Menuju Gelombang Transformasi Energi

Reformasi kebijakan di sektor ketenagalistrikan menjadi kunci dalam proses tranformasi energi

Gelombang tranformasi energi tengah melanda dunia. Sistem ketenagalistrikan kini bergerak menuju sistem yang lebih bersih, terdesentralisasi, digital dan memberikan kesempatan pada banyak pihak untuk menjadi produsen energi, atau dikenal dengan istilah 4D: Dekarbonisasi, Desentralisasi, Digitalisasi dan Demokratisasi.

“Indonesia juga mempunyai kesempatan untuk bergabung dalam gelombang transformasi ini. Namun diperlukan upaya yang serius untuk menyiapkan proses tranformasi tersebut. Reformasi kebijakan dan perbaikan sistem ketenagalistrikan menjadi kunci.Termasuk reformasi dalam pengembangan model bisnis pembangkit dan investasi sektor ketenagalistrikan, yang tidak hanya melibatkan pemerintah, namun juga pihak swasta,” ujar Prof. Kuntoro Mangkusubroto dalam sambutannya pada acara peluncuran Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan pembukaan Indonesia Energy Transition Dialogue Forum (IETDF) yang berlangsung di Jakarta, 15 November 2018.

Indonesia harus mempersiapkan diri dari sekarang, tambahnya lagi, jika tidak, maka dampaknya akan sangat luas, terutama pada infrastruktur ketenagalistrikan yang selama ini bersifat sentralistis dan monopolistik.

Dengan latar belakang tersebut, kemudian lahir inisiatif Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) sebagai sebuah wadah yang dikembangkan untuk berbagi dan bertukar gagasan yang obyektif dan inovatif untuk mendorong transformasi di sektor ketenagalistrikan.

“Diskusi dan analisa yang dikembangkan dalam ICEF berdasarkan fakta dan kajian yang ilmiah sehingga dapat memberi masukan atau rekomendasi yang tajam bagi pemerintah dalam menyiapkan kebijakan yang mendorong pengembangan energi terbarukan. Dengan demikian target Kebijakan Energi Nasional (KEN) serta Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dapat tercapai,” jelas Kuntoro yang didapuk sebagai dewan penasehat ICEF.

Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menambahkan, saat ini sistem energi terbarukan telah menjadi pilihan utama bagi penyediaan tenaga listrik di banyak negara. Dalam lima tahun terakhir investasi pembangkit energi terbarukan semakin kompetitif dan bersaing dengan harga pembangkit listrik dari energi fosil.

“Daya disrupsi dari teknologi energi terbarukan, seperti solar PV dan turbin angin akan semakin sulit dibendung. Harga teknologi energi terbarukan terus menurun dengan tingkat efisiensi yang semakin meningkat. Sepanjang periode 2009-2015 saja harga solar PV telah mengalami penurunan hingga 80%,” ujar Fabby.

Badan energi terbarukan internasional atau IRENA (International Renewable Energy Agency bahkan memperkirakan harga solar PV akan mengalami penurunan sebesar 60% hingga tahun 2025 mendatang. Sedangkan harga turbin angin rata-rata turun sebesar 38% sejak 2009.

Hal yang sama juga dikuatkan oleh Carbon Tracker yang baru saja mengeluarkan laporan, di mana pada 2021 harga pembangunan PLTS di Indonesia akan jauh lebih murah dibandingkan PLTU, dan pada 2027/2028 pembangunan PLTS baru akan lebih murah daripada mengoperasikan PLTU Batubara.

“Semakin terjangkaunya harga teknologi energi terbarukan akan membuat masyarakat beralih untuk memilih dan memproduksi sendiri listriknya, ketimbang membeli dari perusahaan penyedia listrik,” tandas Fabby.

Berdasarkan studi pasar listrik surya atap yang dilakukan GIZ- INFIS dan IESR dia menjelaskan tentang potensi listrik surya di Indonesia. Studi ini mengindikasikan adanya penurunan harga sistem solar PV hingga 30-40% dan memberikan manfaat secara finansial sehingga dapat memicu sedikitnya 4 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang dikategorikan sebagai early follower – untuk memasang listrik surya atap (Solar PV), yang setara dengan kapasitas 12-16 GWp. Diperkiraan potensi surya atap di Indonesia mencapai 15 GWp hingga 2030.

“Dari sinilah dimulai fenomena “death spiral of utility” yang sudah kita lihat awal gejalanya di Australia dan AS. Selain itu ancaman terjadinya “stranded asset” bagi pembangkit thermal akibat tidak beroperasinya secara optimal padahal masih berada pada usia produktif. Walaupun sejauh ini tren tersebut masih terjadi di luar Indonesia, tapi negara tidaklah berarti tren tersebut tidak datang ke Indonesia dalam waktu dekat,” tandasnya.

Energi Berkeadilan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan yang berkesempatan hadir dalam acara peluncuran ini menyatakan, pemerintah sangat mendukung untuk pengembangan energi terbarukan yang lebih bersih, terutama untuk menjangkau penduduk yang berada di bagian terdepan, terluar, terujung Indonesia.

“Yang terpenting pengembangan energi ini sesuai azas berkeadilan untuk semua. Jadi tidak hanya biaya saja yang dipikirkan tetapi juga pertimbangan aspek sosial juga diperhatikan,” kata Jonan.

Menurut data Kementerian ESDM, hingga saat ini ada sekiitar 2% dari penduduk Indonesia atau sekitar 5 juta penduduk yang belum belum mendapatkan listrik.

Jonan juga menambahka untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, pemerintah kini telah menyiapkan sejumlah kebijakan dan menerbitkan beberapa aturan terkait dengan

Listrik Surya Atap, pengembangan pembangkit listrik energi panas bumi (geothermal) tenaga bayu (tenaga angin), dan biomassa. Pemerintah juga sudah meminta PLN mengkonversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) 1800MW menggunakan bahan bakar minyak sawit mentah.

Indonesia Energy Transition Dialogue Forum (IETDF) 2018 yang mengusung tema “Pengalaman Terbaik dalam Melakukan Transisi Energi” juga menghadirkan sejumlah pembicara utama seperti Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Rasmus A.Kristensen, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Timor Leste dan Papua Nugini. Acara ini juga menghadirkan sejumlah pakar energi dari China, Jerman dan Australia. Direncanakan IETDF akan menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan oleh IESR dan ICEF untuk berbagi pengetahuan, pengalaman dan kajian terkait denga kebijakan, teknologi, dan pengembangan sistem transformasi energi.

Bahan presentasi IETDF 2018 dapat diunduh di: http://bit.ly/IETDF18Materi

Inkonsistensi kebijakan Energi dan Situasi Politik Penyebab Lambatnya Transisi Energi Bersih di Indonesia

Inkonsistensi kebijakan energi dan situasi politik di Indonesia menjadi penyebab lambatnya proses transisi energi bersih di Indonesia. Hal ini terungkap dalam acara diskusi panel “What issues and approaches that are relevant? Key barriers and how to move forward, dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue Forum 2018 dan Grand Launching Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Kamis, 15 November 2018 di Jakarta.

Diskusi ini dipandu oleh Fabby Tumiwa dengan menghadirkan tujuh panelist yang mewakili para pemangku kepentingan di sektor energi di Indonesia. Mereka adalah Dr. Surya Darma dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Dr. Heru Dewanto dari Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI), Dr. Nirarta Samadhi dari World Resource Institute Indonesia (WRI Indonesia), Ryan Putera Pratama Manafe dari PT. Surya Utama Nuansa, Dr. Hardiv Situmeang dari Komite Nasional Indonesia World Energy Council (KNI-WEC), Afrizal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Aidy Halimanjaya Ph.D dari Dala Institute.

Sebagai pembuka diskusi, Dr. Surya Darma menjelaskan Indonesia sebetulnya telah memiliki Undang-undang energi yang memadai untuk mendorong terjadinya proses transisi energi. Namun yang menjadi tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana UU tersebut dalam dilaksanakan secara konsisten.

Ketika UU Energi pertama kali diluncurkan, ujar Surya, banyak pihak yang mendukungnya, namun setelah dua tahun berjalan muncul berbagai perdebatan karena adanya pandangan dan penafsiran mengenai UU tersebut. Pemerintah kemudian menerbitkan peraturan baru yaitu Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) No. 50 tahun 2017 yang melengkapi aturan sebelumnya yaitu Permen ESDM No. 12 Tahun 2017.

“Jika aturan regulasi, UU seharusnya menempati posisi yang tertinggi dan menjadi rujukan bagi aturan yang lain seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen). Namun dalam kenyataannya tidak, di Indonesia justru sebaliknya, Permen bisa saja mempunyai posisi yang lebih kuar dibandingkan dengan UU. Padahal PP telah dikeluarkan dan menyebutkan target yang sangat jelas, namun Permen yang dikeluarkan malah tidak sejalan. Termasuk juga RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) yang ditandatangani oleh menteri, sama sekali tidak mencerminkan dan sejalan dengan PP yang ditandatangani oleh presiden,” jelasnya.

Sementar Aidy Halimanjaya melihat kentalnya aspek politik yang sering kali menjadi mempengaruhi pelaksanan sebuah kebijakan. Misalnya dalam menerapkan subsidi energi, pemerintah terlihat sangat berhati-hati, dan pada akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang rumit dan pelik untuk diterapkan.

“Saat mengumumkan kenaikan harga BBM, presiden akan berdiri di depan para pejabat tinggi dari dari seluruh angkatan bersenjata dan Polri. Seakan menunjukan adanya ketakutan bahwa kenaikan harga BBM bukan hanya masalah ekonomi tapi juga terkait dengan stabilitas keamanan nasional. Ini sebuah fakta yang harus diterima, dan akan semakin besar dampaknya jika diterapkan dalam tahun politik seperti sekarang ini, karena pihak opsisi bisa jadi mempolitisasi isu kenaikan harga BBM,” jelas Aidy.

Dia juga menambahkan di tahun 2019 nanti akan semakin sulit untuk menjaga stabilitas harga energi karena sudah memasuki tahun politik. Misalnya saja jika harga minyak mentah mencapai USD 100 per barel apa yang akan dilakukan? Pemerintah kemungkinan akan menahan harga BBM dan menalanginya melalui anggaran negara (subsidi) yang akan dibayarkan.

“Pertimbangan-pertimbangan politik ini yang kadang tidak bisa disepelekan dalam perhitungan harga energi, dan harga kestabilan politik biasanya lebih besar dari aspek-aspek lain dalam membuat pemodelan atau perhitungan biaya energi,” ujarnya.

Masalah inkonsistensi dan ketidakjelasan aturan juga dirasakan pelaku usaha energi terbarukan. Seperti diungkapkan oleh Ryan Putera Pratama Manafe yang saat ini tengah cemas menanti keluarnya peraturan menteri ESDM mengenai penggunaan lisrtrik surya atap.

“Bisnis kami adalah menyediakan jasa penyediaan listrik surya atap bagi kalangan industri. Jika benar Permen ESDM yang akan dikeluarkan ini akan melarang penggunaan listrik surya atap bagi kalangan industri, maka habis sudah bisnis kami. Saya juga sudah mencoba membicarakan hal ini dengan Ditjen EBTKE, namun masih belum fix katanya dan masih dibicarakan,” jelas Ryan.

Sementara menurut Hardiv Situmeang, kendala transisi energi di Indonesia tak hanya pada kerangka regulasi saja, karena sebenarnya sudah siap. Persoalannya justru bagaimana menyiapkan sistem dan membangun infrastruktur sehingga penetrasi energi terbarukan dalam pembangkit listrik dapat dilakukan.

Hardiv mencontohkan dalam struktur microgid dibutuhkan sistem penjadwalan secara maksimal sehingga bisa terkendalikan antara sumber pembangkit dari energi terbarukan dan dari energi lainnya. Di Bali misalnya, sudah mulai diterapkan microgrid controller, sehingga ketika terjadi ganguan pada PLN bisa langsung diatasi persoalannya, ada skema yang optimal antara penggunaan sumber energi terbarukan, baterai dan sistem lainnya.

Jangan Ributkan Proses, Tapi Lihat Capaian dan Kesiapan Indonesia Menuju Transisi Energi

Menanggapi mengenai ketidakkonsistenan kebijakan, Afrizal dari Ditjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM menjelaskan Indonesia tengah melalukan proses untuk melakukan transisi ke energi bersih. Berbagai persoalan  dan tantangan yang kini tengah mereka alami merupakan proses untuk ke tahapan lanjutan yang lebih baik. Karena begitu banyak pembelajaran yang bisa memperbaiki proses berikutnya.

“Ketimbang berdebat mengenai keberatan dengan Permen ESDM No. 12 atau Permen 50 mengapa kita tidak mencoba untuk melihat pencapaian yang sudah berhasil diraih selama ini. Itu lebih efiesien dan produkstif,” ujar Afrizal.

Dia juga menegaskan bahwa bahwa Indonesia sangat serius melakukan transisi kendati menjalaninya sejauh ini dihadapkan banyak kendala dan tantangan. Tapi sudah melakukan berbagai upaya untuk menerapkannya di beberapa wilayah. Meski pada upaya permulaan tidak langsung mengalami keberhasilan.

“Kami pernah memasang instalasi panel surya dengan kapasitas 5 MW di NTT, namun ternyata sistemnya tidak siap dan sempat kolaps, namun kami terus memperbaiki untuk melakukan upaya transisi energi ini, meski harganya juga tidak murah. Pemerintah juga mendapat sejumlah dukungan teknis dari beberapa negara seperti Denmark dan Amerika Serikat. Jika masih ada yang mempertanyakan bahwa kerangka regulasi yang kurang mendukung buktinya PLTP Sidrap dengan kapasitas 50 MW bisa berjalan dengan adanya Permen No. 50/2017. Intinya kita akan selalu mengejar tiga aspek yang utama yaitu terjangkau, aman dan menjangkau luar. Harus efisien dan harga listriknya tidak boleh naik dalam waktu dua tahun ke depan, itu yang harus dikejar,” tandasnya.

Afrizal juga menambahkan Indonesia juga banyak belajar dari pengalaman Denmark terutama dalam mengadopsi grid code dengan teknologi intermittent, sayangnya pemerintah hingga saat belum mengeluarkan kebijakan terkait hal tersebut.

Celah dan Menjawab Tantangan Kunci

Lain halnya dengan Heru Dewanto, yang menilai pembahasan “transisi” harusnya diubah menjadi co-existence antara energi fosil dan energi terbarukan, yang menurutnya, kondisi masih sangat dibutuhkan untuk kondisi di Indonesia.

Menurutnya, jika menggunakan kata transisi artinya ada satu yang dihidupkan dan yang lain dimatikan. Dalam konteks energi belum tentu jika satu dimatikan maka yang lain sudah siap untuk dihidupkan.

“Namun dengan adanya co-existence technology maka akan mendorong pemanfaatan sumber energi, baik yang berbahan bakar fosil maupun yang terbarukan,” ujar Heru.

Heru mencontohkan pengalaman pemerintah Singapura yang banyak merangkul berbagai perusahaan start up energi dan memanfaatkan teknologi digitalisasi untuk menciptakan peluang yang lebih besar ke depannya.

Diskusi ini menyimpulkan sebuah benang merah bahwa masih banyaknya celah kesenjangan serta sandungan yang menjadi penghalang untuk mendorong upaya transisi energi di Indonesia. Belajar dari pengalaman sendiri serta pengalaman dari sejumlah negara, transisi energi memang membutuhkan sebuah kerangka kebijakan yang secara konsisten diterapkan serta adanya kepimpinan yang kuat untuk membawa proses transisi ini untuk mencapai tujuan utama yang diidamakan (*)

Jika Indonesia Gagal, Maka Dunia Juga Akan Gagal

Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste, Moazzam Malik, mengatakan Indonesia berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim dalam mempengaruhi Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Terutama dalam sektor energi. Hal tersebut diungkapkannya pada High-level Panel Discussion: The Vision and Experiences of Energy Transition Toward Low Carbon Energy, dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue Forum 2018 dan Grand Launching ICEF (Indonesia Clean Energy Forum), Kamis, 15 November, di Jakarta.

Diskusi yang dipandu oleh Bambang Harymurti ini, juga menghadirkan Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Rasmus Abildgaard Kristensen, serta dua narasumber lain yaitu Parjiono, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan dan Rida Mulyana, Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM.

“Jika Indonesia gagal memenuhi target Kesepakatan Paris maka dunia juga akan gagal,” tandas Malik.

Kesepakatan Paris adalah persetujuan dalam kerangka UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang mengawal reduksi emisi karbondioksida, efektif berlaku pada tahun 2020-2030. Persetujuan ini dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 di Paris. Serta menyepakati upaya menekan peningkatan suhu bumi tidak lebih dari 2°C dan diusahakan hingga 1.5°C.

Karena itu, menurut dia sangat penting mengetahui upaya-upaya apa saja yang akan dilakukan Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) termasuk dari sektor energi.

Malik menilai pembentukan Indonesia Clean Energy Forum atau ICEF merupakan inisiatif yang baik karena mendorong upaya transisi dari penggunaan energi kotor ke energi bersih yang dipersiapkan melalui proses dialog dengan berbagai pemangku kepentingan hingga akhirnya mampu mencapai perubahan itu sendiri.

Pencapaian target Kesepakatan Paris tentu sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Indonesia diprediksi masuk dalam 10 negara ekonomi terbesar dalam 10 tahun, sehingga ia mengatakan akan menjadi beresiko ketika berhasil masuk 5 besar dan emisinya akan berkembang lebih jauh.

“Ini menjadi tantangan kunci dari diskusi kita hari ini,” ujar Malik.

 

Baik Moazzam Malik dan  Rasmus Abildgaard Kristensen, sepakat, tantangan terbesar dalam melakukan transisi menuju energi bersih adalah masalah kebijakan publik, investor dan biaya tinggi dalam melakukan transisi ke energi bersih seperti yang diungkapkan Menteri Jonan. Inggris dan Denmark juga pernah mengalami hal yang sama pada pada masa awal mereka memulai melakukan transisi energi kotornya ke energi bersih.

Kristensen mengungkapkan pengalaman Denmark yang kini nyaris mendekati 100% dalam mentransisikan energi kotornya ke energi bersih hingga tahun 2030 – membutuhkan waktu 20 tahun dalam melakukan transisi ke energi bersih. Kenapa harus ke energi bersih? Kristensen menjelaskan 4 alasan kuatnya.

Alasan pertama, pada tahun 1970-an Denmark dilanda krisis minyak bumi. Saat itu 90% kebutuhan energi Denmark masih sangat bergantung dengan minyak bumi. Padahal minyak buminya sendiri berasal dari impor. Melambungnya harga minyak bumi karena efek dari situasi politik di Timur Tengah membuat Denmark memutar otak mencari energi pengganti minyak bumi. Saat genting itu diputuskan untuk mengurangi import minyak bumi. Mereka pun berusaha berswasembada energi.

“Jadi kasusnya sama dengan Indonesia, awalnya bukan soal “hijau” saja. Tapi mempertimbangkan bagaimana Anda dapat mengubah ketergantungan tersebut terlebih jika harus menghadapi krisisnya,” jelas Kristensen.

Alasan kedua karena perubahan iklim. Tidak hanya berupaya mengalihkan energi kotornya ke energi terbarukan tetapi juga berupaya menurunkan konsumsi energi. Hal ini kemudian menjadi faktor kunci Denmark bertahun-tahun kemudian sekaligus menjadi pendorong kenapa energi bersih harus diterapkan di Denmark.

Alasan ketiga menumbuhkan iklim investasi. Hal yang sama terjadi juga di Amerika dan Cina yang kini mulai banyak banyak melakukan investasi fasilitas EBT (Energi Baru Terbarukan).

“Kami sepakat dengan Bapak Jonan (Menteri ESDM Indonesia-red), yakni membangun bangunan fasilitas EBT itu mahal. Namun itu di awalnya saja karena sekarang justru energi bersih yang murah, contohnya energi angin,” kata Kristensen. “Investasi energi angin di negeri kami termurah karena kami memiliki ladang angin yang banyak. Jadi walau berat di awal mula pembangunannya, berikutnya justru semakin murah harga dari energi yang dihasilkan. Jadi kenapa kita tidak memulai dari yang jelas di sekitar kita. Di kami, angin,” lanjutnya.

Energi bersih ke depan makin murah dan kompetitif

Kristensen juga membenarkan proyeksi Institute Essential Services Reform mengenai harga EBT yang akan menjadi semakin murah di masa depan.  Adapun alasan terakhir kenapa Denmark merasa perlu melakukan investasi fasilitas EBT adalah untuk memunculkan banyak lapangan kerja. Manfaat sampingannya menumbuhkan perekonomian yang signifikan. Isu teknologi dan dimensi lainnya memang juga menjadi pembahasan di Denmark.

Dalam sambutan awal launching ICEF, Fabby Tumiwa, Direktur Esekutif IESR yang juga selaku tuan rumah kegiatan sempat menyebutkan, EBT memang sudah menjadi mainstream di banyak negara. Penyebabnya tidak lain adalah harga teknologi energi terbarukan yang semakin murah dan kompetitif terhadap teknologi pembangkit fosil. Peralatan listrik pun lebih hemat penggunaan energinya. Serta upaya global untuk mencapai target Kesepakatan Paris yaitu membatasi kenaikan temperatur global dibawah 2 derajat celcius.

Menurut Faby, daya disrupsi dari teknologi energi terbarukan seperti solar PV (photovoltaic) dan turbin angin bahkan akan sulit dibendung di masa depan karena harga teknologi yang turun dengan drastis dan efisiensi yang meningkat.

Pada periode 2009-2015 harga solar PV telah mengalami penurunan 80%, dan International Renewable Energy Agency (IRENA) memperkirakan harga solar PV akan turun lebih jauh 60% hingga tahun 2025 mendatang. Sedangkan harga turbin angin telah turun rata-rata 38% sejak tahun 2009. Di sejumlah negara hal ini membuat harga listrik dari EBT lebih murah ketimbang harga listrik  dari pembangkit thermal.

Sebagai gambaran Fabby mengatakan dari hasil study pasar listrik surya atap yang dilakukan GIZ –INFIS dan IESR belum lama ini mengindikasikan bahwa penurunan harga sistem PV hingga 30%-40% atau dengan adanya manfaat finansial yang sama dapat memicu sedikitnya 4 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang dikategorikan sebagai pengguna awal untuk memasang listrik surya atap yang kapasitasnya setara dengan 12-16 GWp. IRENA memperkirakan potensi surya atap Indonesia mencapai 15 GWp hingga tahun 2030.

Baru-baru ini Carbon Tracker juga merilis laporan yang menyatakan bahwa pada tahun 2021 akan lebih murah membangun pembangkit listrik tenaga surya ketimbang pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia. Dan pada tahun 2027-2028 akan lebih murah membangun PLTS  baru ketimbang mengoperasikan PLTU batubara.

Tahun 2016, Denmark melakukan power mix electricity dengan menggunakan berbagai jenisnya, energi fosil mereka gunakan hanya 46%, sementara 54% menggunakan biomassa, dan 13% menggunakan energi angin. Mereka menargetkan 2020, penggunakan energi fosil menjadi 21%, dan meningkatkan penggunaan energi angina hingga 54% dan biomassa 18%. 2030 Denmark merasa yakin bisa 100% sudah mengalihkan pengelolaan kelistrikannya dengan menggunakan energi bersih di tahun 2030.

Coal or fosil phase out sudah jelas dilakukan. Itu cara kebijakan yang kami ambil sesuai dengan kesepakatan energi. Insentif di awal transisi diberikan dan sekarang pasarnya sudah mature, sehingga industri sudah bergerak dengan sendirinya, “ paparnya Kristensen.

Kristensen bahkan menyebut harga lelang untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu  lepas pantai di negaranya semakin hari semakin turun dalam 4-5 tahun terakhir. Semakin banyak investor yang mengikuti lelang.  Mengutip Kantor Berita Antara, alhasil saat hendak mendarat di bandar udara Kopenhaagen pada musim dingin berkabut akan tampak kincir-kincir angin raksasa berjajar di tengah laut. Bayangannya terlihat bak jaeger robot humanoid raksasa dalam film Pacific Rim.

Kesimpulan dari keberhasilan transisi energi hijau Denmark, menurut Kristensen ada dua hal yaitu pertama, adanya kepastian politik dan regulasi serta stabilitas yang pada akhirnya memungkinkan Denmark bisa menarik lebih banyak investasi. Hal kedua, kesediaan untuk berinvestasi dalam proyek skala besar  memungkinkan “banyak pemain”  lainnya datang dan berinvestasi dan menjadikan harganya kompetitif dan tidak monopolis.

“Tetapi secara politik, 20 tahun terakhir komitmen tetap sama yakni menggunakan energi bersih. Perubahan iklim memang penting tapi lebih dari itu secara ekonomi bagus untuk kami, ” kata Kristensen lagi.

Pengalaman di Inggris pun sangat mirip dengan Denmark. Tantangan terbesar mereka adalah masalah kebijakan, investor, dan bertransisi juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Malik menceritakan, 6 tahun lalu, 40% energi Inggris menggunakan batu bara. Namun kini hanya 2 % saja, sementara 98%nya Inggris sudah menggunakan energi terbarukan. Hal ini menumbuhkan pasar yang kompetitif, sehingga harga paket baterai energi pun turun hingga 70%.

“Dalam hal menciptakan pekerjaan di Inggris, kami memiliki 400 ribu pekerjaan di lokal dan bisnis dalam rantai pasokan. Dan ekonomi karbon rendah di Inggris tumbuh jauh lebih cepat. Kini sekitar 40% kapasitas dunia dan angin lepas pantai ada di Inggris, dan kita sedang menuju vegeecle elektrik dan beberapa area pendukung yang Anda butuhkan, misalnya obligasi hijau, pembiayaan hijau lebih dari 20 miliar dolar. Jadi sekali lagi ini bukan hanya tentang teknologi, dan kebijakan, tetapi menemukan keuangan inovatif,” jelasnya.

Berharap Investor Eropa

Menanggapi Denmark dan Inggris, Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) berharap, para investor dari negara-negara Uni Eropa dapat menjadi partner dalam mengembangkan sektor EBTKE yang saat ini masih terus digencarkan di Indonesia dalam rangka memenuhi target yang ada dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Dirjen Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Rida Mulyana  yang mewakili Dirjen EBTKE dalam kegiatan tahunan Green Energy Technology (GET) oleh European Union Business Avenue (EUBA) in South East Asia mengatakan bahwa kini penggunaan teknologi bersih sudah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia. Indonesia berkomitmen mengurangi gas rumah kaca (GRK) 29% pada 2030. Dengan bantuan investasi luar negeri Pemerintah optimis dapat mengurangi emisi hingga 30%.

Oleh karena itu pemerintah katanya sangat mengharapkan investasi untuk pengembangan sektor EBT di Indonesia yang menitik beratkan pada aspek kesejahteraan sosial, penciptaan iklim bisnis kondusif serta faktor-faktor pertumbuhan ekonomi.

“Pengembangan EBT difokuskan pada ketahanan energi, peningkatan rasio elektrifikasi penyebaran merata, dan harus dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya

Lebih kanjut dia mengatakan untuk mempermudah pengembangan EBT Indonesia, Pemerintah telah melaksanakan reformasi birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan proses investasi seperti simplifikasi perizinan. Menyusun pengaturan perizinan secara daring serta pelaksanaan good governance.

Ada sebagian masyarakat yang mempertanyakan juga, mengapa Pemerintah seolah-olah lebih mensubsidi pada energi konvensional dari pada energi terbarukan. Sebenarnya bukan subsidi yang diberikan pemerintah kepada pelaku usah energi konvensional tetapi subsdi tersebut  untuk penggunanya, contohnya listrik dan BBM. Pemerintah mensubsidi masyarakat yang berlangganan listrik dari 450-900 watt. Di atas itu tidak ada subsidi.

“Selama ini pengguna listrik disubsidi semua. Hingga orang yang mampu pun disubsidi. 3 tahun lalu subsidi listrik dihilangkan bagi pelanggan di atas 900 watt. Begitu juga dengan BBM. Subsidi BBM dicabut. Dana subsdi dialihkan untuk infrastruksur. Manfaat infrastruktur ini untuk edukasi dan peningkatan kesehatan,” jelas Mulyana

Namun yang jelas, Pemerintah Indonesia sudah mempunyai kebijakan energi yang memperhatikan empat aspek yaitu: Kecukupan energi;  Pemerataan: energi yang berkeadilan; Keterjangkauan: terutama untuk Indonesia Timur, khususnya Papua; Komit dengan energi yang ramah lingkungan.

“Inti dari semua itu adalah keadilan.  Transisi besar-besaran bisa saja terjadi jika azas keadilan ini sudah terpenuhi. Jadi meskipun tujuan kita sama, cara yang kita lakukan berbeda. Masalah di Indonesia itu kompleks seperti masalah sosial, geografi, pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain,”imbuhnya.

Masih dalam panel diskusi yang sama, wakil dari Kementrian Keuangan menyoroti kebijakan fiskal. Insentif fiskal utama untuk energi terbaru: kekan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.21/PMK.011/2010. Peraturan tersebut memberikan insentif pajak untuk semua produksi energi terbarukan serta pembuatan dan impor mesin yang diperlukan untuk produksi. Insentif diberikan atas dasar kasus-per-kasus dan termasuk ketentuan yang berhubungan dengan pajak penghasilan, PPN, bea masuk, dan pajak yang ditanggung Pemerintah.

“Selama ini mindset kita adalah batubara yang salah. Sedangkan kita punya batubara banyak. Disinilah peran teknologi. Teknologinya yang harus mampu memproduksi batubara yang ramah lingkungan rendah emisi. Kepedulian Pemerintah juga tertuang dalam APBN dimana untuk climate change terjadi peningkatan. Tahun 2017 anggaran 81 trilyun rupiah. Di tahun 2018 meningkat menjadi 120 trilyun rupiah,” jelas Parjiono, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim.

Di akhir diskusi baik Denmark dan Inggris sepakat bahwa investor asing di Indonesia sangat memerlukan kepastian hukum yang jelas. Kepastian perundang-undangan. Dan ini yang ditunggu para investor, berinvestasi dengan jaminan hukum perundangan yang jelas. (*)

Pojok Energi 9: Memanen Energi Surya

Diskusi Pojok Energi #9

Terdapat potensi pemanfaatan tenaga surya yang cukup tinggi di Jakarta dan daerah urban lainnya di Indonesia.

Pada tanggal 10 Oktober lalu di Jakarta, IESR bersama dengan GIZ-INFIS melakukan diskusi grup terarah mengenai hasil studi potensi pasar rooftop solar di Jabodetabek. Untuk membahas hasil studi pasar ini secara lebih luas dengan publik, IESR menyelenggarakan Pojok Energi #9 dengan tema Diskusi Urban: Memanen Energi Surya. Seri diskusi ini mengundang Harris (Direktur Aneka Energi, Kementerian ESDM), Dhiah Karsiwulan (Advisor untuk GIZ-INFIS), dan Esa Pamudji (CEO LEIN Power); dan dimoderatori oleh Marlistya Citraningrum dari IESR.

Studi potensi pasar rooftop solar yang dilakukan oleh GIZ-INFIS dengan IESR menunjukkan adanya minat masyarakat untuk menggunakan rooftop solar. Meski demikian, sebagian besar dari mereka belum beranggapan bahwa rooftop solar merupakan kebutuhan yang mendesak dan harus dipenuhi segera, termasuk karena adanya pertimbangan finansial.

Dhiah menjelaskan bahwa studi potensi pasar ini dilakukan pada 500 rumah tangga kalangan menengah ke atas di Jabodetabek. Dari penggalian terhadap pola konsumsi energi rumah tangga responden, terlihat bahwa responden telah sadar mengenai penggunaan energi namun dengan alasan ekonomi. Mereka menggunakan lampu hemat energi, mematikan lampu yang tidak terpakai, hingga menggunakan cahaya matahari di siang hari dengan motif mengurangi biaya tagihan listrik. Perilaku sadar lingkungan (green lifestyle) belum menjadi alasan utama. Saat ditanya mengenai minat menggunakan solar rooftop, mereka menyebutkan alasan pengurangan biaya tagihan listrik dan keinginan memiliki cadangan listrik bila terjadi pemadaman arus listrik dari PLN.

 

Esa Pamudji dari LEIN Power yang telah memiliki portfolio cukup banyak dalam layanan penyediaan rooftop solar mengatakan bahwa banyak dari kliennya yang juga memiliki motif sama, yaitu mengurangi biaya tagihan listrik. Meski demikian, karena demografi klien LEIN Power mencakup kelas atas yang tidak terlalu memikirkan biaya, pemilik rumah juga menganggap bahwa memiliki instalasi rooftop solar merupakan hal yang patut dibanggakan. “Kepala keluarga, yaitu si bapak, merasa bahwa rumah yang memiliki rooftop solar terlihat keren, sedangkan pengurangan biaya tagihan listriknya itu bonus untuk istri,” ujar Esa mengulangi apa yang disampaikan oleh salah satu pemilik rumah yang memasang rooftop solar.

Sejak Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap diluncurkan pada tahun 2017, terjadi peningkatan jumlah pengguna rooftop solar yang tersambung jaringan (grid-tied). Menurut catatan PLN, jumlah pelanggan dengan rooftop solar naik dari 268 pada bulan September 2017 menjadi 458 pada bulan Juli 2018. Peningkatan ini menunjukkan adanya minat dari masyarakat saat mereka telah mengetahui informasi yang jelas mengenai rooftop solar. Salah satu temuan studi potensi pasar yang dilakukan GIZ-INFIZ adalah kurangnya paparan informasi untuk masyarakat, termasuk di mana mereka dapat membeli instalasi rooftop solar dengan kualitas yang baik dan harga yang terjangkau.

Harris dari Kementerian ESDM menjelaskan bahwa sejak tengah tahun 2018, pemerintah sedang menyusun kerangka regulasi rooftop solar melalui Peraturan Menteri. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan responden studi potensi pasar rooftop solar dalam memutuskan apakah mereka akan memasang atau tidak. Menurut Harris, pemerintah sudah mengetahui hal ini dan berupaya untuk memasukkan ragam aspek perizinan, teknis, dan transaksi kredit listrik yang dapat mendukung meluasnya pemanfaatan rooftop solar di Indonesia. Tarik ulur substansi yang masih menjadi pembahasan adalah adanya kekhawatiran pengurangan pendapatan PLN apabila masyarakat beralih menggunakan rooftop solar. Pengurangan pendapatan ini sebenarnya terbilang kecil dibanding pendapatan total PLN, karena berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan IESR, bila instalasi kumulatif rooftop solar mencapai 1 GW maka PLN hanya akan mengalami pengurangan pendapatan sebesar 0,42%.

“Selain transaksi kredit listrik, tentu juga akan diatur mengenai perizinan, standar pemasangan, dan vendor,” demikian disampaikan Harris. Regulasi rooftop solar tersambung jaringan PLN saat ini masih menggunakan Keputusan Direksi, yang seringkali berbeda implementasinya di masing-masing kantor regional. Peraturan Menteri yang saat ini tengah didiskusikan diharapkan dapat mempermudah masyarakat yang ingin menggunakan rooftop solar. Kantor Regional Distribusi Jakarta Raya merupakan salah satu kantor regional PLN yang telah melayani banyak pelanggan tanpa kesulitan berarti. Sementara itu di daerah lain, penyediaan meter exim dan verifikasi instalasi sering memakan waktu cukup lama.

Dalam diskusi ini muncul pula beberapa pertanyaan, misalnya bagaimana implementasi rooftop solar dengan baterai, skema pembiayaan apa yang sebaiknya ada mengingat investasi awal yang cukup tinggi, hingga bagaimana kalangan industri dapat ambil bagian tanpa terhambat aturan pembangkit paralel. Untuk kalangan menengah atas di perkotaan, skema pembiayaan cicilan pembelian barang dengan tenor rendah (di bawah 5 tahun) merupakan salah satu skema yang diminati. Salah satu aspirasi yang disampaikan responden studi potensi pasar rooftop solar adalah model pembiayaan yang terjangkau. Jakarta dan daerah urban lainnya dengan demografi penduduk yang serupa merupakan target sasaran yang berpotensi tinggi, hasil studi potensi pasar ini menunjukkan terdapat potensi early adopters dan early followers sebanyak 13%. Untuk area Jabodetabek saja, angka ini setara dengan 166.000 – 184.000 rumah yang dapat berkontribusi pada > 300 MW akumulasi rooftop solar.

Diskusi ditutup dengan makan malam dan bincang-bincang.

 

 

 

Melihat Potensi Pasar Listrik Surya Atap di Jabodetabek

Survei terhadap 500 rumah tangga kalangan menengah atas di Jabodetabek menunjukkan minat masyarakat untuk menggunakan listrik surya atap. Regulasi yang jelas dan skema pembiayan kredit menjadi faktor yang mendorong meningkatkan minat masyarakat membeli perangkat listrik surya.

Pasar listrik surya atap (solar rooftop) di kawasan Jabodetabek menunjukkan potensi yang menjanjikan. Tiga dari 10 rumah tangga dari kalangan menengah atas berminat untuk menggunakan listrik surya atap di rumah mereka.

Demikian hasil survei konsumen yang dikeluarkan oleh Kantar TNS-sebuah perusahaan riset pasar yang bekerjasama dengan IESR dan GIZ-INFIS dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (10/10).

Alasan utama masyarakat berminat menggunakan listrik surya atap adalah untuk mengurangi biaya tagihan listrik yang cenderung meningkat, selain untuk mendapat pasokan listrik gratis dari sinar matahari, dan sebagai cadangan listrik jika terjadi pemadaman oleh PLN.

Sayangnya, informasi mengenai listrik surya atap, termasuk mengenai harga, teknologi serta layanan yang menyediakan pemasangan listrik surya atap dinilai responden masih sangat terbatas. Sehingga mereka merasa tidak relevan dan terdesak untuk segera memasang perangkat teknologi ini di rumah mereka. Apalagi setelah mengetahui mahalnya harga perangkat listrik surya atap.

Namun menariknya, sebanyak 85% responden justru menyatakan akan semakin berminat  untuk memasang apabila pemerintah mengeluarkan regulasi yang jelas mengenai listrik surya atap. Mereka juga lebih menyukai skema pembiayaan kredit yang disediakan lembaga pendanaan dengan tenor 1-3 tahun ketimbang skema subsidi yang disediakan pemerintah.

Hasil survei ini juga menunjukan bahwa responden kecenderungan untuk membeli perlengkapan listrik surya atap melalui vendor ketimbang market place. Mereka juga lebih  memilih produk listrik surya atap buatan dalam negeri ketimbang produk asing karena alasan kemudahan dan ketersediaan suku cadang.

“Untuk menggarap potensi pasar seperti ini perlu dipersiapkan strategi komunikasi dan edukasi yang lebih luas terutama di media massa. Penyediaan informasi informasi tersebut menjadi sangat penting termasuk mengenai harga, teknologi serta layanan yang prima, mulai dari jasa konsultasi, pemasangan perlengkapan hingga layanan purna jual.” ujar Astiti Suhirman, Business Director Kantar TNS.

Selain itu, Astiti menambahkan, informasi ini juga perlu dilengkapi dengan pengguna yang yang telah menggunakan listrik surya atap, sehingga memberikan keyakinan pada calon konsumen untuk mau menggunakan listrik surya atap ini.

Diskusi ini juga menghadirkan perwakilan dari Bank Syariah Lantabur Tebuireng di Jawa Timur yang telah menerapkan skema perkreditan bagi masyarakat yang akan menggunakan listrik surya atap.

Menurut Achmad S. Ghozi, Direktur Utama BPR Syariah Lantabur, sejauh ini pihaknya tidak mengalami kesulitan untuk penyediaan skema perkreditan untuk listrik surya atap, mekanismenya sama dengan kredit lain seperti motor atau mobil.

“Dalam kontrak pembiayaan digunakan prinsip jual-beli dimana bank membeli paket produk listrik surya atap lalu menjualnya kepada nasabah dengan kesepakatan harga jual dan pembayaran pengembalian secara diangsur. Justru kendalanya dari pihak lain, misalnya supplier atau PLN yang harus menyedian alat net-metering.” jelas Achmad.

Selain itu, ada pula pengelola kawasan Summarecon Serpong yang telah mengembangkan perumahan Symphonia, lengkap dengan  fasilitas listrik surya yang tterintegrasi dengan jaringan PLN.

“Ini adalah salah satu keunggulan yang kami tawarkan kepada konsumen. Biasanya  jika orang membeli rumah mereka akan mendapatkan pintu, dan sekarang ini mereka lagsung mendapatkan listrik surya atap yang akan menurunkan tagihan listriknya hingga 50%. Semua rumah juga sudah dirancang sesuai standar teknis, sehingga jika konsumen ingin menambah perangkat listrik suryanya itu sangat memungkinkan,” ujar Rachmat Taufik Hardi, Head of Planning and Design Property Development Region II.

 

Menurut  Hening Marlystia Citraningrum, Program Manager-Sustainable Energy Partnership IESR hasil survei konsumen perlu menjadi perhatian bagi pemerintah. Sebab ini berarti potensi pasar bagi bagi pengguna awal dan pengikut awal akan mencapai 166-184 ribu rumah tangga.

“Bila masing-masing rumah memasang minimal 2 kWp, maka setidaknya terdapat 332 – 368 MW solar rooftop yang terpasang.  Dengan demikian target  dari Gerkaan Nasional Sejuta Surya Atap (GNNSA) sebanyak 1 GW pada tahun 2020 dan target pemerintah untuk energi surya 6,4 GW pada tahun 2025 dapat dicapai dengan penggunaan solar rooftop,” jelas Citra.

 

 

 

Seri Diskusi Pojok Energi #8: Akselerasi Pengembangan Listrik Surya Atap di Indonesia

Apakah pemerintah dan PLN siap beradaptasi terhadap perubahan penyediaan energi listrik?

Penggunaan listrik surya atap (solar rooftop) kini menjadi trend di berbagai negara. Penyebabnya, karena sumber energi yang satu ini tersedia berlimpah, dan memberikan dampak yang lebih baik terhadap lingkungan. Teknologi energi surya juga semakin berkembang, pasar semakin terbuka, dan mendorong harga listrik surya semakin kompetitif, bersaing dengan harga listrik berbahan bakar fosil yang selama ini dianggap paling “ekonomis”

Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara seperti Thailand, Filipina dan Malaysia termasuk yang gencar dalam mengembangkan listrik surya atap. Dengan kebijakan feed-in tariff dan net-metering pelanggan listrik mendapatkan pilihan sumber energi yang bersih, sekaligus peluang investasi dengan jual beli harga listrik. Tak heran, kapasitas terpasang listrik surya atap di Thailand tahun 2017 sudah mencapai orde 2,7 Gigawatt (GW), disusul Filipina sebesar 885 GW dan Malaysia 375 MW. Negara seperti Singapura juga tak mau ketinggalan, kapasitas 130 MW kini sudah terpasang di negeri singa itu.

Bagaimana dengan Indonesia?

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukan, potensi energi surya Indonesia sangat mencukupi, 207 GWp. Sayangnya kapasitas yang sudah terpasang berada di kisaran 94 MWp.

Dalam acara diskusi Pojok Energi #8: Akselerasi Listrik Surya Atap yang berlangsung di Jakarta, Rabu (15/08/2018), Harris, Direktur Aneka Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menjelaskan, pemerintah sebetulnya telah menyiapkan sejumlah regulasi dan program untuk mendorong percepatan pengembangan listrik surya.

Dia menyebutkan diantaranya Permen ESDM No.50 tahun 2017 mengenai pengusahaan listrik oleh pihak swasta, Permen ESDM No.12 tahun 2018 tentang PLTS melalui dana APBN, Permen ESDM No. 5 Tahun 2018 mengenai Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE), Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yang dideklarasikan pada tahun September 2017 dan Kesepahaman Kerjasama antara Ditjen EBTKE dan Real Estate Indonesia (REI).

“Saat ini, juga tengah disiapkan sebuah rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) terkait Listrik Surya Atap. Sehingga para pelanggan listrik PLN di Indonesia, seperti golongan rumah tangga, lembaga pemerintah, sosial dan komersial, bisa memanfaatkan energi surya dengan memasang solar panel di atas atap bangunan rumah, gedung perkantoran dan bangunan komersil, rumah ibadah ataupun fasilitas umum lainnya.

Rapermen ini, juga akan mengatur tentang prosedur perizinan, kapasitas pembangkit yang dihasilkan dari listrik surya atap serta ketentuan mengenai harga jual beli listrik pelanggan kepada PLN.

Ketua Perkumpulan Penggunaan Listrik Surya Atas (PPLSA), Yohannes Bambang Sumaryo mengatakan, pemerintah seharusnya menyiapkan regulasi yang mendorong minat masyarakat untuk menggunakan listrik surya atap, dan bukan malah membatasinya. Termasuk mengenai prosedur perizinan yang berbelit dan membutuhkan persetujuan dari PLN.

“Kapasitas pembangkit listrik surya atap juga tak perlu dibatasi, karena kini produksi listrik surya di Indonesia masih sangat rendah, baru sekitar 20 MWp per tahun. Jika Rapermen ini lebih banyak memberikan pembatasan bagaiman masyarakat akan tertarik. Dan bagaimana Indonesia akan mencapai target 6,5 GW listrik surya seperti yang dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional?” tanya Sumaryo.

Selama ini para penggunaan listrik surya atap dilakukan secara mandiri oleh sejumlah kelompok masyarakat, meskipun membutuhkan biaya investasi yang tinggi, namun karena adanya kesadaran dan keinginan memanfaatkan sumber energi yang lebih bersih.

Menurut Sumaryo, pemerintah seharusnya berkomitmen untuk mendorong penggunaan listrik surya atap karena bagian dari janji Indonesia untuk mengurangi emisi dan meningkatkan bauran energi terbarukan.

Dia juga mengatakan, trend dunia saat ini juga telah mengalami perubahan dalam layanan energi.  Model bisnis energi kini semakin terdesentralisasi, digital dan semakin bersih. Pemerintah di negara lain justru semakin menyiapkan agresif untuk menyiapkan regulasi yang mendorong pasar yang semakin terbuka, memberikan insentif dan memanfaatkan jaringan perusahaan listrik negara sebagai jalur transaksi listrik antara pelanggan dan kalangan dunia usaha.

“Teknologi listrik surya saat ini memungkinkan adanya sistem penyimpanan (batere) yang semakin panjang dan harga yang semakin murah. Tidak menutup kemungkinan, jika regulasi yang disiapkan kurang mendukung, pelanggan listrik akan beralih dan memproduksi listrik secara mandiri,”ujarnya.

Yan Yan Ardiansyah dari I Care Indonesia menambahkan, salah satu potensi yang juga perlu mendapat perhatian dalam penyediaan energi adalah adalah kelompok muda. Di tahun 2020-2030, hampir 70% dari penduduk Indonesia adalah kalangan muda dan produktif, mereka mempunyai potensi untuk menjadi konsumen sekaligus produsen.

Selama ini, kesadaran kelompok muda mengenai sumber energi bersih termasuk dari energi surya atap kini mulai tumbuh. Meski informasi mengenai penggunaan listrik surya atap masih sangat terbatas dan biaya untuk penggunaan listrik surya atap dianggap masih sangat tinggi.

“Pemerintah perlu memahami kelompok ini dengan menyiapkan aplikasi informasi dan mekanisme pendanan yang kreatif bagi kalangan muda sehingga mereka tertarik untuk menggunakan energi yang lebih bersih seperti listrik surya atap.” Ujar Yan Yan.

Dalam diskusi ini, para peserta juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk lebih tanggap terhadap perubahan, terutama terkait dengan penyediaan akses energi yang lebih terdesentralisasi, digitalisasi dan lebih bersih. Pemerintah dan PLN juga diminta untuk melakukan kajian yang lebih mendalam mengenani dampak penggunaan listrik surya atap, termasuk upaya untuk mendorong PLN untuk mulai beralih bisnis energi terbarukan yang lebih bersih bagi penyediaan listrik di Indonesia.

Bahan presentasi tersedia di sini

Indonesia Clean Energy Forum, sebuah inisiatif menuju tranformasi energi Indonesia yang lebih bersih dan berkelanjutan

Penyediaan tenaga listrik di seluruh dunia tengah mengalami tranformasi besar. Harga listrik dari sumber energi terbarukan seperti angin dan surya semakin terjangkau dan bersaing dengan harga listrik dari pembangkit energy fosil. Teknologi pembangkit yang terdistribusi dan tranformasi digital di sektor kelistrikan melahirkan trend 4D : Dekarbonisasi, Desentralisasi, Digitalisasi serta Demokratisasi dalam sistem penyediaan listrik.

Kecenderungan ini dapat menjadi faktor distruptif bagi sistem kelistrikan di Indonesia yang saat iini masih bersifat monopolistk, tersentralisasi dan mengandalkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Potensi disrupsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya aset-aset yang terdampat (stranded assets) dari infrastruktur pembangkit listrik yang dibangun saat ini dan dapat membawa konsekwensi sosial, ekonomi dan keuangan di masa depan.

Demikian disampaikann Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara diskusi peluncuran Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang berlangsung di Jakarta, pada Selasa (31/07/2018) lalu.

Mencermati perkembangan ini,  sejak  2017 lalu IESR bersama dengan Prof Kuntoro Mangkusubroto Ketua Dewan Sekolah SBM ITB, menginisiasi terbentuknya Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), sebuah forum multi-pihak yang beranggotakan 25 orang anggota terpilih yang mewakili birokrat, akademisi, pebisnis, pimpinan BUMN sektor energi dan organisasi non-pemerintah.

Forum ini dimaksudkan sebagai wadah untuk berbagi dan tukar menukar gagasan yang obyektif dan inovatif tentang transformasi sektor ketenagalistrikan dan tindakan adaptif untuk menghadapi potensi disrupsi yang akan terjadi di masa depan.

Gagasan dan pendekatan yang dibahas dalam forum ini diharapkan dapat mendukung pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakan dan kerangka regulasi yang memadai, serta menyusun strategi sektor kelistrikan yang berkembang seiring dengan perubahan teknologi yang cepat sehingga dapat mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan dan menghindari risiko stranded asset di masa depan.

“Isu-isu yang dibahas di ICEF berdasarkan pada hasil penelitian dan analisa yang kokoh, serta pendekatan dialog yang terbuka. Dengan pendekatan ini diharapkan proses transisi  energi di sektor ketenagalistrikan akan berjalan lebih baik dan berkelanjutan”ujar Prof. Kuntoro Mangkusubroto.

Sebagai negara penandatangan Kesepakatan Paris 2015, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% di tahun 2030. Target ini juga telah dituangkan dalam sebuah Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan meningkatkan bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025 atau setara dengan kapasitas pembangkit listrik sebesar 45 Gigawatt.

Namun sejauh ini perkembangan energi terbarukan di Indonesia terbilang lambat, dengan kapasitas terpasang saat ini baru mencapai 9 GW atau 14% dari total kapasitas terpasang pembangkit listik atau sebesar 20% dari total kapasitas yang menjadi target rencana energi nasional.

Dalam satu dekade terakhir, berdasarkan perhitungan tingkat pertumbuhan tahunan atau Compound Annual Growth Rate (CAGR) energi terbarukan Indonesia baru mencapai 4,1%, pertumbuhan ini  jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia yang telah mencapai 9,8% dan 10,7%. Bahkan Myanmar-negara anggota ASEAN yang baru saja keluar dari sistem pemerintahan militer- pertumbuhannya kini mencapai 15,5%.

Dalam kesempatan ini Fabby juga mengingatkan bahwa tranformasi di sektor kelistrikan akan menjadi sebuah gelombang besar, karena tumbuhnya kesadaran banyak pihak untuk menjalankan komitmen Kesepakatan Paris.

Saat ini telah ada gerakan global yang dinamakan RE 100, dimana  perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang memiliki investasi di Indonesia berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100% untuk mendukung bisnis mereka.

“Ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk Indonesia. Berbicara mengenai transisi energi tak hanya tentang pencapaian target bauran energi terbarukan, tapi juga menentukan daya saing bisnis dan ekonomi Indonesia di masa depan. “ ujar Fabby.

Bahan Presentasi tersedia di sini

 

Media Briefing: Mendorong Regulasi Listrik Surya Atap Untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan

 

Pemerintah melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah mentargetkan pencapaian target energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025 atau setara dengan kapasitas pembangkit listrik sebesar 45 Gigawatt (GW), 6,4 GW diantaranya berasal dari pembangkit listrik tenaga surya.

Laporan IRENA (2017) menyebutkan Indonesia adalah negara yang memiliki potensi energi surya yang cukup besar yakni 3,1 GW per tahun, dimana 1 GW adalah potensi untuk listrik surya atap (solar rooftop) dan 2,1 GW untuk listrik di atas tanah.

Dalam acara media briefing “Memanen Potensi Listrik Surya Atap untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan” yang berlangsung di Jakarta, Minggu (1/7), Dr Andhika Prastawa Ketua Asosiasi Energi Surya (AESI) menjelaskan, target 6,4 GW dapat terpenuhi melalui pengembangan listrik surya atap (solar rooftop) dengan memanfaatkan atap bangunan seperti rumah pribadi, gedung perkantoran, rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya.

“Namun pemerintah perlu menyiapkan perangkat kebijakannya sehingga memberikan kepastian hukum bagi para pengguna atau penyedia jasanya. Dengan adanya regulasi ini, selain mendorong pencapaian target energi terbarukan, juga akan mendorong terbukanya peluang pasar dan industri di dalam negeri serta lapangan kerja yang luas.” ujar Andhika.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan penggunaan energi terbarukan telah menjadi trend yang berkembang pesat di seluruh dunia.

Laporan Renewable Energy Global (2018) memperlihatkan kapasitas listrik dari energi terbarukan, seperti sinar matahari, air, angin, panas bumi dan gelombang laut telah mencapai 2200 GW atau sekitar 15% dari total kapasitas pembangkit listrik secara global. Energi surya sendiri tumbuh sangat pesat dan mulai mendominasi, bersaing dengan pembangkit listrik dari tenaga angin.

Namun sayangnya, meski memiliki potensi energi surya yang cukup dan stabil, Indonesia belum mampu mengikuti perkembangan ini. Bahkan Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.  Kapasitas pembangkit listrik energi surya di Thailand tahun 2018 sudah mencapai 2700 MW, diikuti Filipina sebesar 885 MW dan Malaysia 2700 MW.

“Bahkan negara kota seperti Singapura telah mencapai 100 MW di tahun 2017, sementara kapasitas pembangkit di Indonesia yang baru mencapai 90 MW. Di Malaysia meski baru dimulai tahun 2012, pemerintah telah menyiapakan sejumlah kebijakan yang mendorong pengembangan listrik surya seperti, seperti sistem net-mettering, insentif berupa feed-in tariff dan insentif bagi industri listrik surya atap.” jelas Fabby.

Usulan Regulasi Listrik Surya Atap

Ketua Dewan Pakar AESI Nur Pamudji menjelaskan saat ini belum ada regulasi yang cukup memadai untuk mendorong pengembangan listrik surya atap. .

Regulasi tersebut baru mengatur untuk pelanggan dengan kapasitas di bawah 30 kVA melalui Peraturan Direktur PLN No. 0733/2017 tentang pemanfaatan listrik surya atap dengan menggunakan sistem net-mettering bagi pelanggan PLN dan belum menggunakan sistem jual-beli harga listrik yang seimbang.

Sedangkan untuk kapasitas 30 kVA atau bagi pelanggan komersil, justru mengalami hambatan karena adanya Permen ESDM No. 1/2017 dimana Operasi Pararel Pembangkit Listrik dengan jaringan PLN dengan sistem pembangkit lebih dari 25 kVA harus membayar biaya kapasitas.

“Listrik energi surya adalah sumber energi bersih dan banyak pihak yang bersedia untuk mengembangkannya dana dukungan dana APBN. Pemerintah seharusnya mendukung dan memberi kemudahan melalui perangkat regulasinya sehingga pengguna dan penyedia penyedia listrik surya atap dapat mengupayakan energi bersih ini secara maksimal.”ujar Pamudji.

Dalam regulasi tersebut perlu diatus agar pelanggan PLN diperbolehkan untuk menggunakan listrik surya atap untuk keperluan pribadi (bukan IPP), dimana operasinya bisa dilakukan secara pararel dengan jaringan PLN. Para pelanggan juga diberikan kelonggaran untuk menyewa pembangkit listrik dari provider dengan perizinan sederhana, serta untuk kapasitas yang besar (misalnya diatas 1 MW) bisa diletakan di tempat lain dengan menggunakan sistem power wheeling.

Sistem power wheeling ini, menurut Pamudji menjadi penting, karena di tingkat global saat ini terdapat  gerakan bernama RE100 dimana perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang memiliki investasi di Indonesia berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan.

Melalui sistem power wheeling ini, perusahaan Micosoft kini telah membeli listrik sebesar 60 MW dari Singapura.

Pada September 2017, AESI, PPLSA, IESR, Bersama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan berbagai organisasi lainnya meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap, dengan tujuan mendorong pemanfaatan teknologi surya atap sehingga dapat mencapai kapasitas terpasang satu gigawatt (GW) pada 2020.

Diskusi Mengenai Kerangka Regulasi untuk Mendukung Solar PV Rooftop di Indonesia

Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia mentargetkan adanya peningkatan bauran energi terbarukan dari 5% pada 2015 menjadi 23% pada 2025. Target ini mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari energi terbarukan sebesar 45 GW, atau diperlukan tambahan sekitar 36 GW dari kapasitas pembangkit yang ada saat ini. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mendapatkan alokasi kapasitas 6,5 GW.

Meski mendapatkan porsi besar, hingga saat ini perkembangan energi surya di Indonesia masih belum optimal. Kementerian ESDM memperkirakan potensi listrik dari tenaga surya dapat mencapai kapasitas 560 GWp dengan teknologi saat ini, namun kapasitas total terpasang pembangkit tenaga surya masih di bawah 50 MWp. Potensi pasar yang besar untuk pengembangan energi surya ini adalah PLTS on-grid (utility scale), off-grid, dan PLTS rooftop (listrik surya atap).

Melanjutkan rangkaian diskusi mengenai listrik surya atap yang pernah diselenggarakan oleh IESR bersama Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), pada tanggal 31 Mei 2018 kembali diadakan diskusi untuk membahas interpretasi kebijakan mengenai listrik surya atap yang sudah ada dan memberikan rekomendasi untuk mendorong tumbuhnya penggunaan listrik surya atap dari golongan masyarakat dan corporate buyers non-IPP (independent power producer). Diskusi ini menghadirkan pembicara dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dan Direktorat Jendera Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Divisi Energi Baru Terbarukan (EBT) PLN, Dewan Energi Nasional, dan AESI.

Dalam sambutannya, Ketua Umum AESI Dr. Andika Prastawa menyampaikan latar belakang perlunya diskusi ini. Pemanfaatan listrik surya atap, khususnya di perkotaan yang terhubung dengan jaringan diatur dengan Peraturan Menteri ESDM No. 1/2017 mengenai operasi paralel pembangkit. Peraturan ini dinilai menghambat penggunaan listrik surya atap non-IPP karena batasan kapasitas maksimum sebelum dikenai biaya operasi paralel, yaitu 30 kWp. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, yang berperan sebagai moderator diskusi juga mengutarakan perlunya regulasi yang mendukung listrik surya atap, melihat potensi besar yang dimiliki Indonesia saat ini. Laporan IRENA menyebutkan bahwa potensi penggunaan tenaga surya di dunia dengan solar PV rooftop mencapai 3,1 GW per tahun. Banyak negara di dunia yang sudah berada pada kondisi grid parity, di mana biaya produksi energi terbarukan sudah mendekati, sama, atau lebih rendah daripada biaya produksi listrik konvensional dalam jaringan. China akan mencapai kondisi grid parity pada tahun 2022 – 2023, dan sebagian besar negara di dunia paada tahun 2025 untuk penggunaan tenaga surya. Data dan prediksi ini menunjukkan adanya kesempatan dan tantangan yang besar untuk listrik surya atap. Teknologi akan semakin murah, namun Indonesia masih terbentur pada ragam regulasi dan sistem kelistrikan yang belum mendukung.

Dr. Rinaldy Dalimi dari Dewan Energi Nasional menyampaikan fenomena peralihan sistem ketenagalistrikan dari policy driven menuju market driven. Dengan berkembangnya teknologi dan kesadaran masyarakat, produsen listrik independen akan semakin banyak dalam beragam skala. Risiko bagi penyedia layanan ketenagalistrikan seperti PLN jelas ada:  kehilangan konsumen, tidak diperlukannya lagi jaringan transmisi tegangan tinggi/menengah, dan penguatan jaringan sehingga ketidakstabilan karena sifat variabel dari energi terbarukan seperti surya dan angin dapat dikendalikan. Karenanya diperlukan kerangka kebijakan dan regulasi yang kuat dan mengakomodasi proses transisi ini.

Selanjutnya praktik penggunaan listrik surya atap di Indonesia yang diatur dengan payung hukum peraturan menteri disampaikan oleh Nur Pamudji, Ketua Dewan Pakar AESI. Menurutnya, pemerintah perlu menerbitkan Permen ESDM khusus agar pelanggan PLN dapat memasang pembangkit listrik surya atap di bangunan miliknya atau di bangunan milik orang lain. Pembangkitan listrik oleh pelanggan ini adalah yang bertujuan untuk dipakai sendiri (own-use) dan tidak untuk dijual ke PLN (berstatus non-IPP). Pelanggan juga perlu diizinkan untuk beroperasi paralel dengan PLN (grid connected) agar kontinuitas pasokan listrik terjaga dan ekonomis (tidak perlu pasang baterai), dengan menerapkan skema net-metering. Dalam paparannya, Nur Pamudji menyebutkan beberapa rekomendasi lain bagi pemerintah dan PLN untuk mendorong penggunaan listrik surya atap, di antaranya kelonggaran menyewa pembangkit listrik solar PV, perlunya power wheeling, dan skema insentif yang lebih menarik untuk kapasitas pemasangan yang berbeda.

Hendra Iswahyudi selaku Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan DJK KESDM memberikan papan terkait aspek teknis sistem ketenagalistrikan. Paradigma yang dipegang oleh negara adalah keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatan energi, termasuk bagaimana tarif listrik tetap dapat terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah juga tidak menutup mata terhadap perkembangan teknologi yang semakin cepat, di mana masyarakat mulai memiliki kebebasan untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri (producer-consumer/prosumer). Regulasi listrik surya atap yang ada saat ini dan digunakan oleh pemerintah dan PLN adalah Keputusan Direksi PLN No. 0733.K/DIR/2013. Dengan adanya Permen ESDM No.1/2017 mengenai operasi paralel pembangkit listrik,  Hendra memaparkan bahwa PLN masih mengusulkan adanya batasan 30 kWp untuk listrik surya atap. Banyak corporate buyers/industri yang keberatan dengan peraturan ini, sehingga diusahakan adanya peraturan yang lebih mendukung. Hendar menambahkan perlunya komitmen PLN sebagai operator untuk mengembangkan energi terbarukan dengan mengedepankan pemetaan potensi, sinergi sistem dengan tenaga intermittent,  dan pengembangan jaringan pintar.

Dilihat dari kebijakan energi terbarukan, Martha Relita sebagai perwakilan dari DJEBTKE (KESDM) mengungkapkan bahwa pemerintah juga mengharapkan usulan dari pelaku pasar dan pengguna di lapangan untuk revisi atau pembuatan kebijakan yang mendukung listrik surya atap. Martha menyoroti juga perlunya menjaga kualitas dan standar, di mana AESI dapat berperan untuk penyusunan regulasi standar dan teknis. Roadmap yang direncanakan pemerintah untuk pengembangan tenaga surya mencakup peningkatan kualitas komponen dan produk, penguatan standar SNI, insentif fiskal, penguatan jaringan PLN, dan dorongan pada industri untuk berkontribusi lebih besar.

Perspektif penyedia layanan ketenagalistrikan disampaikan oleh Budi Mulyono, Manajer Senior di Divisi EBT, PLN. Menurut catatan PLN, saat ini terdapat 246 pelanggan listrik solar PV yang diprediksi akan terus bertambah dari pelanggan sektor bisnis dan industri. Kebijakan PLN dalam mendukung perkembangan listrik surya atap mencakup pemberian fasilitas free parallel fee hingga kapasitas 30 kWp, adanya sistem billing yang mengakomodir offset ekspor impor dan memberikan ruang penyimpanan kredit kWh dari listrik surya atap milik pelanggan, penyiapan reserve margin yang cukup dan dan jenis yang sesuai guna menyesuaikan tenaga intermittent dari surya, pemastian kehandalan dan kualitas listrik untuk pelanggan listrik surya atap beserta sekitarnya dengan menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan setempat, serta penyusunan skema bisnis yang fair antara pelanggan dan PLN. Memang diakui bahwa beberapa tantangan masih dihadapi oleh PLN berkaitan dengan penggunaan listrik tenaga surya, di antaranya: listrik surya atap yang mengelompok akan mempengaruhi keseimbangan beban trafo yang melayani cluster tersebut, jaringan menjadai kurang stabil, perlunya sistem islanding untuk keamanan petugas dan lingkungan, juga pentingnya mempertimbangkan kapasitas listrik tenaga surya dari sisi hilir yang saat ini belum masuk dalam rendana kehandalan dan kestabilan jaringan PLN setempat.

Dengan pendapat dan perspektif yang muncul dalam diskusi ini, IESR dan AESI akan menindaklanjuti rekomendasi yang perlu disampaikan pada pemerintah dan penyediaan layanan ketenagalistrikan guna mendorong penggunaan dan pengembangan listrik surya atap di Indonesia yang mempertimbangkan beragam aspek, tidak hanya dari pengguna saja melainkan juga untuk keberlanjutan bisnis dan operasional PLN.

Diskusi ini ditutup dengan buka puasa bersama.