Jika Pemerintah Serius Dalam Susun Peta Jalan Transportasi Rendah Karbon, Indonesia Berpotensi Dapat Cegah 500 Ton Emisi Karbon di 2050

Liputan Kegiatan – Seri laporan studi tematik peta jalan transisi energi di Indonesia: Transisi Menuju Transportasi Rendah Karbon

Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020 –  Seiring dengan perkembangan ekonomi, transportasi berkembang menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hanya saja, limbah karbon yang dihasilkannya, bila tidak ditangani secara serius oleh pemerintah dan berbagai pihak, kelak akan menaikkan suhu bumi yang membahayakan kehidupan manusia. Selain itu, jika lalai, Indonesia sendiri berisiko terkucilkan dari pergaulan internasional karena tak dapat memenuhi janjinya pada Kesepakatan Paris untuk menghasilkan nol emisi di tahun 2050.

Urgensi inilah yang menjadi pembahasan Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran laporan seri keduanya dari lima seri laporan studi mengenai Peta Jalan Transisi Energi Indonesia yang berjudul A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia: A Technological Perspective. Berlangsung secara daring, acara ini turut mengundang Firdaus Komarno, Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kementerian Perhubungan dan Faela Sufa,  Direktur Asia Tenggara dari Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) untuk merespon temuan dan rekomendasi dari laporan yang ditulis oleh Julius Christian Adiatma.

Julius memaparkan bahwa sebagai pengguna BBM terbesar, transportasi menyumbang gas rumah kaca (GRK) di tahun 2017 itu sekitar 150 juta ton. Jika pola konsumsi energinya tetap sama maka di tahun 2050 akan menghasilkan sebesar 500 ton emisi karbon.

Ia menawarkan tiga pendekatan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memitigasi dampak dari transisi energi di bidang transportasi yaitu Avoid, Shift, dan Improve (ASI).

“Pendekatan Avoid artinya kita sebisa mungkin mengurangi jumlah perjalanan dan jumlah kebutuhan transportasi dengan melalui tata kota yang lebih baik. Sementara Shift itu adalah beralih ke moda transportasi yang lebih hemat energi atau lebih tidak karbon intensif. Improve berarti meningkatkan efisiensi dari kendaraan ataupun intensitas karbon dari kendaraan itu sendiri, “ jelasnya.

Membahas moda transportasi yang hemat energi, Julius menyarankan segera melakukan pengembangan elektrifikasi kendaraan ringan. Namun tentu saja, hal tersebut membutuhkan perencanaan yang matang dengan memperhatikan sistem kelistrikan di Indonesia yang masih menggunakan batu bara serta masih minimnya infrastruktur pendukung seperti pengisi daya kendaraan listrik.

“Intinya, mau tidak mau, transisi energi ini akan terjadi juga. Tentu saja menyebabkan beberapa dampak yang negatif, misalnya ketidaksiapan infrastruktur atau kesalahan pemilihan teknologi. Penurunan aktivitas ekonomi atau terjadinya aset terdampar,” imbuhnya.

Julius juga menyinggung peta jalan yang telah disusun oleh Kementerian Perhubungan. Menurut Julius, cita-citanya belum sesuai dengan Paris Agreement.

“Kalau kita lihat roadmap dari industri otomotif kan itu sampai tahun 2034, kalau tidak salah baru 30% dari produksi kendaraan dalam bentuk kendaraan energi surya atau biofuel. Jika demikian, maka proyeksinya di tahun 2020, hanya 30 persen kendaraan listrik yang ada di jalan,” urainya.

Menurutnya lagi, peta jalan transisi energi di bidang transportasi harus memuat pembangunan infrastruktur yang sesuai perkembangan teknologi, mengantisipasi dampak ekonomi-sosial dari transisi beserta rencana mitigasinya, serta riset dan pengembangan teknologi alternatif transportasi rendah karbon. Selain itu,  pemerintah harus memiliki rencana dan memastikan bahwa proses transisi ini dapat dicapai dengan sukses sekaligus mengurangi risiko-risiko dari proses transisi yang terjadi, utamanya kepada pemangku kepentingan yang terlibat (termasuk didalamnya para pelaku industri, pekerja dan masyarakat yang terdampak).

Menanggapi penjabaran Julius, Faela sepakat agar pemerintah harus lebih proaktif menyikapi kebutuhan transportasi rendah karbon, tidak hanya di tataran nasional bahkan hingga daerah.

“Perlu ada peta jalan dan target di tingkat daerah untuk beralih ke transportasi publik dengan energi terbarukan jadi tidak hanya listrik saja,” tandasnya.

Ia juga menyarankan agar Kementerian Perhubungan bisa mendorong kebijakan insentif non fiskal di pemerintah daerah seperti tiket parkir yang lebih rendah bagi kendaraan yang rendah karbon.

Merespon hal ini, Firdaus Komarno secara umum sepakat akan kebutuhan Indonesia untuk melakukan transisi energi. Melalui presentasinya, Firdaus mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong perubahan energi di bidang transportasi. Namun, ia mengakui kebijakan tersebut belum cukup terintegrasi dengan baik.

“Mudah-mudahan makin kedepan terutama tiga Kementerian yakni Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Perhubungan dan Perindustrian saling bersinergi, berintegrasi dalam rangka mengawal pembangunan rendah karbon ini,” harapnya.

Firdaus mempunyai pandangan yang sama terkait tantangan transisi energi di Indonesia. Selain yang sudah Julius sebutkan, pemerintah juga masih terkendala pada belum adanya penetapan tarif listrik sehingga tidak memberi kepastian bagi produsen kendaraan listrik. Selanjutnya pemerintah juga belum mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi pengguna kendaraan rendah karbon.

Lebih jauh, Firdaus merasa senang dan terbuka bila ada kesempatan diskusi bagi pihaknya, IESR ataupun organisasi lain yang mempunyai visi sama untuk mewujudkan transportasi rendah karbon di Indonesia.


Saksikan kembali siaran tundanya:

Materi paparan

A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia_ a technological perspective

Unduh

Bahan Webinar IESR 061020

Unduh

Kerja Keras untuk Ciptakan Ekosistem Ramah PLTS Atap

Sunsational GNSSA: Refleksi Tiga Tahun Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap

Jakarta, 24 September 2020

Di tahun ke tiga setelah peluncuran Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), para deklarator, pemerhati energi bahkan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, berkumpul secara daring untuk merayakan pencapaian, mengulas tantangannya, dan menegaskan kembali komitmen bersama untuk mendorong penggunaan PLTS atap  di Indonesia.

Sedikit bernostalgia, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms (IESR) yang juga merupakan salah satu deklarator GNSSA menuturkan bahwa ide dan target GNSSA ini awalnya tercetus secara spotan namun menjadi sangat berdampak karena melibatkan banyak diskusi dan inisiasi berbagai pakar energi di dalamnya.

Meski, hingga tahun ini, target satu juta pengguna PLTS atap belum tercapai, namun pihaknya mengapresiasi setiap usaha dalam merealisasikannya;  di antaranya total 11,5 MW PLTS terpasang dengan  7,5 MW dari total pelanggan PLN, lahirnya Peraturan Menteri (Permen) No. 49 tahun 2018 serta mulai tersedotnya  perhatian publik akan PLTS atap.

Menyikapi pencapaian ini,  para deklarator yang hadir pun pada umumnya memberikan tanggapan yang senada. Surya Dharma Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengakui bahwa sosialisasi PLTS atap relatif berhasil.

“Semangat ini tidak boleh padam. Saya ingin kita menggaungkan ini kembali supaya menjadi gerakan yang membawa keberhasilan,” tegasnya antusias.

Seiring dengan bertambahnya minat masyarakat atau pemerintah daerah untuk memasang  PLTS atap di rumah mereka, beberapa tantangan pun muncul ke permukaan. Tommy salah satu penggunaan PLTS atap mengungkapkan hal ini, “Di Semarang pada akhir 2018 saat Permen No. 49 baru keluar, net meter masih susah, tapi syukurlah untuk saat ini, net meter di Semarang sudah sangat mudah dan lancar.”

Ia pun menuturkan kendala lainnya adalah penerapan peraturan yang belum seragam sehingga harga produk PLTS atap menjadi sangat bervariasi. Ia  berharap kelak ada standarisasi di bidang harga. 

Tidak hanya itu, biaya investasi PLTS atap masih cenderung mahal.  Tommy mengusulkan agar pemerintah daerah melalui bank daerah bisa memberikan bantuan pinjaman sama halnya seperti pemberlakuan kredit pada motor.

Fabby dalam pemaparannya menyoroti tantangan yang serupa.

 “Ada hal yang masih harus ditingkatkan yakni ekosistem untuk mendukung pengembangan PLTS atap,” tukasnya. 

Ia memaparkan bahwa keterlibatan pemerintah sangat penting  dengan  memberikan dukungan kebijakan, pemberian insentif, penguatan institusi dalam melakukan pendampingan, pemberian informasi dan dukungan teknis bagi yang tertarik dengan PLTS atap dan penyediaan pusat pelayanan sehingga menjamin kualitas produk PLTS atap. Diperkirakan, jika rancangan ini berjalan maka dapat menyerap sekitar 30 ribu pekerja di bidang PLTS atap dan berpotensi besar dalam memulihkan perekonomian  Indonesia. 

Lebih lanjut, Andika Prastawa, Direktur Pusat Pengkajian Industri Manufaktur Telematika dan Elektronika (PPIMTE) yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), mengatakan bahwa target besar GNSSA bukan berarti ambisius melainkan mendorong segenap pihak untuk bekerja keras. 

Ia sepakat bila ekosistem itu terbentuk maka di tahun 2025 pertumbuhan PLTS atap akan semakin cepat. Ia menghitung jika tercapai 200 MW pertahun, maka sekitar 200 juta US berputar untuk PLTS atap sehingga industrinya semakin kompetitif.

“Industri ini cocok untuk membantu pemulihan ekonomi akibat COVID-19, karena PLTS tidak memerlukan pekerjaan yang massif  dan tidak melanggar social distancing,” ujarnya.

PLTS  Atap Semakin Populer Di Daerah

Hadir pada kesempatan yang sama, Jarwanto dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral  (ESDM) Jawa Tengah menuturkan perkembangan yang menggembirakan mengenai penggunaan PLTS atap di wilayahnya.

“Kita sudah 1 tahun setelah peluncuran revolusi surya di Jateng. Sebenarnya kita terlambat 2 tahun dari GNSSA,” tuturnya seraya tertawa.

Namun, ia menjelaskan bahwa banyak hal positif yang berhasil  pemerintah siasati untuk menyukseskan program revolusi surya.

“Dimulai pemasangan PLTS atap di kantor dinas membuktikan kepada semua bahwa setelah kita deklarasi, dengan berani, kita gebrak untuk bisa menjadi kebijakan  daerah. Responnya luar biasa bagus. Seandainya tidak ada virus corona, lompatannya lebih tinggi yakni sekitar  5.1 MW di Jawa Tengah,” lugasnya.

Sementara Bali, melalui Disnaker ESDM Bali, Setiawan menjelaskan bahwa pemerintah daerahnya masih mengkaji secara komprehensif pembangunan PLTS atap di wilayahnya karena struktur bangunan dan atap yang cenderung berbeda di bandingkan berbagai kota besar di Indonesia. Meskipun demikian, ia berterima kasih akan bantuan dari pemerintah pusat yang telah memberikan fasilitas PLTS atap sebesar 270 KW di 7 lokasi ikonik di  Bali.

Jakarta, di sisi lain, bahkan sudah merekomendasikan penggunaan PLTS atap karena mendukung penurunan pencemaran udara sesuai Instruksi Gubernur nomor 66 tahun 2018. 

“Seandainya panel surya ini sudah ada di katalog nasional, maka tidak perlu birokrasi yang lama, pengguna dapat langsung memasangnya,” ujar Rikki dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta.

Salah seorang penggiat solar energi yang telah berjuang selama 20 tahun dan juga merupakan deklarator GNSSA, Jon Raspati menganggap pencapaian GNSSA merupakan impiannya yang menjadi nyata. Ia pun mengajak semua orang terlibat dalam GNSSA bukan semata untuk menikmati keuntungan dari PLTS atap tapi berpartisipasi pula dalam menyelamatkan bumi dari energi kotor.

“Di seluruh dunia, PLTS atap menjadi lokomotif ekonomi. Karena energi  surya maupun angin ini tidak pernah habis. Energi ini merupakan energi yang tidak diskriminatif sehingga semua orang bisa memanfaatkannya. Sama halnya dengan bumi ini, jutaan orang yang harus bertanggung jawab merawatnya,” tegasnya.

Saksikan siaran tundanya disini:

Ajak Masyarakat Bumikan Transisi Energi: Ideathon Indonesia Merdeka dari Energi Kotor

  

Jakarta, 14 September 2020 – Transisi Energi Ideathon 2020 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) telah mencapai pada puncaknya di hari Sabtu, 12  September 2020 lalu, dengan diselenggarakannya Acara Penganugerahaan Ideathon 2020 yang dihadiri oleh para Finalis dan Dewan Juri yang disiarkan langsung secara daring. Rangkaian kegiatan Transisi energi Ideathon ini mengusung tema besar Indonesia Merdeka dari Energi Kotor. Proses lomba di selenggarakan mulai 10 Agustus 2020 hingga 11 September 2020.

Peluang serta ancaman gelombang transisi energi global perlu diantisipasi dan diatasi dengan baik oleh para pemangku kepentingan utama di sektor energi dan listrik dengan pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang tren saat ini dan konsekuensinya. Peran masyarakat Indonesia khususnya generasi muda sangat berperan penting dalam mendukung serta mempercepat agenda transisi energi ini, termasuk dalam membangun opini publik tentang pentingnya kesadaran rakyat akan pemanfaatan teknologi Energi Terbarukan dan/atau sumber energi bersih di tingkat lokal.

Di tahun 2020 ini, Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-75. Merdeka dari kolonialisme, namun belum merdeka dari penyediaan energi yang bersumber dari energi kotor (gas, minyak bumi, dan batu bara). Sementara itu, di waktu yang bersamaan, negara-negara lain, termasuk negara berkembang di Asia Tenggara, telah merespons dan turut serta dalam gelombang transisi energi terbarukan menuju sistem energi dan ekonomi yang rendah karbon. Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini, Transisi Energi Ideathon 2020 ini diadakan, untuk ikut memberikan gagasan dan pemikiran untuk bagaimana Indonesia dapat bertransisi menuju sistem energi rendah karbon, merdeka  dari energi kotor. Penyampaian Ide, gagasan dan pemikiran tersebut dikemas sebuah lomba karya jurnalisme kreatif, fotografi, dan video inovatif. Dengan mengusung tema Transisi Energi Ideathon 2020: Indonesia Merdeka dari Energi Kotor, IESR memanggil karya-karya terbaik anak bangsa untuk dapat turut berkontribusi dalam menyuarakan urgensi bertransisi dari energi kotor.

Kompetisi ini bertujuan untuk menyediakan wadah bagi para jurnalis, penggiat foto dan video, dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk dapat menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka mengenai pentingnya transisi energi di Indonesia dalam rangka hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75. Selain itu, serangkaian kegiatan yang dilaksanakan juga sekaligus menjadi momentum untuk mendengarkan perspektif dan aspirasi masyarakat terhadap penyediaan dan akses energi di Indonesia.

IESR selaku penyelenggara juga berusaha untuk memberikan wadah kreatif kepada masyarakat (terlebih generasi muda) dalam penyampaian perspektif dan gagasannya terhadap status perkembangan transisi energi global dan urgensinya untuk Indonesia; mendapatkan informasi, pandangan, dan masukan dari khalayak umum mengenai tantangan pemberitaan topik transisi energi/energi bersih serta; meningkatkan partisipasi dan peran generasi muda dalam mendorong wacana transisi energi di tanah air agar dapat merdeka dari energi kotor, sebagai beberapa hal utama yang hendak kami capai.

Hingga masa pengumpulan hasil karya dari kompetisi ini ditutup pada 31 Agustus 2020, panitia penyelenggara menerima lebih dari 100 peserta dengan hasil karya Foto, Video, dan jurnalisme kreatif yang diikuti oleh peserta dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Seluruh hasil karya yang masuk kemudian di seleksi menjadi beberapa peserta yang kemudian diumumkan menjadi para Finalis lomba Video dan Photo story

Para Finalis tersebut adalah:

Finalis Lomba Video Inovasi (disusun berdasarkan abjad nama peserta)

  1. Abiteru Sitepu, Kabanjahe
  2. Akhmad Romadoni, Pasuruan
  3. Epafras Freddy, Yogyakarta
  4. Fajri Ramdjani, Makassar
  5. Farkhana Rizkya, Mojokerto
  6. Haritsa Taqiyya Majid, Yogyakarta
  7. Aji Saputro, Lamongan

Finalis Lomba Photo Story

  1. Andri Muhamad Fauzi, Bandung
  2. Arif Hermawan, Jakarta
  3. Fitra Yogi, Padang
  4. Giri Wijayanto, Sleman
  5. Lilik Darmawan, Banyumas
  6. Muhammad Awaludin, Palembang
  7. Muhammad Iqbal, Malang
  8. Muhammad Ikhsan, Bengkulu

Dewan Juri

IESR juga menghadirkan Dewan Juri profesional yang ahli dalam bidangnya masing – masing yang memiliki pengalaman serta latar belakang teknis yang mumpuni di setiap kategori, adapun para dewan Juri tersebut adalah:

Jurnalisme Kreatif:
Aris Prasetyo, Wartawan Senior Harian Kompas
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR

Photo Story:
Okky Ardy, Documentary Photographer PannaFoto Institute
Priyombodo, Photorgrapher Jurnalis Kompas
Kharina Dhewayani, Finance and Admin Manager IESR

Video Inovasi:
Amanda Valani, Head of Content Narasi TV
Jannata Giwangkara, Manajer Program Transformasi Energi IESR
Gandabhaskara, Koordinator Komunikasi IESR

Proses penjurian Ideathon 2020

Proses penjurian diawali dengan seleksi administrative, khusus untuk kategori Jurnalisme Kreatif, kompetisi ini diperuntukan bagi insan pers Indonesia.

Photo story

Kriteria Penilaian
Secara garis besar, beberapa kriteria yang menjadi acuan dalam menilai hasil karya Photostory meliputi Tematis, Konten, dan Teknis.
1. Kesesuaian tema (Tematis)
Yakni meliputi sejauh mana karya-karya tersebut terkait dan sesuai dengan tema yang diberikan panitia. Dalam hal ini yaitu tema energi (bersih) di sekitar kita: teknologi, humaniora, dan lingkungan. Diharapkan, setidaknya tema tersebut tercermin melalui photo story yang dikirim untuk mengikuti perlombaan.
2. Orisinalitas
Orisinalitas dalam hal ini meliputi sejauh mana ide-ide, eksplorasi, dan pendekatan visual yang digunakan dalam photo story-nya.
3. Teknis
Melingkupi unsur-unsur dasar fotografi. Mulai dari ketajaman, sudut pandang (angle), komposisi, dll.

 

“Membuat photo story itu bayangkan sama seperti membuat film, dimana penonton disajikan dengan sebuah plot – plot mulai dari frame awal hingga akhir dengan satu rangkaian naratif yang memiliki emosi dan pesan, bukan merupakan satu foto yang berdiri sendiri dan berbeda – beda, hanya bedanya photo story itu memainkan kekuatan visual saja, tidak bergerak dan tidak ada audionya” terang Okky Ardya, salah satu Dewan Juri di hadapan para Finalis pada acara penganugerahan.

Okky Ardya, juga mengapresiasi seluruh hasil karya para finalis yang berhasil menghadirkan narasi yang kuat sesuai tema dalam kompetisi ini.

Jurnalisme Kreatif

Kesesuaian tema, kedalaman/kelengkapan fakta dan data, Logika tata nalar tulisan serta tata Bahasa merupakan elemen – elemen yang di nilai dalam proses penjurian di kategori ini oleh panelis dewan juri

“Saya salut kepada para peserta yang mayoritasnya di sumbang dari teman – teman (jurnalis) yang ada di daerah untuk berpartisipasi dan turut mengampanyekan proses transisi energi di Indonesia, dan secara umum para peserta ini sudah paham betul dengan topik energi terbarukan, dan menjawab mengapa kita harus segera bertransisi dari energi fosil ke energi terbarukan” Ujar Aris Prasetyo, Jurnalis Senior Kompas yang juga merupakan salah satu dewan Juri di kategori ini.

 

Video Inovasi

Kriteria penilaian

1.Relevansi tema
Hubungan antara tema besar dan konteksnya bagi para pemirsa
Pemilihan perspektif secara kreatif pada tema spesifik dan berhasil membuat cerita tersebut relevan pada pemirsa

2. Gagasan
Mempunyai pesan yang tegas dan orientasi tujuan yang jelas
Gagasan tersebut mampu menjawab/mendeskripsi tantangan – tangan kunci serta bagaimana cara menanganinya

3. Kualitas riset
Pengumpulan data dan pemaparan ide berdasarkan studi – studi yang di lakukan oleh IESR
Tingkat pemahaman terhadap riset tersebut dan mampu mengkomunikasikan data tersebut pada pemirsa

4. Visualisasi Data
Penyajian data secara kreatif dan berbeda
Mudah dipahami

5. Dampak terhadap emosi
Memberikan dampak emosi kepada pemirsa
Mampu menciptakan kesan yang berjangka lebih panjang serta mampu mengajak pemirsa untuk berinteraksi atau beraksi

6. Cerita bertutur (Storytelling)
Kemampuan dalam merangkai sebuah topik menjadi masalah yang universal dan inklusif
Cerita dan narasi dapat membangkitkan elemen – elemen yang tak terduga, hingga bagaimana akhirnya sebuah pesan dalam cerita tersebut terungkap

7. Tingkat kesulitan
Kualitas sinematografi
Kompleksitas animasi/motion graphic
Perkiraan biaya produksi

Elemen – elemen diatas merupakan gambaran besar bagaimana para dewan juri harus melihat secara objektif menilai karya keseluruhan dalam proses penjurian.

Bergabung melalui daring, Dewan juri video inovasi Amanda Valani menambahkan bahwa para finalis Video Inovasi ini berhasil menyampaikan karya – karyanya dengan cara bertutur, tidak menggurui dan edukatif, Amanda juga sangat terkesan dengan ragam format video yang di kumpulkan mulai dari motion graphics, explainer atau vlog, sampai ke features.

“Kita dilatih untuk berfikir sederhana sebenarnya di konteks membuat video kreatif, bagaimana misalnya menurunkan hasil riset (IESR.red) yang menurut saya sudah level dewa dan menurunkannya ke-level masyarakat agar membuat masyarakat mau untuk berubah, itu adalah emotional impact yang merupakan unsur yang sangat penting dalam membuat video kreatif”

Para pemenang

Setelah melalui proses yang panjang dan di kaji oleh para dewan juri, termasuk pilihan publik sebagai karya favorit yang dipilih melalui kanal resmi media sosial IESR, terpilih sebagai pemenang dalam Transisi Energi Ideathon 2020 sebagai berikut:

NamaKaryaKategori Pemenang
Dhana KencanaPLTS Atap di Stasiun Batang, Energi Bersih untuk Indonesia MendatangJuara Utama Jurnalisme Kreatif -- Hard News
Della SyahniBelajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan MatahariJuara Utama Features -- Jurnalisme Kreatif
Bhekti SuryaniHarga Mahal Energi Baru Terbarukan Cuma MitosJuara Utama In-depth Report, Jurnalisme Kreatif
Fajri RamdhaniIndonesia Merdeka dari Energi KotorJuara I Video Inovasi
Epafras Freddy Perda SetyawanPasar Indonesia Mandiri EnergiJuara II Video Inovasi
M. Aji SaputroEnergi Masa Depan IndonesiaJuara Favorit
Giri WijayantoPenggunaan Lampu LED UV bertenaga Surya sebagai perangkap hama tanaman bawang merahJuara Utama
Muhammad IkhsanLebong Tandai, 120 Tahun Menikmati Listrik dari Kincir SungaiJuara Favorit

Segenap panitia penyelenggara dan anggota dewan juri mengucapkan selamat kepada seluruh pemenang, dan turut mengapresiasi seluruh peserta atas antusiasmenya untuk berpartisipasi dalam kegiatan Transisi Energi Ideathon – Indonesia Merdeka dari Energi Kotor. Kami berharap karya – karya anda sekalian dapat menginspirasi kita semua untuk membantu Indonesia agar segera dapat segera Merdeka dari Energi Kotor dan beralih ke Energi terbarukan!

Tetap bekarya dan sampai jumpa di Transisi Energi Ideathon selanjutnya.

Beyond 100%: What Does Universal Energy Access Mean?

The term “energy access”, while widely used to underline modern development, has no single global definition. In global level, the definitions often cover 4 important aspects: connections (or at least for lighting), access to clean cooking energy, energy for productive uses, and energy for public services. The importance of energy access for modern development has been integrated in The UN’s Sustainable Development Goals, i.e. SDG 7, and is being tracked regularly every year. With the importance of defining energy access, IESR held a public webinar on 4 September 2020.

In May 2020, The World Bank (with several agencies) issued a report on global energy access status Tracking SDG 7: The Energy Progress report 2020. In this report, highlights for Indonesia include significant developments on three main targets: availability of electricity (based on electrification ratio) and clean energy for cooking, utilization of renewable energy, and energy efficiency. However, based on IESR’s analysis, this good development should be considered with several notes.

Energy access in Indonesia is often narrowly interpreted only as a connection to the grid, access to LPG distribution networks, or the availability of basic lighting. However, as essential services, energy access should be able to contribute to poverty alleviation, economic growth, and general development agenda. Beyond the basic needs for daily activities, that often tend to be consumptive in nature, the provision of energy is a driving force for productive activities; whether on a household scale, in the case of small and medium enterprises, and on a large scale. Access to energy is also important for education and health services. With better education and health, more windows of opportunity are opened, including opportunities to get a job or to an entrepreneurship.

In Indonesian context, “quality energy access” has yet to enter mainstream energy discourse, for both electricity and clean cooking. With government’s plan to achieve 100% electrification this year, it is then necessary and timely to introduce access beyond connections – as to influence future planning related to energy access. Lessons learned from other countries on integrated energy planning are needed, specifically to answer the gaps in considering quality and community context to energy provision.

Dr. Sarah Wykes from CAFOD explained the importance of an inclusive and integrated energy planning as to answer the needs for energy and its intended impacts. Building Energy Delivery Model (EDM) with IIED, Sarah elaborated on interventions on energy should cover maximum impact, sustainability, as well as scalability. From her experience, planning in national level was not always delivered seamlessly into sub-national level; thus EDM could fit the “translation” process – as it allows community and the government to work together in identifying needs and solution. EDM is currently being piloted in Indonesia and also being used for Kenya County Energy Planning. The 6-steps toolkit of EDM is useful to map energy needs, prioritization, available resources, as well as potential collaborators to implement the solutions – Kitui County in Kenya was applying this to develop their mid-term energy planning.

Fabby Tumiwa of IESR told the story of EDM pilot in Indonesia. Boafeo, a village in Ende (East Nusa Tenggara) was chosen based on multi-criteria assessment. Upon energy needs assessment, Boafeo community identified 3 priorities: increased income from coffee production, better energy for household, and education outcome improvement. These choices showed that “energy access” is not confined under lighting need or simply connection – but on how the energy would play a part in the whole ecosystem. In the case of Boafeo, education is seen as important, and with the multiple appearance of stunting, improving education quality could be made possible with audiovisual learning process – requiring electricity. Solar panels has now been installed in Boafeo School, along with complementary teachers training on interactive learning and creative class.

Rachmat Mardiana from Bappenas agreed that comprehensive energy planning is needed, also with the redefinition of energy access. Bappenas is now developing a platform for energy planning with the aid from development agencies to obtain renewables-based least-cost electrification in eastern Indonesia. The platform embeds multi-tier framework adoption, covering quality energy access beyond connection. Faridz Yazi from Ministry of Village also elaborated on “village development” as seen from promoting local economic potential, and energy access is much needed to boost the process. With the availability of Village Fund and programs from Ministry of Village, local renewable development and integrated energy planning is possible – in collaboration with relevant stakeholders and with capacity buildings for village government and community.

Wahid Pinto Nugroho from Ministry of Energy and Mineral Resources took the time to show MEMR’s planning in establishing more accurate database and mapping for energy needs, using GIS-based platform. The challenges in energy planning include data validation and other socio-economic indicators, thus the platform will serve as comprehensive database for future program. For short-term measure, MEMR is currently rolling “power tube” – a portable rechargeable tube to provide basic energy access for remote areas. He mentioned that in the long term, more sustainable energy sources tailored to people’s needs will be arranged.

From the private sector, Jaya Wahono of Clean Power Indonesia shared his story in promoting renewable energy access for community. In his opinion, Indonesia needs “fit for purpose” energy solution: using local renewable energy with minimum damage to the environment, dispatchable and scalable, also reliable and sustainable. His company has worked with community to provide biomass for local electricity generation, and this scheme could be replicated in Indonesia with several prerequisite, including funding and financing scheme, technology readiness, and local employment benefits.

Recording of the webinar is available here and the slide decks are available in this link.

 

 

Kontribusi Sektor Transportasi dalam Proses Dekarbonisasi untuk Mencapai Target Kesepakatan Paris

Pembatasan kenaikan emisi dalam rangka penyelamatan bumi dan umat manusia menjadi perhatian global. Kesepakatan Paris memanggil 193 negara anggota UNFCCC untuk melakukan sejumlah aksi dalam upaya penurunan jumlah emisi sehingga dapat menekan kenaikan suhu bumi jauh di bawah 2˚ atau bahkan hingga 1,5˚C. Dalam memenuhi pembatasan kenaikan suhu, upaya penurunan emisi di sektor transportasi memegang peranan penting karena sektor ini mengonsumsi 45% dari total energi final, dimana 94% di antaranya berasal dari bahan bakar minyak (BBM).

Sektor transportasi dituntut untuk dapat berkontribusi dalam proses dekarbonisasi dengan melakukan transisi menuju sistem transportasi berkelanjutan. Dalam proses transisi ini, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja peluangnya dan apa saja tantangannya. Untuk membahas bagaimana strategi yang tepat dalam mewujudkan sektor transportasi berkelanjutan, IESR melakukan diskusi daring dengan tajuk “Strategi Dekarbonisasi Sektor Transportasi di Indonesia: Peluang dan Tantangan” pada Jumat, 28 Agustus, 2020.

Dimoderatori oleh Julius C. Adiatma, Periset/Spesialis Bahan Bakar Bersih IESR, diskusi ini meghadirkan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Jakarta, dan Prayoga Wiradisuria, GM Corporate Strategy Blue Bird Group sebagai narasumber dan menyampaikan paparannya. Selain itu, Putu Juli Ardika, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan dari Kementerian Perindustrian, serta Firdaus Komarno, Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan dari Kementerian Perhubungan turut hadir sebagai panelis yang memberikan tanggapan atas paparan narasumber dari perspektif mereka.

Fabby Tumiwa memulai paparannya dengan memberikan data-data mengenai konsumsi BBM dalam sektor transportasi yang merupakan kontributor utama terhadap kenaikan emisi. Laju pertumbuhan konsumsi BBM dapat ditekan melalui pendekatan ASI (Avoid, Shift, Improve).

Salah satu implementasi dari pendekatan ASI ini adalah dengan pemanfaatan kendaraan listrik yang memiliki tingkat efisiensi energi yang lebih baik dari kendaraan konvensional. Namun pengembangan kendaraan listrik masih memiliki banyak tantangan diantaranya keekonomian kendaraan listrik yang belum bisa bersaing dengan kendaraan konvensional. Penyediaan insentif fiskal maupun non fiskal serta penyediaan infrastruktur pengisian baterai dari kendaraan listrik menjadi salah satu aspek utama dalam meningkatkan laju pertumbuhan kendaraan listrik.

Dalam studi IESR, ditemukan bahwa sejumlah kondisi harus diberlakukan pemerintah dalam meningkatkan penetrasi kendaraan listrik sehingga berkontribusi pada dekarbonisasi sektor darat. Selain itu, dekarbonisasi pembangkit listrik harus dilakukan bersamaan dengan peningkatan penetrasi kendaraan listrik.

Di sisi lain untuk moda transportasi konvensional, bahan bakar alternatif akan diperlukan untuk moda yang belum dapat dielektrifikasi. Namun, sayangnya aspek hulu dari bahan bakar berbasis CPO masih di ”hantui” aspek-aspek yang tidak mendukung  aspek keberlanjutan; sehingga transparansi data di sektor hulu harus didorong untuk menunjang implementasi standar keberlanjutan. Sedangkan hidrogen dan bahan bakar sintetik masih belum kompetitif saat ini walaupun memang menjanjikan di jangka panjang.

Di akhir paparan, Fabby menyatakan bahwa peta jalan yang terintegrasi diperlukan dalam upaya mencapai dekarbonisasi transportasi.

Sebagai praktisi yang telah berkecimpung di bidang transportasi lebih dari 10 tahun, Damantoro menawarkan konsep yang terbilang baru yaitu melakukan dekarbonisasi transportasi dengan menggunakan teknologi informasi atau yang biasa disebut dengan “Mobility as a Service”. `

Pada dasarnya teknologi informasi membuat jarak bukan merupakan masalah lagi dalam melakukan mobilisasi barang, orang maupun ide, sehingga struktur bisnis seharusnya bersiap dalam melakukan inovasi atau revolusi. Kehadiran teknologi informasi dapat membuat efektivitas dan efisiensi dalam sektor transportasi tercapai yang kemudian membuat masyarakat lebih kreatif dalam melakukan inovasi.

Damantoro mengingatkan bahwa dekarbonisasi transportasi semakin penting peranannya dalam beberapa tahun ke depan mengingat adanya konsep urbanisasi dan pemekaran kota yang akan menyebabkan mobilisasi barang/orang akan semakin tinggi. Ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah emisi yang dihasilkannya, yaitu konsolidasi pergerakan untuk mengecilkan jumlah emisi per orang dengan mengumpulkan pergerakan (CO2/capita), integrasi layanan transportasi untuk memperpendek jarak (VKT), dan efisiensi perjalanan untuk mengurangi VKT dan fuel/km. Dan lebih lanjut dijelaskan bahwa teknologi informasi dapat berperan dalam ketiga hal tersebut:

  • KONSOLIDASI à mempromosikan moda angkutan umum/masal hingga ke tingkat individu melalui gawai komunikasi;
  • INTEGRASI à mengintegrasikan informasi layanan, estimasi waktu perjalanan, dan pembayaran sebagai fondasi awal integrasi perencanaan pergerakan;
  • EFISIENSI à melakukan efisiensi pergerakan dengan memberikan informasi sesuai kebutuhan dalam perencanaan pergerakan.

MAAS (mobility as a service) adalah kelanjutan dari tren MOD (mobility on demand) yang sudah digunakan masyarakat Indonesia sejak 2010.

Menanggapi paparan narasumber, Putu Juli Ardika memberikan penjelasan bahwa Indonesia sudah melakukan beberapa hal dalam dekabornisasi dari sektor transportasi, dimana salah satunya melalui program Low Carbon Emission Vehicle yang bermula dari LCGC/KBH2 (Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau). Memiliki pangsa pasar sebesar 20%, kendaraan ini dapat melakukan penghematan sebesar 50% dari kendaraan lain yang memiliki jenis yang sama. Setelah KBH2, Indonesia sedang menyiapkan program kendaraan listrik dan meningkatkan komposisi bahan bakar nabati di mesin kendaraan bermotor (biofuel/green fuel). Dari sisi industri, peta jalan industri otomotif nasional pun sudah menyertakan aspek-aspek dalam melakukan dekarbonisasi di sektor transportasi. Dan mulai tahun 2022, spesifikasi bahan bakar diesel akan setara dengan EURO 4.

Kemudian, Firdaus Komarno menyatakan bahwa konsep MAAS ini cepat atau lambat akan segera diadopsi oleh Kementerian Perhubungan. Secara umum, pandangan dan atau rencana dekarbonisasi sektor transportasi yang dimiliki Kementerian sejauh ini sudah sejalan dengan apa yang telah dipaparkan oleh narasumber seperti pendekatan ASI, Transit Oriented Development, pembangunan transportasi umum massal. Satu strategi terbaru yang ditawarkan oleh Kementerian saat ini yaitu penerapan program Bis dengan Buy the Service, dimana program ini diberlakukan untuk angkutan massal perkotaan yang dilakukan dengan membeli layanan angkutan massal perkotaan kepada operator dengan mekanisme lelang berbasis standar pelayanan minimal atau quality licensing.

Dalam sesi tanya jawab, dibahas pula bahwa perpindahan orang yang menggunakan kendaraan DAMRI merupakan kontributor emisi terbesar dari transportasi darat sedangkan perpindahan barang di lintasan darat diutamakan dengan moda kereta api dibandingkan dengan truk bermuatan besar. Namun sayangnya industri belum dapat semuanya pindah ke moda kereta api dalam melakukan pemindahan barang dikarenakan lokasi stasiun saat ini belum terintegrasi dengan lokasi distributor lainnya yang ada di dalam supply chain (lokasi gudang, lokasi Pelabuhan). Di samping itu, penggunaan kereta akan lebih ekonomis jika barang yang dipindahkan itu menempuh jarak lebih dari 500Km. Jika kurang dari 500Km, masih lebih baik melalui truk.


Materi Paparan

Fabby Tumiwa

IESR_Strategi Dekarbonisasi Transportasi

Unduh

Damantoro

MTI Jakarta Dekarbonisasi Sektor transportasi

Unduh

Prayoga Wiradisuria

Blue Bird Group_Strategi Dekarbonisasi Transportasi

Unduh

Indonesia Perlu Siapkan Rencana Pensiun Dini dari PLTU: Batu bara

Energy Transition Sharing Session, Episode 4

Dalam rangka memenuhi komitmen Indonesia terhadap perjanjian Paris (Paris Agreement) untuk menjaga target suhu tidak melebihi dua derajat Celcius, maka proses transisi energi menuju energi rendah karbon perlu dilakukan.  Dominasi penggunaan energi di Indonesia bersumber dari batu bara. Namun, hal itu tentu bukanlah perkara sederhana, ada banyak pertimbangan yang dilakukan pemerintah, utamanya di bidang ekonomi. Untuk mengetahui bagaimana cara agar Indonesia bisa segera pensiun dini menggunakan energi batu bara, maka IESR berkolaborasi dengan Carbon Tracker Initiative mengadakan webinar dengan tema “Membuat Transisi Batu Bara Layak: Wawasan Tentang Cara Pensiun Dini Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batu Bara dan Konteksnya di Indonesia.” (Making Coal Transition Feasible: Insights on How to Early Retire Coal-Fired Power Plants and Its Context in Indonesia.) Selasa, 4 Agustus 2020 lalu.

Webinar yang diadakan oleh IESR bersama Carbon Tracker Initiative mengundang pembicara baik dari sektor pemerintahan maupun swasta, dengan Pembicara utama Fabby Tumiwa, Executive Director IESR dan Matthew Gray, Managing Director of Carbon Tracker Initiative. Selain itu, hadir pula panelis; Husni Safrudin, Kepala Subdit Program Penyiapan Ketenagalistrikan, KESDM dan Arthur Simatupang, Chairperson of Indonesian Private Electricity Producers Association (APLSI).

Berbicara tentang batu bara dalam konteks di Indonesia maka tak lepas dengan politik ekonominya. Kondisi politik ekonomi yang ada di Indonesia menjadikan batu bara sebagai komoditas perdagangan.  Banyak pihak yang mendesak pemerintah untuk segera beralih ke energi terbarukan. Namun, pemerintah perlu menimbang dengan seksama kaitannya dengan beberapa aspek seperti aspek sosial, ekonomi, keadilan, dan lingkungan.  Menurut Fabby Tumiwa, transisi energi batu bara ke energi terbarukan tidak hanya susah dalam perspektif politik ekonomi, tetapi juga ada pandangan skeptis dari para pembuat kebijakan. Sebagian pembuat kebijakan di Indonesia masih percaya bahwa batu bara memiliki peran besar dalam perekonomian negara, sehingga susah digantikan.

Batu bara di Indonesia menjadi komoditas utama untuk ekspor. Hal ini menjadikan batu bara sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. Ada empat provinsi yang sebagian besar pendapatan daerahnya berasal dari batu bara ini, empat provinsi tersebut yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Apabila pendapatan dari batu bara menurun, maka akan berimplikasi pada kondisi ekonomi provinsi tersebut. Tak hanya ekonomi yang terdampak, tetapi juga sektor lain seperti properti, transportasi, konsumsi, dan sektor lainnya.

Ekspor batu bara yang dilakukan Indonesia sebanyak 60% ditujukan ke India dan China, sedangkan 40% sisanya ditujukan ke negara ASEAN lainnya dan Asia Timur. Sementara itu, pada tahun 2019 China sudah mulai melakukan transisi energi karena China telah mencapai keseimbangan dari jaringan listrik tenaga surya. Hal ini membuat harga listrik dari tenaga surya menjadi kompetitif dan lebih rendah dibandingkan harga listrik dari tenaga batu bara. Hal ini patut diwaspadai. Indonesia harus siaga bahwa di masa mendatang ekspor batu bara ke China akan berkurang, tahun ini saja dengan terjadinya sebuah fenomena global, pandemi COVID 19, permintaan sudah menurun. Diprediksikan pada tahun 2030 pembangkit listrik tenaga batu bara akan lebih mahal dibandingkan pembangkit energi terbarukan. Tak ayal, membangun energi terbarukan diprediksi akan lebih murah dibanding menjalankan industry batu bara mulai tahun 2029.

Prediksi bahwa energi terbarukan akan menggantikan energi batu bara dibenarkan oleh Matt Gray selaku Managing Director of Carbon Tracker Initiative. Carbon Tracker Initiative berdiri tahun 2012 untuk memberikan saran dan pengaruh kepada pasar finansial terkait resiko dan kesempatan yang berhubungan dengan transisi energi. Carbon Tracker Initiative juga menghasilkan riset yang diberikan kepada investor untuk mengidentifikasi resiko dan peluang berhubungan dengan karbon tertinggi.

Matt Gray menunjukkan data proyeksi  dari International Energy Agencies (IEA) bahwa permintaan energi utama di tahun 2020 didasarkan pada permintaan yang terjadi di tahun 2019. Fakta yang ditemukan adalah permintaan energi fosil baik berupa gas, minyak, maupun batu bara mengalami deflasi. Justru permintaan akan energi terbarukan yang meningkat.

Berbicara tentang harga, apakah lebih mahal listrik dari energi batu bara atau energi terbarukan? Nyatanya justru harga listrik dari energi terbarukan lebih kompetitif dan rendah dibandingkan harga listrik dari baru bara. Alasannya adalah ada tren harga yang menurun pada energi terbarukan. Tren deflasi energi terbarukan seperti teknologi surya, angin, penyimpanan baterai itu diprediksikan berdasarkan data dan observasi yang sudah dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir.

Mengganti energi batu bara yang tidak kompetitif dengan energi angin atau energi surya plus baterai penyimpanan akan menghemat empat puluh miliar dolar. Empat puluh miliar dolar dapat mematikan kurang lebih  843 GW batu bara yang membutuhkan banyak uang dibandingkan dengan membangun energi angin dan solar dengan baterai penyimpanan.

Bila alasan susahnya transisi energi batu bara di Indonesia dikarenakan faktor ekonomi. Maka tiga fase pendekatan yang direkomendasikan oleh Matt Gray bisa ditiru dan diterapkan di Indonesia. Tiga fase pendekatan itu adalah sebagai berikut:

  1. Pembiayaan kembali. Ada insentif yang diperlukan untuk melakukan transisi energi listrik batu bara. Pembiayaan kembali ini merupakan komponen signifikan untuk membantu pembiayaan transisi dari energi batu bara.
  2. Investasi kembali dengan menggunakan tekonologi yang lebih murah.
  3. Membiayai transisi bagi mereka yang terdampak seperti para pekerja dan komunitas yang bergantung dari energi listrik batu bara.

Tak hanya itu, Matt Gray memberikan skenario pembiayaan kembali yang bisa dicoba oleh Indonesia. Skenario itu dinamai dengan sekuritisasi portofolio aset. Skenario ini mengizinkan PPA untuk dimodifikasi sehingga menghasilkan situasi yang menguntungkan satu sama lain yakni bagi pemilik pembangkit tenaga listrik atau pun konsumen.

Dalam skenario sekuritisasi portofolio aset ada yang dinamakan dengan special purpose vehicle. Special purpose vehicle dibuat untuk mematikan energi batu bara dan mengembalikan pemerintahan untuk menerbitkan obligasi. Obligasi tersebut akan memberikan modal harga rendah kepada pemilik pembangkit listrik. Sehingga mereka bisa menggunakan uang itu untuk mengganti batu bara dengan alternatif karbon yang lebih rendah seperti energi surya dan penyimpanan baterai dan angin. Hal ini akan mengarahkan kepada ketenagalistrikan yang lebih murah bagi konsumen. Sedangkan sisa tambahan uang yang dimiliki pemilik pembangkit listrik dapat digunakan untuk bantuan transisi. Sehingga uang sisa itu bisa digunakan untuk individu-individu yang bekerja di pembangkit listrik atau komunitas yang bergantung dengan batu bara.

Pemerintah Indonesia pun sangat terbuka dengan adanya transisi energi batu baru menuju energi terbarukan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Husni Safrudin selaku Kepala Subdit Program Penyiapan Ketenagalistrikan, KESDM (Head of Electricity Program Preparation Sub Directorate Ministry of Energy and Mineral Resources,) bahwa pemerintah mendukung adanya transisi energi ini melalui Peraturan Menteri ESDM No. 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan. Saat ini untuk meningkatkan bauran energi terbarukan pemerintah Indonesia sedang menyusun roadmap untuk  pemanfaatan co-firing dalam rangka meningkatkan energi terbarukan.

Transisi energi menuju energi terbarukan memang sedang sangat tren di belahan dunia manapun. Namun, menurut Arthur Simatupang selaku Chairperson of Indonesian Private Electricity Producers Association (APLSI) hal yang menjadi tantangan bagi Indonesia adalah dari segi geografis. Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga perlu dipertimbangkan cara mengintegrasi dan menyeimbangkan penerapan energi terbarukan di daerah terpencil.

Adanya COVID-19 bisa menjadi titik balik transisi energi, dari energi tinggi karbon menjadi rendah karbon. Transisi energi ini tidak hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang ekonomi. Dengan adanya transisi energi ini maka akan muncul peluang pertumbuhan lapangan kerja dan udara bersih. Tantangannya tentu ada pada pengelolaan pertambangan batu bara. Adanya energi terbarukan bukan berarti meniadakan batu bara, itu perspektif yang harus diluruskan dan ini menjadi pekerjaan runah yang besar bagi pemerintah Indonesia.

Bisa dikatakan sekarang ini batubara ada di persimpangan jalan dan transisi batu bara ke energi terbarukan bukan hal yang mudah dalam jangka waktu panjang, tetapi perlu tetap diupayakan karena energi terbarukan memiliki harga listrik yang kompetitif di masa depan. Sehingga mematahkan asumsi bahwa energi terbarukan itu mahal dan tidak bisa diandalkan. Oleh karena itu, IESR merekomendasikan pemerintah untuk melakukan riset transisi energi terbarukan.


Simak siaran tundanya di:

Beyond 100%: Mendorong Penyediaan Akses Energi Berkelanjutan dan Berkualitas di Indonesia

Energi merupakan kebutuhan mendasar manusia modern, dan akses energi yang berkualitas berkontribusi pada pembangunan manusia. Paradigma penyediaan akses energi Indonesia saat ini masih terfokus pada ketersambungan dan tidak memiliki definisi yang terstandar dengan indikator kualitas; sehingga pemerataan akses energi belum mampu menjawab bagaimana akses energi akan berdampak pada kegiatan produktif masyarakat dan layanan umum. Untuk membahas penyediaan akses energi ini, Institute for Essential Services Reform menyelenggarakan diskusi publik daring dengan tema “Beyond 100%: Mendorong Penyediaan Akses Energi Berkelanjutan dan Berkualitas di Indonesia” dan mengundang perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian ESDM, dan Yayasan Dian Desa.

Menurut Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR), Indonesia masih bicara soal target listrik dalam bentuk angka dan persen, sedangkan dimensi penyediaan energi lainnya belum menjadi perhatian serius. Kesejahteraan masyarakat bisa dicapai bila energi bisa dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif, dan karenanya energi harus tersedia dengan kualitas yang baik dan terjangkau.  Dalam konteks pembangunan, akses energi tidak bisa dimaknai secara biner dan harus mencakup kualitas, kehandalan, kecukupan, keterjangkauan, penerimaan masyarakat, kelayakan lingkungan,  dan manfaat sosial-ekonomi berganda.

Cakupan dimensi akses energi ini sering disebutkan dalam kebijakan, namun hilang saat diturunkan dalam aktivitas. Contohnya, saat pemerintah berbicara mengenai elektrifikasi dan ingin mendorong elektrifikasi 100%, pemerintah mengeluarkan program LTSHE (lampu tenaga surya hemat energi) – yang hanya menyediakan penerangan tanpa listrik untuk kegiatan produktif lainnya. Keluarga yang menerima LTSHE dihitung sebagai keluarga berlistrik, padahal kualitas yang diterima tidak sama dengan mereka yang tersambung ke jaringan PLN.

Menurut laporan Tracking SDG7,  Indonesia mencatat pertumbuhan yang cukup baik untuk akses listrik dibanding dengan negara lain sekawasan – hampir mencapai 100% dalam 10 tahun terakhir. Namun angka ini tidak mengukur kualitas dan dimensi lainnya. Pada 2014, Bank Dunia mengembangkan multi-tier framework (MTF), model pengukuran akses energi yang memasukkan dimensi menyeluruh dan dibagi dalam klasifikasi tier. Tier 0-5 mendefinisikan ketersediaan listrik dilihat dari durasi listrik tersedia di siang dan malam hari, kapasitas alat elektronik yang dapat digunakan, hingga keterjangkauan harga. Dengan memasukkan dimensi ini, dapat dilihat bagaimana kecukupan akses energi dan apakah energi tersebut dapat menjawab kebutuhan energi untuk membangun manusia dan masyarakat.

Studi empirik IESR di NTT dan NTB menunjukkan ketersediaan listrik tidak mencerminkan kualitas dan tidak tersedia 24/7, akses listrik sudah sampai ke daerah terpencil namun tidak semua keluarga mendapat kualitas yang sama. Sebagian besar masyarakat berada di tier 2 dan tier 1, sedangkan Jawa dan kota besar umumnya menikmati listrik di tier 5. Secara historis, terdapat kesenjangan rasio elektrifikasi juga antara Indonesia barat dan timur. Perluasan akses listrik dengan program yang ada saat ini, termasuk pendekatan off-grid, perlu memasukkan aspek kualitas dan kebutuhan setempat masyarakat.  Untuk daerah 3T, diperlukan perencanaan yang matang, skema kerja sama dengan swasta, model bisnis untuk off-grid, dan pilihan teknologi dengan pembiayaan yang lebih efektif.

Untuk akses pada bahan bakar memasak yang bersih, masih terdapat ketimpangan antara desa dan kota. Mayoritas penduduk di perkotaan sudah menggunakan bahan bakar modern seperti LPG dan jaringan gas, sedangkan di desa masyarakat umumnya menggunakan bahan bakar padat yang memiliki tingkat polusi dalam ruangan cukup tinggi. Saat ini pemerintah belum memiliki fokus penyediaan energi bersih memasak selain gas, dan karenanya perlu memetakan potensi energi terbarukan lainnya, misalnya biogas atau kompor biomassa bersih.

Rachmat Mardiana, Direktur Energi, Telekomunikasi, dan Informatika (Kementerian PPN/Bappenas) menyampaikan bahwa perencanaan penyediaan energi Indonesia sudah dilihat sebagai penyediaan layanan dasar, sama seperti akses pada air minum dan papan (perumahan). Fokus pemerintah untuk penyediaan listrik energi terbarukan diturunkan dalam target pembangunan pembangkit energi terbarukan, misalnya PLTS atap, floating PV, hingga pembangkit dari sampah kota. Rachmat mengakui bahwa prioritas pemerintah saat ini masih pada ketersambungan listrik dulu, dan kemudian setelah semua terlistriki maka peningkatan kualitas yang akan dilakukan. Menurutnya, pemerintah juga akan memetakan kegiatan ekonomi desa sehingga bisa menumbuhkan permintaan energi, serta meningkatkan kapasitas masyarakat untuk pengelolaan energi di desa. Begitu pula dengan pemberian subsidi energi yang diharapkan bisa lebih terarah.

Budianto Hari Purnomo, Kasubdit Pengembangan Listrik Perdesaan (DJK, KESDM), memaparkan prinsip penyediaan listrik yang selama ini dilakukan pemerintah yaitu 5K (Kecukupan, Keandalan, Keberlanjutan, Keterjangkauan dan Keadilan). Target pemerintah untuk tahun 2020 adalah akses listrik universal (100%) dengan beberapa program: perluasan jaringan PLN, LTSHE, listrik off-grid, dan tabung listrik (talis). Konsumsi listrik per kapita nasional juga menunjukkan perkembangan, saat ini berada di angka 1.093 kWh dari target 1.142 kWh. Pemerintah pada tahun 2020 berencana untuk melistriki 43 desa dengan melalui jaringan PLN untuk yang terjangkau dan talis untuk desa yang kondisi geografinya sulit. Talis akan diberikan pada pelanggan yang masuk kategori penerima subsidi listrik. Meski tidak ditujukan untuk jangka panjang, menurut Hari, talis diperlukan untuk memberikan listrik sementara karena jaringan PLN baru bisa masuk bertahun-tahun kemudian.

Wahid, Kepala Seksi Penyiapan Lisdes DJK (Kementerian ESDM) juga menambahkan bahwa kesulitan peningkatan kualitas listrik disebabkan karena beberapa faktor: data masyarakat yang sulit divalidasi, kurang rincinya data lokasi geografis dan potensi energi setempat,  dan kebutuhan anggaran yang cukup besar. Untuk pemetaan yang lebih rinci, Kementerian ESDM saat ini sedang mengembangkan aplikasi MELISA – pemetaan geospasial untuk memvalidasi data kelistrikan Indonesia sehingga perencanaan listrik desa dapat dilakukan secara lebih rinci dan terintegrasi.

Prianti Utami dari Yayasan Dian Desa yang selama ini fokus pada penyediaan teknologi memasak bersih di perdesaan memaparkan mengenai status sumber energi memasak di Indonesia. Masih banyak penduduk yang menggunakan biomassa tradisional dan masih terdapat ketimpangan desa dan kota. Yayasan Dian Desa sendiri telah mengembangkan inisiatif tungku bersih (clean stove initiative) bersama Kementerian ESDM untuk penyediaan tungku bersih bersubsidi. Tingkat subsidi yang diberikan pada produsen disesuaikan dengan kinerja tungku dan jumlah pemasarannya, sedangkan Yayasan Dian Desa berperan untuk mengkaji standar, penentuan protokol pengujian tungku, dan pengembangan pusat pengujian. Inisiatif ini memiliki rencana yang cukup komprehensif, termasuk penentuan SNI dan pembuatan, namun tidak lagi menjadi prioritas pemerintah setelah asistensi dari Bank Dunia selesai pada 2016. Prianti mendorong pemerintah untuk menyelesaikan draft peta jalan, laboratorium pengujian, dan finalisasi SNI; sehingga masyarakat dapat memiliki alternatif alat masak yang bersih.

Perubahan paradigma penyediaan akses energi di Indonesia perlu terus didorong untuk mewujudkan pemerataan akses dan kualitas energi, memastikan akses tersebut berdampak luas, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan berkontribusi pada pembangunan manusia yang berkelanjutan.


Materi dapat diunduh di sini dan rekaman diskusi dapat diakses di:

Dukung Proses Transisi Energi dengan Investasi dan Memobilisasi Pembiayaan Energi Bersih

Energy Transition Sharing Session Episode 3

Percepatan pemanfaatan energi terbarukan di kawasan Asia Tenggara telah menjadi perbincangan yang cukup menarik. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan permintaan listrik yang terus bertambah menjadi peluang emas bagi percepatan pemanfaatan energi terbarukan. Sayangnya, investasi dari pemanfaatan energi terbarukan ini mayoritas masih didukung oleh dana publik. Perlu ada stimulus untuk menarik investor berinvestasi di energi terbarukan. Terkait hal itu Indonesia perlu belajar dari Vietnam.

IESR bekerja sama dengan Enel Green Power dan Allotrope Partners mengadakan diskusi panelis pada hari Selasa, 23 Juni 2020 dengan tema memobilisasi investasi energi bersih di sektor tenaga listrik kawasan Asia Tenggara: wawasan dari Vietnam dan Indonesia (Mobilizing Clean Energy Finance and Investment to Support Energy Transition: Insight from OECD, the Philippines and Indonesia). Dalam acara ini turut menghadirkan Giandomenico Zappia, Business Development Enel Green Power-Asia Pacific dan Evan Scandling, Director of Advisory & Business Development- Southeast Asia, Allotrope Partner, juga berpartisipasi sebagai panelis: Hang Dao, Phd, Renewable Energy Advisor, CEIA Vietnam dan Gina Lisdiani, Indonesia Managing Director, Allotrope Partners.

Bila dilihat dari sisi ekonomi antara Indonesia dan Vietnam, Giandomenico menjelaskan bahwa pendapatan negara Indonesia lima kali lipat lebih banyak dari Vietnam. Namun, secara penetrasi energi terbarukan Indonesia masih tertinggal jauh dengan Vietnam. Presentase penetrasi energi terbarukan di Indonesia hanya 11% sedangkan Vietnam sebesar 49%. Bertolak belakang dengan Vietnam dalam kurun waktu sepuluh tahun terhitung dari tahun 2009 sampai 2019 penggunaan energi terbarukan di Indonesia justru menurun khususnya pada persentase penggunaan pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, dan biomassa. Berbeda dengan Vietnam yang justru terus mengalami peningkatan penggunaan energi terbarukan khususnya pada tenaga surya dan angin.

Bila Indonesia punya PLN, maka Vietnam punya EVN (Vietnam Electricity) yang punya peran monopolistik di bidang kelistrikan. PLN mengontrol 74% aset pembangkit listrik, sedangkan penghasil listrik independen hanya seperempatnya saja dari total kapasitas. Sedangkan EVN sendiri memiliki pangsa pasar sebesar 60%. Perbedaan nyatanya di Vietnam, ada sebagian perhitungan dan penguraian operasional dari sistem operasi jaringan transmisi dan distribusi diantara perusahaan yang berbeda.

Kebijakan Indonesia terhadap teknologi terbarukan sangat menyeluruh. Kebijakan yang mendukung penggunaan energi terbarukan sangat didukung dengan baik oleh pemerintah dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sayangnya, kebijakan tersebut tidak mengikuti perkembangan kemajuan teknologi sebelumnya.

Berbeda dengan Vietnam, dimana kebijakan yang menyeluruh hanya beberapa khususnya pada strategi pengembangan energi terbarukan   dan pembangunan pembangkit listrik. Setiap teknologi kemudian telah dipisahkan dan sangat mendefinisikan proses peraturan mulai dari konsultasi publik dan biasanya telah diberlakukan dan berlangsung beberapa tahun untuk investor bisa beradaptasi.

Dari segi investasi, terdapat perbedaan investasi energi bersih antara Indonesia dan Vietnam. Di Indonesia dari tahun 2007-2018 menurut Bloomberg New Energy Finance menyatakan bahwa Indonesia terdaftar total investasi di energi bersih sebesar 8,9 miliar dolar. Jumlah investasi tersebut sama dengan Vietnam pada kurun waktu 2013-2018 setelah pengenalan feed-in tariff.

Menurut Evan Scandling, peningkatan energi terbarukan di Vietnam juga dipengaruhi oleh permintaan dari pengguna korporasi yang menggunakan energi terbarukan. Permintaan ini menjadi poin penting dari keseluruhan rencana  pemerintah tentang bagaimana Vietnam sebagai negara menciptakan sistem energi yang akan membantu mewujudkan investasi yang besar.

Vietnam sangat mencolok dengan sistem energinya. Sebanyak 50 sampai 55 GW telah terpasang selama kurang dari sepuluh tahun. Bila diproyeksikan sepuluh tahun dari sekarang maka akan ada sekitar 135 GW. Tak hanya tenaga surya saja yang ada di Vietnam, pemerintah pun sangat mendukung dan menstimulasi adanya energi terbarukan ini

Dua tahun atau tiga tahun lalu pemerintah Vietnam membuat target 85 MW yang dinilai terlalu ambisius, mereka menggunakan feed-in tariff yang menarik bagi para pengembang dan investor. Sehingga ada aplikasi sebesar 17.000 MW yang masuk dan bisa mencapai 5000 MW kurang dari 18 bulan.

Pemerintah Vietnam tidak hanya mendukung dengan penerapan feed-in tariff, tetapi juga sepenuhnya mendukung DPPA (Direct Power Purchasement Agreement) Pilot Program. Dengan adanya DPPA Pilot Program mengizinkan sektor IPP pribadi seperti pemroduksi tenaga angin dan surya untuk menandatangani kontrak secara langsung dengan pembeli besar seperti pabrik, daerah industri atau kelompok dari pabrik yang mencari energi bersih.

DPPA Pilot Program bisa digarisbawahi sebagai kesungguhan pemerintah Vietnam untuk melihat program baru bahkan sebelum program baru itu diuji atau dibuktikan pada skala yang cukup signifikan seperti skala 1000 MW.

Evan Scandling menggarisbawahi bahwa kebijakan tentang energi terbarukan memang menjadi dasar kesuksesan pertumbuhan energi terbarukan di Vietnam, namun jangan lupakan peran dari para stakeholder.

Feed-in tariff membuat harga tenaga surya menjadi sangat menarik. Feed-in tariff memang memainkan peran kritis dalam perpindahan energi surya utamanya dan energi terbarukan. Feed-in tariff memberikan daya pikat bagi kedua belah pihak baik pengguna, pengembang, maupun investor. Meskipun feed-in tariff di Vietnam menurun 2,5% dalam kurun waktu dua tahun terakhir, hal ini tidak terlalu berpengaruh pada iklim investasi energi terbarukan di Vietnam. Karena faktor terpenting dalam penilaian investasi menurut Giandomenico adalah berhubungan dengan sinyal harga yang muncul dari pasar dan mitigasi dari risiko yang biasanya diberikan oleh pemerintah. Sinyal harga ini merupakan seberapa besar potensi untuk menjadi satu-satunya di pasar.

Faktor penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Indonesia untuk mengembangkan iklim investasi menurut Gina Lisdiani adalah ketersediaan energi terbarukan. Ketersediaan energi terbarukan di suatu negara menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk memperluas bisnis mereka. Apabila sebuah negara tidak menyediakan fasilitas energi terbarukan mereka mungkin akan mengganti fokus mereka dari investasi untuk Filipina atau China.

Ancaman akan kekurangan listrik membuat Vietnam bergerak cepat untuk terus mengembangkan listrik dengan menggunakan energi terbarukan. Tidak seperti Indonesia, Jawa Bali mengalami surplus listrik sehingga membuat respon utilitas sangat berbeda.

Belajar dari Vietnam, maka agar Indonesia bisa melakukan percepatan pemanfaatan energi terbarukan hal pertama yang perlu dibenahi adalah kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat, transparan, komprehensif, dan jelas sebagai tumpuan dasar pertumbuhan industri. Sebagaimana ditekankan oleh Hang Dao bahwa pemerintah yang bersikap transparan berperan besar dalam menekan pasar ke depan. Selain itu, pemerintah pusat dan lokal perlu menyatukan diri untuk mencapai satu tujuan yang sama.

Sebagai pemain utama di bidang kelistrikan, maka PLN memiliki peran yang besar dalam mendukung percepatan pemanfaatan energi terbarukan. Terlebih dengan adanya COVID-19 ini diharapkan PLN bisa meluncurkan green product.

Terkait harga listrik, Indonesia perlu belajar juga dari Vietnam. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan adanya faktor kompetisi, adanya kompetisi membuat harga listrik bisa turun dan Vietnam telah membuktikannya. Selain itu terkait feed-in tariff, Vietnam tak hanya melakukan feed-in tariff energi surya dan angin saja, namun Vietnam memiliki lebih dari enam energi terbarukan yang berbeda dan dijalankan bersama.

Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan energi terbarukan secara pesat apabila pemerintah berkomitmen penuh untuk menggunakan energi terbarukan. COVID-19 seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk Indonesia memperkuat komitmen penggunaan energi terbarukan.


Saksikan kembali siaran tundanya di:

Enam Perempuan Indonesia Berbagi Cerita Kontribusi untuk Keberlanjutan Bumi

Krisis iklim telah menjadi isu mendesak untuk berbagai negara di dunia, dan tujuan pembangunan berkelanjutan menjadi agenda global untuk mengatasi dampak krisis iklim dan memastikan keberlanjutan bumi. Agenda global ini mensyaratkan keterlibatan aktif semua pihak, termasuk perempuan. Mengundang 6 perempuan dari berbagai latar belakang untuk berbagi kisah kontribusi mereka dalam isu keberlanjutan, IESR menyelenggarakan Pojok Energi Sustainable Ladies pada 20 Mei 2020 lalu. Keenam narasumber tersebut adalah Ratna Susianawati, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan Kementerian PPPA; Tirza R. Munusamy, Deputy Director of Public Affairs Grab Indonesia; Lia Zakiyyah, Climate Leader Indonesia Climate Reality Project; Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia; Chandra Kirana, Pendiri dan Direktur Yayasan Sekar Kawung dan Hapsari Damayanti, Patriot Energi Angkatan II, Program Officer Sustainable Energy Access, IESR.

Diskusi daring ini dilaksanakan untuk memberikan rekomendasi pada pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait untuk pembangunan berkelanjutan yang berorientasi gender, juga untuk membagikan cerita dan pengalaman terbaik yang dimiliki oleh para narasumber pada publik.

Fabby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif IESR menyampaikan bahwa isu keberlanjutan merupakan isu yang kompleks. Keberlanjutan memiliki konteks pemenuhan kebutuhan hidup hari ini dengan mempertimbangkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Secara teori, terdapat tiga pilar sustainability atau keberlanjutan yang harus berjalan serasi, yakni lingkungan, ekonomi dan sosial. Fabby berharap diskusi ini dapat menggali peran perempuan untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang inklusif. 

Ratna Susianawati selaku Staf Ahli Menteri PPPA Bidang Komunikasi Pembangunan menjelaskan bahwa isu energi, lingkungan, dan perubahan iklim telah diangkat sebagai isu mendasar keberlanjutan bumi yang menjadi sorotan dunia internasional. Pada tahun 2015, PBB telah menetapkan isu tersebut sebagai bagian dari target SDGs (Sustainable Development Goals) tahun 2030. Target-target yang ditetapkan di antaranya adalah kesetaraan gender, juga untuk pemenuhan energi universal (save energy for all), dan penurunan emisi global. Dalam SDGs ini pula, peran perempuan sangat penting, tidak sebagai sasaran, juga sebagai pelaku aktif.

Ratna Susanawati menggarisbawahi alasan pentingnya peranan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.Prinsip SDGs adalah memastikan ‘no one left behind’, tidak boleh ada satupun kelompok masyarakat yang tertinggal. Artinya, tidak hanya lelaki dan perempuan saja, tetapi juga inklusi sosial, dengan menargetkan juga anak, lansia, disabilitas dan kelompok marginal lainnya.

Peran perempuan dalam isu energi juga tidak hanya sebagai penerima manfaat atau yang merasakan dampak terbesar dari pengelolaan energi dan perubahan iklim. Perempuan juga perlu diberikan aksesibilitas agar terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga perempuan merasakan manfaat yang adil dan setara. Ratna menggarisbawahi dampak sosial dan kesehatan bagi perempuan karena ketiadaan atau adanya akses energi. Dampak sosial ketika ada kemiskinan energi dan pengelolaan perubahan iklim yang tidak melibatkan perempuan salah satunya adalah kekerasan bagi perempuan dan anak. Dari segi kesehatan, WHO juga menemukan bahwa dampak yang dirasakan perempuan dan anak adalah dengan energi memasak yang kurang bersih adalah infeksi saluran pernapasan akut.

Sependapat dengan Ratna, Mike Verawati selaku Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia menganalogikan bumi layaknya seorang perempuan. Bumi memiliki sifat mengadakan, melindungi, menyediakan, dan menyelaraskan; sehingga bumi dan perempuan punya ikatan yang kuat.

Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), ketika bicara tentang keberlanjutan bumi, lingkungan, perubahan iklim; dalam penerapannya di lapangan, pengelolaan pembangunan lingkungan selama ini justru mengeliminir prinsip-prinsip perempuan dalam kesehariannya. Pembangunan selama ini dilakukan secara maskulin, di mana sifatnya menjadi menguasai, mendominasi, dan praktek-prakteknya menjadi mengeruk sebanyak-banyaknya, mengeksploitasi tanpa melihat dampak dari kebijakan. 

Mike mengatakan pembangunan akan memberikan dampak besar bagi perempuan, namun keterlibatan perempuan dalam kebijakan masih minim. Karenanya, diperlukan dukungan terhadap program-program yang tidak mengabaikan keterlibatan perempuan. Prinsip anti diskriminasi, prinsip affirmative action untuk perempuan harus bisa diimplementasikan dan bukan hanya di atas kertas saja.

Mike juga menegaskan bahwa pembangunan saat ini harus berdasarkan keberagaman gender, tidak hanya terbatas pada laki-laki dan perempuan, namun juga mempertimbangkan perjalanan manusia yang tinggal di muka bumi ini, mulai dari manusia yang baru lahir hingga lansia yang punya pengalaman atau tantangan hidup yang berbeda. KPI selama ini sudah mencatat banyak perempuan yang telah sadar akan isu lingkungan. Banyak komunitas perempuan yang tertarik pada isu lingkungan dan melakukan kegiatan seperti mengolah sampah menjadi kompos, mengadakan bank sampah dan mereka juga melakukan identifikasi jenis-jenis energi pengganti.

Chandra Kirana selaku Pendiri dan Direktur Yayasan Sekar Kawung juga menyatakan bahwa pembangunan yang terjadi selama ini sangat bias kepada sifat-sifat maskulin dari peradaban. Pembangunan yang diamatinya bukan hanya gender laki-laki ataupun perempuan, namun juga gender peradaban. Peradaban memiliki nilai-nilai dan sifatnya sendiri. Agar hidup terus berlanjut maka diperlukan sifat memelihara, mengasihi, mendengarkan, memberi ruang kepada semua. Proses industrialisasi yang terjadi selama ini, menurut Chandra, memiliki sifat meretas dan menghancurkan, misalnya hampir semua proses produksi dan konsumsi dilandaskan pada satu perilaku awal yakni mengekstraksi dari bumi. Saat ini dan untuk masa depan, proses industrialisasi perlu ditinjau kembali dan dicari cara agar lebih sustainable.

Chandra memberikan usulan kepada pembuat kebijakan dan pelaku industri agar memperhatikan keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Ketika akan dilakukan pembangunan maka perlu diteliti terlebih dahulu elemen keanekaragaman hayati apa sajakah yang paling banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan laki-laki.

Dalam diskusi daring ini, IESR ini juga menghadirkan narasumber dari pihak swasta, yang diwakili oleh Tirza R. Munusamy dari Grab Indonesia. Sebagai perempuan yang bekerja di sektor bisnis, Tirza menerangkan bahwa sebagai perusahaan, Grab Indonesia juga memandang bahwa sustainable development penting dan karenanya hanya mengimplementasikan kebijakan yang memiliki agenda berkelanjutan. Grab Indonesia telah melakukan inisiasi lingkungan yang dikenal dengan “langkah hijau”, yaitu inisiatif terkait plastik, emisi karbon, dan transportasi pribadi. Saat ini Grab Indonesia bekerjasama dengan Danone untuk Program Grab Recycle, yaitu memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk mengirimkan botol bekas plastik. Selain itu, Grab Indonesia juga bekerjasama dengan puluhan bank sampah yang ada di DKI Jakarta. Untuk layanan pengantaran makanan, Grab Indonesia mendorong tidak tersedianya plastic cutlery bagi semua vendornya, dan mengenakan biaya tambahan bagi pelanggan yang tetap ingin menggunakan alat-alat makan berbahan plastik. Program percontohan kendaraan listrik juga telah diluncurkan Grab Indonesia pada Desember 2019. 

Menurut Lia Zakiyyah sebagai Climate Leader Indonesia, Climate Reality Project, isu perubahan iklim ini memang erat kaitannya dengan perempuan. Lia mengatakan ada anggapan bahwa ‘being green is being girly’. Banyak sifat-sifat dari seorang perempuan yang berhubungan dengan kegiatan menjaga lingkungan. Paris Agreement  pun juga menegaskan bahwa peran gender sangat penting. Lia menyebutkan ada satu gerakan global yang menyatakan bahwa salah satu aksi mitigasi perubahan iklim yang paling efektif adalah mengedukasi perempuan. Semakin besar pendapatan dan pendidikan perempuan, maka mereka berhak akan pekerjaan yang layak dan menjadikan mereka semakin berdaya untuk membantu menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan mereka dalam menghadapi bencana.

Lia sependapat dengan narasumber lainnya bahwa perempuan perlu dilibatkan dalam beberapa aspek, seperti penyebaran informasi di desa, pengambilan kebijakan dan keputusan; yang saat ini masih perlu didorong mengingat akses perempuan pada informasi dan pengambilan keputusan ini masih belum terbuka. Kini, Lia  Zakiyyah bersama Climate Reality Project terus bergerak untuk mengedukasi anak-anak muda di seluruh Indonesia agar bisa menjadi agen perubahan yang bisa membawa isu perubahan iklim kepada teman sebayanya dan komunitasnya.

Hapsari Damayanti, Patriot Energi Angkatan II dan Program Officer Sustainable Energy Access di IESR, menyimpulkan bahwa masalah energi tidak bisa diselesaikan hanya dengan melihat dari ada atau tidaknya sumber energi saja. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keberlangsungan bumi, penyediaan akses energi harus terintegrasi dengan sektor lingkungan, konteks sosial-budaya dan ekonomi; sehingga dampak berkelanjutan yang diterima masyarakat tidak dilihat dari akses energi saja, juga manfaatnya secara luas di masa depan. Dari pengalamannya mendampingi masyarakat, Hapsari melihat bahwa pelibatan perempuan sering menjadi tantangan, dan karenanya perlu terus didorong untuk bisa mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan inklusif. 

Diskusi ini bisa disaksikan kembali di tautan berikut: