Anggota DEN Baru Harus Tunjukkan Keberpihakan pada Energi Terbarukan dan Peningkatan Kualitas Akses Energi

Dengar pendapat publik : Harapan Terhadap Calon Anggota Dewan Negeri Nasional (DEN) periode 2020-2024

Jakarta, 9 November 2020 – Dewan Energi Nasional (DEN) memegang peranan penting dalam merancang dan merumuskan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Salah satu target KEN dalam Perpres No. 22 tahun 2017 adalah pemanfaatan energi terbarukan (ET) mencapai 23% dari bauran energi primer nasional pada tahun 2025. Faktanya, hingga kini bauran EBT yang tercapai hanya 9 %. Hal ini harus menjadi fokus perhatian bagi para calon anggota DEN, yang saat ini masih dalam proses seleksi, untuk memastikan tercapainya target tersebut dan melakukan koordinasi yang holistik dalam hal penyediaan maupun pemanfaatan energi yang berkeadilan.

Menjelang proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang akan dilakukan oleh Komisi VII DPR kepada para calon anggota DEN, Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan diskusi daring untuk mendengar harapan berbagai kalangan terhadap calon anggota DEN periode 2020-2024 ini. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR memandu perwakilan beberapa kelompok masyarakat untuk mengemukakan pandangannya, yaitu Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Habib Azizi, President Society of Renewable Energy, ITS, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, La Ode M. Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan dan Wakil Ketua KPK 2015 – 2019, Farhan Helmy, Principal Thamrin School dan Berly Martawardaya Direktur Riset di INDEF yang juga dosen FEB UI. Hadir pula Sekretaris Jenderal DEN, Djoko Siswanto untuk memaparkan proses seleksi calon anggota DEN tersebut.

“Sejak 13 Maret 2020, proses seleksi calon anggota DEN telah dimulai dan akan melakukan fit dan proper test pada 10 – 12 November 2020,” paparnya.

Ia menjelaskan bahwa ada 47 orang calon anggota DEN yang mendaftar. Mereka berasal dari kalangan akademisi, industri, konsumen, lingkungan hidup dan teknologi. Melalui proses assessment awal, 30 orang lulus ke tahap berikutnya. Selanjutnya, dari 30 nama, presiden memilih 16 orang. Kemudian, Komisi VII mengumumkan 16 nama tersebut ke publik sehingga masyarakat dapat memberikan pendapatnya sebelum mereka mengikuti fit dan proper test. Hasil uji kelayakan dan kepatutan tersebut akan menentukan 8 anggota baru DEN yang kepadanya para penggerak lingkungan, aktivis ekonomi dan masyarakat melekatkan harapan.

Farhan Helmy berharap anggota DEN yang terpilih akan melihat dinamika energi tidak hanya di tingkat nasional namun juga internasional. Mengingat dunia sudah bergegas menyiapkan langkah konkret untuk memenuhi Kesepakatan Paris, yakni menjaga agar suhu bumi tidak lebih dari 2oC dengan beralih ke energi terbarukan, maka Indonesia perlu menunjukkan langkah nyata komitmen iklimnya.

“DEN penting mengambil peran dan leadership sebagai prime mover dalam melakukan transformasi. Bila perlu RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) dibongkar karena perkembangan dinamika energi dunia. Kita hanya punya 10 tahun untuk menentukan agar dunia tidak hancur karena kenaikan suhu global, sehingga kebijakan harus dibicarakan secara terbuka. Anggota DEN perlu membuka diri untuk mendialogkan kepada semua pihak.”

Farhan meminta DEN untuk menyiapkan wadah dalam civic engagement dengan mengembangkan naratif yang tidak retorik tapi berbasis bukti.

Urgensi pemanfaatan ET juga menjadi perhatian Berly Martawardaya, Direktur Riset di INDEF dan dosen FEB UI. Ia mendesak DEN untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam pemanfaatan ET dibanding negara ASEAN lainnya. Salah satu cara yang DEN bisa lakukan adalah dengan mendorong kebijakan tarif yang menarik, misalnya dalam rancangan Perpres harga energi terbarukan yang menggunakan instrumen feed-in-tariff (FiT).

“Saat ini harga ET dipatok maksimal 85% dari harga pembangkitan listrik nasional yang dominan energi fosil. Ini harus diubah, harus lebih mahal sedikit menjadi 115-125% dari energi fosil. Jika susah, maka perlu tambahan dana khusus, net present value tetap tapi diberikan FiT tinggi di awal. Ini penting mengingat biaya modal untuk pembangkit ET cukup besar namun memiliki biaya operasional yang minimal,”ujarnya.

Tidak hanya itu, menurutnya PLN harus diberi suntikan modal khusus untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%. Selanjutnya, jika ET sudah mulai tumbuh, maka instalasi selanjutnya bisa mendapatkan green financing lewat perbankan atau internasional.

Melihat tren perkembangan teknologi ET di dunia, Berly juga meminta DEN menunda pengembangan PLT fosil, khususnya batubara, yang kontraknya 20-30 tahun, sebab harga listrik ET akan lebih murah di 2023/2024.
“Selain merevisi UU Minerba, DEN juga seharusnya mewajibkan lembaga pemerintah ganti lampu LED dan menggunakan PLTS Atap,” tukasnya.

Menurut Berly, DEN perlu membuat kebijakan yang mengatur mengenai pemberian pinjaman lunak bagi masyarakat yang menggunakan PLTS Atap dan mempermudah proses pembangunan dan penjualan listrik off grid ke masyarakat, terlebih ke masyarakat kecil dan terpencil.

Dari sisi konsumen energi, Tulus Abadi menuntut agar DEN mengawal kebijakan energi pemerintah agar tetap konsisten sehingga tidak merugikan konsumen. Ia menganggap definisi elektrifikasi masih menimbulkan kerancuan. Menurutnya tidak adil bila hanya karena 1 rumah di desa dialiri listrik, maka secara otomatis desa tersebut disebut desa berlistrik.

“Pemerintah harus menyediakan akses energi kepada masyarakat dengan standar keekonomian masyarakat. Saat ini kualitas listrik masih jauh dari memadai. Di luar Jawa-Bali, keluhan pemadaman akibat sistem masih banyak terjadi. Selain itu, pengetahuan konsumen terhadap energi sangat rendah, hanya terbatas pada hemat listrik berarti mati lampu. Saya harap DEN bisa menindaklanjuti hal ini dan berkoordinasi dengan lembaga terkait,”tegasnya.
WALHI melalui Nur Hidayati menyoroti permasalahan energi mulai dari penyediaan, produksi, distribusi dan transportasi energi.

“Ada 3 masalah imperatif yang ditimbulkan penyediaan energi di Indonesia saat ini, pertama, krisis ekologis dan krisis iklim terutama yang dihasilkan dari proses ekstraksi, produksi dan transportasi energi fosil. Kedua, inequality,kemiskinan justru terjadi pada masyarakat di wilayah ekstraksi. Mereka secara langsung terkena dampak kesehatan dari proses penambangan energi. Ketiga, konflik agraria karena ketidakjelasan tenurial pada proses penyediaan energi yang menyulut konflik,” ungkapnya.

Hidayati berharap, ke depannya, pada masa transisi energi ini, anggota DEN yang baru tidak hanya melihat transisi energi sebagai peralihan jenis sumber energi tapi juga peka terhadap proses penyediaan energi dan pendistribusiannya.
Senada dengan Hidayati, Mieke Verawati menyoal krisis keterlibatan perempuan dalam bidang energi. Padahal menurutnya, dampak buruk eksplorasi energi menyasar perempuan juga. Selama ini, ia melihat perempuan hanya diposisikan sebagai konsumen energi semata.

“Saya mendorong DEN menggunakan prinsip afirmatif untuk menampung aspirasi setiap kelompok masyarakat, termasuk perempuan, sehingga dalam proses penyediaan energi juga memikirkan kepentingan perempuan. Selain itu, DEN perlu melihat upaya inisiatif berbasis komunitas di mana perempuan berperan penting dalam menyediakan sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan,” tandasnya.

Tidak hanya perempuan, mahasiswa juga ingin mendapatkan peran lebih dalam pemanfaatan ET. Hal ini diungkapkan oleh Habib Azizi. Berdasarkan hasil survei SRE yang dilakukan ke lebih dari 12 universitas, ia menjabarkan bahwa proses desentralisasi untuk mendukung ET dan elektrifikasi di Indonesia belum berjalan. Ia juga melihat inkubasi ide mahasiswa terkait pengembangan ET juga masih kurang progresif. Sementara untuk menghadapi gerak dunia ke arah energi terbarukan, menurutnya kualitas SDM masih rendah karena kurikulum pendidikan belum mendukung pengembangan SDM untuk kemajuan ET.

“Saya berharap DEN mampu meningkatkan kekuatan di hilir sektor energi secara mandiri, menciptakan SDM yang siap untuk ET, melakukan mediasi pelaku industri untuk sumber energi ramah lingkungan, serta merealisasikan ide mahasiswa terhadap sektor energi di Indonesia,” katanya.

Laode M Syarif yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KPK 2015 – 2019 meminta DEN memahami konteks energi di Indonesia dan serius menunjukkan keberpihakannya pada ET.
“Energi salah satu sektor yang paling korup di Indonesia karena yang paham tentang energi itu sedikit sementara pemain lama yang mendominasi,” ungkapnya.

Ia membeberkan bahwa tata kelola proyek energi nasional menjadi permasalahan yang serius.

“Ada 34 proyek besar energi fosil yang mangkrak, salah satunya PLTU Maluku berkapasitas 30 MW. Minimalkan kerugian negara. Begitu pula dengan pembangkit ET yang tata kelolanya sama parahnya dengan fosil. Di tahun 2018 ada 68 pembangkit berbasis ET mangkrak,” paparnya.

Syarif juga mengulas UU Minerba baru tidak menjawab berbagai masalah seperti masalah lingkungan, keadilan pusat daerah, kepatuhan pembayaran pajak/royalti, korupsi, keberlanjutan ekonomi daerah tambang setelah pertambangan tutup, perizinan, dan konflik kawasan.

Meski agak pesimis, Laode berharap anggota DEN yang baru mampu menunjukkan keberpihakannya pada ET dan memiliki integritas yang baik.


Sakiskan kembali siaran tundanya:

Materi Paparan

Konsep Bahan - Seleksi APK - whole (1)

Unduh

Transisi Energi Butuh Kepemimpinan Jokowi

Roundtable Discussion: Peta Jalan Transisi Energi Indonesia Menuju Sistem Energi Rendah Karbon

 

Jakarta 04 November 2011 – Sebagai negara utama tujuan ekspor batu bara di Asia, deklarasi Jepang, Korea dan Cina menargetkan net zero emission di tahun 2050 dengan mengurangi emisi dalam bidang energinya yang ditandai dengan menutup banyak PLTU nya, melesukan pasar batubara. Tidak hanya itu, Filipina dan Vietnam pun ikut memberlakukan moratorium terhadap pembangunan pembangkit berbahan bakar batubara sebagai bagian dari proses transisi energi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Hal ini memberi sinyal bagi investor untuk tidak lagi berinvestasi di industri batubara.

Tentu saja, proses transisi energi tidak terbatas pada sektor pembangkit listrik saja, tapi juga transportasi dan transformasi ekonomi. Kesiapsediaan pemerintah sebagai pembuat kebijakan menjadi hal krusial untuk menjamin agar transisi energi ini berjalan mulus sehingga mencegah terjadinya kekacauan ekonomi akibat lalai merencanakan transisi energi yang berkeadilan.  

Merangkum seluruh laporan seri Peta Jalan Transisi Energi Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengadakan diskusi daring dengan mengundang Didi Setiarto, Tenaga Ahli Utama Bidang Energi, Kedeputian I, Kantor Staf Presiden, Adrian Lembong, Bendahara Umum, Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia / Direktur, PT. Adaro Power, Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Energi dan Iklim Regional, Greenpeace Southeast Asia dan Retno Gumilang Dewi, Kepala Pusat Kebijakan Keenergian Institute Teknologi Bandung.

Dalam pembukaannya Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan bahwa transisi energi merupakan keniscayaan. Dia juga mendorong pemerintah untuk menetapkan target net zero emission sehingga konsisten dengan keputusan pemerintah meratifikasi Paris Agreement, sert mengelola proses transisi energi yang sudah mendunia dan berlangsung dengan cepat ini.

“Untuk mencapai status transisi energi, dalam 10 tahun ke depan, kita harus membangun 2-3 GW pembangkit energi terbarukan setiap tahunnya. Ini berarti 8-10 kali lipat dari pembangkit listrik energi terbarukan yang dibangun dalam 5 tahun terakhir. Setelah 2020, harus lebih cepat lagi, bisa membangun 15 sampai 20 GW setahun,” urai Fabby.

Menurutnya, banyak aspek yang harus diakomodasi untuk memastikan proses transisi energi berjalan secara berkeadilan, seperti mempersiapkan institusi berkaitan dengan perizinan, penyiapan proyek pendanaan dan kapasitas regulasi.

“Meski kita masih punya cadangan batubara untuk 60 tahun ke depan, tapi kita harus keluar dari pola pikir yang menganggap batubara sebagai sumber energi murah dan sumber devisa negara. Sebab dalam proses transisi energi, pola pikir semacam itu tidak bisa dipertahankan lagi,” tandasnya.

Menegaskan pernyataan Fabby, Jannata Giwangkara, Program Manager di IESR memaparkan bahwa berdasarkan hasil kajian yang ia dan para periset di IESR temukan, target 23 % bauran energi terbarukan di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di tahun 2025 tidak akan tercapai. Selain itu, sektor ketenagalistrikan dan transportasi akan menerima dampak dari proses transisi energi. Kedua sektor ini menjadi penyumbang besar emisi gas rumah kaca sehingga menjadi prioritas dalam dekarbonisasi untuk mencapai target Kesepakatan Paris.

Upaya yang bisa pemerintah lakukan dalam mengurangi emisi di ketenagalistrikan ialah dengan meningkatkan bauran listrik dari pembangkit berbasis energi terbarukan, menghentikan (moratorium) pembangunan PLTU baru, melakukan retrofit PLTU yang beroperasi, dan memberhentikan secara berkala (phase out) PLTU.

Agar kebutuhan energi dalam negeri terpenuhi, IESR merekomendasikan pemerintah untuk menaikkan kapasitas terpasang energi terbarukan dari 100 MW di tahun 2019, menjadi 23,7 GW di 2025 dan 407,9 GW di 2050. Tentu saja dalam perjalanannya, proses transisi energi di ketenagalistrikan ini membawa dampak pada penurunan permintaan batubara. Akibatnya, daerah penghasil batubara seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Paser, Balangan dan Muara Enim akan menghadapi gejolak ekonomi yang serius.

“Provinsi harus segera bersiap untuk mendiversifikasikan struktur ekonominya yang tadinya bergantung terhadap industri batubara menuju sumber ekonomi baru. Selain itu pemerintah pusat dan daerah perlu pula mengantisipasi 100 ribu pekerja langsung di industri batubara, yang berpotensi kehilangan pekerjaan di masa depan,”ujar Jannata.

Ia melanjutkan bahwa pembangunan clean coal technology juga bukan merupakan opsi ramah lingkungan sedangkan pemanfaatan teknologi CCS membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi stranded asset (aset terbengkalai) dalam proses transisi energi.

Sementara di bidang transportasi, dekarbonisasi dapat terjadi dengan melakukan elektrifikasi pada moda transportasi penumpang, dan menggunakan bahan bakar sintetis atau nabati untuk moda transportasi yang sulit dielektrifikasi.

Jannata menekankan bahwa transisi akan berjalan optimal bila pemerintah segera bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk merumuskan peta jalan dan arah transisi energi yang jelas.

Menanggapi pemaparan IESR, Didi Setiarto melihat persoalan energi berkaitan erat dengan daya beli dan keekonomian.

“Sistem energi kita ini dibangun dengan rezim subsidi, dan pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa energi harus murah. Jadi bila ingin memperkenalkan energi baru kepada masyarakat, diperlukan analisis yang mendalam di pasar terkait harga energi,”ungkapnya.

Menyangkut target RUEN yang diproyeksi tidak tercapai, Didi menganggap bahwa RUEN hanyalah pedoman yang tidak mengikat, sehingga sangat fleksibel untuk dikaji ulang. Masalah lainnya, seringkali kebijakan mengenai energi yang presiden keluarkan tidak sejalan dengan peraturan menteri. Ia mengambil contoh Permen ESDM no. 50 tahun 2017 yang malah membatasi investasi di energi baru terbarukan. Menurutnya untuk menyukseskan transisi energi perlu ada instrumen yang lebih operasional, mandatory dan tidak berlawanan dengan kebijakan di bawahnya.

“Kalau kita mau seriusin (transisi energi) Perpres no.22 tahun 2016 dan RUEN bisa di reform,”usul Didi.

Dari sudut pandang pengusaha listrik swasta, Andrian berpendapat bahwa transisi energi merupakan suatu perubahan yang sudah disadari dan tidak terelakkan.  

“Dari definisinya saja, non-renewable energi berarti akan habis. Habis dalam artian tidak ekonomis. Saat ini saja membangun PLTU menjadi sangat sulit karena pemasok PLTU sudah tidak ada dan tidak ada dukungan finansial. Jadi sebenarnya moratorium PLTU itu nantinya bukan suatu keputusan politik, tapi realitas ekonomi,” ujarnya sambil tertawa.

Menurutnya, hal yang terpenting dari transisi energi adalah memanajemen transisi energi itu sendiri. Pihak swasta sepertinya membutuhkan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum, terobosan kebijakan dan perhargaan terhadap kontrak atau kesepakatan yang sudah ditandatangani, terutama yang berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan.

Membandingkan pencapaian Indonesia dengan negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam dalam hal pengembangan energi terbarukan, Tata Mustasya mengatakan bahwa Indonesia jauh tertinggal. Vietnam kini sudah berhasil membangun kapasitas listrik terbarukan sebesar 5 GW sementara Indonesia masih di angka 200 MW.

“Presiden harus menunjukkan kepemimpinannya agar masalah (ketidakserasian) regulasi dan institusi tentang energi terbarukan bisa teratasi. Untuk menyukseskan proses transisi energi setiap stakeholder harus memiliki shared value yang sama, target yang ambisius, fase yang tertata, dan mempunyai benchmark dengan negara lain di Asia Tenggara,”tuturnya.

Di lain pihak, Gumilang Dewi menyoroti perlunya memasukkan bahasan jejak karbon (carbon print) dalam kajian transisi energi.  Hal ini akan membantu Indonesia dalam memberdayakan sumber energi terbarukan yang rendah emisi.

“Kita harus memilih teknologi yang tepat. Sebaiknya teknologi tersebut diproduksi di dalam negeri sehingga memiliki jejak karbon yang rendah bila dibanding harus membeli dari Cina,” imbuhnya.

Selain itu, ia juga memandang perlu untuk mengkaji limbah teknologi energi terbarukan. Gumilang memberi contoh dalam hal penggunaan solar photovoltaic (PV), berarti harus juga memikirkan limbah baterai dan panel suryanya.

Mendengar penjelasan dan harapan para panelis, Didi mengungkapkan bahwa komitmen presiden untuk elektrifikasi transportasi sudah jelas tercantum dalam Perpres no. 55 tahun 2018. Sementara di bidang ketenagalistrikan, pembahasan rancangan Perpres masih di kementerian hukum dan HAM sebelum ditandatangani.

“Implementasi transisi energi sebaiknya terukur dan bertransformasi secara berkala. Kami juga akan mengundang kawan-kawan untuk menyusun pola (transisi energi) yang rasional dan bisa dilaksanakan,” janji Didi.

Serius Sikapi Transisi Energi Pasca COVID-19 Akan Cegah Guncangan Ekonomi Akibat Perubahan Iklim 

EU Climate Diplomacy Week: Pemulihan Hijau Pasca COVID-19

Jakarta, 2 November 2020 – Pandemi COVID-19 membawa kejutan yang signifikan di bidang ekonomi dan energi di dunia. Pemberlakuan kebijakan penutupan wilayah atau lockdown dan pembatasan sosial berskala besar dalam kurun waktu tertentu telah mengakibatkan banyak industri gulung tikar dan jutaan orang kehilangan pekerjaannya. IMF memprediksikan bahwa ekonomi global berkontraksi 4,4% tahun ini, sebelum diharapkan kembali pulih positif lagi tahun depan.

Guncangan dari pandemi mengarah pada pengurangan emisi secara global. Hasilnya adalah penurunan emisi CO2 global yang tiba-tiba sebesar 8,8% pada paruh pertama tahun 2020. Meski seakan sejalan dengan Kesepakatan Paris dalam mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mencegah kenaikan suhu bumi di atas 2 derajat celcius, namun hal ini akan menjadi kasuistik semata jika tidak segera direspon dengan kebijakan yang tepat. Hal ini menjadi kesempatan yang baik bagi tiap negara di dunia untuk segera mengambil kebijakan strategis untuk memulihkan perekonomiannya sekaligus melakukan transisi energi dengan meninggalkan energi fosil menuju energi terbarukan. 

Menjadi bagian dalam rangkaian EU Climate Diplomacy Week, Institute for Services Reform (IESR) melakukan webinar bertajuk Pemulihan Hijau Paska COVID-19. Hadir sebagai narasumber Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Executive Director IESR;, Thomas Capral Henriksen, Kepala Hubungan Kerjasama bidang Energi di Kedutaan Besar Denmark untuk IndonesiaHead of Energy Cooperation at the Embassy of Denmark to Indonesia;, Lidia Wojtal, Pimpinan Proyek, Agora Energiewende;, Catrina Laura Godinho, Koordinator Proyek, Climate Transparency; dan Lourdes Sanchez, Pemimpin dan Penasehat Senior Kebijakan, International Institute For Sustainable Development (IISD) dan sebagai penanggap adalah Ridha Yasser, Deputi Direktur Program dan Investasi Energi, Direktorat Energi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

 

“Secara global, data dari International Energy Agency (IEA) mencatat terjadi penurunan permintaan minyak bumi hingga 9%, sementara batubara juga turun sebanyak 6%. Indonesia sendiri mengalami penurunan ekspor batu bara mencapai 11% hingga Agustus tahun ini, dibandingkan tahun lalu. Ini sama dengan kerugian pendapatan sebesar 2,2 miliar dolar. Permintaan batubara di pasar Indonesia turun 20%. Sisi baiknya, penurunan permintaan bahan bakar fosil sebenarnya merupakan peluang untuk berakselerasi transisi energi, jika negara memandang seperti itu,” ungkap Fabby Tumiwa membuka kegiatan tersebut.

Fabby mengurai fakta bahwa sebenarnya di tahun 2018, Indonesia melalui Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Solidarity and Just Transition atau Silesia Declaration. Deklarasi ini menjadi desakan bagi Indonesia untuk melakukan transisi energi rendah karbon dan transformasi ekonomi yang bertahan terhadap perubahan iklim  untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap berlandaskan pada “transisi tenaga kerja yang berkeadilan”.

“Semangat dan ciri-ciri deklarasi ini harus diintegrasikan ke dalam perekonomian Indonesia dan strategi pengembangan pasca pandemi. Misalnya, pemerintah perlu memastikan provinsi yang menggantungkan pendapatannya pada batubara memiliki aliran pemasukan baru dan penciptaan lapangan kerja kegiatan ekonomi alternatif yang menggantikan sektor ekstraktif yang kehilangan pesonanya. Sayangnya, kita tidak punya banyak waktu. Transisi energi harus dimulai dari sekarang mengingat ekspor batubara terus mengalami penurunan tajam,” tegas Fabby.

IESR meyakini bahwa sebelum 2030, PLTS akan menjadi penyimpanan daya dan baterai yang lebih murah untuk dibangun dan dijalankan daripada PLTU.

 “IESR percaya bahwa moratorium pembangkit listrik tenaga batubara harus menjadi pertimbangan serius oleh perencana listrik dan utilitas di Indonesia untuk menghindari aset yang terlantar yang akan membebani pembayar pajak di negara ini kedepannya. Keputusan yang kita buat hari ini akan menentukan masa depan kita dan catatan kita dalam sejarah,” jelas Fabby.

Di lain pihak, Thomas mengklaim bahwa Uni Eropa sangat berambisi untuk memenuhi target Kesepakatan Paris. Salah satu mekanisme yang tercantum EU Green Deal ini adalah memastikan terjadinya transisi energi yang berkeadilan dan memobilisasi investasi sebesar 1 triliun euro di bidang energi terbarukan selama 10 tahun mendatang.

“Di Denmark, kita belum memutuskan suatu kebijakan baru yang berkaitan dengan COVID-19 dan energi. Namun, kebijakan energi Denmark sudah disusun dengan cukup ambisius pada tahun 2018. Saat ini 50 persen energi Denmark berasal dari pembangkit listrik tenaga angin. Kami menargetkan di tahun 2030, Denmark sudah menggunakan 100 persen energi terbarukan. Di tahun 2050, Denmark akan bebas dari energi fosil,” papar Thomas.

Meskipun masih 50 persen mengandalkan PLTB, Thomas menjamin bahwa tingkat keamanan pasokan listriknya mendekati seratus persen. Ini dibuktikan dengan rendahnya tingkat gangguan listrik yang kurang dari 20 menit untuk rata-rata konsumsi listrik setiap tahun.

Krisis minyak dan mahalnya harga batubara membuat Denmark mulai melakukan transisi energi sekitar tahun 1979 atau 1980.  Namun perkembangan energi terbarukan berjalan pesat di sepuluh tahun belakangan ini.

“Energi hijau ini sangat bertahan terhadap perubahan keadaan dan fluktuasi harga bahan bakar fosil. Tidak hanya itu, investasi di energi terbarukan akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, mengingat saat ini sudah banyak investor yang menolak untuk berinvestasi di pertambangan batubara,”tandasnya.

Ia juga menunjukkan bahwa di tahun 1990, semenjak terjadi penurunan emisi 40 persen terjadi lonjakan GDP sebesar 60 persen di perekonomian Denmark.

“Ini membuktikan jika pertumbuhan ekonomi akan naik sejalan tingginya ambisi untuk menurunkan emisi,”simpul Thomas.

Lidia Wotjal menyampaikan bahwa perkembangan positif di bidang energi terbarukan juga sedang terjadi di Polandia.

“Pada 2006, Polandia mengandalkan 90 persen pasokan listriknya dari batubara. Namun di 2018 mengalami penurunan penggunaan batubara menjadi 78 persen dan di 2019 menjadi 73,6 persen saja,” tuturnya.

Ia meyakini bahwa perubahan ini merupakan implikasi dari kebijakan Uni Eropa yang mewajibkan pengurangan emisi karbon. Meski hingga kini masih terdapat kegiatan penambangan batubara, namun industri ini sudah mengurangi efisiensi biaya batubara seiring dengan menuanya fasilitas PLTUnya.

“Kesadaran untuk melakukan transisi energi justru datang dari produsen dan konsumen energi. Kebutuhan akan udara bersih menjadi faktor pemicu peralihan energi. Mungkin ini merupakan fakta yang mengejutkan bagi negara lain, tapi di Polandia, sebanyak 50 persen dari rumah tangga menggunakan batubara yang mengakibatkan polusi udara yang pekat baik di daerah kota maupun pedesaan,”tutur Lidia.

Melihat permasalahan ini, pemerintah Polandia memutuskan untuk mendorong modernisasi energi panas bumi dan mensubsidi pemasangan photovoltaic (PV) di dua tahun lalu. Masyarakat segera meresponi hal ini dengan sangat baik. Hasilnya, terjadi peningkatan pemasangan PV sebanyak dua kali lipat hanya dalam satu tahun saja.

Pemerintah Polandia mengamati bahwa pergerakan investasi akan mendominasi energi terbarukan sehingga di September 2019, Menteri Iklim di Polandia menyerahkan konsep strategi energi dengan menargetkan 11 persen batubara dalam bauran energi di 2040.

Hanya 3 Persen dari Paket Pemulihan Ekonomi Pasca COVID-19 Menyasar Energi Terbarukan

Menyoal pemulihan ekonomi pasca COVID-19, khususnya di negara yang tergabung dalam G20, Catrina Laura Godinho mengamati bahwa paket pemulihan ekonomi masih berfokus pada energi fosil.

“Seharusnya pandemi COVID-19 ini bisa digunakan oleh pemerintah untuk menyesuaikan kebijakannya sehingga pengeluaran pemerintah tidak hanya untuk respon pemulihan sesaat tapi juga pemulihan jangka panjang. Pemulihan dengan memperhatikan energi bersih akan menjadi kesempatan yang baik untuk memastikan ekonomi sehat dan penyerapan tenaga kerja meningkat,”kata Catrina.

Ia kembali melanjutkan, “COVID-19 ini harus menjadi pendorong bagi negara G20 untuk lebih ambisius dengan strategi penurunan emisi rumah kacanya, terutama karena negara G20 inilah yang menghasilkan lebih dari  dua hingga tiga perempat emisi gas rumah kaca di dunia.”

Menurutnya, efek domino dari penetapan target nol emisi di tahun 2050 mulai terasa. Di mulai dari beberapa negara seperti Jepang, Kanada, dan Cina yang sudah menetapkan kebijakannya untuk mencapai target tersebut.

“Merupakan hal yang penting pula bagi negara G20 untuk memperbaharui Nationally Determined Contribution (NDC) agar sesuai dengan kesepakatan Paris sehingga kita bisa melihat targetnya secara sektoral hingga 2030. Sebab ambisi jangka panjang juga akan tidak berarti bila tidak disertai keputusan-keputusan jangka pendek,”tandasnya.

Lourdes Sanchez yang organisasinya berfokus pada pengawasan aliran uang publik di sektor energi, menemukan dari 7 juta dolar dana pemulihan Indonesia hanya 3 persen ditujukan pada energi terbarukan, 97 persennya mengalir ke BUMN.

“Karena ini uang publik, seharusnya pemerintah menyalurkannya dengan memberikan prasyarat. Dengan demikian, pembangunan yang berkelanjutan di bidang energi terbarukan dapat berjalan. Misalnya, pemerintah memberikan bantuan kepada PLN, pemerintah juga harus meminta komitmen PLN untuk mengembangkan PLTS atap,” ujarnya.

Meresponi pemaparan dari para narasumber, Ridha Yasser mengungkapkan bahwa melakukan transisi energi di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Ia melihat banyaknya peraturan yang tumpang tindih di Indonesia membuat investasi di bidang energi terbarukan menjadi sulit. Kebijakan dari pemerintah yang selalu berubah seiring dengan pergantian presiden atau menteri, membuat pihaknya memandang wajar jika perkembangan energi terbarukan di Indonesia tidak sepesat negara lain.

“Indonesia mempunyai potensi bagus di energi terbarukan. Tapi saat ini, banyak masyarakat yang menggunakan energi fosil. Namun ada peluang bagi pengembangan energi terbarukan yang berfungsi untuk mem-back up energi fosil,”ujar Ridha.

Ridha beranggapan bila proyeksi energi terbarukan makin bersinar di negara lain di dunia, terutama di negara Uni Eropa, pihaknya akan mendorong investasi serupa di Indonesia.

“Menurut saya, kita harus mengikuti kemana uang berjalan. Jika sekarang investasi condong ke energi terbarukan, maka pemerintah pun harus memalingkan kepalanya dari energi fosil ke energi hijau, energi terbarukan,” tutur Ridha.

Menanggapi hal tersebut, Thomas mendorong Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang menarik, misalnya dengan membuka lelang bagi investor internasional untuk berpartisipasi dalam pembangunan energi terbarukan di Indonesia.


Saksikan kembali rekamannya:

Materi Paparan
CDW_IESR roundtable 2nd november

Unduh

Komitmen Pemerintah, Kebijakan yang Konsisten dan Transparan, dan Instrumen yang Tepat Mampu Menarik Investasi Energi Terbarukan di Vietnam, Indonesia Kapan?

Ancaman perubahan iklim, krisis pasokan listrik, dan investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang semakin mahal merupakan beberapa faktor yang membuat Vietnam semakin serius beralih ke energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Dalam dua tahun, Vietnam mampu meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari 100 MW (0,1 GW) menjadi 5 GW, hampir 50 kali lipat.

Kiat sukses Vietnam dalam mengakselerasi pengembangan energi surya  ini menjadi pembelajaran menarik untuk ditiru Indonesia. Hal ini pula yang menjadi bahasan dalam seminar daring seri Gigawatt Club episode kedua yang digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: Vietnam Made It, and So Can We. Narasumber di seminar ini adalah Tran Viet Nguyen, Vice Director of Business Department of Vietnam Electricity Group (EVN), Pham Nam Phong, CEO Vu Phong Solar, dan Nguyen Thi Ha, Program Manager Sustainable Energy, Green Innovation and Development Centre, Vietnam. Sementara itu, selaku penanggap hadir pula Sripeni Inten Cahyani, Tenaga Ahli Menteri Bidang Kelistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Ridha Yasser, Kepala Bidang Program dan Investasi Energi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi RI, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Tran Viet Nguyen mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah Vietnam memudahkan Vietnam Electricity (EVN), perusahaan listrik negara Vietnam, untuk mengembangkan energi terbarukan, terutama PLTS.

“Selain memiliki target dan komitmen yang jelas, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan 13 (Decision 13) yang memberikan insentif berupa feed-in tariff (FiT) untuk berbagai jenis pemanfaatan energi surya, baik solar farm, floating solar, dan PLTS Atap,” jelasnya.

Melalui kebijakan itu pula, tersedia sejumlah model bisnis yang bisa dipilih pengembang sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Pengguna PLTS Atap dapat membeli dan menggunakan PLTS secara mandiri (disebut sebagai skema Capex/capital expenditure) dan menjual kelebihan listrik ke EVN seharga 8,38 sen USD/kWh (level FiT untuk PLTS Atap). Sumber pembiayaan mereka bisa mandiri atau menggunakan pinjaman lunak dari bank. 

Skema lainnya adalah direct/corporate power purchase agreement (direct PPA) yaitu perjanjian jual beli listrik antara perusahaan swasta penghasil listrik surya langsung pada pelanggan (pembeli) tanpa melalui EVN. Terdapat juga skema solar leasing yang memungkinkan kepemilikan pihak ketiga sehingga perusahaan swasta yang bergerak di bidang energi terbarukan atau perusahaan surya dapat berinvestasi dan memasang PLTS Atap pada pemilik fasilitas.

“Hingga kini, EVN sudah memasang sekitar 500 sistem di seluruh kantor kami, dan mulai menjalin banyak kerja sama dengan mitra lokal, kontraktor atau perusahaan EPC (engineering, procurement, and construction), serta bank atau lembaga keuangan untuk memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk berinvestasi di PLTS Atap. Pelanggan juga cukup menandatangani satu kontrak saja dengan bank atau dengan perusahaan EPC, dan mereka langsung bisa berinvestasi di PLTS Atap,” papar Nguyen.

Tidak hanya itu, pihaknya juga menyediakan informasi dan saluran konsultasi konsumen yang dapat diakses dengan mudah oleh publik, berupa platform EVNSolar. 

Kemudahan informasi penyedia jasa pemasangan PLTS dan kampanye penggunaan PLTS atap, juga menjadi hal yang diperjuangkan oleh organisasi masyarakat sipil di Vietnam, salah satunya oleh Green Innovation and Development Centre (GreenID).

“Kami menyediakan situs interaktif bagi para pengguna PLTS Atap untuk menceritakan manfaat yang sudah mereka terima dengan menggunakan PLTS Atap. GreenID juga melakukan berbagai pertemuan rutin melalui seminar daring untuk mendekatkan lebih banyak orang dengan PLTS Atap,” ungkap Nguyen Thi Ha. Menyoal kebijakan pemerintah Vietnam, meskipun kini telah keluar kepastian investasi energi terbarukan, Ha menyayangkan usia kebijakannya yang  tergolong singkat.

“Kami berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan jangka panjang untuk mempromosikan cetak biru PLTS di Vietnam. Selanjutnya, kami juga ingin menghubungkan lebih banyak bank dan lembaga pembiayaan untuk mempromosikan PLTS. Selain itu, standar teknis dan kualitas juga sangat penting dan perlu didorong,” harapnya.

Meski tidak menyangkal keterbatasan pemerintah, Pham Nam Phong dari Vu Phong Group beranggapan bahwa Decision 13 berkontribusi pada membaiknya iklim investasi PLTS bagi perusahaan swasta.

“Skema Opex (Operating Expenditure/Pembelanjaan Operasional) menjadi pilihan kami. Kami bertindak sebagai investor dan menjual pasokan daya kepada pelanggan,” katanya.

Phong mengamati bahwa bisnis PLTS Atap menjadi semakin berkembang di sektor komersial dan industri (C&I), antara lain dengan keterlibatan perusahaan multinasional yang tergabung dalam RE100 yang menargetkan penggunaan energi terbarukan dalam industri mereka.

Fabby Tumiwa membandingkan perkembangan PLTS di Vietnam yang jauh berbeda dengan Indonesia. Meski Indonesia lebih dahulu memanfaatkan panel surya di tahun 80an, namun total kapasitas energi terbarukan Indonesia sampai 2019 hanya 200 MW. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan Vietnam yang baru memulainya di tahun 2016. Ia melihat komitmen pemerintah Vietnam yang konsisten berkontribusi pada terciptanya lingkungan investasi PLTS yang kondusif. Selain menggunakan instrumen FiT, pemerintah juga mempermudah investor untuk memobilisasi pendanaan dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing, memberikan pembebasan sewa tanah selama 14 tahun sampai akhir proyek (tergantung lokasi), serta mengeluarkan berbagai insentif perpajakan.

“Indonesia perlu belajar dari pemerintah Vietnam yang melakukan proyek percontohan seperti direct power purchase agreement (PPA) yang memungkinkan pelanggan industri membeli listrik energi terbarukan dari pengembang secara langsung menggunakan jaringan listrik EVN. Apalagi dengan keberadaan perusahaan multinasional RE100 di Indonesia yang menargetkan penggunaan listrik dari energi terbarukan 100 persen sebelum 2030. Fleksibilitas ini menarik minat mereka untuk investasi atau berekspansi lebih lanjut di Indonesia,” kata Fabby. 

Fabby juga menyarankan agar pemerintah Indonesia membangun solar park.  Dengan skema ini, pengadaan lahan, perencanaan pembangunan infrastruktur dan transmisi dapat dilakukan  secara terintegrasi, dengan biaya yang efisien.

Menanggapi keberhasilan Vietnam, Sripeni Inten Cahyani mengakui Indonesia masih perlu banyak belajar. Menurutnya, pemerintah Indonesia dapat meniru penerapan skema bisnis PLTS yang beragam, penggunaan instrumen FiT, serta penyediaan informasi dan konsultasi yang memadai terkait PLTS.

“Saat ini, instrumen FiT sudah masuk dalam rancangan peraturan presiden tentang harga energi terbarukan. Jadi kita tunggu saja,“ ungkapnya.

Ridha Yasser menganggap bahwa hambatan pengembangan PLTS bukan karena aspek teknis. Pergantian staf yang kerap terjadi di instansi pemerintah, berikut dengan masalah egosentris struktural berpengaruh pada lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Namun, ia yakin masalah ini dapat segera teratasi dengan kerja sama yang lebih baik dan menggunakan metode yang tepat sehingga Indonesia bisa segera masuk dalam Gigawatt Club energi surya, seperti Vietnam.

Saksikan rekaman diskusi tersebut di:

Bila Pemerintah Pusat Abai Susun Strategi Transisi Energi Berkeadilan, Daerah Penghasil Batubara Akan Hadapi Rentetan Masalah Sosial-Ekonomi

Reportase Memastikan Proses Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia

 

Jakarta, 20 Oktober — Saat ini, transisi energi  yaitu perubahan dari sistem energi yang berbasis bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan, sudah menjadi fenomena global. Ancaman perubahan iklim, semakin murahnya teknologi energi terbarukan, dan pencemaran lingkungan yang disebabkan energi fosil menjadi alasan utama yang mendorong banyak negara di dunia melakukan transisi energi. Tentu saja, dalam proses transisi energi ini, ada dampak positif dan dampak negatif yang perlu diantisipasi oleh negara-negara yang melakukan transisi, termasuk Indonesia.

Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan keempat dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Ensuring a Just Energy Transition in Indonesia: Lessons learned from country case studies

Laporan yang ditulis oleh Melina Gabriella dan Pamela Simamora ini menelaah proses transisi energi yang terjadi di Jerman, Australia, Kanada, dan Afrika Selatan dan memetik pembelajaran dari studi kasus tersebut sebagai masukan kepada pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan transisi energi di Indonesia. 

Hadir di acara peluncuran secara daring tersebut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Sebagai penanggap ada Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, H. M. Aswin, Aidy Halimanjaya dari Dala Institute for Environment and Society, dan Maria Emeninta dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).

Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa menjelaskan isu transisi energi ini sangat relevan di Indonesia karena posisi Indonesia sebagai negara produsen batubara. Transisi energi akan berdampak pada industri batubara yang selama ini merupakan komoditas ekspor dan juga sebagai sumber pendapatan nasional serta daerah penghasil. Selain itu, dengan semakin kompetitifnya harga teknologi energi terbarukan yang akan membuat PLTU batubara menjadi tidak lagi ekonomis untuk dioperasikan dalam satu dekade mendatang akan berdampak pada menurunnya konsumsi batubara domestik untuk pembangkit listrik yang mencakup 90 persen dari konsumsi batubara nasional.

“Transisi energi sejatinya mengenai orang; orang yang membuat keputusan dan orang-orang yang akan terdampak dari keputusan yang dibuat. Sejak dicetuskannya Paris Agreement di tahun 2015, Indonesia sudah meratifikasi perjanjian tersebut dalam UU No.16 tahun 2016. Dengan ratifikasi tersebut, pemerintah Indonesia juga menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GHG). Salah satu cara untuk menurunkan emisi GHG di sektor energi yaitu dengan melakukan transisi energi. 

Tentu saja, komitmen negara-negara di dunia yang selama ini mengimpor batubara dari Indonesia untuk bertransisi meninggalkan energi fosil akan berdampak pada masa depan industri batubara di Indonesia. Penurunan permintaan batubara dari luar negeri akan berdampak langsung pada pendapatan daerah penghasil batubara, neraca perdagangan, dan lapangan pekerjaan serta kesempatan berusaha. Untuk itulah pendekatan transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) diperlukan untuk memastikan agar pekerja dan masyarakat yang terdampak dari adanya transisi dari batubara, sungguh-sungguh diperhatikan,” tegasnya.

Melina Gabriella memaparkan definisi dari transisi energi berkeadilan adalah proses transisi energi yang memastikan semua pihak terakomodasi dengan baik atau tidak ada yang merasa ditinggal dan dirugikan serta menjamin biaya dan keuntungan (cost and benefit) yang dibawa oleh transisi energi akan didistribusikan secara merata.

Perjalanan transisi energi di empat negara ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Di daerah Rurh sebagai penghasil batubara terbesar di Jerman, membutuhkan sekitar 60 tahun untuk melakukan transisi energi. Dimulai dengan pemberian subsidi dengan jumlah yang signifikan oleh pemerintah Jerman untuk melindungi industri batubara yang mengalami kemunduran akibat berlakunya liberalisasi harga.

“Langkah ini membuat biaya transisi menjadi lebih mahal dan membuat diversifikasi ekonomi lebih lama dari yang seharusnya,”ujar Pamela.

Di Indonesia sendiri, proses transisi energi sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.  Padahal, transisi energi berpotensi memberikan dampak negatif seperti penurunan PDRB di daerah penghasil batubara, defisit pada neraca perdagangan, dan peningkatan jumlah pengangguran yang kehilangan pekerjaan dari industri batubara. Namun, apabila implementasi proses transisi energi berkeadilan berhasil berjalan maka akan memberikan keuntungan dan peluang bagi Indonesia, antara lain: biaya sistem kelistrikan yang lebih murah, diversifikasi ekonomi, pengembangan industri baru, munculnya lapangan kerja hijau, perbaikan kualitas udara, tanah dan air, dan penurunan biaya kesehatan masyarakat

Berdasarkan pembelajaran dari empat negara ini, IESR mendesak pemerintah untuk menyiapkan strategi dan kebijakan untuk memastikan berjalannya proses transisi berkeadilan dengan memperhatikan beberapa aspek seperti penerapan tata kelola yang baik dalam merencanakan jalur transisi energi, perlunya penciptaan kondisi yang memungkinkan untuk investasi dalam energi terbarukan, adanya konsultasi publik dan dialog sosial, penetapan kebijakan terkait perlindungan sosial dan pengembangan keterampilan,diversifikasi ekonomi, dan pembentukan mekanisme pendanaan untuk mendukung transisi yang berkeadilan.

Menanggapi laporan IESR ini, KH. M. Aswin, mengakui bahwa batubara sejak 2007 sudah menjadi penyumbang terbesar PDRB Kalimantan Timur. Namun, dia juga menyampaikan bahwa pemerintah juga sudah merencanakan transformasi ekonomi menuju ekonomi berkelanjutan, dengan kontribusi pertambangan migas dan batubara dari 45.49 persen menjadi hanya 17% di tahun 2050.

“Kita merencanakan untuk tidak lagi ekspor batubara mentah melainkan harus melalui proses hilirisasi batubara. Hanya saja saat ini kewenangan provinsi sangat terbatas. Kewenangan pemerintah daerah diambil oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya merencanakan tapi pemerintah pusat yang memutuskan,”keluhnya.

Aidy Halimanjaya berasumsi kurangnya pembahasan mengenai arah kebijakan penggunaan sumber daya di daerah disebabkan oleh miskinnya komunikasi politik di tingkat nasional dan perbedaan pengetahuan masing-masing institusi pemerintah.

“Umumnya institusi pemerintah tidak melihat sampai ke tingkatan dampak, hanya sebatas output yang tidak membutuhkan koordinasi banyak,” katanya.

Selanjutnya, Maria Emeninta menyoroti salah satu hambatan dalam mempromosikan transisi energi yang berkeadilan ini adalah inkonsistensi kebijakan pemerintah. Selain itu, ia merasa, sudah seharusnya setiap instansi saling berkoordinasi agar transisi energi berkeadilan dapat terimplementasi dengan baik.

“Transisi energi berkeadilan ini menjadi silent  karena tanggung jawabnya tidak berada di KLHK yang membidangi hal ini. KLHK tidak berkoordinasi dengan Kenaker, maka isu ini menjadi tidak tersentuh sama sekali,”urainya.

IESR pun menyadari bahwa meski sudah menjadi fenomena global, isu transisi energi masih tergolong hal yang baru di Indonesia. Namun, IESR memandang bahwa perencanaan transisi energi di Indonesia menjadi penting dalam kaitannya pencapaian target penurunan suhu bumi sesuai dengan target yang ada di dalam Kesepakatan Paris.

Dengan demikian, peluncuran studi peta jalan transisi energi menjadi salah satu cara untuk mendorong pemangku kebijakan memahami isu ini dan memicu dialog. Selanjutnya, perlu menyatukan pemahaman para pemangku kebijakan dan unsur kepentingan sehingga tercipta urgensi dan rencana nyata untuk menghadapi dampak dari transisi energi ini.

“Tentu saja proses transisi energi berkeadilan tidak hanya berpengaruh pada sistem energi saja, tapi juga akan mengubah sistem ekonomi dan pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan proses konsultasi dengan berbagai pemangku kebijakan untuk mengintegrasikan isu transisi energi ke dalam rencana pembangunan nasional dan daerah,” tutup Fabby.

Indonesia Belajar dari India yang Ambisius Capai 200 GW Energi Surya di 2022

Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: India Made It, and So Can We


Jakarta 16 September 2020 – Sejak tahun 2000-an, pemerintah India menunjukan keseriusannya dalam mengembangkan  energi terbarukan  untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya. Tidak tanggung-tanggung,  pemerintah India berambisi menargetkan pembangunan pembangkit  energi terbarukan sebesar 200 GW atau 42 persen dari total pembangkit listrik di tahun 2022.

Pemerintah India membangun ekosistem untuk mendukung pencapaian target energi terbarukan dalam kebijakan dan programnya seperti pembangunan solar parks dan kota surya.  Hasilnya, India mulai menunjukkan posisinya sebagai negara yang baru memiliki  10 MW pembangkit listrik tenaga surya di tahun 2010, kini mencapai 88 GW di tahun 2020.

Apa yang dilakukan India dalam mengakselerasi energi terbarukan  menjadi sesuatu yang patut ditiru pemerintah Indonesia. Untuk mengerti lebih lanjut resep sukses pengembangan PLTS di India, Institute for Essential Services Reform (IESR) melaksanakan seminar daring berjudul Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: India Made It, and So Can We. Seminar ini menghadirkan para pelaku industri energi surya dari India untuk berbagi  pengalaman dan pelajarannya.  Kanika Chawla, Director Centre for Energy Finance CEEW, India dan Kushagra Nardan, Co-Founder & President SunSource Energy, India menjadi narasumber. Sementara selaku penanggap  hadir pula Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Cita Dewi, EVP Energi Terbarukan Perusahaan Listrik Negara , Yohanes Bambang Sumaryo, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Kanika memaparkan bahwa salah satu praktik baik pemerintah India adalah membangun pasar energi terbarukan dengan cara menjelaskan secara rinci target jangka panjangnya. Hal ini membuat banyak investor baik domestik maupun internasional tertarik untuk berpartisipasi karena dapat memproyeksikan usaha mereka dalam lima atau sepuluh tahun ke depan. Tidak hanya itu, banyaknya investor yang berminat membuat negosiasi harga menjadi lebih kompetitif dan lebih murah.

“Saat ini di dunia, harga listrik tenaga surya dan angin sedang mengalami penurunan yang agresif. Terlebih di India yang sudah mempunyai pasar besar di energi terbarukan. Jika semula India hanyalah penerima harga, sekarang menjadi pembuat harga,” jelasnya.

Namun, Kanika tidak mengesampingkan bahwa dalam perjalanan India mendorong energi surya, terdapat berbagai risiko yang diidentifikasi oleh pasar, seperti risiko terkait offtake (penundaan pembayaran), curtailment – di mana jumlah energi yang dihasilkan tidak dapat diserap oleh jaringan, fluktuasi mata uang asing, akuisisi lahan dan bangunan, serta kebijakan yang tidak konsisten atau perubahan undang-undang.

Kushagra menambahkan bahwa pemerintah India memitigasi risiko tersebut dengan menerapkan kebijakan yang jelas dan konsisten baik dalam hal skala utilitas hingga net metering. Menyikapi iklim energi terbarukan yang kondusif di India, pihaknya sudah memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap di bangunan komersial seperti 10 MW di pabrik tekstil di India bagian utara, floating solar (PLTS terapung) di perusahaan minyak, dan PLTS Atap di bandara di New Delhi.

Selanjutnya Kushagra menceritakan pula tentang beberapa langkah yang pemerintah India ambil untuk merealisasikan target pengembangan energi terbarukan, misalnya keberadaan badan perangkat di pemerintahan yang khusus membantu pencapaian Misi Surya Nasional dengan Solar Energy Corporation Of India Limited (SECI) di tingkat nasional dan berbagai agensi di tingkat daerah.

Mengulas kembali, Fabby Tumiwa menekankan beberapa catatan penting yang layak menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai target bauran energi terbarukan sebanyak 23 persen dengan 6,5 GW berasal dari PLTS di tahun 2025.

“Indonesia membutuhkan dukungan legislasi dan regulasi  dalam mengimplementasikan target energi terbarukan ke dalam program dan proyek yang lebih nyata. Seperti di India, dengan ketentuan Renewable Purchase Obligationnya (RPO) yang ditetapkan di Undang-Undang,  setiap negara bagian wajib menetapkan target  energi terbarukan sebagai prioritas yang harus dicapai. Selain itu, pemerintah India menyediakan pendanaan pendukung melalui National Clean Energy and Environmental Fund (NCEEF) dan pendampingan secara finansial kepada pengembang proyek dan optimalisasi pendanaan secara publik.  Juga terciptanya bermacam skema untuk on-grid dan off grid surya. Proses penawaran juga menjadi lebih kompetitif dalam format secara lelang terbalik skala besar yang efektif dan mampu menarik penawaran harga surya yang rendah,” jabarnya.

Proses pengadaan berupa lelang terbalik yang dirancang dengan baik, dilakukan secara efisien dan transparan, dan dalam skala besar merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong daya saing pembangkitan listrik energi surya dan menghasilkan harga pembangkitan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan energi fosil. Selain itu, Fabby memaparkan bahwa peran pemerintah negara bagian di India menjadi sangat penting dalam akuisisi lahan untuk skema solar park. Pemerintah India bertindak langsung untuk menyediakan lahannya dan membangun infrastruktur pelengkap. Di Indonesia, penyediaan lahan kerap terkendala perizinan dan lokasi yang kurang memadai, yang kemudian menyebabkan akuisisi lahan memakan porsi besar dalam belanja modal pembangunan PLTS.

Menanggapi pembelajaran pengembangan PLTS di India, Harris mengemukakan bahwa memang di Indonesia sendiri, beberapa langkah yang disebutkan belum terjadi.

“Regulasi yang berkaitan dengan energi terbarukan dalam bentuk peraturan presiden sedang diproses. Badan pemerintahan yang khusus menangani energi terbarukan juga belum ada. Tentu saja, kebijakan RPO, belum juga ada di Indonesia. Kebijakan ini menurut saya baik untuk ditiru,” jelasnya.

Terkait masalah pendanaan dan investasi PLTS, pemerintah Indonesia juga sedang menjalin komunikasi dengan organisasi internasional. Ia juga melihat masalah akuisisi lahan menjadi persoalan yang masih berlangsung di Indonesia. Ia berharap ke depannya ia bisa berdiskusi dengan kementerian dan lembaga di Indonesia sehingga lebih memudahkan investor untuk membangun PLTS.

Sementara itu, baik Cita maupun Sumaryo menyatakan kekagumannya atas keberhasilan India dalam mengelola berbagai risiko yang ada dan memberikan jalan keluar yang baik untuk pencapaian target energi terbarukannya.  Cita mengatakan PLN terbuka untuk mengadakan diskusi lebih dalam dengan India dalam mengadopsi langkah pembelajaran untuk kemajuan Indonesia di bidang energi terbarukan.


Government of India Ministry of Power Central Electricity Authority, “National Electricity Plan (Volume 1) Generation”, January 2018, hal. 144 (https://www.cea.nic.in/reports/committee/nep/nep_jan_2018.pdf diakses tanggal 15 Oktober 2020, Pukul 14.00 WIB)

Presentation materials

Presentation materials

KC - India's energy transition IESR -15Sep20

Unduh

Kushagra Nandan- SunSource Energy

Unduh

Transisi Energi Mengancam Industri Batubara : Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Kebijakan Energi Batubaranya

 

Jakarta, 13 Oktober 2020 – Meski Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar  dengan kuantitas ekspornya 80 persen dari total produksi batubara serta tingkat konsumsi batubara domestik di pembangkit listrik (PLTU) hampir 95 juta ton di 2020, tetap saja, sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, batubara akan segera mengalami masa kesudahannya. Terlebih, saat ini tren dunia mulai beralih ke energi terbarukan. Hal ini membuat batubara akan tersingkir dari kompetisi pemenuhan energi yang ramah lingkungan.

“Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mengusung batubara sebagai modal pembangunan dengan asumsi batubara sebagai sumber energi yang murah. Faktanya, hal tersebut mulai terbantahkan dengan munculnya pembangkit energi terbarukan yang jauh lebih murah. Lalu apakah kebijakan energi Indonesia saat ini masih relevan?” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam pembukaan peluncuran laporan ketiga dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Energy Transition in the Power Sector and Its Implication for the Coal Industry.  Turut hadir pula pada acara yang dilakukan secara daring tersebut Sujatmiko, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif  Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia.

Deon Arinaldo, penulis laporan ini telaah Energy Transition in the Power Sector and Its Implication for the Coal Industry menjelaskan secara gamblang posisi batubara yang  sudah mulai tidak populer di beberapa negara.

“Cina sebagai salah satu negara tujuan ekspor batubara Indonesia, mempertimbangkan untuk membatasi penggunaan batubara karena menghasilkan polusi udara. Bahkan, presiden Cina menetapkan net zero emisi di tahun 2060. Selanjutnya, seperti yang sudah terjadi di 2013-2015, ketika harga batubara turun, pemerintah Cina mulai membatasi impor batubara untuk melindungi batubara domestik,” tegasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan hal sama juga terjadi di beberapa negara pengimpor batubara Indonesia seperti di India yang mulai menetapkan kebijakan yang mengurangi impor dengan mementingkan penggunaan batubara dalam negeri sambil mendorong pengembangan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Jepang dan Korea juga mulai beralih dari impor batubara Indonesia ke batubara yang lebih tinggi kualitasnya seperti dari Australia dan Rusia. Korea sendiri telah menetapkan pajak impor batubara untuk membatasi volume impor kedepannya.  

Tentu saja, untuk mempersiapkan diri menuju transisi energi, Indonesia juga perlu memetakan industri, daerah dan masyarakat yang terdampak sehingga tidak menimbulkan kontraksi ekonomi yang signifikan.

Deon menyarankan agar pemerintah segera memfokuskan diri untuk menuju transisi energi dengan lebih banyak berinvestasi pada sumber energi terbarukan dibandingkan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batubara.

“PLTU dibangun tapi kemudian menjadi aset terdampar karena tidak sesuai dengan perkembangan dunia, tentu hal ini akan menambah kerugian,” urainya.

Deon merekomendasikan pada pemerintah untuk mengadopsi tiga strategi dalam mengurangi dampak transisi energi. Pertama, melakukan moratorium pembangunan PLTU untuk memperkecil potensi aset terbengkalai dan juga memperbesar ruang bagi bauran energi terbarukan. Kedua, PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis perlu melakukan retrofit yakni membuat pembangunan lebih relevan,dan lebih fleksibel untuk energi terbarukan. Ketiga, merencanakan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan. Untuk industri batubara, tentu diversifikasi bisnis ke industri yang lebih berkelanjutan dan sunrise diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka menengah dan panjang.

Menanggapi pemaparan Deon, Sujatmiko beranggapan potensi batubara di Indonesia masih sangat banyak sehingga masih pantas untuk diandalkan sebagai motor penggerak ekonomi. Namun, ia tidak menyangkal jika kedepannya perlu inovasi di dunia bisnis batubara agar tetap sejalan dengan Kesepakatan Paris yakni mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Caranya, kita sedang mengembangkan industri hilir batubara di antaranya dengan gasifikasi batubara, pencairan batubara, peningkatan mutu batubara. Pemerintah juga melalui UU Cipta kerja akan memberikan insentif non fiskal untuk pengembangan batu bara seperti pemberian izin tambang, dan fiskal dengan royalti sampai 0 persen untuk meningkatkan keekonomian hilirisasi batubara,” bahasnya.

Sebaliknya, Deon justru memandang langkah ini belum menjawab pokok persoalan sebenarnya.

“Gasifikasi batubara  untuk memproduksi sintetik gas,bukanlah teknologi yang baru bahkan jauh lebih kompleks dan lebih mahal dibandingkan mengolah langsung dari gas bumi. Dalam proses gasifikasinya juga, jumlah emisi gas rumah kaca yang  dihasilkan gas bumi lebih minim dibandingkan batubara. Belum lagi, permintaan hasil gasifikasi batubara ini berupa sintetik gas, apakah dapat bersaing dengan produk sintetik gas dari komoditas lainnya? Lalu apakah ada pasar dalam negeri yang mampu menyerapnya?” jelasnya.

Di lain pihak, Hendra Sinadia melihat pangsa pasar batubara masih cerah di 20 tahun ke depan. Namun, ia setuju jika pemerintah segera memimpin langsung proses menuju transisi energi  terbarukan sehingga kepentingan semua pihak, termasuk pelaku usaha batubara, dapat terakomodasi dengan baik.


Materi paparan kegiatan

Coal Industry_Deon Arinaldo

Unduh

20201013 DBB Bahan IESR Peluncuran Buku

Unduh

IESR Launching Peta Jalan Studi Transisi Energi - Batubara - (Hendra) - 131020

Unduh


Pemerintah Perlu Segera Siapkan Strategi Percepatan Transisi Energi

Menilik Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017

 Jakarta, Selasa, 28 September 2020 – “Perubahan iklim yang semakin mengancam, diiringi dengan perkembangan teknologi yang pesat, terutama di bidang teknologi energi terbarukan merupakan faktor penting yang membuat banyak negara di dunia melakukan transisi energi,” urai Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) saat membuka kegiatan Peluncuran Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia secara daring. Acara ini dihadiri pula oleh Sugeng Mujiyanto, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan Dewan Energi Nasional (DEN) dan Saleh Abdurrahman Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai penanggap.

 “Pemanfaatan energi terbarukan yang memang sudah menjadi prioritas pengembangan dan pemanfaatan energi nasional dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), belum terefleksikan dalam pencapaian Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) hingga 2020 ini. Terlepas dari target yang ambisius, beberapa indikator dan asumsi yang digunakan untuk memodelkan supply dan demand energi dalam RUEN pun dibangun berdasarkan basis data dan informasi di tahun 2015. Padahal, dalam lima tahun terakhir ini indikator dan asumsi dari sosio-ekonomi, tekno-ekonomi sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan,”ulasnya.

Hal ini pula yang melatarbelakangi IESR untuk melakukan studi lanjut yang terangkum dalam Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia. Tujuannya untuk mendorong Indonesia agar lebih bersiap dan tidak jauh tertinggal sehingga tidak mengalami banyak kerugian di bidang ekonomi, sosial bahkan lingkungan. Laporan ini memuat lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia, yang diawali dengan laporan pembelajaran berjudul National Energy Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario yang ditulis oleh Agus Praditya Tampubolon.

Agus mengkaji RUEN 2017 melalui tiga skenario tambahan (skenario realisasi, kebijakan terkini, dan transisi energi) untuk mengevaluasi dan memproyeksikan capaian dari target RUEN awal.

“RUEN 2017 ini menggunakan data 2000-2015 untuk memproyeksikan data 2016-2050. Temuannya di skenario realisasi ternyata konsumsi energi primer lebih rendah dibanding RUEN. Konsumsi listriknya juga lebih kecil, di RUEN menargetkan 2500 KWh per kapita di 2025, sementara yang akan terjadi hanya 1582 kWh per kapita,”urai Agus.

Agus melanjutkan bahwa dengan pola seperti ini maka target energi terbarukan pada RUEN yakni 45,2 GW di 2025 tidak akan tercapai, melainkan hanya 22, 65 GW saja.

Di skenario kebijakan terkini, ia mengkombinasikan beberapa kebijakan misalnya identifikasi jaringan kota, kendaraan listrik, biodiesel untuk memproyeksikan target RUEN. Hasilnya, bauran energi primernya di RUEN pada 2025 yang semula 15 % meningkat menjadi 18%.

“Dan di tahun 2050,  peningkatannya lebih drastis lagi bukan 23% melainkan 40,3%. Ini jauh dari target skenario RUEN maupun target proyeksi skenario realisasi,” tandasnya.

Lebih jauh, Agus memaparkan di skenario transisi energi, ia menggunakan parameter pembatasan pembangunan PLTU batu bara. Alhasil, porsi energi terbarukan di bauran energi prima yang di RUEN adalah 18%, meningkat menjadi 20% di tahun 2025

“Di 2050 akan semakin meningkat di sekitar 66-69%,”urainya.

Beranjak pada temuan yang ia bedah ini, IESR merekomendasikan tiga poin penting bagi pemerintah. Pertama, meninjau kembali parameter dan asumsi RUEN 2015-2050. Kedua, meningkatkan porsi energi terbarukan yang sejalan dengan pengurangan energi fosil. Salah satu caranya adalah dengan mengurangi pembangkit PLTU batu bara. Ketiga, mengusulkan kajian pengembangan skenario alternatif dalam rencana penyediaan energi nasional yang mengintegrasikan porsi energi terbarukan yang lebih besar.

Menanggapi hasil laporan dan rekomendasi IESR, Sugeng beranggapan meski pihaknya selalu mengulas RUEN setiap tahun, namun pengkaji ulangan RUEN akan dilakukan bila ada kondisi yang mendesak.

“Misalnya seperti kemarin kita lihat di TV, akibat COVID-19,  Dirut Pertamina menyatakan bahwa kebutuhan BBM turun sekitar 25-26%. Ini termasuk cukup signifikan. Jika hal ini terjadi terus menerus maka (RUEN) harus kita kaji juga,” jelasnya.

Sementara, Saleh mengaku tertarik pada rekomendasi IESR terkait skenario alternatif yang berhubungan dengan transisi energi.

“Skenario transisi energi IESR tentu menjadi masukan yang bagus. Kita tidak mau terus menerus tergantung pada energi fosil, Jadi saya pikir masih ada cukup waktu untuk mempersiapkan. Saya ingin IESR terus memperkaya kita bagaimana cara kita agar transisi energi itu bisa juga menghasilkan transisi ekonomi berkelanjutan dengan nilai tambah yang lebih tinggi,” ujarnya.

Laporan lengkap dari studi ini dapat anda unduh di:

Saksikan pula siaran tunda dari diskusi webinar ini:

Resmikan PLTS Atap Terbesar di Jateng: Keniscayaan Transisi Energi

Refleksi Satu Tahun Jateng Solar Province

Klaten, 6 Oktober 2020 — Satu tahun semenjak pencanangan Jawa Tengah (Jateng) sebagai  pionir provinsi surya (Jawa Tengah Solar Province)  pada 17 September 2019 oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Institute Essential Services Reform (IESR) yang juga didukung oleh Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Jateng semakin meningkat. 

Provinsi Jawa Tengah sendiri memiliki potensi radiasi energi surya 4,05 kWh/kWp per hari, sedikit di atas rata-rata Indonesia (3,75 kWh/kWp). PLTS Atap merupakan solusi utama untuk pemanfaatan potensi tersebut. Pemasangan PLTS dapat membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020 sebesar 11,60%.

Potensi Teknis PLTS Terapung di Jawa Tengah

Inisiasi Jateng Solar Province ini ternyata selaras dengan upaya PT Tirta Investama (Danone- AQUA) menggunakan listrik energi terbarukan. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jawa Tengah ini pada 6 Oktober 2020 meresmikan instalasi PLTS Atap sebesar 2,9 MWp di pabriknya di Klaten. PLTS Atap yang dipasang di pabrik AQUA di Klaten terdiri dari 8.340 modul panel surya di empat gedung atap seluas 16.550 m2. Pembangkit ini dapat menghasilkan energi untuk 2500 unit rumah dengan daya terpasang 900 VA.

Sebagai bagian dari RE100, grup Danone secara global berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan 100% untuk operasionalnya pada 2030. Instalasi PLTS Atap merupakan bagian untuk memenuhi target tersebut. Dengan peresmian di Klaten, sampai 2020 Danone-AQUA telah mengoperasikan 5,67 MWp PLTS di empat pabriknya.   

Fabby Tumiwa,  Direktur IESR, yang menjadi penanggap di acara peluncuran ini mengapresiasi langkah PT Tirta Investama dengan pemanfaatan energi terbarukan yang dapat berkontribusi pada penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai komitmen Indonesia untuk mencapai target Paris Agreement. PLTS Atap juga memberikan kontribusi penting terhadap komitmen Jawa Tengah mewujudkan Jateng Solar Province

Dia juga menyoroti pula keterlibatan Total Solar selaku perusahaan multinasional yang awalnya berkecimpung di bidang minyak dan gas yang saat ini beralih ke sektor energi terbarukan.

“Investasi PLTS Atap oleh Danone-AQUA adalah fenomena menarik karena mempertemukan dua perusahaan multinasional yang saling bersinergi mendorong transisi energi global untuk memastikan kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat,” paparnya.

Menurutnya, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan melihat banyaknya pelaku industri di dunia yang menetapkan target untuk menggunakan listrik yang bersih melalui pemanfaatan teknologi energi terbarukan. 

Menurut Fabby, investasi PT Tirta Investama menunjukan bahwa teknologi PLTS semakin terjangkau dan kompetitif harga listriknya. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa harga modul surya turun 90 persen dalam 1 dekade terakhir, harga listrik dari PLTS semakin murah dan dapat menandingi pembangkit fosil seperti PLTU. Pemanfaatan PLTS yang meluas juga menunjukan bahwa isu intermitensi energi terbarukan bukanlah kendala yang tidak dapat diatasi. Ini membongkar mitos yang selama ini beredar bahwa PLTS tidak handal dan mahal. 

Menyoal target pemerintah untuk bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025, Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM  memaparkan bahwa masih ada selisih antara target dan perencanaan yang cukup besar yang harus segera diatasi. 

“Saat ini, proyeksi kita masih ada di 15 persen dari 23 persen,” ungkapnya.

Harris menjelaskan bahwa pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan untuk memenuhi target selisih 8 persen tersebut.

“Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 49 Tahun 2018 yang sudah mengalami perbaikan menjadi Permen nomor 13 Tahun 2019 dan nomor 16 Tahun 2019. Usahanya ini untuk membuat PLTS Atap menjadi lebih menarik tidak hanya di industri rumah tangga tapi tapi juga semua bangunan komersial,” imbuhnya.

Ganjar  Pranowo, Gubernur Jawa Tengah memuji langkah industri untuk penerapan energi ramah lingkungan. Ganjar menegaskan pentingnya transformasi perilaku dalam memasuki era transisi energi ini.

“Ada lampu tenaga surya untuk penerangan jalan yang mati karena tidak dirawat atau aki (baterai) nya hilang. Dana perawatan dari pemerintah pusat tidak tersedia tapi hal seperti ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu payung kerjasama antar lembaga pemerintah, pelatihan untuk merawatnya serta perlu keseriusan dari berbagai pihak sehingga teknologinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan” ungkapnya.

Ganjar berpendapat Indonesia bisa bergerak lebih maju di bidang PLTS karena tersedianya bahan dasar pembuatan sel surya. Oleh karena itu Indonesia perlu membangun industri sel surya dan pendukung lainnya. 

“Bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, kita pasti bisa membuat teknologi sel, modul surya, baterai yang bisa diproduksi massal untuk rumah tangga,”simpul Ganjar pula (US, FT).