapat berkompetisi dan berinovasi sehingga bisa menjadi desa yang mandiri energi.

Di lain pihak, Aditya menemukan dari hasil pendampingannya kepada para startup ET, ternyata banyak bentuk proyek startupnya masih berupa ide. Ia melalui New Energy Nexus melakukan pendampingan agar mereka bisa berkembang dengan mempertemukan kelompok startup dengan para mentor, meningkatkan kapasitas mereka di bidang finansial, promosi, pembangunan website dan lainnya.

Salah satu proyek dampingan New Energy Nexus, Yulia dari Pendulum, membagikan kisahnya saat membangun startup yang berfokus pada ET gelombang laut. Dia membutuhkan waktu 3 tahun untuk menuangkan idenya menjadi sesuatu yang nyata.

Lulusan ITS ini berusaha mengatasi permasalahan nelayan bagan dalam memenuhi kebutuhan bahan bakarnya selama melaut. Nelayan bagan adalah nelayan yang menggunakan bagan sebagai alat tangkap yang tersusun dari bambu yang ditancapkan ke dasar laut, sementara wadah bagian atasnya dilengkapi generator dan gas untuk menyalakan lampu. Lampu inilah yang menarik ikan masuk ke dalam jaring. Para nelayan bagan ini membutuhkan setidaknya 4,5 kg gas untuk menjaga lampunya tetap menyala. Disamping harganya yang mahal, mereka juga harus mengantri untuk mendapatkan bahan bakar tersebut. Selain itu, mereka kewalahan untuk melakukan perawatan sistem listrik di tengah laut.

Pengembangan energi gelombang laut ini akan membuat nelayan tidak khawatir kebutuhan energinya karena bisa langsung tersedia dari gelombang laut.

Yulia merasa saat ini akan lebih mudah bagi anak muda dalam mendirikan startup karena ekosistem yang mendukung perkembangan ET sudah terbentuk. Para panelis sepakat bahwa untuk menjaga agar startup bisa lebih maju bertahan lama, perlu adanya perjanjian yang mengikat bagi setiap orang yang terlibat dalam membangun startup dan membangun jejaring yang lebih luas dengan diversifikasi keahlian serta dukungan kebijakan yang menguntungkan ET dari pemerintah.


Saksikan kembali siaran tundanya:

Materi presentasi

201111 Bahan Paparan IESR_Climate Justice

Unduh

NEW ENERGY NEXUS - Explainer

Unduh

Webinar_IESR_Bumdesma Banyumas.pptx

Unduh

 

Anggota DEN Baru Harus Tunjukkan Keberpihakan pada Energi Terbarukan dan Peningkatan Kualitas Akses Energi

Dengar pendapat publik : Harapan Terhadap Calon Anggota Dewan Negeri Nasional (DEN) periode 2020-2024

Jakarta, 9 November 2020 – Dewan Energi Nasional (DEN) memegang peranan penting dalam merancang dan merumuskan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Salah satu target KEN dalam Perpres No. 22 tahun 2017 adalah pemanfaatan energi terbarukan (ET) mencapai 23% dari bauran energi primer nasional pada tahun 2025. Faktanya, hingga kini bauran EBT yang tercapai hanya 9 %. Hal ini harus menjadi fokus perhatian bagi para calon anggota DEN, yang saat ini masih dalam proses seleksi, untuk memastikan tercapainya target tersebut dan melakukan koordinasi yang holistik dalam hal penyediaan maupun pemanfaatan energi yang berkeadilan.

Menjelang proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang akan dilakukan oleh Komisi VII DPR kepada para calon anggota DEN, Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan diskusi daring untuk mendengar harapan berbagai kalangan terhadap calon anggota DEN periode 2020-2024 ini. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR memandu perwakilan beberapa kelompok masyarakat untuk mengemukakan pandangannya, yaitu Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Habib Azizi, President Society of Renewable Energy, ITS, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, La Ode M. Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan dan Wakil Ketua KPK 2015 – 2019, Farhan Helmy, Principal Thamrin School dan Berly Martawardaya Direktur Riset di INDEF yang juga dosen FEB UI. Hadir pula Sekretaris Jenderal DEN, Djoko Siswanto untuk memaparkan proses seleksi calon anggota DEN tersebut.

“Sejak 13 Maret 2020, proses seleksi calon anggota DEN telah dimulai dan akan melakukan fit dan proper test pada 10 – 12 November 2020,” paparnya.

Ia menjelaskan bahwa ada 47 orang calon anggota DEN yang mendaftar. Mereka berasal dari kalangan akademisi, industri, konsumen, lingkungan hidup dan teknologi. Melalui proses assessment awal, 30 orang lulus ke tahap berikutnya. Selanjutnya, dari 30 nama, presiden memilih 16 orang. Kemudian, Komisi VII mengumumkan 16 nama tersebut ke publik sehingga masyarakat dapat memberikan pendapatnya sebelum mereka mengikuti fit dan proper test. Hasil uji kelayakan dan kepatutan tersebut akan menentukan 8 anggota baru DEN yang kepadanya para penggerak lingkungan, aktivis ekonomi dan masyarakat melekatkan harapan.

Farhan Helmy berharap anggota DEN yang terpilih akan melihat dinamika energi tidak hanya di tingkat nasional namun juga internasional. Mengingat dunia sudah bergegas menyiapkan langkah konkret untuk memenuhi Kesepakatan Paris, yakni menjaga agar suhu bumi tidak lebih dari 2oC dengan beralih ke energi terbarukan, maka Indonesia perlu menunjukkan langkah nyata komitmen iklimnya.

“DEN penting mengambil peran dan leadership sebagai prime mover dalam melakukan transformasi. Bila perlu RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) dibongkar karena perkembangan dinamika energi dunia. Kita hanya punya 10 tahun untuk menentukan agar dunia tidak hancur karena kenaikan suhu global, sehingga kebijakan harus dibicarakan secara terbuka. Anggota DEN perlu membuka diri untuk mendialogkan kepada semua pihak.”

Farhan meminta DEN untuk menyiapkan wadah dalam civic engagement dengan mengembangkan naratif yang tidak retorik tapi berbasis bukti.

Urgensi pemanfaatan ET juga menjadi perhatian Berly Martawardaya, Direktur Riset di INDEF dan dosen FEB UI. Ia mendesak DEN untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam pemanfaatan ET dibanding negara ASEAN lainnya. Salah satu cara yang DEN bisa lakukan adalah dengan mendorong kebijakan tarif yang menarik, misalnya dalam rancangan Perpres harga energi terbarukan yang menggunakan instrumen feed-in-tariff (FiT).

“Saat ini harga ET dipatok maksimal 85% dari harga pembangkitan listrik nasional yang dominan energi fosil. Ini harus diubah, harus lebih mahal sedikit menjadi 115-125% dari energi fosil. Jika susah, maka perlu tambahan dana khusus, net present value tetap tapi diberikan FiT tinggi di awal. Ini penting mengingat biaya modal untuk pembangkit ET cukup besar namun memiliki biaya operasional yang minimal,”ujarnya.

Tidak hanya itu, menurutnya PLN harus diberi suntikan modal khusus untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%. Selanjutnya, jika ET sudah mulai tumbuh, maka instalasi selanjutnya bisa mendapatkan green financing lewat perbankan atau internasional.

Melihat tren perkembangan teknologi ET di dunia, Berly juga meminta DEN menunda pengembangan PLT fosil, khususnya batubara, yang kontraknya 20-30 tahun, sebab harga listrik ET akan lebih murah di 2023/2024.
“Selain merevisi UU Minerba, DEN juga seharusnya mewajibkan lembaga pemerintah ganti lampu LED dan menggunakan PLTS Atap,” tukasnya.

Menurut Berly, DEN perlu membuat kebijakan yang mengatur mengenai pemberian pinjaman lunak bagi masyarakat yang menggunakan PLTS Atap dan mempermudah proses pembangunan dan penjualan listrik off grid ke masyarakat, terlebih ke masyarakat kecil dan terpencil.

Dari sisi konsumen energi, Tulus Abadi menuntut agar DEN mengawal kebijakan energi pemerintah agar tetap konsisten sehingga tidak merugikan konsumen. Ia menganggap definisi elektrifikasi masih menimbulkan kerancuan. Menurutnya tidak adil bila hanya karena 1 rumah di desa dialiri listrik, maka secara otomatis desa tersebut disebut desa berlistrik.

“Pemerintah harus menyediakan akses energi kepada masyarakat dengan standar keekonomian masyarakat. Saat ini kualitas listrik masih jauh dari memadai. Di luar Jawa-Bali, keluhan pemadaman akibat sistem masih banyak terjadi. Selain itu, pengetahuan konsumen terhadap energi sangat rendah, hanya terbatas pada hemat listrik berarti mati lampu. Saya harap DEN bisa menindaklanjuti hal ini dan berkoordinasi dengan lembaga terkait,”tegasnya.
WALHI melalui Nur Hidayati menyoroti permasalahan energi mulai dari penyediaan, produksi, distribusi dan transportasi energi.

“Ada 3 masalah imperatif yang ditimbulkan penyediaan energi di Indonesia saat ini, pertama, krisis ekologis dan krisis iklim terutama yang dihasilkan dari proses ekstraksi, produksi dan transportasi energi fosil. Kedua, inequality,kemiskinan justru terjadi pada masyarakat di wilayah ekstraksi. Mereka secara langsung terkena dampak kesehatan dari proses penambangan energi. Ketiga, konflik agraria karena ketidakjelasan tenurial pada proses penyediaan energi yang menyulut konflik,” ungkapnya.

Hidayati berharap, ke depannya, pada masa transisi energi ini, anggota DEN yang baru tidak hanya melihat transisi energi sebagai peralihan jenis sumber energi tapi juga peka terhadap proses penyediaan energi dan pendistribusiannya.
Senada dengan Hidayati, Mieke Verawati menyoal krisis keterlibatan perempuan dalam bidang energi. Padahal menurutnya, dampak buruk eksplorasi energi menyasar perempuan juga. Selama ini, ia melihat perempuan hanya diposisikan sebagai konsumen energi semata.

“Saya mendorong DEN menggunakan prinsip afirmatif untuk menampung aspirasi setiap kelompok masyarakat, termasuk perempuan, sehingga dalam proses penyediaan energi juga memikirkan kepentingan perempuan. Selain itu, DEN perlu melihat upaya inisiatif berbasis komunitas di mana perempuan berperan penting dalam menyediakan sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan,” tandasnya.

Tidak hanya perempuan, mahasiswa juga ingin mendapatkan peran lebih dalam pemanfaatan ET. Hal ini diungkapkan oleh Habib Azizi. Berdasarkan hasil survei SRE yang dilakukan ke lebih dari 12 universitas, ia menjabarkan bahwa proses desentralisasi untuk mendukung ET dan elektrifikasi di Indonesia belum berjalan. Ia juga melihat inkubasi ide mahasiswa terkait pengembangan ET juga masih kurang progresif. Sementara untuk menghadapi gerak dunia ke arah energi terbarukan, menurutnya kualitas SDM masih rendah karena kurikulum pendidikan belum mendukung pengembangan SDM untuk kemajuan ET.

“Saya berharap DEN mampu meningkatkan kekuatan di hilir sektor energi secara mandiri, menciptakan SDM yang siap untuk ET, melakukan mediasi pelaku industri untuk sumber energi ramah lingkungan, serta merealisasikan ide mahasiswa terhadap sektor energi di Indonesia,” katanya.

Laode M Syarif yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KPK 2015 – 2019 meminta DEN memahami konteks energi di Indonesia dan serius menunjukkan keberpihakannya pada ET.
“Energi salah satu sektor yang paling korup di Indonesia karena yang paham tentang energi itu sedikit sementara pemain lama yang mendominasi,” ungkapnya.

Ia membeberkan bahwa tata kelola proyek energi nasional menjadi permasalahan yang serius.

“Ada 34 proyek besar energi fosil yang mangkrak, salah satunya PLTU Maluku berkapasitas 30 MW. Minimalkan kerugian negara. Begitu pula dengan pembangkit ET yang tata kelolanya sama parahnya dengan fosil. Di tahun 2018 ada 68 pembangkit berbasis ET mangkrak,” paparnya.

Syarif juga mengulas UU Minerba baru tidak menjawab berbagai masalah seperti masalah lingkungan, keadilan pusat daerah, kepatuhan pembayaran pajak/royalti, korupsi, keberlanjutan ekonomi daerah tambang setelah pertambangan tutup, perizinan, dan konflik kawasan.

Meski agak pesimis, Laode berharap anggota DEN yang baru mampu menunjukkan keberpihakannya pada ET dan memiliki integritas yang baik.


Sakiskan kembali siaran tundanya:

Materi Paparan

Konsep Bahan - Seleksi APK - whole (1)

Unduh