Green Economic Recovery: Pemulihan Ekonomi Pasca-COVID-19 dengan Energi Surya

Pandemi COVID-19 menimbulkan dampak ekonomi bagi banyak negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Untuk menggali dan merumuskan strategi pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19 yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, IESR berkolaborasi dengan Badan Kebijakan Fiskal (Kementerian Keuangan) dan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Kementerian ESDM) dalam diskusi bertema ‘Green Economic Recovery: Akselerasi Pengembangan Energi Surya Sebagai Strategi Pemulihan Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19’ pada 19 Mei 2020 lalu. 

Diskusi dibuka oleh  Dr. Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, yang menegaskan bahwa ketahanan energi menjadi hal yang penting bagi Indonesia dan telah dicanangkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Menurutnya, target capaian energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 harus benar-benar bisa mendorong tumbuh kembangnya lapangan kerja dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Untuk mencapai hal ini maka pemerintah pusat tidak bisa sendirian, diperlukan adanya kerjasama dengan pemerintah daerah.

Pemerintah daerah tidak perlu khawatir karena Kementerian Keuangan telah memiliki budget tagging untuk mendukung pendanaan perubahan iklim termasuk di dalamnya adalah transisi energi. Menurut laporan yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK), kebutuhan dana terkait perubahan iklim ini mencapai kurang lebih Rp 3.400 triliun sampai dengan tahun 2030.

Ganjar Pranowo, Gubernur Provinsi Jawa Tengah, memberikan paparan singkat terkait dampak pandemi di Jawa Tengah dan upaya Jawa Tengah untuk menjadi solar province (provinsi surya).

“Pandemi COVID-19 ini memang memberikan potret ekonomi yang buram namun ini juga momentum yang sangat baik untuk kita menyiapkan masa depan Indonesia, khususnya untuk sektor energi. Momentum  pandemi ini harus digunakan untuk membalikkan cara berpikir kita agar dapat mengambil kebijakan politik yang tidak biasa, ” ungkap Ganjar Pranowo optimis. 

Terkait penggunaan energi terbarukan, Ganjar Pranowo menyatakan siap menjadikan Provinsi Jawa Tengah sebagai laboratorium energi surya untuk percepatan pembangunan. Kesiapan Provinsi Jawa Tengah ini salah satunya ditunjukkan dengan adanya pemasangan penerangan jalan umum (PJU) tenaga surya di sepanjang jalur Pantura.

Pandemi menyebabkan angka kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah bertambah dan pertumbuhan ekonomi yang mulanya menargetkan kenaikan sebesar 7%, kini berhenti di angka 5,6%. Pihak yang paling merasakan dampak ekonomi adalah usaha kecil dan menengah seperti pertanian, perikanan dan pariwisata. Karenanya, Ganjar Pranowo berharap ada kebijakan dari pemerintah pusat agar pihak UMKM bisa mendapat suplai energi yang murah. 

Selaras dengan Ganjar Pranowo, Dr. Sujarwanto Dwiatmoko selaku Kepala Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral Jawa Tengah juga menegaskan bahwa sektor energi menjadi perhatian penting dalam kebijakan pemulihan ekonomi karena energi merupakan infrastruktur dan faktor produksi bagi berjalannya sektor industri pada semua skala.  Selain itu ada gagasan yakni dengan adanya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bisa memberikan lapangan pekerjaan baru, baik sebagai tenaga teknis pemasang atau pelaku pemeliharaan PLTS di daerah, termasuk menjadi usahawan vendor-vendor PLTS. 

Menurut pemaparan Hariyanto yang mewakili Ir. F.X. Sutijastoto, M.A dari Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), capaian EBT di Indonesia pada tahun 2019 kurang lebih sebesar 10,3 GW. Sampai dengan tahun 2018, pembangkit EBT di Indonesia didominasi oleh pembangkit air, panas bumi dan biomassa. Untuk energi surya, terutama PLTS atap, ada penambahan yang cukup baik sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018. Strategi pengembangan PLTS yang dilakukan pemerintah di antaranya sebagai berikut:

  1. Pengembangan PLTS secara besar-besaran untuk menurunkan biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik, termasuk PLTS pada lokasi bekas lahan tambang atau tambang yang lahan konsesinya sudah kembali ke pemerintah daerah.
  2. Pengadaan PLTS atap secara masif di daerah-daerah melalui sinergi dengan pemerintah provinsi atau pun kabupaten.
  3. Pengadaan PLTS terapung yang ada di beberapa daerah dengan potensi cukup besar. 
  4. Pengadaan PLTS di daerah terluar  3T dan program hybrid di pulau-pulau terkecil di Indonesia. 

Fabby Tumiwa dari IESR berbicara tentang rekomendasi Program Surya Nusantara, program usulan skala nasional untuk memasang PLTS atap dengan pendanaan dari APBN dan APBD sebagai bentuk stimulus ekonomi pasca-COVID-19 dengan sasaran kelompok masyarakat miskin dan rentan. PLTS atap dipilih karena sifatnya yang modular sehingga dapat dengan mudah dan cepat dipasang dalam beragam skala, juga harga sel dan modul surya sudah mulai turun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, tenaga kerja yang dibutuhkan cukup di level terampil, sehingga bisa menyerap tenaga kerja yang terdampak PHK. Kabar baiknya juga telah ada industri sel dan modul surya dengan kapasitas terbatas serta sudah ada BUMN yang mampu memproduksi inverter di dalam negeri. 

Kelompok yang bisa menjadi sasaran dari program ini adalah provinsi dengan jumlah pelanggan PLN bersubsidi terbanyak, provinsi dengan biaya pokok pembangkitan listrik (BPP) tinggi, target mandatori RUEN seperti di atas bangunan pemerintah dan fasilitas publik, dan program sejuta rumah yang dilakukan Kementerian PUPR dan program perumahan lainnya. 

Program Surya Nusantara dapat menimbulkan dampak berganda, yaitu mengalihkan subsidi listrik hingga Rp 1,3 T/tahun dan menghilangkan subsidi listrik dalam jangka panjang, mengurangi biaya listrik pelanggan, menghemat biaya produksi listrik PLN, menciptakan lapangan kerja baru hingga 30.000/tahun, mendorong tumbuhnya industri surya dalam negeri, termasuk industri jasa penunjangnya, meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dalam pelaksanannya, IESR mengusulkan agar PLN menjadi jangkar program, bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan EPC. Diperlukan juga identifikasi sasaran dan persetujuan dari pemilik rumah untuk penggunaan atap yang akan bermanfaat pada tagihan listriknya, termasuk kriteria teknis. Program ini perlu disiapkan dengan melibatkan pemerintah daerah di lokasi sasaran, PLN, dan industri penunjang; juga pelatihan dan sertifikasi untuk teknisi lokal dan dapat terintegrasi dengan program Kartu Prakerja dan lembaga yang sudah ada (BLK, BUMN, Kementerian ESDM, perusahaan EPC dan universitas).

Badan Kebijakan Fiskal melalui Dr. Joko Tri Haryanto berharap akan banyak daerah selain Jawa Tengah yang siap untuk melakukan pengembangan EBT, seperti yang dilakukan oleh DKI Jakarta  dengan InGub No. 66/2019. Salah satu isi InGub ini adalah mengembangkan EBT untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga fosil dengan pembangunan PLTS atap untuk semua sekolah, gedung pemerintah, dan fasilitas kesehatan pemerintah daerah. 

Iwan Prijanto selaku Ketua Green Building Council Indonesia mengapresiasi strategi pemerintah dalam mempromosikan PLTS atap. Namun Iwan Prijanto memberikan saran bahwa kebijakan PLTS atap akan lebih bermanfaat dan terasa hasilnya apabila diintegrasikan dengan kebijakan net-zero carbon. Perlu adanya efisiensi energi sebelum penggunaan energi yang terbarukan, sehingga permintaan energi juga bisa dikelola dengan baik. Dr. Andhika Prastawa sebagai Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia menyambut baik Program Surya Nusantara. Program ini dianggap menjadi kabar gembira bagi AESI yang selama tiga sampai empat tahun ini mendorong agar tenaga surya menjadi salah satu pilar untuk mencapai bauran energi nasional dengan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap. Di sisi lain, perlu adanya perbaikan regulasi untuk mendorong masuknya investasi energi terbarukan di Indonesia.

Dr. Esther Sri Astuti, Direktur Program INDEF, mendukung penerapan Program Surya Nusantara sebagai bagian dari green economic recovery dan agar emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia berkurang, sesuai target pemerintah. Menurutnya, program prioritas nasional untuk ketahanan energi akan sangat berguna bagi masyarakat dan tepat sasaran jika pemerintah bisa mengeluarkan stimulus fiskal terkait PLTS atap. Karena pemasangan PLTS atap ini membutuhkan biaya yang cukup mahal, maka INDEF menyarankan adanya skema cicilan lunak atau stimulus fiskal yang mendukung masyarakat untuk berpindah ke listrik yang menggunakan energi terbarukan. 

Dengan dampak lintas sektoral dari pandemi, terdapat peluang untuk mendorong pemulihan ekonomi hijau yang tidak business-as-usual dengan pemanfaatan energi terbarukan. Selain memberikan stimulus ekonomi pada yang membutuhkan, strategi green economic recovery juga seperti Program Surya Nusantara juga bisa mendorong penyerapan tenaga kerja, mendorong industri dalam negeri, hingga berkontribusi pada pencapaian target iklim. Diperlukan sinergi dan persiapan yang optimal, juga komitmen politik yang tinggi untuk mengubah arah pemulihan ekonomi di Indonesia ke green economic recovery. 


Materi presentasi dapat diunduh di sini dan rekaman dapat diakses di:

Diskusi Media: Dampak Pandemi COVID19 pada Sektor Kelistrikan Energi Terbarukan di Indonesia

Pada tanggal 21 April 2020, IESR menyelenggarakan diskusi media daring (online) guna membahas dampak pandemi COVID19 terhadap pengembangan energi terbarikan di Indonesia; dengan narasumber diskusi: Hariyanto, Direktur Konservasi Energi, DJEBTKE, Kementerian ESDM, Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Hariyanto menyebutkan bahwa pemerintah tetap akan menjaga ketersediaan energi di Indonesia dan mempertahankan target pengembangan energi terbarukan tahun 2020, dengan proses evaluasi yang sedang dilakukan Kementerian ESDM. Meski demikian, Kementerian ESDM juga memperkirakan beberapa proyek pembangkit listrik energi terbarukan (PLT ET) akan terhambat dan akan selesai di 2021 alih-alih 2020; yang sudah teridentifikasi di antaranya 3 PLTP yang rencananya akan COD tahun ini bila kondisi business-as-usual. Hariyanto juga menggarisbawahi penundaan pembayaran dari perbankan pada proyek ET, yang kemungkinan akan menurunkan target investasi ET tahun ini.

Proyek PLTS Atap Kementerian ESDM menggunakan APBN yang menargetkan 800 titik dengan anggaran Rp 175 miliar tahun 2020 juga sedang dievaluasi. Kendala yang muncul adalah pengiriman dan logistik, mengingat banyak daerah yang memberlakukan pembatasan dan moda pengiriman yang terbatas. Mengingat secara administrasi proyek ini harus selesai di Desember 2020, Hariyanto mengatakan kementerian masih mencoba merealokasi anggaran untuk proyek lain.

Sujarwanto Dwiatmoko dari Dinas ESDM Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga menyatakan beberapa proyek pemerintah daerah terkait ET akan mengalami penundaaan, karena anggaran daerah difokuskan untuk meredam dampak pandemi pada sektor-sektor yang mendasar (essential). Pembangunan infrastruktur ET yang menggunakan dana APBD dan APBN sementara akan ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan, beberapa perusahaan PLTS Atap yang hendak melakukan ekspansi bisnis ke Jawa Tengah masih menunggu waktu yang lebih kondusif. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga fokus untuk menjaga keamanan suplai energi dan menerapkan prosedur kesehatan yang ketat untuk pelaksanaan operasional lokasi-lokasi pembangkitan dan distribusi energi.

Fabby Tumiwa menggarisbawahi tren pengembangan energi surya yang diperkirakan turun di tahun 2020 dibandingkan perkembangan pesat di 2019. Sepanjang 2019 dan hingga awal tahun 2020, perkembangan PLTS skala besar dan PLTS Atap menunjukkan tren positif. Empat PLTS skala besar juga telah memasuki tahap komisioning di tahun 2019, hingga total kapasitas terpasang PLTS mencapai 152 MW. Pertumbuhan ini juga mendorong turunnya harga listrik energi surya, tender untuk proyek PLTS di Bali Barat dan Bali Timur berkapasitas 2×25 MW telah mencapai < US$ 0,059 per kWh. PLTS skala besar sudah mulai kompetitif dengan pembangkit berbahan bakar fosil, dengan penurunan harga hingga 40% lebih rendah dibanding proyek-proyek PLTS sebelumnya.

Penggunaan PLTS dalam skala kecil (PLTS Atap) juga mencatat pertumbuhan yang eksponensial, hingga Desemvber 2019, jumlah pelanggan PLN yang menggunakan PLTS Atap sudah mencapai 1.580. Prospek awal tahun 2020 menurut analisa IESR juga baik, terutama di segmen pelanggan komersial dan industri yang termotivasi menggunakan energi terbarukan dan karena adanya kemudahan setelah revisi Permen ESDM No. 49/2018 menurunkan biaya kapasitas dari 40 jam menjadi 5 jam.

Dengan kondisi pandemi, prospek ini akan meredup, terutama karena pelemahan ekonomi, menurunnya pertumbuhan permintaan listrik, dan pergeseran prioritas pengguna. Selain itu, nilai tukar rupiah yang melemah juga menyebabkan harga unit PLTS Atap pun naik sekitar 15%-20%. Berdasarkan survei awal IESR terhadap perusahaan EPC (Engineering, Procurement, Construction) PLTS Atap, permintaan dari pelanggan rumah tangga pada Maret-April mengalami penurunan hingga 50%-100%. Sementara itu, untuk segmen pelanggan komersial dan industri mengalami penurunan di rentang 50%-70%. Fabby memperkirakan outlook  dalam 6 bulan ke depan akan negatif, tidak ada permintaan baru. Kelompok pelanggan komersial dan industri juga lebih memilih menahan investasi sebagai dampak dari cash flow yang terganggu. Kenaikan harga unit PLTS Atap juga akan memperpanjang waktu pengembalian investasi hingga 1 – 2 tahun lebih lama dibandingkan dengan harga sebelumnya.

Fabby mengusulkan Program Surya Nusantara sebagai alternatif program pemulihan ekonomi pasca-COVID19. Dengan menjadikan pengembangan PLTS Atap sebagai program nasional dan menyasar rumah tangga PLN bersubsidi, target tahunan 1 GWp akan mampu mendorong tumbuhnya industri dalam negeri, menyerap tenaga kerja hingga 30 ribu orang per tahun, mengurangi subsidi listrik dalam jumlah signifikan, dan berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Program ini dapat diintegrasikan dalam Program Kartu Prakerja untuk penyiapan tenaga kerja perancang, pemasang, dan teknisi tersertifikasi dan dapat dipersiapkan di tahun 2020 untuk bisa diterapkan segera pada 2021.

Rekaman diskusi dapat diakses di:

 

Webinar Recap: Indonesia’s Solar Landscape in 2020, Mostly Sunny or Partly Cloudy?

On 15 April 2020, IESR’s Executive Director, Mr. Fabby Tumiwa was invited to speak on an international webinar highlighting solar energy development in Indonesia. The webinar was arranged by Green Energy Future Indonesia, and Mr. Tumiwa was in attendance with Mr. Salman Baray, Country Director of ACWA Power.

Mr. Tumiwa shared IESR’s analysis and observation on Indonesia’s solar energy development throughout 2019. The year saw significant progress, four utility-scale solar power plants went into commissioning phase, three-fold increase from 2018. With the progress, Indonesia also started to see economies of scale of solar energy, first large scale power plants in Indonesia went for USDc 25/kWh (2015, 5 MW plant in Kupang, East Nusa Tenggara); while 15 MW plant in Minahasa (2019, North Sulawesi) yielded in USDc 10/kWh electricity price. Auction for two 25 MW plants in Bali has resulted even lower price: < USDc 5.9/kWh; driving competitiveness with coal power plants.

In only two years, rooftop solar also grew exponentially. In 2017, right after One Million Rooftop Solar Initiative was launched (backed by IESR), the number of rooftop solar user was less than 300. By the end of 2019, the number already reached > 1,600. One Million Rooftop Solar Initiative helped in rolling MEMR Reg. 49/2018, giving legal standing for on-grid rooftop solar; and the ministry has also listened to inputs from many stakeholders by revising capacity charge for industries and requirements for SLO (operation certificate).

Increase in rooftop solar users in Indonesia, 2017 – 2020

Going to 2020, this year the government and PLN have finally agreed to continue floating PV project in Cirata, amounts to 145 MW in capacity, after a long delay. The electricity price is not made public, but the project is expected to start construction soon, a decision made before the pandemic hit. The PPA is a good sign in terms of renewables development in Indonesia, however, PLN’s plan (RUPTL) only targets 933 MW renewables in 2020, and only 78 MW of that coming from solar; still far from RUEN’s target of 6.5 GW in 2025.

Two regulations related to solar energy development were issued in early 2020: MEMR Reg. 4/2020 revising BOOT terms to BOO and permit direct selection; and Ministry of Public Works’ regulation for floating PV on dam area. The latter signals floating solar power plants could be the next hottest renewable projects in Indonesia.

As the pandemic hit many countries, its impacts on solar landscape in Indonesia are fairly obvious. Small-scale rooftop solar, particularly for residential user, has seen decrease in interest and inquiries as homeowners prioritize health and other essential needs. Several EPC companies have reported sales decrease. For C&I consumers, they will likely wait-and-see as their financial also suffer from the weakened economy. However, RE100 companies with pre-commitment to use renewables might stick to their plans, such as Multi-Bintang and Danone-AQUA, they already have megawatt-size solar development on the pipeline.

Regulation on feed-in-tariff (FiT), long awaited by renewables investors and planned to be issued early this year, is likely to be delayed to June (earliest estimate). With limitations in transportation as well as area restriction; solar projects currently under construction phase will also be delayed for at least 6 months. The government has also announced that several other renewables projects under government budget and PLN’s pipeline, such as geothermal projects, will be postponed.

Mr. Baray spoke more on the investment climate. Enabling environment with supportive regulations, such as FiT, will help in boosting solar growth in Indonesia. However, he mentioned the challenges in land availability (might be addressed by government), transmission and distribution in integrating renewables into power grid, and the high requirements for local content. With those challenges, reaching economies of scale and in particular during the difficult time of pandemic, will be a more difficult task to accomplished.


Complete recording is available here:

Pojok E-Nergi: Jaring Pengaman Sosial Sektor Energi di Masa Pandemi Virus Corona

Pada 14 April 2020, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Seri Diskusi Daring (online) Pojok E-Nergi perdana, mengangkat topik jaring pengaman sosial sektor energi di masa pandemi virus corona. Pojok Energi adalah seri diskusi isu energi untuk umum yang dilakukan reguler oleh IESR sejak 2017, dan kali ini diselenggarakan secara daring.

Dalam Pojok E-Nergi kali ini narasumber yang hadir adalah Hendra Iswahyudi (Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), Tulus Abadi (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/YLKI), dan Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR). 

Sejak penetapan status darurat kesehatan masyarakat dengan anjuran berkegiatan di rumah dan membatasi aktivitas yang melibatkan banyak orang, ekonomi Indonesia juga turut melemah dan mempengaruhi banyak kelompok masyarakat; utamanya kelompok masyarakat rentan yang kebanyakan dari sektor informal. Pemerintah menanggapi kondisi ini dengan memberikan paket jaring pengaman sosial, termasuk sektor energi, menyasar masyarakat yang termasuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jaring pengaman sosial sektor energi tersebut berupa penggratisan biaya listrik pelanggan 450 VA (sekitar 23 juta pelanggan) selama tiga bulan mulai April hingga Juni 2020, sementara pelanggan 900 VA (sekitar 7 juta pelanggan) berhak mendapatkan potongan harga sebesar 50%. Hendra Iswahyudi menyatakan dalam paparannya, dibutuhkan sedikitnya Rp 3 triliun untuk kompensasi PLN demi menjawab kebijakan diskon tarif ini.

Dalam pelaksanaannya, pemberian keringanan tarif tenaga listrik ini telah diatur melalui Surat Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 707/26/DJL.3/2020 dan Kementerian ESDM telah menginstruksikan kepada PT PLN untuk pelaksanaan pemberian diskon tarif.

Skema keringanan tarif tenaga listrik untuk RT 450VA dan 900VA

Menurut Hendra, tantangan yg muncul di lapangan di antaranya adalah sosialisasi untuk masyarakat yg belum paham teknologi informasi (IT) dan panjangnya proses penerbitan voucher. Selain itu, Kementerian ESDM juga membahas penggantian pendapatan daerah (PAD) yg hilang dari penggratisan biaya listrik (termasuk penerangan jalan umum) dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Dalam Negeri.

Hendra juga menggarisbawahi bahwa proses evaluasi jaring pengaman sosial ini sedang dilakukan. Kementerian ESDM juga terus mengkaji insentif dan stimulus untuk kelompok pelanggan lain, termasuk sektor UMKM dan komersial/bisnis yang juga terdampak pandemi. Untuk sementara ini sebagai respon cepat, stimulus diberikan pada kelompok masyarakat paling rentan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif, menilai kebijakan keringanan tagihan listrik tersebut merupakan langkah yang tepat oleh pemerintah di tengah pandemi COVID19. Respon cepat ini diperlukan untuk memastikan kelompok masyarakat terdampak segera terbantu. Fabby juga memberikan beberapa catatan terkait tindakan pemerintah ini. Menurutnya, pemerintah belum memiliki skema jaring pengaman sosial energi yg komprehensif, mengingat Indonesia belum memiliki standar dan mekanisme pengukuran kemiskinan energi.

Hingga saat ini, akses energi di Indonesia masih berdasar prinsip ketersambungan, belum mengukur kualitas dan standar konsumsi minimal untuk kegiatan produktif.  Secara kualitas dan dalam klasifikasi tier menurut kerangka multi-tier framework (MTF) yang dikembangkan oleh ESMAP dan Bank Dunia, banyak daerah di Indonesia yang akses energinya masih berada di tier rendah, yaitu tersambung atau ada listrik namun ketersediaan dan kualitas listriknya minim. Studi IESR di 2 provinsi menunjukkan hal serupa, rumah tangga yang menjadi sasaran distribusi Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) otomatis masuk dalam tier rendah mengingat listriknya hanya tersedia terbatas dan hanya untuk penerangan dan pengisian daya telepon genggam.

Fabby mengatakan, masa pandemi ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi penyediaan akses energi dan mengintegrasikan “kemiskinan energi” dalam penentuan kelompok rumah tangga miskin, sehingga jaring pengaman sosial energi dapat dirancang secara efektif. Dengan adanya standar kualitas akses energi, maka jaring pengaman sosial energi di masa darurat dapat dirancang dengan mempertimbangkan aktivitas produktif masyarakat dan tidak sekadar memberikan penerangan atau sambungan listrik sementara. Contoh sederhananya, jika aspek standar konsumsi listrik dimasukkan, maka pemberian keringan tarif listrik untuk masyarakat miskin dan rentan bisa didasarkan pada konsumsi tersebut sehingga aktivitas ekonomi dapat berjalan normal. 

Tulus Abadi juga mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat rentan. Di sisi lain, Tulus merekomendasikan kelompok rumah tangga 1300 VA untuk mendapatkan stimulus serupa. Di kawasan perkotaan, kelompok 1300 VA ini adalah terdiri dari pekerja informal, dirumahkan, atau kehilangan pendapatan sehingga mereka memerlukan stimulus energi; karena energi adalah kebutuhan utama dan mendasar. Meski tidak termasuk dalam kelompok masyarakat miskin, mereka kehilangan pendapat sehingga menjadi kelompok masyarakat yang memerlukan bantuan pemerintah.

Tulus mengharapkan pemerintah menjaga pasokan LPG 3 kg dan harganya. Menurutnya, subsidi energi memasak yang diberikan pemerintah untuk LPG 3 kg sudah cukup, yang perlu dipastikan adalah ketersediaannya secara merata dan pengawasan harga eceran tertinggi sehingga tetap terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.  

Dua orang perwakilan masyarakat, yaitu Ibu Mariyam dari Jakarta dan Pak Ismono dari Demak (Jawa Tengah) merespon dengan baik tindakan pemerintah memberikan jaring pengaman sosial energi ini. Menurut mereka, sosialisasi di lapangan yang belum menyeluruh masih menjadi kendala, juga adanya keluarga yg menurut pengamatan mereka sebenarnya membutuhkan namun tidak mendapatkannya. Ibu Mariyam dan Pak Ismono berharap penyebaran informasi dilakukan dengan lebih masif dan lebih jelas, benar-benar diberikan untuk yang membutuhkan, dan diberikan sepanjang dampak pandemi COVID19 dirasakan — bisa jadi lebih dari 3 bulan seperti skema jaring pengaman sosial saat ini.

Rekaman diskusi daring ini dapat dilihat secara utuh di:

Melihat Potensi Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat di Indonesia

Pada tahun 2018, sektor transportasi di Indonesia mengkonsumsi 45% dari total energi final, dimana 94% berasal dari bahan bakar minyak. Dengan begitu, sektor ini menyumbang hampir sepertiga dari total emisi sektor energi. Angka ini diprediksi akan terus meningkat oleh beberapa ahli. Bahkan, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memprediksi bahwa emisi dari sektor ini akan meningkat 53% pada tahun 2030 dan hampir dua kali lipat pada tahun 2050 jika dibandingkan dengan angka pada tahun 2015. Dalam memenuhi tekanan pembatasan kenaikan suhu secara global, upaya dekarbonisasi atau pengurangan emisi di sektor transportasi memegang peranan penting, terutama mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kontributor emisi keenam di dunia.

Di antara moda transportasi angkutan, moda transportasi di darat merupakan kontributor emisi terbesar. Banyak studi menunjukkan bahwa kendaraan listrik merupakan satu opsi penting untuk melakukan dekarbonisasi di transportasi darat. Sayangnya, rencana mitigasi perubahan iklim di sektor ini masih terbatas pada penggunaan bahan bakar nabati. Untuk melihat seberapa besar potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia maka IESR melakukan diskusi sekaligus meluncurkan laporan terbarunya secara daring pada Hari Minggu, 29 Maret 2020, yang disiarkan di kanal Youtube IESR Indonesia.

Bertujuan untuk meluncurkan laporan terbarunya, tajuk dari diskusi ini menggunakan tajuk yang sama dengan tajuk laporannya, yaitu The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector. Dipandu oleh Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, diskusi ini menghadirkan Julius C. Adiatma, Peneliti Bahan Bakar Bersih IESR, yang merupakan penulis dari laporan ini. Di samping itu, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, turut hadir dalam diskusi ini untuk memberikan tanggapan atas laporan yang diluncurkan dalam diskusi ini.

Diskusi ini diawali dengan pemaparan presentasi oleh Julius C. Adiatma terkait kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi untuk mendorong ambisi iklim negara dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu yang ada di dalam Kesepakatan Paris. Bahkan, menurut laporan spesial IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), pembatasan kenaikan suhu diusahakan mencapai 1,5 derajat C untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar.

Salah satu kajian yang dikeluarkan oleh Climate Action Tracker menjabarkan skenario yang kompatibel bagi Indonesia untuk dapat berkontribusi dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat C. Salah satu caranya adalah elektrifikasi kendaraan penumpang darat seperti bis, motor, dan mobil secara 100% pada tahun 2050.

Kendaraan listrik dinilai bisa menjadi alternatif penurunan emisi karena memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Selain itu listrik bisa diproduksi tanpa menimbulkan emisi apabila menggunakan energi yang terbarukan. Belajar dari beberapa negara, kendaraan listrik akan tumbuh apabila ada dukungan kebijakan dari pemerintah. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang dapat menstimulasi supply dan demand dari pasar kendaraan listrik.

Menurut Nanto, sapaan akrab dari Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, kajian yang dilakukan oleh Julius menjawab pertanyaan besar BPPT terkait potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia. BPPT sendiri telah mengembangkan platform-platform kendaraan listrik pada tahun 2018 sebelum diterbitkannya Peraturan Presiden No. 55 tahun 2019 terkait industri dalam negeri. Namun, sekarang BPPT lebih fokus kepada charging station atau stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Indonesia termasuk terlambat dalam menerapkan penggunaan kendaraan listrik bila dibandingkan dengan negara maju. Industri lokal terkait kendaraan listrik perlu untuk didorong dan hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Berbicara tentang industri kendaraan listrik maka bisa dilihat berbagai lembaga pengembangan kendaraan listrik baru berfokus pada research and development (R&D) dan manufaktur. Padahal kedua hal tersebut belum cukup. Kendaraan listrik adalah teknologi baru, dimana teknologi baru ini tidak akan berjalan dengan baik kalau hanya berkutat pada area R&D. Dengan demikian, Nanto menekankan bahwa aspek bisnis dari sisi manufaktur dan sisi infrastruktur pengisian baterai perlu diperhatikan.

Di samping itu, kendaraan listrik akan jauh bermanfaat dalam dekarbonisasi apabila Indonesia turut fokus mengembangkan pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Lebih jauh lagi, ekosistem kendaraan listrik harus mulai dikembangkan untuk mempercepat masa transisi kendaraan listrik, dimana ekosistem kendaraan listrik tersebut terdiri dari lima komponen yaitu: (a) research and development; (b) design and innovation; (c) fabrication/manufacture; (d) business; (e) implementation. Kelima komponen ini saling terkait dimana apabila implementation tidak jelas, maka tidak akan ada business sehingga  tidak ada research and development untuk melakukan design and innovation dalam fabrication/manufacture.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, mengapresiasi kajian terbaru dari IESR yang menyatakan bahwa adanya kendaraan listrik tidak akan mempengaruhi APBN apabila ada insentif-insentif fiskal. Torri, sapaan akrab dari Damantoro, berharap skenario yang dilaporkan oleh IESR berjalan sukses sehingga bisa terlihat market size dari kendaraan listrik. Market size tersebutlah yang mampu mengundang investor untuk berinvestasi pada manufaktur kendaraan listrik.

Torri mengingatkan bahwa ada proyeksi yang menyatakan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia akan tinggal di daerah urban pada tahun 2030 ke atas, dimana ini berdampak pada kegiatan mobilisasi yang sangat tinggi. Dari perspektif sistem transportasi, akan sangat bagus apabila pemerintah dapat melakukan sinkronisasi antara sistem tata ruang dan transportasi maka kegiatan mobilisasi bisa dilayani dengan memuaskan. Tetapi selama tidak ada integrasi tata ruang dan transportasi maka masih akan mempertinggi penggunaan kendaraan pribadi. Di samping itu, jenis kebijakan yang diprioritaskan pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan listrik sebaiknya dapat dibedakan berdasarkan jenis kendaraan, dimana kebijakan insentif fiskal untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan roda empat listrik sedangkan penyediaan stasiun pengisian baterai untuk kendaraan roda dua listrik.

Terkait dengan emisi yang dihasilkan, Julius kembali menekankan bahwa sektor transportasi dan ketenagalistrikan saling berkaitan satu sama lain. Apabila kendaraan listrik akan dikembangkan maka perlu juga untuk mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan.

Pada akhirnya kendaraan listrik dan industrinya bisa berkembang apabila ada dukungan dari semua pihak. Di berbagai negara juga demikian, keberhasilan kendaraan listrik menembus pasar bukan hanya keberhasilan satu pihak namun karena dukungan berbagai pihak utamanya adalah pemerintah. Perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam hal penciptaan pasar dan kebijakan supply and demand.

Materi presentasi

The Role of EV

 

Unduh laporan lengkap
Unduh ringkasan untuk para pembuat kebijakan
Unduh infografis 

Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap



Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap: Tingkatkan Geliat Sektor Industri di Jabodetabek untuk Memanfaatkan Energi Terbarukan

Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri, 29 Januari 2020 lalu di Kota Bekasi, Jawa Barat. Acara ini diikuti oleh lebih dari 40 peserta yang berasal dari Bappeda, Pelaku Bisnis dan Kawasan Industri se-Jabodetabek.

Energi surya merupakan jenis energi terbarukan yang mudah untuk diaplikasikan dalam beragam skala dan di berbagai lokasi, baik terpasang di atap atau pun di atas tanah (ground-mounted). Desain sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang bersifat modular membuatnya mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, mulai dari konsumen rumah tangga, bisnis, pemerintah, dan industri. Salah satu sektor yang dapat memanfaatkan PLTS atap dengan optimal adalah sektor industri, mengingat sektor ini sangat energy-intensive dengan profil beban yang cukup merata sepanjang hari. Dengan memasang PLTS atap, pelaku industri dapat menggantikan kebutuhan listriknya, utamanya di siang hari, yang sebelumnya bersumber dari energi fosil menjadi energi terbarukan.

Dalam sambutannya, Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyampaikan pentingnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebagai aksi mitigasi perubahan iklim yang telah menjadi komitmen pemerintah semenjak meratifikasi Paris Agreement. Pemerintah sendiri memiliki target 23% bauran EBT untuk energi primer di tahun 2025, namun hingga semester 1 2019, realisasinya baru mencapai 8,85%. Pandu juga menyampaikan bahwa minat masyarakat, termasuk industri, terhadap PLTS atap kian meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah pun berusaha mengakomodasi hal tersebut dengan menerbitkan regulasi yang mendukung. Harapannya, peran strategis industri menuju pemanfaatan energi terbarukan yang mandiri dan berkelanjutan akan meningkatkan profit perusahaan dan berperan serta dalam kemandirian energi nasional.

Acara sosialisasi dan diskusi ini dibagi menjadi dua sesi: sesi pertama menghadirkan Mustaba Ari Suryoko dari Direktorat Aneka Energi (Ditjen EBTKE) KESDM, Sigit Cahyo Astoro dari Ditjen Ketenagalistrikan KESDM, dan Pratiwi dari PLN Jawa Barat; sedangkan sesi kedua menghadirkan Fabby Tumiwa dari IESR dan Stevan Andrianus dari Danone.

Diskusi pada sesi pertama menekankan pada regulasi yang langsung menyasar pelaku industri, seperti Permen ESDM No. 13/2019 dan No. 16/2019 sebagai revisi Permen ESDM No. 49/2018 yang mengubah persyaratan terkait Sertifikat Laik Operasi (SLO), Izin Operasi (IO), capacity charge, dan emergency charge; guna mendorong pemanfaatan PLTS atap secara masif di sektor industri. Sesi ini juga membahas lebih detail mengenai prosedur dan persyaratan pemasangan PLTS atap serta simulasi pengurangan tagihan PLN untuk pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Dalam diskusi, beragam pertanyaan muncul dari para pelaku industri seputar kendala-kendala yang dihadapi terkait prosedur dan implementasi di lapangan yang berhubungan dengan kewenangan PLN pusat dan regional, seperti kendala penyediaan kWh meter, SLO, dan kapasitas pembangkit yang dikenakan capacity charge. Menanggapi hal tersebut, perwakilan KESDM maupun PLN mengatakan bahwa permen yang sudah dikeluarkan dan peraturan turunan dari Direksi PLN sudah ada; tantangan di lapangan mencakup pemahaman dan kesiapan PLN regional untuk pelaksanaannya karena sistem PLTS atap ini adalah sesuatu yang baru.

Dalam sesi berikutnya yang diisi oleh pihak non-pemerintah, yaitu IESR dan Danone, pembahasan terfokus pada potensi energi surya yang sangat besar di Indonesia namun belum dioptimalkan, berbagai program dan strategi yang dapat diimplementasikan untuk mempercepat pengembangan energi surya seperti program Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), serta pengalaman langsung pelaku industri yang sudah menggunakan PLTS Atap.

“Indonesia memiliki ribuan industri dan lebih banyak lagi bangunan, dan karenanya memiliki potensi pemanfaatan PLTS atap yang tinggi. Karenanya sejak 2017, IESR bersama dengan beberapa pihak, di antaranya Kementerian ESDM, BPPT, Kemenperin, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) menginisiasi Gerakan Nasional Sejuta Atap (GNSSA) yang bertujuan untuk mendorong penetrasi energi surya hingga 1 GW pada tahun 2020; yang aaat ini baru mencapai 150 MW,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan dalam paparannya.

“Sektor rumah tangga yang menggunakan PLTS atap hingga saat ini mencapai 1.700 pelanggan. Minat dari sektor industri baru menggeliat dalam 3 bulan terakhir setelah ada revisi dari Permen ESDM No. 49/2018 yang tertuang dalam Permen ESDM No. 16/2019,” lanjut Fabby.

Dalam sesi diskusi, ketertarikan peserta tertuju pada model bisnis untuk pelaku industri dalam menggunakan PLTS yang kemudian ditanggapi oleh Stevan Andrianus, Sr. Technovation Manager (Danone Aqua), yang menjelaskan bahwa model bisnis yang digunakan pelaku industri dapat berupa modal sendiri atau dengan skema leasing (sewa). Model bisnis ini tentu disesuaikan dengan kemampuan finansial perusahaan dan prosedur internal, misalnya kepemilikan aset. Selain model bisnis, penanganan limbah panel surya juga menjadi topik pembahasan pada sesi ini. Fabby menjelaskan bahwa beberapa negara sudah memiliki fasilitas pengolahan limbah elektronik dari modul surya. Meski saat ini untuk konteks Indonesia hal ini belum menjadi isu, Fabby menekankan bahwa pengolahan limbah yang berkelanjutan juga harus menjadi pertimbangan yang serius.

Untuk mendorong pencapaian target GNSSA dan target pengembangan energi terbarukan sesuai Kebijakan Energi nasional, IESR juga merekomendasikan strategi pengembangan ekosistem Program Surya Nasional kepada pemangku kebijakan, meliputi dukungan kebijakan dan regulasi (misalnya sertifikat energi terbarukan), penguatan kelembagaan pihak-pihak terkait, desain dan standarisasi produk, pengujian produk dan labelling, pengembangan kapasitas dan pelatihan, penjangkauan dan peningkatan kesadaran masyarakat, serta mekanisme pembiayaan yang bervariasi untuk berbagai sektor.

## 

Materi presentasi dapat diunduh di:

 

Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy

Brown to Green Report 2019: 

Strategi Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy dalam Menangani Perubahan Iklim sebagai Upaya Pencapaian Paris Agreement

Jakarta, 19 November 2019 — IESR. Emisi karbon dari negara-negara G20 terus meningkat sebagai akibat dari tingginya penggunaan bahan bakar fosil dalam penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tidak satupun dari mereka memiliki rencana penurunan emisi karbon yang selaras dengan pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1.5°C. Meskipun mereka memiliki kemampuan teknis dalam meningkatkan upaya pencegahan perubahan iklim dalam mencapai target Paris Agreement, rencana aksi mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC negara-negara G20 tidak ada yang menempatkan mereka berada di jalur 1.5°C.

Apabila negara-negara G20 tidak melakukan peningkatan ambisi iklimnya dan melakukan transformasi perekonomian, dan dengan dokumen NDC yang ada saat ini, suhu bumi akan meningkat lebih dari 3°C. Pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C diindikasi akan mengurangi dampak negatif di berbagai sektor di negara G20 lebih dari 70%. Kerugian yang saat ini dilanda oleh negara G20 akibat perubahan cuaca yang ekstrim yakni kematian sebanyak 16.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar US$ 142 triliun setiap tahunnya. 

Semua negara anggota G20, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan ambisi iklimnya dalam upaya penurunan emisi karbon dan mencapai net-zero emission economy untuk mencapai Paris Agreement, dengan langkah yang taktis dan komitmen serta kemauan politik yang kuat. Hal ini merupakan salah satu pesan kunci dari Brown to Green Report 2019: The G20 Transition Towards a Net-Zero Emissions Economy yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta pada 19 November 2019. Peluncuran laporan yang diikuti dengan diskusi panel ini dihadiri sedikitnya 140 peserta yang berasal dari kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum, serta rekan-rekan jurnalis.

Laporan Brown to Green 2019 merupakan sebuah laporan tahunan yang disusun oleh Climate Transparency dengan didukung oleh Federal Ministry of Environment Nature Conservation and Nuclear Safety. Dengan menggunakan 80 indikator penilaian terkait adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim untuk dapat mencapai target 1,5°C, laporan ini mengukur aksi iklim dari negara-negara G20 dan bagaimana proses transisi mereka menuju net-zero emissions economy. Sebagai anggota dari kemitraan Climate Transparency, IESR mengukur kinerja Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim serta bagaimana Indonesia dapat melakukan transisi perekonomiannya, dibandingkan dengan negara anggota G20 lain.

Membuka acara ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan bahwa laporan ini memperlihatkan Indonesia masih cukup tertinggal dalam upaya mencapai Paris Agreement. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pembangunan dan investasi untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih hijau, khususnya investasi di pembangkit listrik, transportasi, dan industri manufaktur. Di samping itu, Indonesia membutuhkan strategi untuk membuat ekonomi Indonesia lebih resilient terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Ditegaskan dalam pidato pembukaan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jend. TNI. (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, bahwa Indonesia berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan juga peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi di 2025. “Indonesia berkomitmen untuk menempatkan energi baru dan terbarukan dalam kebijakan negara. Penentu kebijakan harus membuat kebijakan yang tidak mencederai anak cucu” pernyataan Luhut dalam pidatonya.

Ia pun menjelaskan beberapa strategi investasi dan bisnis yang akan diterapkan Indonesia dalam mendorong perekonomian hijau, yakni teknologi yang masuk ke Indonesia harus yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan; harus ada transfer teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah produk mentah yang menjadi komoditas ekspor Indonesia; serta investor harus mengembangkan pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Secara khusus, ada beberapa program yang disiapkan pemerintah untuk mendorong perekonomian hijau yaitu biodiesel dan green fuel untuk non listrik, kendaraan listrik, pembangkit listrik energi terbarukan, mendekatkan industri dengan sumber energi, dan pelibatan pihak swasta dalam proyek carbon credit.

Prof. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga turut hadir dalam peluncuran ini, memberikan Keynote Speech kedua setelah Menteri Kemenko Maritim dan Investasi. Prof Emil turut menekankan bahwa Laporan Brown to Green ini mencerminkan kenyataan yang ada mengingat kebijakan energi Indonesia sudah dicanangkan hingga ke 2050 tapi tidak ada yang menunjukkan bagaimana dampak dari emisi karbon dapat diatasi. 

Prof. Emil Salim, Guru Besar FE UI

“Persoalan climate change adalah persoalan nasional yang sedang sama-sama kita hadapi. Namun, sayangnya faktor lingkungan tidak menjadi pertimbangan penting dalam Rencana Umum Energi Nasional, tapi justru menumpukan pembangunan pada energi konvensional. Jadi pola struktur energi kita didominasi minyak bumi, batu bara dan energi terbarukan hanya kurang dari separuh. Padahal potensinya tinggi. Jika kita merasa Rencana Umum Energi Nasional tersebut tidak tepat maka keinginan saya adalah, bagaimana komposisi energi terbarukan bisa dapat tingkatkan.” ujar Prof. Emil Salim.

Senior ekonom Indonesia ini pun menyoroti peran PLN sebagai BUMN yang menilai bahwa pihak swasta tidak dapat mengembangkan sumber energinya dengan alasan perizinan yang hanya dimiliki oleh PLN, sehingga teknologi pembangkit listrik surya atap masih terhambat hingga saat ini.Beliau menekankan bahwa laporan IESR ini harus dijadikan sebagai lampu kuning bagi seluruh pemangku kebijakan tak sekedar dokumen untuk dibaca. Indonesia tertinggal dalam urusan yang terkait dengan climate change, kebijakan energi sebagai alternatif harus segera dibuat, imbuhnya. 

Erina Mursanti, Program Manager IESR – Green Economy

Beberapa poin penting dalam paparan kedua keynote speech tersebut, selaras dengan isi dari laporan Brown to Green yang dipaparkan langsung oleh Manajer Program, Green Economy, IESR, Erina Mursanti. Laporan ini memperlihatkan posisi Indonesia untuk menuju 1,5°C berdasarkan compatible fair share emission ranges yang merupakan analisa adaptasi dari metodologi Climate Action Tracker yang juga merupakan mitra internasional dari Climate Transparency. Metodologi ini tidak memasukkan LULUCF emission karena tidak semua negara G20 memiliki emisi dari LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) atau penggunaan lahan dan hutan. 

“Sekalipun semua kegiatan mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC Indonesia dilaksanakan, negara ini tetap berada pada jalur suhu bumi 3°C atau bahkan 4°C, jadi bisa disimpulkan kita masih berada jauh dari jalur 1,5°C.” terang Erina, memaparkan salah satu hasil laporan ini. Laporan ini menunjukkan, selama tahun 2019, ada dua kemajuan Indonesia dalam melakukan transformasi perekonomian yakni adanya peraturan presiden mengenai kendaraan listrik serta pembentukan badan pengelola dana lingkungan hidup terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, sayangnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2019-2028 menunjukkan bahwa kontribusi dari batubara dalam pembangkit listrik naik sebesar 0,2% dibandingkan dengan rencana tahun lalu. 

Terkait rencana pembangunan jangka panjang, laporan ini menemukan bahwa Indonesia belum memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang terintegrasi dengan rencana penurunan jumlah emisi gas rumah kaca. Indonesia telah mengeluarkan studi low carbon development initiative namun studi ini belum didokumentasikan secara resmi sebagai dokumen pembangunan pemerintah Indonesia. 

Dilaporkan bahwa Indonesia sudah memiliki target kontribusi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan, namun implementasi upaya pencapaian target tidak koheren dengan beberapa kebijakan yang sudah ada. Namun Indonesia belum memiliki target atau kebijakan terkait penghapusan batubara secara bertahap, padahal indikator ini merupakan faktor penting demi menanggulangi perubahan iklim. 

Dalam sektor transportasi, hanya satu hal yang cukup bagus dimiliki oleh Indonesia yaitu adanya beberapa instrumen yang mendukung pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. 

Indonesia belum mempunyai instrumen pembiayaan perubahan iklim yang cukup memuaskan. Catatan penting dari temuan ini adalah Indonesia masih memberikan subsidi kepada bahan bakar fosil yang sangat besar. Demi tercapainya suhu bumi pada 1,5°C Indonesia harus mulai menghapus subsidi tersebut dan memperkenalkan skema pajak karbon. Dana APBN juga semestinya sudah tidak digunakan lagi untuk membiayai proyek – proyek berbahan bakar fosil. Strategi pembangunan jangka panjang Indonesia harus diperjelas agar dapat mengakomodasi pembiayaan jangka panjang untuk perubahan iklim. 

Sebelum menutup paparannya, Erina Mursanti mengingatkan bahwa demi meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dan untuk berada di jalur 1,5°C, ada tiga hal yang dapat dilakukan negara yaitu: (a) Mengurangi jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menaikkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030. Hal ini sangat penting menurut Erina, karena: merupakan solusi yang layak (mungkin dilakukan) secara teknis tanpa mengurangi keandalan jaringan transmisi (jika daya energi terbarukan sangat besar). Komitmen dan kemauan politik (political will) dalam hal ini sangat dibutuhkan. (b) Meningkatkan tingkat efisiensi dari peralatan rumah tangga & industri termasuk penerangan karena hal ini berkontribusi sekitar 25 GW pada tahun 2030. (c) Indonesia harus melakukan moratorium pembebasan lahan hutan secara permanen termasuk untuk hutan primer, sekunder dan restorasi hutan gambut. 

 

(dari Kiri ke Kanan) Dr. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, CSIS, Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kemenko Marves, Dr. Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, KESDM, Kuki H. Soejachmoen.

Galeri acara Peluncuran Brown to Green 2019:

Diskusi Panel: Strategi Indonesia menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050

Menindaklanjuti hasil laporan ini, diskusi panel pun dilakukan dengan mengusung topik Strategi Indonesia Menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050 dan menghadirkan para panelis yang terdiri dari: Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) – Yose Rizal Damuri; Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Emma Rachmawati; Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang – Saleh Abdurrahman; dan Direktur Eksekutif, IESR – Fabby Tumiwa.

Yose Rizal Damuri, dalam hal ini mengaitkan political will dengan dinamika sosial politik Indonesia yang tidak banyak terafiliasi dengan isu lingkungan. Survei CSIS yang dilakukan di awal tahun mengenai persepsi sosial dan politik terhadap isu emisi menemukan bahwa hanya 1,68% dari 2.000 responden Indonesia yang menjawab bahwa isu lingkungan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Yose melanjutkan, di ranah politik, sayang sekali hanya satu partai yang memasukkan kata lingkungan dari visi misi mereka namun sayangnya partai ini tidak masuk ke dalam DPR. Sangat disayangkan politisi – politisi belum banyak berperan di seputar isu lingkungan, padahal mereka punya peran penting dalam memberikan legalitas demi dukungan pendanaan.

Mengamini pernyataan Prof. Emil Salim di keynote speechnya, Yose juga menilai bahwa PLN masih menjadi salah satu penghalang utama untuk pengembangan teknologi energi terbarukan yang berhubungan dengan kelistrikan, karena semestinya menurut Yose, PLN seharusnya bertindak sebagai penyedia jasa bukan sebagai regulator. Political will pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan kendala regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan seperti solar rooftop atau kendaraan listrik.

Menurut pandangan KLHK yang disampaikan oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Emma Rachmawati, kemampuan ekonomi yang dimiliki negara-negara G20 berbeda dari satu dengan yang lainnya. “Kenapa negara berkembang seperti Indonesia kemudian dituntut untuk increase ambition? Indonesia juga mempertanyakan, negara maju penuhi dulu kewajiban nya, jangan lalu dibagi rata menjadi beban negara berkembang.”

“KLK saat ini sedang dalam proses penyusunan roadmap implementasi NDC, dimana NDC dirinci dalam kegiatan di sub-sektor untuk masing-masing sektor. Kita sudah pilah mana yang kemudian bisa dikontribusikan oleh Provinsi dan Kabupaten/ Kota, kemudian oleh swasta, sudah ada dalam road map tersebut. Kemudian juga kemarin kita sudah diskusi mengenai carbon pricing dan bagaimana peran swasta untuk pasar karbon.” imbuh Emma Rachmawati.

Di kesempatan yang sama, Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, merespon wajar jika Indonesia belum mencapai target NDC karena, menurutnya, pertumbuhan GDP Indonesia masih rendah; sehingga kesejahteraan masyarakat Indonesia harus didahulukan dengan terus menumbuhkan sektor manufaktur. Untuk mencapai kesejahteraan Indonesia itu harus bisa menjamin kesejahteraan sosial, maka sektor manufaktur harus terus tumbuh. Sektor manufaktur mendapatkan nilai tambah yang tinggi dan bisa menjangkau pekerja baru sampai 200-300 ribu orang. 

Saleh pun menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat melihat kebijakan dalam kurun waktu tahunan (yearly basis), karena kebijakan energi pada khususnya menyangkut sektor riil, dan harus mempertimbangkan faktor ekonomi. Strategi sektor energi dalam menuju nir emisi dapat dilakukan dengan: (i) mencari sumber energi yang memiliki big impact seperti biofuel, (ii) mengoptimalkan energy efficiency, (iii) memaksimalkan PLTS, PLTP, PLTA karena bisa mendorong ekonomi lokal.

Fabby Tumiwa, dalam sesi diskusi panel menyatakan Indonesia sebagai anggota negara G20 tentunya memiliki kondisi ekonomi yang berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, trajectory yang ada dalam NDC menunjukkan jika kita belum di jalur 1,5°, namun ada di jalur 3° – 4°C dikarenakan Indonesia meningkatkan pembangkit dari minyak bumi cukup masif, dimana sebagian besar dari pembangkit ini baru mulai beroperasi setelah 2023 – 2030 dengan berkekuatan 35.000 MW, meski Indonesia sudah memiliki aset pembangkit energi terbarukan namun tidak on-track sesuai target. Long-term decarbonisation menjadi catatan penting untuk pemerintah Indonesia khususnya BAPPENAS, KLHK dan sektor lain untuk membahas bagaimana target 2050

“Tidak hanya target-target mau turun berapa, tetapi kapan emisi akan peak dan kapan kita bisa mencapai net-zero emission. Ini penting karena bisa melihat apakah kita compatible dengan Paris Agreement.” imbuh Fabby. 


Brown to Green Report 2019 diluncurkan di Jakarta, Hotel Pullman Thamrin 19 Desember 2019.

Materi paparan dari kegiatan ini dapat di unduh di laman agenda 

Anda juga dapat mengunduh: 

Laporan Lengkap Brown to Green 2019 (Bahasa Inggris)

Ringkasan Eksekutif dan Profil Indonesia (Bahasa Inggris)

Laporan Brown to Green 2019 Profil Indonesia (Bahasa Indonesia)

Beyond Connections: Mendefinisikan Ulang Akses Energi di Indonesia

Dalam konteks penyediaan akses energi di Indonesia, capaian program pemerintah diukur dengan pendekatan kuantifikasi numeris dan biner, misalnya rasio elektrifikasi untuk listrik dan jangkauan distribusi elpiji untuk energi memasak. Padahal untuk menumbuhkan potensi ekonomi daerah dan mendorong pembangunan manusia berkelanjutan, akses energi tidak bisa dibatasi dengan sekadar penerangan atau ketersambungan pada jaringan distribusi elpiji; melainkan harus memasukkan perspektif pengguna akhir dan bagaimana akses energi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Pemerintah perlu memperbaiki definisi elektrifikasi di luar kuantifikasi numeris dengan menetapkan standar kualitatif penyediaan akses energi dan mempertimbangkan penyedian pasokan yang dapat mendorong aktivitas produktif serta penyediaan layanan umum yang memadai dalam perencanaan akses energi perdesaan dan daerah-daerah terpencil, demikian salah satu rekomendasi Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran laporan Beyond Connections: Meningkatkan Kualitas Akses Energi di Indonesia untuk Pembangunan Manusia yang Berkelanjutan yang dilakukan di Jakarta, Senin (11/11). Peluncuran laporan dan diskusi panel ini dihadiri lebih dari 60 peserta dari kementerian dan lembaga, PLN, organisasi non-pemerintah, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparan pembukaan, selama ini pemerintah masih terpaku pada definisi elektrifikasi sebagai penerangan, sehingga fokus penyediaan akses listrik tidak mempertimbangkan penggunaan listrik untuk kegiatan lainnya. “Lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE), misalnya, menjadi bagian elektrifikasi padahal layanannya hanya cukup penerangan dasar. Akses energi yang berkualitas harus memasukkan aspek multi-dimensi lain, misalnya keandalan dan keterjangkauan,” kata Fabby.

Beyond Connections: Meningkatkan Kualitas Akses Energi di Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan merupakan kajian terbaru IESR yang menganalisis kebijakan dan pelaksanaan penyediaan akses energi di Indonesia, mencakup listrik dan energi untuk memasak.  Kajian ini menggunakan pendekatan diagnostik berbasis multi-tier framework (MTF) yang dikembangkan oleh Bank Dunia/Energy Sector Management Assistance Program (ESMAP). MTF didesain untuk memantau dan mengevaluasi akses energi dengan mendefinisikan akses energi sebagai “kemampuan pengguna untuk mendapatkan manfaat dari energi yang memadai, tersedia ketika dibutuhkan, dengan kualitas yang baik, nyaman, terjangkau, legal, sehat dan aman untuk seluruh jasa energi yang diperlukan”. Pendekatan ini meredefinisi makna akses energi yang kebanyakan direpresentasikan sebagai perhitungan numerik (binary count) menjadi definisi yang multidimensional. MTF menggunakan klasifikasi akses energi yang dinamakan tier  (tingkat) – dimulai dari Tier 0 (tidak ada akses) hingga Tier 5 (akses penuh). Angka tier yang semakin tinggi menunjukkan peningkatan kualitas layanan akses energi.

Dari 8 desa di dua provinsi yang menjadi subjek Beyond Connections, akses listrik yang diterima masyarakat masih berada di tier rendah, di mana pasokan listrik yang mereka terima hanya cukup untuk penerangan dasar dan peralatan elektronik berdaya sangat rendah dan daya rendah; sehingga tidak dapat digunakan untuk kegiatan produktif. “Masyarakat memiliki aspirasi untuk mendapatkan listrik dengan kualitas lebih baik dan memiliki kemauan membayar (willingness to pay) yang beragam, dan dengan cicilan bila dimungkinkan,” Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR memaparkan.

Selain perbaikan definisi elektrifikasi, rekomendasi lain dari kajian ini adalah adanya satu peta jalan penyediaan listrik desa yang dapat digunakan sebagai acuan tunggal untuk meningkatkan efektivitas kerja dan pembiayaan PLN, berbagai kementerian, dan pemerintah daerah yang memiliki program penyediaan akses listrik desa. Hal ini penting dilakukan mengingat selain Kementerian ESDM dan PLN, pemerintah daerah dan kementerian lain juga memiliki program penyediaan listrik desa atau yang bersinggungan dengan penyediaan akses energi perdesaan sehingga terjadi tumpang tindih rencana. Koordinasi dan sinergi pelaksanaan peta jalan nasional ini dapat berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dengan tim pelaksana yang berasal dari PLN dan berbagai kementerian serta lembaga teknis.

Untuk mempermudah pembiayaan listrik desa yang berkualitas, IESR juga merekomendasikan pengalihan subsidi listrik untuk rumah tangga 450 VA dan 900 VA tidak mampu dengan penyediaan panel surya rumah berkapasitas minimal 500 Wp, yang cukup untuk penerangan dasar dan alat elektronik berdaya menengah. Bila jaringan PLN masuk, masyarakat dapat menyambungkan sistem mereka dengan skema net-metering. Selain menyediakan listrik dengan daya yang cukup besar, subsidi listrik untuk golongan pelanggan PLN ini juga akan berkurang secara signifikan dalam tahun-tahun berikutnya.

Selain akses listrik, hasil diagnostik MTF juga menunjukkan adanya ketimpangan penyediaan akses energi untuk memasak. Desa di NTB telah menjadi sasaran Program Zero Kero (konversi minyak tanah ke elpiji), sedangkan mayoritas desa di NTT masih mengandalkan kayu bakar dan tungku tiga batu. Masyarakat yang menggunakan metode memasak tradisional dapat menghabiskan waktu hingga lebih dari 7 jam per minggu, dan kaum perempuan menjadi pihak yang terkena dampaknya. “Dampaknya tak hanya soal banyaknya waktu yang digunakan namun juga risiko kesehatan akibat terpapar asap dan risiko-risiko lainnya saat pengumpulan kayu bakar,“ Hapsari Damayanti, peneliti IESR, mengungkapkan.

Dalam konteks energi bersih untuk memasak, IESR merekomendasikan agar pemerintah memiliki kerangka kebijakan dan strategi untuk mengarusutamakan akses energi bersih memasak yang universal dan mendorong masyarakat untuk menerapkan clean cooking, termasuk membuat peta jalan nasional, perluasan konversi ke elpiji (Zero Kero), mengembangkan teknologi atau sumber bahan bakar bersih setempat, serta melakukan sinergi dengan kementerian dan lembaga lain, misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan membuka pasar teknologi energi bersih. Kajian diagnostif MTF di 8 desa ini juga menemukan bahwa masyarakat masih memilih kayu bakar meski menimbulkan beberapa masalah kesehatan; mereka cenderung enggan berpindah ke energi bersih karena memilih akses listrik terlebih dahulu dan karena kayu bakar tersedia secara gratis. Mendorong perubahan perilaku menuju clean cooking tentu memerlukan strategi khusus yang bersifat jangka panjang.

Secara substansi dari hasil paparan studi ini kemudian dibahas lebih lanjut oleh para panelis, yaitu Ferry Triansyah (Kepala Subdirektorat Penyiapan Usaha Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), Adi Priyanti (EVP Perencanaan Sistem PT PLN Persero), dan Sandra Winarsa (Program Development Manager Green Energy, Hivos Southeast Asia). Ferry menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian ESDM berkomitmen menyediakan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, berkualitas baik, dan harga yang wajar demi meningkatkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan tiga pendekatan utama: perluasan jaringan, jaringan mini dan mikro, serta sistem lepas jaringan dan LTSHE; yang disesuaikan dengan ketersediaan infrastruktur dan kondisi masyarakat. Secara kualitas, pemerintah mengatur kinerja PLN dengan regulasi tingkat mutu pelayanan (TMP), terbatas pada jaringan PLN.  Ferry  juga meminta masukan kepada IESR untuk memberikan standar ukuran tier dari hasil kajian ini, sehingga pemerintah dapat membuat tolok ukur untuk meningkatkan akses energi di Indonesia ke tier yang lebih tinggi.

Adi Priyanto merespon positif hasil temuan dari kajian ini, dan menyambut baik gagasan untuk melakukan proses perencanaan gabungan (joint-planning) antara IESR dan PLN untuk penyediaan energi yang lebih berkualitas. Keterbatasan perluasan jaringan PLN memang menjadi tantangan yang harus dipikirkan; untuk daerah yang memiliki penduduk tersebar sehingga perluasan jaringan tidak efektif, model penyediaan akses energi skala kecil yang terfokus pada komunitas dan energi terbarukan setempat. PLN juga mengajak IESR untuk menindaklanjuti hasil studi dengan melakukan perencanaan sistem bersama demi tercapainya akses energi berkualitas, dan merumuskannya untuk RUPTL setelah 2019.

Sandra Winarsa menuturkan bahwa hasil riset IESR sangat menarik dan informatif, dan menggarisbawahi bahwa kajian ini juga perlu dilengkapi dengan Tujuan 5 pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG), yaitu Kesetaraan Gender. Perempuan memegang peranan penting dalam penyediaan akses energi, baik listrik atau memasak, dan karenanya sangat relevan untuk dibahas. Perempuan berperan sebagai “manajer rumah tangga” dan menjadi tokoh kunci dalam mengelola energi, sanitasi, dan air; serta mendorong peningkatan produktivitas dan kesejahteraan keluarga.

Dalam peluncuran Beyond Connections ini juga jadir perwakilan PLN dari regional NTT dan NTB, yang menyampaikan perkembangan penyediaan akses listrik untuk dua daerah tersebut, utamanya tantangan geografis yang menantang dan pola pemukiman penduduk yang berjauhan. Mereka sepakat bahwa penyediaan listrik juga harus mempertimbangkan keandalan dan kualitas, sehingga dapat membantu masyarakat melakukan aktivitas dan mendapatkan akses pelayanan umum yang lebih baik.

Di akhir acara, Direktur Eksekutif IESR menutup dengan menggarisbawahi pentingnya perubahan paradigma penyediaan akses energi, yang harus menjadi bagian dari rencana jangka menengah dan jangka panjang pemerintah serta tercermin dalam kebijakan dan regulasi sektoral. Fabby juga menekankan perlunya kerjasama lintas kementerian, lembaga, dan organisasi; PLN dapat bersinergi dengan kementerian-kementerian teknis perencanaan dan penyediaan akses energi yang berkualitas dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Ringkasan eksekutif Beyond Connections: Meningkatkan Kualitas Akses Energi di Indonesia untuk Pembangunan Manusia Berkelanjutan dapat diunduh di tautan ini.


Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan