Pojok Energi Goes to UNDIP

Sejak awal tahun 2017, IESR menginisasi Pojok Energi, sebuah platform diskusi mengenai energi yang bertujuan untuk mempertemukan pengambil kebijakan dengan beragam pemangku kepentingan dan masyarakat untuk membahas isu energi dari berbagai perspektif dan memberikan masukan konstruktif pada pengambil kebijakan. Hingga kini, Pojok Energi telah diselenggarakan sebanyak 12 kali dengan tema yang berbeda-beda. Selain untuk audiens umum, Pojok Energi juga bekerja sama dengan universitas dan kampus, untuk memperkenalkan dan memperdalam isu energi bersama pengajar dan mahasiswa. Pojok Energi Goes to Campus ini mengambil tema secara lebih spesifik, disesuaikan dengan tuan rumah universitas tujuan.

Pada tanggal 14 Oktober 2019, Institute for Essential Services Reform (IESR) berkolaborasi dengan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang (Undip) untuk menyelenggarakan Pojok Energi Goes to Undip, mengambil tema “Energi Terbarukan dan Perannya untuk Kemandirian Energi Indonesia”. Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Teknik Undip, Ir. M. Agung Wibowo, MM, MSc, PhD, menyampaikan pentingnya diskusi inlusif seperti Pojok Energi Goes to Campus untuk membangun wawasan mahasiswa dan memperkaya perspektif ilmu yang mereka pelajari untuk isu yang lebih luas. Dr. Agung Wibowo juga menyampaikan bahwa Fakultas Teknik Undip telah mengintegrasikan perspektif pembangunan berkelanjutan dalam tugas-tugas mahasiswa di 12 jurusan, misalnya efisiensi energi dan bangunan hijau untuk jurusan arsitektur. Dr. Agung Wibowo juga berharap IESR dan Fakultas Teknik Undip dapat bekerja sama lebih lanjut dalam bentuk nota kesepahaman, untuk mendorong isu energi dalam terapan ilmu yang lebih luas.

Pojok Energi Goes to Undip ini menghadirkan Mustaba Ari Suryoko dari Kementerian ESDM, Eni Lestari dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Dr. Agus Setiawan dari Fakultas Sains dan Matematika Undip, Pamela Simamora dari IESR, dan Kristin Damayanti dari Yayasan Trukajaya Salatiga. Selain membahas kebijakan energi nasional, perkembangan dan tantangannya, serta relevansi pembangunan energi terbarukan dengan kebutuhan sumber daya manusia saat ini; para pembicara tersebut juga menyampaikan bagaimana pemerintah provinsi mengambil peran aktif dalam pengembangan energi terbarukan, potensi-potensi energi terbarukan di Jawa Tengah, pendampingan masyarakat dan pemberdayaan komunitas, prospek dan aspek teknis panas bumi di Jawa Tengah, serta konteks transisi energi global dan pengaruhnya untuk Indonesia; juga bagaimana komunitas akademis dapat mengambil peran aktif dalam tren transisi energi ini.

Dalam diskusi yang dihadiri lebih dari 130 mahasiswa ini, beragam pertanyaan dan komentar dibahas secara lebih mendalam bersama pembicara. Keterkaitan dunia akademis dengan pengembangan energi terbarukan, misalnya, mendapatkan perhatian yang cukup intens dari peserta yang hadir. Beberapa mahasiswa menyampaikan inovasi-inovasi terkait penggunaan energi terbarukan yang mereka minati dan mereka kembangkan, tantangan yang mereka hadapi dalam menciptakan inovasi tersebut, dan dukungan yang mereka harapkan bisa diberikan oleh pemerintah. Menjawab masukan ini, Mustaba Ari S. dan Eni Lestari menyampaikan bahwa dalam lingkup kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dukungan pada inovasi dilakukan di bawah payung pusat penelitian dan pengembangan, dan mahasiswa dapat memanfaatkan kesempatan ini. Dr. Agus Setiawan yang juga bertanggungjawab atas kegiatan kemahasiswaan juga mendorong mahasiswa untuk berkomunikasi secara intens dengan pihak kampus yang selama ini telah banyak memfasilitasi pengembangan inovasi mahasiswa. Peserta juga menyampaikan ketertarikan mereka untuk terlibat aktif dalam diskursus energi, tidak terbatas pada pengetahuan tentang energi terbarukan dan transisi energi; juga harapan untuk membentuk komunitas energi, terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, dan prospek berkarir dalam sektor energi terbarukan.

Marlistya Citraningrum dari IESR sebagai moderator menutup diskusi Pojok Energi Goes to Undip dengan menggarisbawah pentingnya kolaborasi dunia akademis dengan sektor kebijakan publik, bagaimana mahasiswa dapat mengambil peran aktif dengan memberikan masukan konstruktif untuk kebijakan energi dan mendorong berbagai inovasi, serta bagaimana diskursus energi perlu terus diramaikan untuk mewujudkan pembangunan dengan sistem energi berkelanjutan di Indonesia.


Marlistya Citraningrum, Program Manager Sustainable Energy Access


Materi paparan dapat diunduh di tautan ini.

Seminar dan Diskusi: Mempercepat Pengembangan Energi Surya di Indonesia

Pada tanggal 10 Oktober 2019, bertempat di JIEXPO Kemayoran, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan seminar dan diskusi “Percepatan Pengembangan PLTS di Indonesia untuk Mencapai Target 6,5 GW di Tahun 2025”. Seminar dan diskusi ini diselenggarakan untuk mempertemukan pemerintah, pengelola sektor ketenagalistrikan, pelaku usaha, pemerhati energi, dan publik untuk menjawab pertanyaan kunci tersebut dan memberikan masukan konstruktif serta komitmen untuk pengembangan energi surya di Indonesia.

Seminar dan diskusi ini terbagi dalam 2 sesi: sesi pertama membahas tentang kebijakan dan regulasi energi surya di Indonesia, sedangkan sesi kedua terfokus pada strategi implementasi pengembangan PLTS di Indonesia. Dalam paparannya di sesi pertama, Martha Relita dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan secara singkat potensi pengembangan energi surya di Indonesia, regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah, di antaranya peraturan pemerintah (PP) mengenai Kebijakan Energi Nasional dan peraturan presiden (Perpres) mengenai Rencana Umum Energi Nasional. Dalam implementasinya, Kementerian ESDM telah melakukan peningkatan kapasitas infrastruktur energi terbarukan, baik secara komersial mau pun non-komersial, serta berusaha memperbaiki beragam regulasi yang saat ini dinilai menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia; termasuk di antaranya penghapusan izin operasi PLTS atap untuk sistem di bawah 500 kVA. Menurut Martha Relita, Kementerian ESDM juga telah mendorong sinergi pengembangan PLTS dengan berbagai pihak, misalnya dengan BUMN dan Real Estate Indonesia (REI). Saat ini, pemerintah sedang menyusun roadmap energi surya yang akan menjadi dokumen strategis perencanaan pengembangan energi surya di Indonesia, memuat identifikasi potensi energi surya dari berbagai sektor, analisis teknologi, keekonomian, pembiayaan, dan regulasi, hingga strategi untuk menciptakan pasar dan mendukung kesiapan sistem jaringan kelistrikan nasional. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, total kapasitas terpasang PLTS di Indonesia hingga 2019 baru mencapai 135 MW, dan karenanya memerlukan dukungan dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk mewujudkan target Rencana Umum Energi Nasional.

Fabby Tumiwa dari IESR kemudian memaparkan hal-hal penting yang diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pengembangan energi surya di Indonesia. Menurut kajian IESR (2019), potensi PLTS atap di Indonesia saja bisa mencapai 655 GWp, dengan 116 GWp merupakan potensi pasar yang dapat diwujudkan dengan mempertimbangkan kemampuan finansial rumah tangga. Besarnya potensi energi surya di Indonesia juga diperkirakan oleh IRENA, yaitu dapat mencapai 45 GW (15 GW dari PLTS atap dan sisanya dari PLTS di atas tanah) pada tahun 2030. Dengan potensi yang cukup besar ini, Indonesia memerlukan lompatan (leapfrogging) untuk membangun PLTS secara masif, yang dapat dilakukan dengan: penyusunan program surya nasional yang ambisius, adanya kebijakan dan model pembiayaan yang mampu mendorong skala keekonomian, penguatan sistem pengawasan dan kesiapan jaringan ketenagalistrikan, desain dan standarisasi yang baik, hingga pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan peningkatan kesadaran publik. Untuk pelibatan masyarakat luas, kepastian kualitas dan layanan purna-jual serta skema pembiayaan yang menarik menjadi faktor penting, berdasarkan survei pasar yang dilakukan IESR di Jabodetabek dan Surabaya.

Dalam paparannya, Bambang Sumaryo mewakili Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyampaikan kerja dan dukungan AESI untuk percepatan pengembangan energi surya di Indonesia, salah satunya melalui deklarasi Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) pada tahun 2017 lalu. Menurutnya, regulasi dan kebijakan saat untuk perlu lebih merangkul berbagai sektor untuk ikut terlibat, misalnya dengan penyediaan kWh exim gratis untuk mereka yang hendak memasang PLTS atap, sebagai bagian dari upaya mendorong pasar. Selain itu, klausul biaya paralel untuk pelanggan sektor industri yang ingin menggunakan PLTS atau energi terbarukan juga sebaiknya diturunkan atau ditiadakan. Pemerintah saat ini sedang melakukan revisi peraturan tentang biaya paralel tersebut dan diharapkan dapat mendorong minat industri untuk menggunakan energi surya.

Dalam sesi kedua, strategi untuk implementasi pengembangan PLTS di Indonesia dibahas secara lebih mendalam dengan panelis yang mewakili beberapa sektor, yaitu dari Kurniawan Imam G. (Len Industri) yang menjadi ujung tombak sinergi BUMN untuk pengembangan energi surya, Bjorn Heidrich (BayWa Renewable Energy) yang mewakili pengembang swasta, dan Fazrul Rahman (TGUPP DKI Jakarta) untuk implementasi strategi PLTS di tingkat pemerintah provinsi. Dengan target 6,5 GW yang hendak dicapai di tahun 2025, Kurniawan Imam G. mengatakan bahwa sinergi BUMN mentargetkan setidaknya 1,4 GW pemasangan PLTS untuk berbagai fasilitas: bandara, kantor-kantor dan kompleks operasional di seluruh Indonesia. Dengan skema joint-venture antara Len Industri, Pertamina, dan PLN, serta investasi dari lembaga pembiayaan (dalam bentuk loan), diharapkan sinergi BUMN ini akan segera terlaksana di awal tahun 2020.

Dalam kaitannya dengan pembangunan kota, Fazlur Rahman dari TGUPP DKI Jakarta menjelaskan bahwa Jakarta telah mengadopsi sistem pembangunan berkelanjutan. Menurutnya peran pemerintah provinsi dan kota menjadi penting, mengingat sejumlah besar populasi saat ini dan di masa depan akan terkonsentrasi di perkotaan, sehingga perencanaan dan pengembangan kota juga harus memikirkan aspek berkelanjutan, termasuk penggunaan energi. Khusus untuk pengembangan PLTS, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan instruksi gubernur yang menyasar bangunan sekolah, bangunan milik pemerintah, dan fasilitas kesehatan. Instruksi ini dikeluarkan dalam kaitannya dengan parahnya polusi udara di Jakarta. Sebagai daerah dengan kemampuan fiskal yang cukup besar, DKI Jakarta juga menjajaki beberapa upaya untuk mendorong pembiayaan untuk PLTS atap dan memperluas target implementasi instruksi gubernur atau mendorongnya menjadi peraturan daerah/gubernur.

Bjorn Heidrich dari BayWa mengungkapkan beberapa permasalahan di Indonesia yang perlu diselesaikan sehingga Indonesia dapat mengejar ketertinggalan pengembangan energi surya; mengingat negara ASEAN lain telah mengembangkan PLTS secara masif. Menurutnya, banyak investor yang ingin mengambil peran pengembangan energi surya di Indonesia, namun terkendala regulasi dan pembiayaan, misalnya skema BOOT (built, own, operate, transfer) dan batasan tarif penjualan listrik mengikuti BPP (biaya pokok pembangkitan) setempat. Melihat Vietnam mampu membangun 4 GW hanya dalam waktu 2 tahun, maka Indonesia perlu menganalisis dan mengevaluasi kebijakan yang saat ini ada untuk membuka pasar dan peluang bagi pihak non-pemerintah untuk terlibat.

Dalam seminar dan diskusi ini hadir lebih dari 75 peserta yang berasal dari sektor pemerintahan, pengembang energi surya, perusahaan instalasi dan penyedia layanan, NGO, dan masyarakat umum. Marlistya Citraningrum dari IESR menyimpulkan seminar dan diskusi ini dalam beberapa poin: Indonesia masih harus berbenah dalam upaya pengembangan energi surya di Indonesia, diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mendorong energi surya, serta perlunya kerjasama dan kolaborasi berbagai sektor untuk pencapaian target 6,5 GW di tahun 2025.


Marlistya Citraningrum, Program Manager Sustainable Energy Access


Presentasi pembicara dapat diunduh di tautan ini.

Aksi Mitigasi Perubahan Iklim yang lebih Ambisius

IESR Terus Mendorong Pemerintah Indonesia untuk Melakukan Kegiatan Mitigasi Perubahan Iklim yang Lebih Ambisius dalam Mencapai Persetujuan Paris 

Jakarta, Ashley Hotel, 16 September 2019. Rekor temperatur terpanas dalam dua dekade terakhir sudah tercatat sebanyak 15 kali, yang berarti 15 tahun dalam dua dekade terakhir telah mencetak rekor temperatur terpanas secara global. Sejak akhir abad ke 19, temperatur global sudah naik sebanyak 1°C dan masih akan bergerak naik lagi jika negara-negara tidak melakukan kegiatan mitigasi yang cukup ambisius. Salah satu hal yang disetujui dalam Persetujuan Paris adalah kenaikan temperatur global tidak boleh lebih dari 2°C. Sementara itu, Laporan Khusus yang dikeluarkan oleh IPCC pada 2017 menyatakan adanya perbedaan konsekuensi dampak yang berbeda dari kenaikan temperatur 1,5°C dan 2°C. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan temperatur seharusnya berada di bawah 1,5°C.

Diharapkan negara-negara anggota G20, yang pada saat ini bertanggung jawab terhadap 80% dari total emisi global, dapat menunjukkan sikap yang lebih ambisius dalam menurunkan jumlah emisi gas rumah kaca serta mengatasi dampak perubahan iklim. Sebagai anggota dari Climate Transparency – suatu kemitraan internasional yang berupaya meningkatkan ambisi perubahan iklim dari negara-negara anggota G20 – Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk merumuskan rekomendasi kegiatan mitigasi perubahan iklim yang ambisius di Indonesia bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait dari kementerian, organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta jurnalis. 

Membuka acara FGD ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan hasil laporan yang baru saja dikeluarkan Climate Analytics mengenai apa saja dampak dari kenaikan temperatur global sebesar 2°C yang akan mengancam Indonesia: peningkatan resiko banjir besar dan badai tropis. Fabby mencontohkan badai tropis Lingling pada Agustus kemarin yang memicu tinggi gelombang hingga 6 meter dan sudah membuat para nelayan di Sulawesi dan Maluku mengalami kesulitan berlayar; yang tentunya akan berdampak pada hasil pendapatan mereka. Dengan demikian, kita harus memberikan perhatian besar dalam upaya penurunan emisi di saat perekonomian kita sedang tumbuh. Di samping itu, keterlambatan mengatasi perubahan iklim akan memberikan beban ekonomi yang lebih besar. 

Ada dua sektor yang harus dibahas di dalam diskusi mengenai aksi mitigasi perubahan iklim yang ambisius, yaitu sektor energi dan sektor berbasis lahan, karena kedua sektor tersebut merupakan kontributor emisi terbesar di Indonesia. Di dalam sektor energi sendiri, ada isu ketenagalistrikan dan isu transportasi; di dalam sektor berbasis lahan, ada isu kehutanan dan gambut; dimana setiap isu masih terbagi lagi menjadi berbagai isu. Meskipun begitu, diskusi mengenai sektor energi bermuara pada dua hal yaitu pengembangan energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan dan pelaksanaan efisiensi energi yang masif dalam berbagai sektor. Sementara itu, diskusi mengenai sektor berbasis lahan bermuara pada moratorium hutan alam, hutan sekunder dan gambut, restorasi gambut serta mempercepat realisasi perhutanan sosial. 

Secara umum, diskusi menyoroti bahwa komitmen dan kepemimpinan politik Presiden dalam mengatasi perubahan iklim adalah syarat mutlak dalam menunjukkan langkah mitigasi yang ambisius.

Hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya sinkronisasi dan harmonisasi kegiatan antar kementerian/lembaga; pun sinkronisasi perencanaan pembangunan dengan penganggarannya. Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat duduk bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menentukan apa saja kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan secara teknis dan nyata sehingga Kementerian Keuangan dan Bappenas dapat memasukkan kegiatan-kegiatan tersebut dalam perencanaan pembangunan serta memastikan adanya anggaran negara yang disiapkan untuk berbagai kegiatan tersebut. Instrumen ekonomi seperti implementasi polluter pays principle dalam bentuk pengenaan pajak karbon diindikasi sebagai suatu instrumen ekonomi yang dapat diterapkan untuk mendukung kegiatan aksi mitigasi yang ambisius. Transparansi data dan akses informasi pun merupakan prasyarat mutlak dalam melakukan kegiatan mitigasi yang ambisius.

Di samping itu, diharapkan pembahasan pemerintah mengenai kegiatan mitigasi yang ada di dalam sektor energi dan ataupun sektor berbasis lahan dapat dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi antara satu sub-sektor dengan sub-sektor lainnya. Pengembangan energi terbarukan dan pelaksanaan efisiensi energi harus direncanakan lintas sub-sektor ketenagalistrikan dan transportasi untuk dapat mencapai target penurunan emisi dari sektor energi. Di sisi lain, perencanaan terkait moratorium pembukaan lahan dan restorasi sebaiknya melingkupi tutupan hutan alam, hutan sekunder, lahan gambut, serta konsep perhutanan sosial dalam mencapai target penurunan emisi dari sektor berbasis lahan.

Secara spesifik, ada beberapa rekomendasi yang keluar dalam diskusi ini terkait strategi dalam melakukan kegiatan aksi mitigasi perubahan iklim yang ambisius yaitu: (i) pembentukan independen regulator yang mengawasi kinerja PLN dalam melistriki dan mengembangkan energi terbarukan; (ii) perumusan skema monitoring dan verifikasi dalam pelaksanaan efisiensi energi; (iii) pendampingan dalam pelaksanaan perhutanan sosial untuk memastikan masyarakat menjaga tutupan hutan dan meningkatkan nilai ekonomi dari kehidupan yang ada di bawah tutupan hutan tersebut. 

Menutup diskusi ini, para narasumber menyatakan bahwa pihak swasta merupakan salah satu aktor yang dapat membantu pemerintah dalam upaya penurunan emisi, jadi pemerintah pun sebaiknya turut memperhitungkan para pengusaha dalam perencanaan kegiatan mitigasi. Yang dibutuhkan para investor untuk menempatkan dananya dalam investasi yang dapat menurunkan jumlah emisi adalah kepastian perizinan dan kemudahan pelaksanaan investasi, bukan subsidi.

Materi paparan kegiatan:

Direktur Eksekutif IESR

OpeningRemarks_ClimateAmbition

 

Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim

UN-CAS dan COP25 final mhs

 

Rencana Aksi Mitigasi – IESR

FGD Rencana Aksi Mitigasi Ambisius

 

Energy and Climate Mitigation – MASKEEI

Energy and Climate Mitigation ( IESR)

 

Yayasan Madani

Madani Peningkatan Ambisi Iklim Indonesia di Sektor Lahan dan Hutan

Baca juga:

https://iesr.or.id/galeri/the-ambition-call-rekomendasi-aksi-mitigasi-perubahan-iklim-yang-ambisius-di-indonesia/

KLBB dalam transisi energi di Indonesia

Pokok-pokok Diskusi ICEF Kuartal Ketiga 2019: Kebijakan, Penetrasi, dan Dampak Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KLBB) dalam transisi energi di Indonesia

Panelis diskusi ICEF Q3 (L – R: Bambang Harimurty, Dr. Alloysius Joko Purwanto, Fabby Tumiwa)

Pada Rabu, 18 September 2019 lalu, sejumlah anggota dari Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Sekretariat Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan The 2nd Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), di Pullman Hotel Thamrin, Jakarta. Selain peluncuran IETD, pertemuan ini dilanjutkan dengan diskusi kuartal internal ICEF yang ketiga di tahun ini.

Sebelumnya, diskusi tiga bulanan ICEF tersebut dilakukan secara tertutup, dengan topik bahasan pelbagai macam isu seputar transisi energi dan energi bersih di tingkat nasional dan global. Diskusi ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan masukan langsung kepada pemerintah atau pembuat keputusan dan kebijakan terkait lainnya.

“ICEF memahami budaya Indonesia dalam menyampaikan masukan, maka pendekatan yang kita lakukan adalah secara clandestine, langsung ke orangnya, biasanya Menteri” jawab Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Dewan Pengarah ICEF, secara santai di hadapan awak media ketika ditanya bagaimana cara efektif forum ini berkontribusi terhadap percepatan menuju energi bersih di tanah air.

Pokok bahasan pada diskusi kali ini mengambil topik teranyar mengenai kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KLBB). Sebulan sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Motor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Merujuk kepada siaran pers saat peluncurannya, beleid ini bertujuan untuk mewujudkan energi bersih, kualitas udara yang bersih dan ramah lingkungan, serta pembuktian komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR memulai diskusi dengan melaporkan hasil quick review  terhadap aturan tersebut. Menurut Fabby, fokus perpres ini cukup berbeda dari diskusi awal draf Perpes yang sebelumnya fokus pada akselerasi penggunaan battery electric vehicle (BEV). Selain pengembangan industri, infrastruktur terkait juga dibahas dalam perpres ini, diantaranya soal Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU), kebijakan tarif untuk pengisian, dan insentif bagi industri. Secara umum, kelima bab dalam beleid ini membahas kewenangan pengaturan, apa saja yang dimaksudkan dengan mobil listrik, dan yang paling penting adalah program percepatan serta ketentuan teknisnya.

“Kita coba lihat konstruksi dalam Perpres ini apakah benar bisa mengakselerasi mobil listrik di Indonesia, dan apa saja sekiranya gap yang perlu diperbaiki. Dari telaahan saya, aturan ini tidak terlalu luas membahas detail percepatannya, sehingga masih diperlukan aturan turunan dari Kementerian/Lembaga terkait yang juga memang diminta oleh Bapak Presiden” tutur Fabby dalam diskusi pembukanya.

Strategi percepatan dalam beleid tersebut dinilai Fabby masih sangat basic. Percepatan KLBB masih mengacu pada peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional, namun ketika ditelisik lebih dalam peta jalan tersebut sulit untuk ditemukan dalam internet. Dalam diskusi, juga timbul pertanyaan mengenai pengaturan teknologi fast charging yang menurut Fabby belum diatur secara spesifik dan detail dalam Perpres.

Sesi diskusi yang dimoderatori oleh Bambang Harymurti, wartawan senior Tempo sekaligus Anggota ICEF, ini turut menghadirkan Dr. Alloysius Joko Purwanto, seorang ekonom energi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Dalam paparannya mengenai penetrasi kendaraan listrik di Indonesia dari perspektif ekonomi, energi, dan perubahan iklim, elektrifikasi sektor transportasi menjadi salah satu kunci transisi energi di sektor transportasi. Namun demikian, elektrifikasi tersebut harus diimbangi dengan sumber listrik yang bersih serta pembangunan infrastruktur pengisian daya yang progresif.

“Peran SPLU dalam membantu penetrasi kendaraan listrik itu seperti telur dan ayam, di beberapa negara ada lonjakan kendaraan listrik memacu pembangunan SPLU, namun bisa juga sebaliknya. Selain itu, strategi pembangunan SPLU juga berpengaruh. Jika saat sore hari pulang ke rumah semua orang mengisi kendaraan listriknya dirumah, lonjakan beban yang ditimbulkan akan sangat berbahaya bagi local grid. Terlebih, tanpa adanya mekanisme pengaturan pengisiian saat jam puncak” Joko menambahkan.

Joko kemudian menyimpulkan beberapa poin dari diskusi ini. Diantaranya, kendaraan listrik bisa menjawab banyak hal, terutama mengenai konsumsi bahan bakar minyak dalam mengurangi kebutuhan impor produk-produk petroleum seperti bensin dan solar. Namun demikian, di sisi lain perlu juga mendapatkan subsidi dan dukungan investasi terutama di bidang ketenagalistrikan.

Sebagai kesimpulan, dibutuhkan harmonisasi kebijakan di bidang industri otomotif dan ketenagalistrikan, mengambil bridge impact, bertahap, dan memulai penetrasi lewat teknologi hybrid. Tujuan dan visi jangka panjang juga penting, diatas segalanya pathway atau roadmap yang bersumber pada karakteristik lokal, daerah perkotaan merupakan hal yang paling penting dari pengembangan KLBB, ketersediaan sumber tenaga untuk listrik, dan apa yang kita punya di industri otomotif.

Materi paparan acara ini dapat di unduh di:

https://iesr.or.id/agenda/icef-ietd-2019-diskusi-perpres55/

Peluncuran IETD 2019

Sejumlah anggota dari Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Sekretariat IESR meluncurkan The 2nd Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), di Pullman Hotel, Thamrin Jakarta, Rabu, 18 September 2019 lalu. Pertemuan ini menghadirkan sejumlah wartawan senior diantaranya, Kompas, The Jakarta Post, Reuters, dan Gatra. Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Dewan Pengarah ICEF, membuka sesi dengan menyampaikan apresiasinya atas kehadiran rekan-rekan pewarta untuk meliput acara peluncuran IETD kedua tahun ini.

Dalam pembukaannya, Menteri Pertambangan dan Energi tahun 1998-1999 memperkenalkan ICEF dan IETD lebih dalam ke publik. ICEF merupakan sebuah platform dialog yang konstruktif dan berbasis fakta untuk meningkatkan pemahaman mengenai transisi energi dan praktik-praktik terbaik di kerangka kerja kebijakan, peraturan, dan kelembagaan untuk mendukung transisi energi yang adil di sektor energi nasional. Dengan beranggotakan 23 individu prominen dari pelbagai latar belakang: lembaga pemerintah, bisnis, utilitas, LSM, dan pakar, forum ini bertemu secara teratur untuk membahas topik-topik kebijakan terkait dengan mengadopsi aturan Chatham House, serta merumuskan rekomendasi kepada pembuat kebijakan utama.

ICEF secara resmi diluncurkan pada 15 November 2018 oleh Menteri ESDM, Bapak Ignasius Jonan. Peluncuran ini diadakan bersamaan dengan penyelenggaraan IETD pertama. Sebagai bagian dari kegiatan ICEF, IETD dirancang untuk menjadi sebuah konferensi tahunan yang terbuka untuk membahas dan mendialogkan tema-tema yang relevan dengan situasi transisi energi baik yang sedang berlangsung di tingkat global maupun nasional ke pelbagai pemangku kepentingan. Pertemuan ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan komunitas epistemis yang mendorong agenda transisi energi Indonesia menuju sistem yang rendah karbon.

Peluncuran IETD 2019 kemudian di jelaskan lebih lengkap oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

“Yang membedakan tahun lalu dan sekarang, tahun lalu itu konsep energy transition itu dikenalkan, dan ini sudah dibahas di seluruh dunia. Di banyak negara termasuk G20 itu dibahas, pathways-nya seperti apa, bagaimana transisi energi akan direncanakan di Indonesia, kita tahu dalam kebijakan energi, batu bara masih akan tumbuh dan sebagai penghasil devisa dan penambal defisit transaksi berjalan, bagaimana kita bisa mengatasi tantangan ini itu adalah bagian dari energy transition.” Terang Fabby Tumiwa, merespon pertanyaan dari wartawan ketika ditanya tentang konsep IETD ke-2.

Wacana transisi energi di Indonesia kini telah berkembang dan di bahas secara internal, bahkan di sektor non-energi. Kementerian ESDM sadar bahwa transisi ini harus dipersiapkan, dirancang dan direncanakan. IETD diharapkan sebagai forum untuk mendorong agar pengertian transisi energi diterapkan dalam perencanaan dan kebijakan energi, secara lebih robust.

Di tahun kedua ini, IETD akan diselenggarakan pada 13-14 November 2019 di The Tribrata Meeting and Convention Center. Adapun fokus pada dialog kedua ini menitikberatkan pada pendalaman pemahaman transisi energi dengan mempelajari skenario transisi energi global, tren teknologi, potensi disrupsi sektor energi, dan kebijakan-kebijakan untuk memfasilitasi transisi energi yang adil di tanah air.

Pada hari pertama, format acara IETD diset dalam bentuk konferensi yang terdiri dari 3 sesi utama. Ketiga tema sesi utama tersebut adalah transisi energi global; hambatan, tantangan, dan peluang transisi energi Indonesia; serta ancaman dan peluang dari disrupsi teknologi. Sesi-sesi tersebut akan diisi oleh 7 pembicara prominen dengan 15 topik materi terkait.

SesiProgram
Transisi Energi Global
- 100% Renewable Energy Systems by 2050: Myth or Real? – Prof. Dr. Christian Breyer, LUT University, Finland
State of Energy
- Transitions in G20 Countries – David Turk, Head of the Strategic Initiatives Office, International Energy Agency (IEA)*

- German Model of a Just Energy Transition – Dr. Felix Christian Matthes, Research Coordinator for Energy & Climate Policy, Öko-Institut, Germany
Danish Energy Transition Model – Danish Energy Agency*

- Energy Policies in a Time of Transition – Dr. Rabia Ferroukhi - Director of Knowledge, Policy and Finance Centre, International Renewable Energy Agency (IRENA)*
Transisi Energi
Indonesia: Hambatan,
Tantangan, dan
Peluang
- Energy Transition at Work: Lessons Learned From Bali – Dr. I Wayan Koster, Governor of Bali*

- The Future of Coal in the Era of Energy Transition – Garibaldi Thohir, President Director, Adaro Energy*

- Low Carbon Transportation – Julius Christian, Clean Fuel Specialist, IESR

- Unlocking Green Finance in Indonesia – Darwin Djajawinata, Director, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)*

- Low Carbon Development Strategy for Indonesia – Josaphat Rizal Primana - Director of Energy, Mineral and Mining Resources, Ministry Of National Development Planning (Bappenas)*
Disrupsi Teknologi:
Ancaman atau
Peluang?
- Distributed Generation: From Consumers to Prosumers – Pamela Simamora, Renewable Energy/Power System Specialist, IESR

- Battery Storage: A Key Enabler of the Clean Energy Transition – Vincent Wiguna, Senior Sales Engineer Asia Pacific, Tesla Singapore

- Hydrogen: The Missing Link in the Energy Transition – Mathieu Gèze, Head of Asia Business Development, HDF Energy, France
Blockchain Revolution in the Power Sector – Jack Smies, Director of Energy Web Foundation, Switzerland

- Electric Vehicles: Moving Without Polluting – Dr. Alief Wikarta, Executive Director, Center of Excellence for Automotive Control & System, Sepuluh Nopember Institute of Technology (ITS)

*masih dalam konfirmasi


Hari kedua IETD diset dalam bentuk lokakarya teknis yang terdiri dari 4 topik utama. Keempat topik tersebut adalah sistem energi masa depan; kebijakan energi dalam periode transisi; membuka kanal keuangan hijau di Indonesia; dan teknologi blockchain dalam mendukung utilitas masa depan. Sesi-sesi tersebut akan diisi oleh 18 pembicara prominen dengan topik materi terkait.

SesiProgram
1. Sistem Energi Masa Depan- Policies Igniting a Rapid Development of Renewables in Indonesia – Pamela Simamora,

- Renewable Energy/Power System Specialist, IESR

- Coal in the Era of Energy Transition – Deon Arinaldo,Energy System/Coal Specialist, IESR

- The Role of Local Governments in the Energy Transition – Dr. Marlistya Citraningrum, Program Manager for Sustainable Energy Access, IESR

- Policies Supporting Renewables-based Transportation Systems – ADB*
Energy Efficiency:

- The Low-hanging Fruit – Totok Sulistiyanto, Green Building Council Indonesia*
2. Kebijakan Energi
Dalam Periode
Transisi
- 100% Renewable Energy in Indonesia – Prof. Christian Breyer, LUT University, Finland

- Integrating Variable Renewable Energy in Islanded Systems: Challenges and Solutions – Peerapat Vithayasrichareon, International Energy Agency (IEA)

- Grid Planning for High Shares of Variable Renewable Energy – Phillipp Godron, Senior Associate Global Energy Transition, Agora Energiewende, Germany

- Electrification of Transportation Systems – Zainal Arifin, Head of Electric Vehicle Task Force, PT Perusahaan Listrik Negara*

- Energy Storage Systems – Dr. Chairul Hudaya, Department of Electrical Engineering, University of Indonesia*
3. Membuka Kanal
Keuangan Hijau di
Indonesia
- ADB Sovereign and Private Sector Financing for Sustainable Energy Projects in Indonesia – Florian Kitt, Energy Specialist, Asian Development Bank (ADB)

- Financing RE: Lessons Learned From The Philippines – Eunjoo Park-Minc, Chief Advisor at Banco De Oro (BDO) Philippines*
Green Finance Instruments: Viability Gap Fund (VGF), Green Bonds, Green Sukuk – Dr. Luky Alfirman, Director General of Budget Financing and Risk Management, Ministry of Finance*

- Financing Sustainable Development With Carbon Pricing – Dr. Felix Matthes, Öko-Institut, Germany

- Renewable Energy Fund – Dr. Hidayat Amir - Head of State Budget Policy Center, Fiscal Policy Agency of Ministry of Finance*
4. Teknologi Blockchain Dalam Mendukung Utilitas Masa Depan- Peer-to-peer Technology in the Power Sector: Concepts, Applications, and Business Models – Jack Smies, Director of Energy Web Foundation, Switzerland

- Policy Supports for Digitizing the Power Sector – Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR

- New Ideas for Blockchain Startups in Indonesia – Steven Suhadi, Chairman of The Indonesian Blockchain Association*

*masih dalam konfirmasi

Informasi lebih detail mengenai IETD kedua, dapat diakses melalui laman: 

https://www.ietd.info/

Geopolitik energi terbarukan

Energi fosil telah menjadi fondasi dari sistem energi, pertumbuhan ekonomi, dan gaya hidup modern. Eksploitasi dari bahan bakar fosil telah mendongkrak penggunaan energi global menjadi lima puluh kali lipat dalam dua abad terakhir. Hal tersebut dimulai dari era revolusi industri pada abad ke-19 dengan peralihan penggunaan sumber energi dari biomassa ke batu bara sebagai bahan bakar mesin uap. Selanjutnya, pemanfaatan minyak bumi sebagai bahan bakar alternatif selain batu bara menjadikan gelombang transformasi energi kedua di abad ke-20. Sejak saat itu, kendali atas produksi dan perdagangan energi fosil (minyak bumi, gas alam, dan batu bara) menjadi fitur utama politik kekuasaan, sekaligus membuat peta lanskap geopolitik energi global yang didominasi oleh negara-negara yang memiliki cadangan energi fosil.

Transformasi energi yang saat ini didorong oleh perkembangan energi terbarukan yang sangat pesat, dapat membawa perubahan radikal dalam ruang lingkup dan dampak dari geopolitik yang sudah terbangun selama ini. Pada tahun 2018 lalu, penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan secara global sebesar 181 GW, hampir dua kali lipat dari penambahan kapasitas terpasang pembangkit fosil dan nuklir. Mengutip laporan REN21, tahun 2018 menjadi tahun keempat berturut-turut untuk energi terbarukan menambah lebih dari 50% dari total kapasitas pembangkit tambahan di dunia. Lebih lanjut, Bloomberg New Energy Finance (BNEF) melaporkan bahwa investasi energi bersih di negara berkembang (US$ 152,8 miliar) melebihi negara maju (US$ 131,6 miliar). Dalam hal efisiensi energi, penghematan energi untuk peralatan dan bangunan telah menjadi norma dan standar global untuk mengurangi pertumbuhan konsumsi energi.

Laporan yang dirilis oleh International Renewable Energy Agency (IRENA) dan Global Commission on the Geopolitics of Energy Transformation bulan Januari 2019 lalu mengonfirmasi diskursus tersebut. Laporan ini mengemukakan bahwa transformasi energi global yang sedang berlangsung dan didorong oleh energi terbarukan akan memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Transformasi yang akan membentuk kembali hubungan antara negara‐negara dan menyebabkan perubahan struktural mendasar dalam ekonomi dan masyarakat.

Dunia yang akan muncul dari transisi energi terbarukan akan sangat berbeda dari dunia yang dibangun di atas dasar bahan bakar fosil. Mengapa? Pertama, sumber energi terbarukan tersebar hampir diseluruh negara, tidak seperti bahan bakar fosil yang terkonsentrasi di beberapa negara saja. Hal ini tentu akan merubah peta suplai dan perdagangan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas secara global. Kedua, sebagian besar energi terbarukan dapat terus mengalir. Sementara itu, bahan bakar fosil berbentuk cadangan, sehingga stok energi fosil hanya dapat digunakan sekali. Sebaliknya, energi terbarukan alirannya tidak akan habis dan lebih sulit untuk diganggu. Ketiga, sumber energi terbarukan dapat diperbarui dan dapat digunakan pada hampir semua skala dan terdesentralisasi. Ini menambah efek demokratisasi dari energi terbarukan yang tentunya akan merubah bagaimana kita memproduksi dan menggunakan energi. Terakhir, sumber energi terbarukan memiliki biaya marginal yang hampir nol, dan beberapa di antaranya, seperti matahari dan angin, menikmati pengurangan biaya hampir 20% untuk setiap penggandaan kapasitas. Ini meningkatkan kemampuan energi terbarukan dalam mendorong perubahan yang tentunya perlu tetap membutuhkan regulasi yang mendukung untuk memastikan stabilitas dan profitabilitas di sektor ketenagalistrikan.

Dalam rangka membahas dan mendiskusikan lebih lanjut mengenai geopolitk transformasi energi dan konteks Indonesia didalamnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) menyelenggarakan mini seminar geopolitik transformasi energi bersama Dr. Mari Elka Pangestu, salah satu Anggota Komisi Global Commission on the Geopolitics of Energy Transformation sekaligus salah satu kontributor laporan tersebut. Acara yang diselenggarakan pada 31 Juli 2019, bertempat di Bimasena Lounge, Jakarta ini, turut ini dihadiri oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla, yang membuka sekaligus memberikan Keynote Speech dengan menekankan pentingnya untuk membangun energi terbarukan dalam rangka menjaga ketahanan energi nasional.

Jusuf Kalla menyadari pentingnya Indonesia melakukan transisi menuju energi terbarukan. Dalam pidatonya, Ia menyampaikan bahwa energi menjadi bagian dari kekuatan politik suatu negara. Jusuf Kalla kemudian mencontohkan dinamika geopolitik dari energi fosil, khususnya minyak bumi, yang cukup fluktuatif di tahun 1970-an akibat konflik di jazirah Arab yang menyebabkan harga minyak bumi melejit hingga 10 kali lipat. Minyak bumi yang awalnya hanya digunakan sebagai sumber energi, sejak saat itu telah menjadi faktor penentu politik dunia.

Dalam menutup pidatonya, Jusuf Kalla menegaskan bahwa Indonesia perlu beradaptasi dengan mengembangkan energi terbarukan untuk menjamin ketahanan energi nasional ke depan. Tidak hanya itu, kita juga perlu bersiap untuk menghadapi perubahan dinamika di peta geopolitik dunia yang baru dari transformasi energi terbarukan yang akan menggeser era energi fosil ke depan. Pembangunan energi terbarukan juga akan bermanfaat bagi pengurangan polusi lingkungan yang juga menjadi perhatian dunia saat ini. Dengan potensi energi terbarukan yang melimpah di nusantara, kita bisa melepaskan diri dari ketergantungan bahan bakar fosil yang selama ini diimpor.

(Infografis potensi dan kapasitas terpasang energi terbarukan Indonesia tahun 2018)

Dalam infografis Potensi dan Kapasitas Terpasang Energi Terbarukan Indonesia Tahun 2018 yang IESR rilis akhir Maret 2019, Indonesia baru membangun pembangkit energi terbarukan sekitar 6,8 GW dari 431,7 GW potensi totalnya (atau baru sekitar 1,6%). Hingga tahun 2028, akan ada penambahan sekitar 29 GW oleh PLN berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2018. Sementara itu, Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang disusun oleh 34 pemerintah provinsi mengindikasikan total kapasitas terpasang energi terbarukan pada tahun 2025 mencapai 48 GW. Sehingga apabila rencana pembangunan tersebut terealisasikan semua, diperkirakan total pembangkit energi terbarukan terpasang nasional ditahun 2028 mencapai 84 GW, atau hampir 1,5 kali dari total kapasitas pembangkit listrik terpasang saat ini.

Pada pembukaan sebelumnya, Ketua Dewan Pengarah ICEF, Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto, juga menekankan bahwa energi terbarukan saat ini menjadi isu yang besar yang berpotensi mengubah peta geopolitik energi dunia. Kemajuan teknologi dan penurunan biaya teknologi membuat energi terbarukan tumbuh lebih cepat daripada sumber energi lainnya. Bahkan, beberapa teknologi energi terbarukan, seperti surya dan bayu, sudah kompetitif dengan bahan bakar fosil di sektor ketenagalistrikan. Terlebih, daya saing tersebut belum memperhitungkan kontribusi energi terbarukan dalam mengurangi polusi udara dan mencegah dampak perubahan iklim sehingga sudah menjadi suatu fakta umum bahwa energi terbarukan telah menjadi lanskap energi global.

Keadaan dan tren ini menciptakan momentum transformasi energi global yang tidak dapat terelakkan. Lonjakan peningkatan kapasitas energi terbarukan dari angin, matahari, dan teknologi energi terbarukan lainnya di sektor pembangkit listrik memungkinkan transformasi serupa di sektor lain. Kendaraan listrik dan pompa panas memperluas penggunaan energi terbarukan di sektor transportasi, industri dan bangunan. Inovasi dalam digitalisasi dan penyimpanan energi juga memperluas potensi energi terbarukan untuk berkembang dengan cara yang tak terbayangkan pada satu dekade lalu.

Hal ini sejalan dengan salah satu materi dalam laporan IRENA yang dipaparkan oleh Mari Elka Pangestu terkait dengan kerangka transformasi energi global. Secara umum, momentum transformasi energi global dapat dirangkum ke dalam tiga lini masa. Pertama, terjadinya lonjakan pertumbuhan energi terbarukan yang saat ini sedang terjadi sejak tahun 2015 silam. Kedua, bersamaan dengan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan tersebut, permintaan energi dari bahan bakar fosil akan mencapai puncaknya dalam beberapa tahun ke depan – dalam laporan tersebut diperkirakan terjadi di tahun 2025. Selanjutnya, energi terbarukan akan mendominasi energi fosil di tahun 2050 yang secara global akan terus berkurang setelah melewati puncak permintaannya. Skenario lini masa tersebut merupakan skenario yang akan terjadi apabila seluruh negara menjalankan komitmen dan aksi mitigasinya sesuai dengan Perjanjian Paris.

(Kerangka transformasi energi global yang dipaparkan oleh Mari Elka Pangestu)

Mari Elka Pangestu dalam paparannya juga menggarisbawahi tiga aspek utama yang menjadi karakter dari transisi energi: elektrifikasi, efisiensi energi, dan energi terbarukan. Peningkatan elektrifikasi di seluruh sektor menjadikan ketenagalistrikan sebagai sektor yang tumbuh paling cepat – tumbuh dua pertiga lebih cepat dari konsumsi energi secara keseluruhan sejak tahun 2000. Segmen yang saat ini menyumbang 19% dari total konsumsi energi final, diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan elektrifikasi di sektor pengguna akhir. Efisiensi energi memungkinkan pertumbuhan ekonomi dengan input energi yang lebih rendah. Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan efisiensi energi telah memutus hubungan ini. Permintaan energi primer sekarang diperkirakan akan tumbuh sebesar 1% per tahun pada periode hingga 2040. Pertumbuhan energi terbarukan yang sangat cepat, terutama dari energi matahari dan angin, mendorong keekonomian dari teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi yang semakin murah. Hal ini menjadikan teknologi energi terbarukan menjadi semakin kompetitif, bahkan sudah dapat menggantikan energi fosil sebagai pembangkit listrik dengan biaya termurah di beberapa negara di dunia.

Akselerasi pembangunan energi terbarukan telah menggerakkan transformasi energi global yang akan memiliki konsekuensi geopolitik yang mendalam. Seperti halnya bahan bakar fosil telah membentuk peta geopolitik selama dua abad terakhir, transformasi energi dari energi terbarukan akan mengubah distribusi kekuatan global, hubungan antar negara, risiko konflik, dan penggerak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari ketidakstabilan geopolitik. Transformasi ini akan memiliki implikasi yang besar dalam ruang lingkup dan dampak di aspek sosial, ekonomi, dan politik yang melampaui sektor energi.

Setelah paparan kunci dari Mari Elka Pangestu, seminar dilanjutkan dengan diskusi panel yang dipimpin oleh Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa bersama para pemangku kebijakan yang berasal dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pengamat Politik, dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Dihadiri oleh sedikitnya seratus peserta yang terdiri dari pihak swasta, pengusaha, akademisi hingga mahasiswa, mini seminar geopolitik transformasi energi berhasil membuka ruang untuk menjadikan topik transisi energi didiskusikan menjadi lebih inklusif, mendalam dan relevan.

Dalam sesinya, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kemenko Perekonomian, Dr. Montty Girianna, menegaskan bahwa transformasi energi adalah suatu keniscayaan dan energi terbarukan akan menjadi salah satu tulang punggung Indonesia dalam mencapai ketahanan energi nasional. Untuk itu, adanya konsensus dan pelibatan pihak swasta dalam pencapaian target komitmen Perjanjian Paris menjadi penting. Transformasi energi yang diinduksi oleh inovasi dalam negeri juga diharapkan dapat meminimalisir terjadinya disrupsi pada sistem energi di tanah air.

Husni Safruddin, Kepala Sub Direktorat Penyiapan Program Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, merespons diskusi dengan menjelaskan bahwa dalam peta jalan pengembangan energi terbarukan nasional, Indonesia bertumpu pada potensi air dan panas buminya. Adapun dalam merealisasikannya, tantangan yang teridentifikasi saat ini adalah harga teknologi surya dan bayu yang masih mahal di Indonesia, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi yang cukup memakan waktu. Disisi lain, pemerintah juga memiliki pandangan untuk menggunakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebagai instrumen dalam menekan impor bahan baku teknologi energi terbarukan.

Terkait dengan potensi batu bara dalam negeri yang juga berlimpah, Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif APBI, mengusulkan bahwa sumber energi ini harus dimanfaatkan dengan baik dan bijak agar transisi energi yang dilakukan di Indonesia bisa sejalan dengan karakteristik potensi energi nasional yang tidak hanya berlimpah dari energi terbarukan saja. Perlu adanya kajian transisi energi dari energi fosil ke terbarukan yang terintegrasi agar bisa berjalan dengan harmonis, dan dapat dilakukan dengan Indonesian way.

Dari perspektif geopolitik, Dr. Mahmud Syaltout, salah satu pengajar di Paramadina Graduate School of Diplomacy, menambahkan bahwa Indonesia dapat turut serta dalam transformasi energi global yang sedang berlangsung dengan memanfaatkan potensi sumber daya mineral dalam negeri (seperti timah, tembaga, dan aluminium) untuk mendukung rantai pasok global teknologi pendukung energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi. Sehingga diplomasi kedalam dan keluar negeri perlu dilakukan dan menjadi agenda pemerintah kedepan.

Fabby Tumiwa menutup diskusi dengan menyimpulkan tiga hal utama untuk Indonesia dalam merespon dan turut serta dalam proses transformasi energi global menuju energi bersih. Pertama, komitmen politis dan kepemimpinan dari presiden dan menteri terkait yang didukung dengan inovasi diperlukan dalam mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Kedua, perlun adanya ekosistem pendukung yang terdiri dari kebijakan dan regulasi yang tepat, insentif pendanaan, dorongan berinovasi melalui riset dan pengembangan, serta peta jalan industri yang jelas. Terakhir, diplomasi Indonesia dengan negara-negara Selatan untuk menjadi bagian dari rantai pasok global.


Jannata Giwangkara, Gandabhaskara Saputra, dan Melina Gabriella melaporkan untuk Mini Seminar Geopolitik Transformasi Energi: Peluang & Tantangan Indonesia dalam Geopolitik Transformasi Energi Global.


Materi presentasi Mari Elka Pangestu dapat diakses disini:

Mini Seminar Geopolitik Transformasi Energi: Peluang & Tantangan Indonesia dalam Geopolitik Transformasi Energi Global

IESR Supports Central Java to be (the very first) Solar Province in Indonesia

Institute for Essential Services Reform (IESR) proudly supports Central Java government to be the very first Solar Province in Indonesia, starting with a collaborative event with Department of Energy and Mineral Resources of Central Java (Dinas ESDM Pemprov Jawa Tengah) held on Tuesday, 17 September 2019, entitled Jawa Tengah Solar Revolution 2019. IESR has been working closely with provincial government of Central Java to accelerate solar deployment in the province and will continue to support the government in implementing their progressive commitment for renewables.

Through Regional Government Secretary, Dr. Sri Puryono, Governor Ganjar Pranowo conveyed his support for this initiative and is looking forward to boosting the implementation of solar target as highlighted in Regional Energy Planning (Rencana Umum Energi Daerah Provinsi/RUED-P) and Department of Energy and Mineral Resources’ strategic plans. He himself has issued a circular encouraging the use of rooftop solar in government, public, industrial, and commercial buildings in Central Java. Several government offices (OPD) also have committed to install rooftop solar by 2020.

Central Java is of high potential of solar energy, estimated at 4.05 kWh/kWp/day, which is above Indonesia’s average (3.75 kWh/kWp). This potential can be utilized to achieve regional renewable energy target of 11.6% (from energy mix) by 2020. Central Java is also the first province completing their regional energy planning (RUED-P). Head of Department of Energy and Mineral Resources of Central Java, Dr. Ir. Sujarwanto Dwiatmoko, M.Si. stated, “Government of Central Java has a strong commitment to develop clean and renewable energy, including putting priorities on solar energy. Our governor has shown that commitment with official circular, our office has installed 30 kWp rooftop solar, and 17 other offices (OPD) will install rooftop solar in 2020.”

Combining its high potential of solar energy and strong commitment for renewables, IESR sees the opportunity for Central Java to become the very first solar province in Indonesia, specifically for rooftop solar application. IESR will continue the collaborative work through a memorandum of understanding (MoU) with Central Java’s Department of Energy and Mineral Resources for the acceleration of solar deployment in Central Java. The collaborative work will cover technical assistance, policy research and analysis, market study, and capacity building.

“As a think tank focusing on energy and environment issues, we aim to assist Government of Central Java to accelerate their commitment to solar energy development within the province,” Fabby Tumiwa, IESR’s Executive Director said during the event.

To create a considerable market size, IESR recommends the government to be pioneer and install rooftop solar on their offices. This move then could be followed by government at regency level, on public facilities, schools and universities, also religious buildings. IESR’s early assessment for Powering the Cities (IESR’s newest publication series on solar energy) shows there is 6.9 MWp potential of rooftop solar for government offices in Semarang (for both provincial government offices and city administration offices) and 32 regent’s offices across Central Java. This estimation has yet to include commercial buildings, business complex, and industrial areas; as they occupy large space in Central Java and the province is also home-base for many manufacturing factories.

Early assessment of rooftop solar potential in Central Java

Central Java is also among Top 3 province with highest potential for rooftop solar on residential buildings, based on IESR’s technical calculation for 34 provinces in Indonesia. The technical potential for residential rooftop solar in Central Java is in the range of 32 – 110 GWp (with different scenarios), and it translates to market potential of 3.3 – 11 GWp (assuming only households with installed power capacity of ≥ 1,300 VA have the financial ability to install rooftop solar).

The urgent challenge in implementing Central Java Solar Province would be public awareness, procurement process, and financing scheme. IESR will work with Central Java Government to prepare necessary incentives for government offices, public, and businesses, formulate bulk procurement process to drive price reduction, as well as engaging with regional financial institution to provide attractive financing scheme for rooftop solar users.  Market study for cities and towns in Central Java will also be conducted.

During the event Jawa Tengah Solar Revolution 2019,  Indonesia Solar Association (ISA/AESI) and solar EPCs were in attendance and they shared their experience in solar panels procurement and installation. This business matchmaking session was designed to facilitate further discussions between government and solar provider, as limitation of local solar providers number in Central Java is also an issue. With more multistakeholders forum such as this event, it is expected that levels of understanding on solar energy application, its benefits and impacts, as well as information on procurement and financing can be further disseminated for public, commercial and business players within the province.


Marlistya Citraningrum, Program Manager for Sustainable Energy Access


Twitter thread on the event is available here.
Presentation material is available here.

Technical issue is not the main barriers to the renewable energy transition, financial and regulatory issues are

IESR (Institute of Essential Services Reform) and METI (Masyarakat Energy Terbarukan Indonesia/ Indonesia renewable energy society) held a one-day joint seminar on the 12th September 2019 on the topic of the Road to Energy Transition in Indonesia as a part of the Electric and Power Indonesia sessions held from the 11th-14th September 2019 at Jakarta International Expo Centre. The largest four days event covered both industry stakeholders in a series of seminar and industry expo, as well as complementing the Renewable Energy (RE) and Energy Efficiency (EE) Indonesia 2019 exhibitions.

The event began with welcoming remarks from the Chairman of METI, Dr. Surya Darma. Featured Haris from the Ministry of Energy and Mineral Resources (MEMR) Directorate General of New and Renewable energy and Energy conservation (Dirjen EBTKE), Dewanto from PLN, Pamela Simamora from IESR, and Prof. Dr. Rinaldy Dalimi as the Chairman of the Expert Board of METI and a former member of DEN (Dewan Energi Nasional) seating as a panelist of the seminar.

Surya Darma, highlighted the various barriers that face Indonesia in the energy transition from fossil fuel to clean energy. This seminar aimed to highlight the various efforts undertaken by multiple stakeholders such as Dirjen EBTKE, Dirjen Ketenagalistrikan, and PLN for Indonesia’s energy transition and progress towards it.

Dr. Rinaldy Dalimi has the opportunity to address first time, regarding the Road to Energy Transition in Indonesia. He highlighted that the use of distributed generation is increasing, as more people use rooftop solar PV at homes caused by the declining prices of solar modules, the use of electric vehicles were also growing.

Hence, Dr. Rinaldy also stressed out that these technologies become disruptive technologies that may affected the PLN’s power Systems and trigger the phenomenon called as duck curve; a condition that happens in California when the solar energy is used massively (sometimes over-generation) during the day. Therefore gives challenges for utilities to ramp up the non-solar generation rapidly (a ramp of 13,000 MW in 3 hours) at night when solar energy is not available.

By 2030 the lowering cost of renewable energy will level with the rising costs of fossil fuels, and until that time comes, the renewables would need policy support to drive their prices down. While onwards, it would only need the push from the market forces. By contrast, in the case of electric vehicles, he stated that the use of electric vehicles should just be determined by the market forces instead of government intervention as the quick adoption of electric vehicles may disrupt the existing infrastructure and industries in Indonesia.

Haris, on the other hand, highlighted the importance of energy transition in Indonesia to address the Energy Trilemma: Energy security, Environmental sustainability, and Energy Equity. Electricity system of the future will use smarter grids which are vital for power systems with high shares of distributed generation and storage systems.

Meanwhile, Pamela Simamora from IESR highlighted that Indonesia requires a transition to clean energy like the rest of the world where there is a growth in renewable energy investments. She underscored that Indonesia obtains 80% of its electricity mix still from fossil fuels and about 60% from Coal alone. She highlighted the coal-related health costs in Indonesia and that these far outweigh the expense of cleaner renewable energy. Pamela also raised the issue that with the decreasing costs of renewable energy, there is the risk of stranded assets of fossil power plants in the future. It was also importantly highlighted that based on IESR’s study in 2018, there is no need for grid upgrade for 43% renewable share in 2027.

From the discussion elaborated that actually, the technical problem is not the main barrier to renewable energy development in Indonesia.

The huge potential in Indonesia for solar with a total rooftop solar potential of 655 GWp from a high scenario of 81% rooftop utilization is a fact. We were wondering why Indonesia still relies on Coal when the country has substantial renewable energy potential.

The renewables development in Indonesia is lagging behind other countries and that there is a long way to go to meet the 23% primary energy mix renewable target by 2025.

The various barriers to renewable development in Indonesia also may can’t be separated from the political economy from coal interests, the regulatory obstacles from regulatory uncertainties, market entry barriers such as subsidies for fossil fuels and even the technical barriers such as the geographic condition of Indonesia. However, she reiterated that technical barriers are not the main hindrance, but the finance is. Hence there are needs for channeling sufficient funding to help accelerate the development of the renewables in Indonesia.

Indonesia should establish renewable energy fund in the future, Pamela added. We can obtain fund from taxes on Coal and fuel or a surcharge on electricity. This funding mechanism would help provide financial instruments for renewables where many renewables projects are undergoing difficulty to get financial close due to the un-bankability of renewables projects. We have estimated that from the highest funding scenario, Indonesia could obtain up to 4.5 US billion USD for renewable energy fund collected from fossil taxes and surcharge.

In regards to the renewable investments in Indonesia, the MEMR also mentioned that currently, there is a power purchase agreement plan in place with a total of 155 projects that is equal to 10 billion USD investments. However, the MEMR did not elaborate on the details and progress of this plan.

Indonesia needs innovative financial instruments such as the renewable energy fund as well as a law that guarantees the sustainability of renewables development in Indonesia. This law called: UU EBT, has been formulated in the parliament with the assistance from all stakeholders, including METI. METI suggested the lawmakers to include fiscal incentives such as renewable energy fund in this law. This law deemed to be a solution to the legal and regulatory uncertainties that are currently hampering the development of renewables in Indonesia as well as will become a legal umbrella for energy transition in Indonesia, Surya Darma concluded.

The event was well attended to almost 100 participants coming from Private enterprises, business associations and government entities, with high engagement on the regulatory framework, and PPP tariffs.


Materials presented at this event can be accessed here:

Renewable Energy Investment Potential in Indonesia, DJEBTKE Kementerian ESDM

Road to Energy Transition, METI

Indonesia’s Energy Transition: Prospect and Challenges, IESR

Kebijakan Peningkatan Pemanfaatan EBT Untuk Pembangkit Tenaga Listrik

How PLN could adapt to Energy Transition

 

 

Harnessing Indonesia’s Solar Potential: Yellow is The New Black

Indonesia is known for its abundance of sunny days. The country receives 3.6 – 6 kWh/m2/day of solar irradiation intensity, equivalent to annual power output of 1,170 – 1,530 kWh/kWp (World Bank & Solargis, 2017). The National Energy Policy (KEN) has set a target of solar generation at 6.5 GW in 2025 and 45 GW in 2050. However, Indonesia has observed limited growth on solar deployment, both for utility-scale solar generation and rooftop solar. Until late 2018, the total installed capacity of solar power plants has only reached 95 MW (Ministry of Energy and Mineral Resources, 2019), while PLN’s Business Planning (RUPTL) for the year 2019-2028 only targets a cumulative construction of 2 GW solar power plants until 2028.

Globally, solar is the fastest and highest growing renewable energy source. Since 2010, the addition of solar power plants continues to increase exponentially every year, reaching an additional 97 GW (net capacity addition) in 2017 and 2018 (IRENA, 2019). In 2018, the growth of solar energy slightly declined due to slowing growth in China; the symbolic number of 100 GW was not achieved that year. However, solar energy is predicted to continue to grow massively, in line with the increasing numbers of developing countries’ pursuit of renewable energy deployment and the falling costs of solar generation.

Indonesia has sufficient technical potential of solar energy to meet its current and future energy needs. There is also a huge market potential for rooftop solar for homes, commercial buildings, government buildings, and industries. The cost of solar generation is getting cheaper, in several countries the cost is on-par with fossil fuel-generated electricity, even reaching grid parity. How this works in many countries is through reverse auction mechanism, and Indonesia could follow suit. These are important findings obtained from 4 IESR reports launched on the event IESR Solar Day 2019 – Chasing The Sun (Tuesday, 30/07) in Jakarta. The reports are: Under the Same Sun: A Cross-Country Comparison of Conditions and Policy Supports for Large/Utility-Scale Solar PV Projects, Residential Technical Solar Rooftop and Market Potential in 34 Provinces in Indonesia, Powering the Cities: Market Analysis and Recommendations to Accelerate Solar Rooftop Development in Two Metropolitan Cities in Indonesia, and Powering the Cities: Technical Potential of Rooftop Solar for Public and Commercial Buildings in Two Metropolitan Cities in IndonesiaThe event was well attended: more than 100 participants, coming from government bodies (national and local), EPCs, associations, financial institutions, individuals, university researchers and lecturers, and media journalists.

For 34 provinces in Indonesia, IESR estimation shows technical potential (residential only) of 194 – 655 Gigawatt-peak (GWp), Hapsari Damayanti (IESR’s Program Officer for Sustainable Energy Access) presented. Of the total number of households in Indonesia, ca. 17.8% of them have financial capability to install rooftop solar, equals to 34 – 116 GWp. This amount represents the market size of residential rooftop solar that can be achieved in the next few years. This number could be an important information for policy makers in energy sector, PLN (state-owned utility), and other solar business players; that Indonesia has significant market size to develop and that the utilization of solar energy would be one of Indonesia’s contribution and answers to tackle climate change crisis.

Map of residential rooftop solar technical potential in Indonesia

In the last ten years, the price of solar modules in the global market has declined by more than 70% and continues to decrease. In addition, there is also substantial increase in the efficiency of solar modules. Countries with high appetite for solar energy are enjoying this trend so they are able to reach record-low electricity price. IESR analyses on solar generation costs of projects in Brazil, UAE, India, Mexico (countries managed to get the lowest record of solar generation) show what they have in common: political willingness translates into ambitious national targets, provision of supporting policies, de-risking instruments, and fiscal incentives, as well as effective implementation reverse auction mechanism. This specific procurement system creates cost competitiveness, and Indonesia certainly can learn one thing or two, said Pamela Simamora (IESR’s Research Coordinator). IESR recommends government and PLN to use reverse auction mechanism for large-scale solar power plants, ideally for capacities above 100 MW. The reverse auction method has proven to be effective in increasing competition among developers, driving cheaper price without damaging the economics of the project.

In addition to estimating technical potential, IESR also conducted market studies for residential rooftop solar in 2 metropolitan cities: Greater Jakarta (Jabodetabek) and Surabaya. The studies reveal a certain percentage of homeowners interested in installing rooftop solar with no or little strict financial consideration; categorized as early adopters. There are also a group of interested homeowners with heavier consideration of high investment cost and financial benefit of installing rooftop solar; fall under early followers group. The number of early adopters and early followers combined is 13% and 19% for Greater Jakarta and Surabaya, respectively. Homeowners in these two metropolitan cities each have unique perceptions and expectations on rooftop solar use. These two factors determine their purchase intention level.

Market potential for rooftop solar in Greater Jakarta and Surabaya

With current market price at IDR 13-18 million/kWp, upfront cost or initial capital investment for installing rooftop solar is still considered high. However, Marlistya Citraningrum (Program Manager for Sustainable Energy Access) highlighted that early followers group would be more inclined to decide installing rooftop solar if they have comprehensive information about the technology, have access to credible providers/EPCs, and access to fixed-instalment scheme. They also expect guaranteed performance of rooftop solar, the availability of after-sales service, and fiscal incentives; to reduce high upfront cost and shorten payback period. The market studies found most homeowners prefer instalment scheme with tenor period of 5 years and they expect incentives from the government to decrease their capital investment, as well as assurance of product quality. IESR recommends the government to provide rebate for solar panels/modules and to offer discounts on land and building tax (PBB) for a certain period of time for houses installing rooftop solar. These incentives can increase financial viability and decrease return on investment for homeowners.

Indonesia’s National Energy Plan (RUEN) also imposes a mandatory use of rooftop solar for government and public buildings: a minimum of 30% of their roof space area. To explore this potential in more details, IESR calculated technical potential of rooftop solar for government-owned buildings (offices, hospitals, universities, and schools) and commercial buildings (malls and shopping centers) in Jakarta and Surabaya. Technical potential for buildings in Surabaya reaches 35 Megawatt-peak (MWp), for a combination of government-owned buildings and shopping centers; while in Jakarta the potential reaches 22 MWp; Agus Tampubolon (IESR’s Researcher) explained in details. Two large state universities in Surabaya, ITS and Airlangga University, are two complexes with the highest potential. Among Top 10, five of them are malls and shopping centers; indicating they could be of target priorities for government to start accelerating solar deployment. Jakarta is similar to Surabaya: malls and shopping centers dominates Top 10. The offices of central government (ministries), provincial government, and city governments possess lower potential because most of them are high-rise buildings (tall buildings with limited roof area). University complexes in Jakarta also show high potential for rooftop solar, two of the highest are Jakarta State University and University of Indonesia (Salemba). Rooftop solar is highly beneficial and relevant for government offices and universities; given their main activities are carried out during the day. Local governments can play more active and significant role in promoting rooftop solar use within their authority, not only mandating the buildings to install rooftop solar but also to provide certain incentives to leapfrog the deployment.

Panel discussion

Panel discussion led by Fabby Tumiwa (IESR’s ED); featuring Directorate General of Electricity (MEMR), PLN’s Renewable Energy Division, Indonesia Solar Association (ISA), LEIN Power, Mandiri (as part of Indonesia’s Sustainable Finance Initiative), and World Energy Council elaborated more on the reports and how the findings could be translated into strategies to accelerate solar energy development in Indonesia. Grid-wise, solar energy penetration is met with concerns on balancing supply and demand, system readiness, as well as ancillary cost arisen from renewables integration. Access to fundings is also a constraint, as government and local banks still considers renewable energy projects as risky; thus, imposing high interest rate. IESR recommendation for the use of reverse auction for large-scale solar power plants could be an answer to these challenges, given proper auction design and strict implementation.

Insights from IESR reports on technical and market potential are considered imperative to boost solar deployment. One Million Rooftop Solar Initiative (OMRSI), declared and signed by 14 different organizations and government bodies (including IESR), has set a cumulative target of 1 GW rooftop solar by 2020. As highlighted by Indonesia Solar Association, knowledge on technical and market potential for rooftop solar in residential, public buildings, and other buildings, as well as preferred procurement and financing scheme will help in sharpening the strategy of achieving OMRSI target. LEIN Power as one of solar EPCs also mentioned that homeowner’s consideration for installing rooftop solar is diverse, which affects message crafting and means of communications. His experience with one homeowner in East Java was aligned with IESR’s market study insight: people in Surabaya have the attitude of “I like cool, high-tech stuff”. It is certainly a good catch for solar EPCs on how to market their products.

With limited financing available on the market today, homeowners can consider using multi-finance credit scheme from banks to install rooftop solar. However, interest rates are not low, and this may discourage them. Indonesian banks, as stated by Mandiri’s VP of Energy Sector Department, has no available specific financing scheme for rooftop solar; and future financing scheme that can answer homeowners’ expectation must be regulated first by Indonesia Financial Authority (OJK) or else the government could provide incentives for the banks so they can offer low interest rates.

Fabby Tumiwa concluded Solar Day 2019 with three main remarks: the government should take the lead and be market leader (thus growing market size and decrease rooftop solar price), the government should provide supporting policies and incentives, and with challenges laying ahead (coordination, planning, funding, technical issues, existing regulations, and consumer behavior), a comprehensive, structured, inclusive, well-planned strategies must be drawn.

It no longer should be “chasing the sun”, it is time for massive solar deployment. And so yellow is the new black.


Marlistya Citraningrum reporting for Solar Day 2019 – Chasing The Sun.


Reports summary is available here:
Sunny Days: Powering Indonesia with Solar Energy (Only!)

Presentation is available here:
Solar Day 2019 – Chasing The Sun