Diskusi Mengenai Kerangka Regulasi untuk Mendukung Solar PV Rooftop di Indonesia

Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia mentargetkan adanya peningkatan bauran energi terbarukan dari 5% pada 2015 menjadi 23% pada 2025. Target ini mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari energi terbarukan sebesar 45 GW, atau diperlukan tambahan sekitar 36 GW dari kapasitas pembangkit yang ada saat ini. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mendapatkan alokasi kapasitas 6,5 GW.

Meski mendapatkan porsi besar, hingga saat ini perkembangan energi surya di Indonesia masih belum optimal. Kementerian ESDM memperkirakan potensi listrik dari tenaga surya dapat mencapai kapasitas 560 GWp dengan teknologi saat ini, namun kapasitas total terpasang pembangkit tenaga surya masih di bawah 50 MWp. Potensi pasar yang besar untuk pengembangan energi surya ini adalah PLTS on-grid (utility scale), off-grid, dan PLTS rooftop (listrik surya atap).

Melanjutkan rangkaian diskusi mengenai listrik surya atap yang pernah diselenggarakan oleh IESR bersama Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), pada tanggal 31 Mei 2018 kembali diadakan diskusi untuk membahas interpretasi kebijakan mengenai listrik surya atap yang sudah ada dan memberikan rekomendasi untuk mendorong tumbuhnya penggunaan listrik surya atap dari golongan masyarakat dan corporate buyers non-IPP (independent power producer). Diskusi ini menghadirkan pembicara dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dan Direktorat Jendera Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Divisi Energi Baru Terbarukan (EBT) PLN, Dewan Energi Nasional, dan AESI.

Dalam sambutannya, Ketua Umum AESI Dr. Andika Prastawa menyampaikan latar belakang perlunya diskusi ini. Pemanfaatan listrik surya atap, khususnya di perkotaan yang terhubung dengan jaringan diatur dengan Peraturan Menteri ESDM No. 1/2017 mengenai operasi paralel pembangkit. Peraturan ini dinilai menghambat penggunaan listrik surya atap non-IPP karena batasan kapasitas maksimum sebelum dikenai biaya operasi paralel, yaitu 30 kWp. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, yang berperan sebagai moderator diskusi juga mengutarakan perlunya regulasi yang mendukung listrik surya atap, melihat potensi besar yang dimiliki Indonesia saat ini. Laporan IRENA menyebutkan bahwa potensi penggunaan tenaga surya di dunia dengan solar PV rooftop mencapai 3,1 GW per tahun. Banyak negara di dunia yang sudah berada pada kondisi grid parity, di mana biaya produksi energi terbarukan sudah mendekati, sama, atau lebih rendah daripada biaya produksi listrik konvensional dalam jaringan. China akan mencapai kondisi grid parity pada tahun 2022 – 2023, dan sebagian besar negara di dunia paada tahun 2025 untuk penggunaan tenaga surya. Data dan prediksi ini menunjukkan adanya kesempatan dan tantangan yang besar untuk listrik surya atap. Teknologi akan semakin murah, namun Indonesia masih terbentur pada ragam regulasi dan sistem kelistrikan yang belum mendukung.

Dr. Rinaldy Dalimi dari Dewan Energi Nasional menyampaikan fenomena peralihan sistem ketenagalistrikan dari policy driven menuju market driven. Dengan berkembangnya teknologi dan kesadaran masyarakat, produsen listrik independen akan semakin banyak dalam beragam skala. Risiko bagi penyedia layanan ketenagalistrikan seperti PLN jelas ada:  kehilangan konsumen, tidak diperlukannya lagi jaringan transmisi tegangan tinggi/menengah, dan penguatan jaringan sehingga ketidakstabilan karena sifat variabel dari energi terbarukan seperti surya dan angin dapat dikendalikan. Karenanya diperlukan kerangka kebijakan dan regulasi yang kuat dan mengakomodasi proses transisi ini.

Selanjutnya praktik penggunaan listrik surya atap di Indonesia yang diatur dengan payung hukum peraturan menteri disampaikan oleh Nur Pamudji, Ketua Dewan Pakar AESI. Menurutnya, pemerintah perlu menerbitkan Permen ESDM khusus agar pelanggan PLN dapat memasang pembangkit listrik surya atap di bangunan miliknya atau di bangunan milik orang lain. Pembangkitan listrik oleh pelanggan ini adalah yang bertujuan untuk dipakai sendiri (own-use) dan tidak untuk dijual ke PLN (berstatus non-IPP). Pelanggan juga perlu diizinkan untuk beroperasi paralel dengan PLN (grid connected) agar kontinuitas pasokan listrik terjaga dan ekonomis (tidak perlu pasang baterai), dengan menerapkan skema net-metering. Dalam paparannya, Nur Pamudji menyebutkan beberapa rekomendasi lain bagi pemerintah dan PLN untuk mendorong penggunaan listrik surya atap, di antaranya kelonggaran menyewa pembangkit listrik solar PV, perlunya power wheeling, dan skema insentif yang lebih menarik untuk kapasitas pemasangan yang berbeda.

Hendra Iswahyudi selaku Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan DJK KESDM memberikan papan terkait aspek teknis sistem ketenagalistrikan. Paradigma yang dipegang oleh negara adalah keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatan energi, termasuk bagaimana tarif listrik tetap dapat terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah juga tidak menutup mata terhadap perkembangan teknologi yang semakin cepat, di mana masyarakat mulai memiliki kebebasan untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri (producer-consumer/prosumer). Regulasi listrik surya atap yang ada saat ini dan digunakan oleh pemerintah dan PLN adalah Keputusan Direksi PLN No. 0733.K/DIR/2013. Dengan adanya Permen ESDM No.1/2017 mengenai operasi paralel pembangkit listrik,  Hendra memaparkan bahwa PLN masih mengusulkan adanya batasan 30 kWp untuk listrik surya atap. Banyak corporate buyers/industri yang keberatan dengan peraturan ini, sehingga diusahakan adanya peraturan yang lebih mendukung. Hendar menambahkan perlunya komitmen PLN sebagai operator untuk mengembangkan energi terbarukan dengan mengedepankan pemetaan potensi, sinergi sistem dengan tenaga intermittent,  dan pengembangan jaringan pintar.

Dilihat dari kebijakan energi terbarukan, Martha Relita sebagai perwakilan dari DJEBTKE (KESDM) mengungkapkan bahwa pemerintah juga mengharapkan usulan dari pelaku pasar dan pengguna di lapangan untuk revisi atau pembuatan kebijakan yang mendukung listrik surya atap. Martha menyoroti juga perlunya menjaga kualitas dan standar, di mana AESI dapat berperan untuk penyusunan regulasi standar dan teknis. Roadmap yang direncanakan pemerintah untuk pengembangan tenaga surya mencakup peningkatan kualitas komponen dan produk, penguatan standar SNI, insentif fiskal, penguatan jaringan PLN, dan dorongan pada industri untuk berkontribusi lebih besar.

Perspektif penyedia layanan ketenagalistrikan disampaikan oleh Budi Mulyono, Manajer Senior di Divisi EBT, PLN. Menurut catatan PLN, saat ini terdapat 246 pelanggan listrik solar PV yang diprediksi akan terus bertambah dari pelanggan sektor bisnis dan industri. Kebijakan PLN dalam mendukung perkembangan listrik surya atap mencakup pemberian fasilitas free parallel fee hingga kapasitas 30 kWp, adanya sistem billing yang mengakomodir offset ekspor impor dan memberikan ruang penyimpanan kredit kWh dari listrik surya atap milik pelanggan, penyiapan reserve margin yang cukup dan dan jenis yang sesuai guna menyesuaikan tenaga intermittent dari surya, pemastian kehandalan dan kualitas listrik untuk pelanggan listrik surya atap beserta sekitarnya dengan menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan setempat, serta penyusunan skema bisnis yang fair antara pelanggan dan PLN. Memang diakui bahwa beberapa tantangan masih dihadapi oleh PLN berkaitan dengan penggunaan listrik tenaga surya, di antaranya: listrik surya atap yang mengelompok akan mempengaruhi keseimbangan beban trafo yang melayani cluster tersebut, jaringan menjadai kurang stabil, perlunya sistem islanding untuk keamanan petugas dan lingkungan, juga pentingnya mempertimbangkan kapasitas listrik tenaga surya dari sisi hilir yang saat ini belum masuk dalam rendana kehandalan dan kestabilan jaringan PLN setempat.

Dengan pendapat dan perspektif yang muncul dalam diskusi ini, IESR dan AESI akan menindaklanjuti rekomendasi yang perlu disampaikan pada pemerintah dan penyediaan layanan ketenagalistrikan guna mendorong penggunaan dan pengembangan listrik surya atap di Indonesia yang mempertimbangkan beragam aspek, tidak hanya dari pengguna saja melainkan juga untuk keberlanjutan bisnis dan operasional PLN.

Diskusi ini ditutup dengan buka puasa bersama.

Dialog Pertama Kelompok Kerja Clean Energy Investment Accelerator (CEIA)

Saat ini, teknologi dan sistem energi terbarukan menjadi semakin terjangkau setiap harinya. Pesatnya pasar energi terbarukan secara global yang didorong oleh semakin pesatnya riset dan teknologi menjadikan harga listrik dari sumber energi terbarukan semakin dapat bersaing dengan pembangkit batubara dan minyak.

Momentum ini dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang, khususnya sektor komersial dan industri untuk menggunakan energi terbarukan guna mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Mengutip dari Renewable Energy Buyers Alliance (REBA), 63% dari perusahaan yang masuk kedalam Fortune 100 sudah membuat target untuk menurunkan emisi GRK perusahaan dan membeli listrik dari energi terbarukan. Dalam sumber lain, sebanyak 131 perusahaan multinasional sudah bergabung dalam inisiatif global RE100 yang berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan.

Clean Energy Investment Accelerator (CEIA) merupakan sebuah inisiatif global yang digagas oleh Alletrope Partners, World Resources Institute (WRI) dan National Renewable Energy Laboratory (NREL) Amerika Serikat, yang bertujuan untuk mengakselerasi kerangka kerja kebijakan dan pendanaan dalam mencapai kebutuhan energi terbarukan dari sektor komersial dan industri. Inovasi yang coba digagas dalam inisiatif ini adalah berupa kemitraan publik dan swasta (public-private partnership – PPP) yang dilakukan di beberapa negara di dunia, diantaranya Kolombia, Meksiko, Vietnam, Filipina, termasuk Indonesia. Dialog pertama kelompok kerja CEIA Indonesia yang dilakukan pada tanggal 19 April 2018 lalu dihadiri oleh 6 corporates baik multinasional dan nasional, yaitu: Astra Internasional, Astra Honda Motor, Procter & Gamble Indonesia, Nike Indonesia, Schneider Electric Indonesia, dan Tetra Pack. Dialog ini merupakan dialog pertama dari empat seri dialog yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kemitraan publik dan swasta di Indonesia dalam memanfaatkan listrik dari energi terbarukan.

Dalam kesempatan tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) yang diwakili oleh Jannata Giwangkara, berkesempatan untuk menjadi salah satu pemateri dalam sesi diskusi “navigating Indonesian regulations and policies related to renewable energy deployment in the commercial and industrial sectors”.  Sesi diskusi tersebut menggali lebih jauh bagaimana peraturan-peraturan yang ada dapat mengakomodasi kebutuhan listrik dari energi terbarukan untuk sektor komersial dan industri di Indonesia. Selain dari IESR, hadir pula dalam dialog ini Bapak Nur Pamudji, praktisi energi terbarukan di Indonesia sekaligus mantan presiden direktur PT. PLN (Persero) yang memaparkan cerita-cerita sukses perusahaan yang membeli listrik dari energi terbarukan.

 

 

 

Kemitraan Masyarakat Sipil untuk Energi Terbarukan

Semua pihak punya peran penting dalam mendorong upaya transisi energi

Mewujudkan masa depan Indonesia yang bebas energi fosil merupakan langkah nyata untuk menanggulangi perubahan iklim sekaligus menjaga kelangsungan hidup baik generasi saat ini maupun generasi mendatang. Untuk itu, kemitraan kelompok masyarakat sipil bersama dengan para pemangku kepentingan lain yang memiliki semangat dan tujuan yang sama dalam mendorong pengembangan energi terbarukan menjadi kunci untuk mewujudkan visi tersebut.

Demikian disampaikan Devin Maeztri, Climate Campainer 350 Indonesia saat membuka diskusi publik yang berlangsung di Jakarta, Kamis (19/4). Acara ini juga menandai dimulainya kampanye #PilihYangBersih bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk kelompok masyarakat sipil, komunitas, media, blogger dan anggota Climate Rangers 350 Indonesia.

Diskusi ini menghadirkan Harris, Direktur Aneka Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang menyampaikan mengenai kebijakan pemerintah dalam mendorong pengembangan energi terbarukan.

Dijelaskannya bahwa pengembangan energi terbarukan tak bisa menunggu lebih lama, karena cadangan sumber daya fosil seperti batubara dan migas kini semakin menipis. Sementara itu, Indonesia mempunyai berbagai potensi sumber daya energi terbarukan yang tersebar di seluruh wilayah.

“Tantangannya adalah bagaimana menyiapkan pendanaan dan teknologi agar sumber daya yang besar ini bisa dikelola secara maksimal.” Ujar Harris.

Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, namun hingga tahun 2017 pencapaiannya masih berkisar 7%.

Menaggapi hal ini, Hening M. Citraningrum, program manager Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan Indonesia perlu belajar dari dua negara Asia lainnya yang memiliki kondisi serupa terkait dengan kebutuhan energi yang terus meningkat dan sumber daya yang tersedia.

“China dan India bisa menjadi referensi bagaimana pemerintah berkomitmen dan menyiapkan strategi yang menyeluruh untuk memacu pengembangan energi terbarukan. Selain menetapkan target yang jelas, pemerintah juga menyiapkan berbagai perangkat kebijakan termasuk kebijakan yang mendorong iklim investasi dan pendanaan, dan koordinasi dengan pemerintah daerah dan kelompok masyarakat lainnya” jelas Citra.

Selain peran pemerintah, menurut Citra yang tak kalah penting lainnya adalah peran masyarakat dalam melakukan perubahan perilaku terkait energi. Transisi energi tak hanya berarti peralihan dari sumber energi fosil menjadi sumber energi terbarukan, tapi juga disertai dengan upaya dan konservasi dan efisiensi energi.

“Perilaku hemat dan efisien dalam penggunaan energi juga penting. Terlebih untuk Indonesia dimana penyediaan akses dan layanan energi masih menjadi tantangan yang besar.”jelasnya.

Laily Himayati dari Hivos juga mengingatkan mengenai pentingnya keadilan jender dalam penyediaan akses energi. Belajar dari pengalaman lapangan, perencanan dan pengelolaan akses energi yang melibatkan kelompok perempuan dan laki-laki secara adil telah meningkatkan kualitas hidup keluarga dan masyarakat, termasuk meningkatkan taraf ekonomi, kualitas kesehatan serta kemampuan dan kepercayaan diri bagi masyarakat.

 

Pojok Energi Goes to Campus: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy yang didukung oleh HIVOS pada Senin, 11 Desember kembali menyelenggarakan seri diskusi Pojok Energi. Kali ini, IESR bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Tujuan dari diskusi Pojok Energi adalah untuk membawa isu energi-yang selama ini memiliki kesan eksklusif-ke ranah publik yang lebih luas, termasuk kaitannya dengan ekonomi dan untuk audiens dosen beserta mahasiswa.

Bertajuk “Pojok Energi Goes to Campus”, tema diskusi kali ini adalah “Energi sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi dalam Sistem Ekonomi Berkelanjutan dan Rendah Karbon”.

Hadir sebagai pembicara adalah Ida Finahari (Direktur Konservasi Energi, Kementerian ESDM), Marlistya Citraningrum (IESR), dan Herlitah (Dosen UNJ).

Energi dalam kaitannya dengan ekonomi, memiliki ciri khas sebagai komponen yang memungkinkan entitas dalam melakukan usaha atau komponen intermediate yang dapat memberikan nilai tambah dalam proses produksi. Dengan demikian, energi dibutuhkan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

Konsep pembangunan dunia telah beralih dari brown economy yang hanya fokus pada aspek produksi untuk pemenuhan kebutuhan manusia, menuju green economy dan blue economy yang lebih memiliki perhatian terhadap lingkungan.

Salah satu yang jargon yang diusung dalam green economy adalah ekonomi rendah karbon. Hasil pembakaran energi berbasis fosil berupa gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang berlebih akan menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Oleh karena itu, upaya optimalisasi konsumsi energi (konservasi energi) dan transformasi menuju energi terbarukan dibutuhkan untuk mewujudkan ekonomi yang rendah karbon.

Dalam kaitannya dengan ekonomi makro, Herlitah menjelaskan bahwa energi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi. Dalam ekonomi energi-cabang dari ilmu ekonomi-terdapat konsep intensitas dan elastisitas energi. Intensitas energi didefinisikan sebagai jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk domestik bruto (PDB), sementara elastisitas energi didefinisikan sebagai kenaikan energi yang dibutuhkan untuk menaikkan produk domestik bruto (PDB) tertentu.

Berhubungan dengan perilaku ekonomi, Ida Finahari menghimbau penggunaan energi lebih ke sektor ekonomi produktif daripada konsumtif. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi perilaku penggunaan energi yang sia-sia.

Ada banyak upaya kecil, keseharian, tetapi signifikan yang dapat dilakukan dalam upaya penghematan energi. Dalam skala rumah tangga hal-hal kecil dapat dilakukan seperti mematikan televisi saat tidak digunakan atau mencabut charger dari stop-kontak meski tidak sedang mengisi daya baterai. “Dengan upaya penghematan seperti itu, setidaknya bisa mengurangi konsumsi energi hingga 10%” jelas Finahari.

Aksesibilitas energi di Indonesia jugamasih dalam kondisi ketimpangan yang cukup besar. Menurut data Kementerian ESDM, masih ada setidaknya 7% desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Dari jumlah yang teraliri listrik itu pun tidak semuanya memiliki kehandalan yang baik.

Upaya dalam menyediakan energi kadangkala tidak perlu menunggu pemerintah. Terobosan-terobosan usaha (entrepreneurship) dapat digunakan sebagai alternatif.

Marlistya Citraningrum dalam pemaparannya memberikan contoh kasus Mama Rovina yang tinggal di Lembata, NTT. Pada tahun 2011, Mama Rovina berkenalan dengan teknologi bersih berupa lampu tenaga surya yang didistribusikan oleh sebuah organisasi sosial. Dengan berperan sebagai agen penjualan, Mama Rovina memasarkan lampu tersebut seharga 120.000 rupiah. Harga yang tidak murah bagi kondisi perekonomian warga sekitar.

Pada mula warga sekitar merasa keberatan. Namun, setelah beberapa warga merasakan manfaat yang diperoleh disertai skema pembelian kredit yang meringankan, angka penjualan Mama Rovina lambat-laun meningkat.

Manfaat dari lampu juga dirasakan langsung oleh Mama Rovina untuk kegiatan produktif. Pada malam hari, penerangan memudahkan Mama Rovina untuk menangkap teripang–teripang memiliki sifat alami untuk mendekat ke sumber cahaya di laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Hasilnya, Mama Rovina yang semula menumpang di rumah pamannya sekarang memiliki rumah sendiri.

Hal lain yang disorot oleh Marlistya Citraningrum adalah peran perempuan dalam ruang diskusi tentang energi. Selama ini, perempuan cenderung memiliki porsi yang termarginalkan. Padahal, posisi perempuan dalam pemanfaatan energi cukup strategis terutama dalam ranah domestik.

Berbicara lebih jauh mengenai green economy, Indonesia ikut berkomitmen dalam mendorong ekonomi yang rendah karbon melalui Perjanjian Paris yang ditandatangani tahun 2015. Dalam Nationally Determined Contribution (NDC)-nya, Indonesia berkewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

Emisi gas rumah kaca di sektor energi dihasilkan dari proses pembakaran energi fosil. Seperti yang dituturkan Ida Finahari, strategi pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca adalah dengan penggunaan energi terbarukan dan konservasi energi. “Pemerintah pada tahun 2025 memiliki target bauran energi 23 persen dari energi baru-terbarukan (EBT),” tutur Ida. “Begitu kita bisa menghemat energi kita, berarti mengurangi penggunaan energi fosil. Hal ini akan mengurangi emisi gas rumah kaca,” lebih jauh jelas Ida mengenai peran konservasi energi.

Dari diskusi ini dapat disimpulkan bahwa energi dibutuhkan manusia untuk kegiatan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraannya. Energi dapat digunakan untuk proses produksi, meningkatkan potensi produksi, maupun memberikan nilai tambah terhadap hasil produksi. Namun, ketersediaan energi terbatas. Penggunaan energi juga memiliki efek terhadap lingkungan. Oleh karena itu, pemanfaatannya harus dilakukan secara bijak dan efisien. Dimulai dari kita, dimulai dari hal yang sederhana.

Artikel ini ditulis oleh Kukuh Samudra, internee di IESR dan disunting oleh Marlistya Citraningrum.

 

 

 

Pojok Energi #6: Menyongsong Era Kendaraan Listrik

Pada tahun 2016, penjualan mobil listrik mengalami rekor. Lebih dari 700.000 unit kendaraan listrik terjual di seluruh dunia. Di Indonesia dinamika kendaraan listrik cenderung naik-turun. Beberapa kali diberitakan secara intens oleh media, lantas tenggelam begitu saja.

Salah satu milestone penting berkaitan dengan kendaraan listrik tahun ini adalah penerbitan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Di dalamnya tercantum target pemerintah untuk mengembangan kendaraan listrik. Pada tahun 2025 diharapkan populasi sepeda motor listrik sebanyak 2.000 unit dan mobil listrik sebanyak 2,1 juta unit.

Menyoroti masalah ini, IESR bersama Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy yang didukung oleh HIVOS kembali menyelenggarakan diskusi Pojok Energi dengan tema “The Future of Transport: Menyongsong era Kendaraan Listrik” pada tanggal 28 November 2017 di Hotel Grand Melia. Hadir sebagai pembicara adalah Chrisnawan Anditya (Kepala Bagian Rencana dan Laporan-Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), Ikhsan Asaad (General Manager PLN Distribusi Jakarta Raya), Alief Wikarta (Tim GESITS-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya), dan Tarsisius Kristyadi (Tim EVHERO-Institut Teknologi Nasional, Bandung).

Sebagai pembicara pertama, Chrisnawan Anditya dari Kementerian ESDM menjabarkan ramalan sistem tenaga listrik yang akan datang. Dengan perkembangan teknologi seperti internet of things dan mobil listrik, sistem ketenagalistrikan diramalkan akan berubah secara signifikan. Sistem tenaga listrik yang umum saat ini bergerak dari pembangkit, transmisi, distribusi, hingga mencapai pelanggan. “Di masa depan, untuk mobil listrik akan memiliki grid yang terpisah dari pelanggan,” tukas Chrisnawan.

Studi menunjukkan, tren perkembangan teknologi pada mula tampak lambat, tetapi melonjak secara signifikan pada titik waktu tertentu. Perubahan ini, seperti yang disampaikan oleh Chrisnawan, mau tidak mau harus dihadapi.

Prasyarat untuk kendaraan listrik dapat berkembang  adalah ketersediaan pasokan listrik. Melalui program 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah, pasokan listrik saat ini sudah dapat terpenuhi. Indikator lain yang didorong pemerintah adalah rasio elektrifikasi dan konsumsi energi. “Ketika rasio elektrifikasi naik, masyarakat mencari listrik saya untuk apa lagi? Teknologi lalu juga akan mengikuti,” jelas Chrisnawan.

Selain RUEN, Chrisnawan memberitahukan saat ini sedang disusun regulasi tentang kendaraan listrik berupa Peraturan Presiden. Beberapa topik yang dibahas dalam penyususnan tersebut adalah infrastruktur-terutama Stasiun Pengisian Listrik Umum, insentif baik fiskal maupun nonfiskal, pengembangan industri dalam negeri, pengaturan porsi kendaraan listrik dengan kendaraan berbahan bakar minyak, serta koordinasi dengan pemerintah daerah.

Seperti yang disampaikan oleh Ikhsan Asaad selaku General Manager PLN Disjaya, PLN siap untuk menyongsong era kendaraan listrik.  Komitmen PLN untuk mendorong kendaraan listrik secara monumental tercermin saat perayaan Hari Listrik Nasional, Oktober lalu. PLN melakukan konvoi bersama 200 motor listrik.

Selain itu PLN baru saja melakukan serah terima motor bermerk VIAR yang telah dilengkapi Surat Tanda Naik Kendaraan (STNK). Motor-motor ini akan digunakan sebagai kendaraan operasional para pegawai PLN.

Dari segi infrastruktur, saat ini PLN telah memiliki 1.352 unit SPLU yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk mempermudah pencarian lokasi, PLN sudah menyediakan aplikasi mobile yang dapat diunduh melalui Playstore atau AppStore. Cara mengakses listrik di SPLU pelanggan hanya perlu membeli token listrik atau dengan e-money.

Pojok Energi kali ini selain dari pihak pemerintah juga mengundang peneliti atau pengembang teknologi. GESITS adalah tim riset di Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang mengembangkan sepeda motor listrik. Seperti yang disampaikan Alief Wikarta, fokus riset GESITS adalah power unit, pengendali, dan sistem manajemen baterai.

Tim GESITS memilih pengembangan sepeda motor dibanding mobil karena harga baterai yang relatif mahal. Harga baterai saat ini bisa mencapai 40-50% harga kendaraan, yang tentunya akan berpengaruh terhadap harga jual kendaraan.

Dari segi teknologi, tantangan penelitian dan pengembangan terletak pada baterai. Hal ini menyangkut jarak tempuh (range) per pengisian (charge), durasi pengisian, serta teknologi baterai. Kedua adalah pemilihan teknologi agar harga jual kompetitif dengan sepeda motor konvensional. Ketiga adalah teknologi dan standarisasi agar sepeda motor aman dalam kondisi tergenang. Hal ini didasari kondisi beberapa kota di Indonesia yang akhir-akhir ini kerap terkena banjir.

Dalam kesempatan diskusi ini Alief juga menyoroti kebijakan pemerintah yang selalu berganti-ganti. Menurutnya proses inovasi harus tetap berjalan meski tanpa dukungan pemerintah. Justru dalam hal ini Alief memetik pelajaran agar peneliti dapat ikut aktif dalam penyiapan regulasi atau standar yang disusun oleh pemerintah.

Melihat tren riset dan pengembangan otomotif saat ini, menurut Alief, beberapa negara dunia masih dalam posisi yang sejajar. Oleh karena itu belum terlambat bagi Indonesia untuk mengembangkan dan berimpian mengembangkan kendaraan listrik nasional. “Namun, jika kita masuk ke internal combustion engine, kita tidak akan mengejar apa yang mereka miliki sekarang. Karena industri ini sudah mereka miliki bahkan sejak sebelum perang dunia dan sangat mapan sekali,” jelas Alief.

Alief juga melihat ironi ketika Indonesia yang memiliki pasar terbesar nomor satu di ASEAN untuk motor dan mobil, justru tidak memiliki produk nasional.  “Susah untuk meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia itu mampu,” tutur Alief menyoroti perilaku konsumen Indonesia. “Untuk menguji teknologi perlu peer-review, bukan awam,“ tambah Alief.

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Tarsisius Kristyadi dari EVHERO, Tim Mobil Listrik ITENAS. Awal pengembangan EVHERO terinspirasi dari perusahaan “Betrix” yang pada tahun 2012 mengimpor sepeda motor listrik. Namun, karena kesulitan memperoleh izin untuk jalan, upaya pengembangan musti dihentikan. Berawal dari itu EVHERO akhirnya beralih ke pengembangan mobil listrik.

Fokus penelitian yang dilakukan oleh Tim EVHERO Itenas adalah pada platform, seperti chassis dan rem. Beban utama mobil listrik adalah baterai. Tantangan dari desain adalah agar kuat menahan beban, tetapi juga ringan. Melihat kecenderungan konsumen Indonesia, masalah desain body juga menjadi perhatian EVHERO. Celah-celah tersebut seperti yang disampaikan oleh Tarsisius, coba dilakukan EVHERO untuk menghasilkan kendaraan yang utuh.

Turut berbicara tentang mobil listrik, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebut dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan mobil listrik sangat vital. “Setahu saya tidak ada kendaraan listrik yang berkembang secara alami jika kita ingin masuk ke tingkat komersil,” terang Fabby.

Secara garis besar terdapat tiga aspek yang menurut Fabby harus didorong secara komprehensif oleh pemerintah, yaitu: riset dan pengembangan, penetrasi dan perluasan pasar kendaraan listrik, serta pengembangan infrastruktur.

Saat ini mobil listrik dihadapkan tantangan untuk meningkatkan kinerja disertai harga yang dapat bersaing. Selanjutnya, menurut Fabby perluasan dan pengembangan pasar butuh momentum untuk tumbuh agar konsumen tidak ragu.

Lebih spesifik Fabby menjabarkan beberapa poin yang dapat disasar pemerintah. Pertama, menyoroti target populasi mobil listrik yang tersurat dalam RUEN, menurutnya target tersebut perlu ditingkatkan agar lebih dapat menggoncang pasar.

Kedua, insentif fiskal dan finansial perlu diterapkan agar harga jual lebih terjangkau. “Melihat perilaku konsumen Indonesia, meski biaya operasional kendaraan listrik lebih murah, konsumen lebih tertarik pada harga awal yang lebih rendah,” jelas Fabby.

Ketiga, memperhatikan pelajaran di banyak negara, pemanfaatan kendaraan listrik dapat dimulai dari pengadaan kendaraan instansi pemerintah.

Kendaraan listrik menawarkan beberapa keuntungan, antara lain efisiensi yang lebih tinggi, biaya operasional lebih rendah, serta kontribusi emisi yang lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak. Sebagai ilustrasi, menurut perbandingan yang dilakukan Ahmad Safruddin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, biaya operasional mobil listrik tipe e-small dihadapkan dengan mobil berbahan bakar minyak tipe LCGC dapat mencapai 1/3, sedangkan kontribusi emisi gas rumah kaca hanya 1/10.

Pertanyaan yang jamak muncul dalam pengembangan kendaraan listrik ini adalah bagaimana kesiapan infrastruktur kelistrikan dan persoalan harga jual. Konsumen pada umumnya menginginkan harga kendaraan yang masuk akal, sementara kendaraan listrik impor saat ini terbebani bea masuk dan pajak barang mewah. Melalui diskusi ini, diharapkan tercipta pembicaraan yang lebih luas dan komprehensif dalam mendorong pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh Kukuh Samudra, internee di IESR dan disunting oleh Marlistya Citraningrum.

 

Pojok Energi #5: Bersama Mewujudkan Kota Berkelanjutan

Menurut kajian PBB tahun 2014,  54 persen populasi bermukim di area urban. Angka ini diperkirakan akan naik hingga mencapai 66 persen pada tahun 2050. Asia menjadi kawasan dengan porsi penduduk urban terbesar, yaitu mencapai 53 persen.

Diambil dari Publikasi Jakarta dalam Angka, Penduduk Jakarta saat ini mencapai 10,2 juta jiwa. Dengan demikian Jakarta dapat dikategorikan sebagai megacity yang menurut standar PBB adalah kota dengan penduduk 10 juta atau lebih. Meski hanya meliputi 3 persen luas daratan bumi, namun kota di dunia terhitung memiliki konsumsi energi 60-80 persen dunia dan menyumbang 75 persen emisi karbon dunia. Dihadapkan pada masalah yang ada, penanganan kota yang berkelanjutan sudah selayaknya menjadi perhatian bersama.

Institute Essential Services Reform (IESR) melalui Program Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy yang didukung oleh Hivos menyelenggarakan diskusi “Pojok Energi: Sustainable Cities” pada tanggal 4 Oktober 2017 di Cikini, Jakarta Pusat. Hadir sebagai pembicara adalah Erni Pelita Fitratunnisa (Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta), Andy Simarmata (Thamrin School Reader on Urban Environment), Ahmad Safrudin (Komite Penghapusan Bensin Bertimbal), dan Bambang Sumaryo (Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap). Kegiatan kali ini ini juga dihadiri berbagai kalangan. Baik dari pengamat kelistrikan, blogger, warga kota, pegiat sosial, hingga pengusaha.

Narasumber Pojok Energi #5

Sebagai pembicara pertama, Fitratunnisa yang akrab dipanggil Fitri menjelaskan setidaknya ada lima isu strategis pengelolaan lingkungan hidup Jakarta, yaitu sampah, permukiman, transportasi, pencemaran, dan banjir. Beberapa upaya dan aksi telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, antara lain pembersihan sungai dan waduk, pemanfaatan sampah menjadi sumber energi, relokasi warga bantaran sungai ke rumah susun, hingga peningkatan kualitas transportasi umum.

Untuk isu perubahan iklim, Pemerintah DKI Jakarta berkomitmen untuk melakukan aksi baik aksi adaptasi maupun mitigasi. “Hal tersebut tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012, pada alinea ketiga bagian pengantar,” jelas Fitri. Pemerintah DKI Jakarta sendiri tambah Fitiri, sudah memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Gas Rumah Kaca yang diatur dalam Peraturan Gubernur No. 131 Tahun 2012.

Andy Simarmata sebagai pembicara kedua membuka sesi dengan pemaparan korelasi konsumsi dengan pertumbuhan konsumsi energi kota-kota di dunia. Kota seperti New York dan Tokyo, meski konsumsi energinya sangat besar, tetapi pertumbuhan energi per tahun relatif kecil. Sementara Jakarta, Delhi, dan Manila yang memiliki konsumsi energi relatif kecil dibanding kota lain, memiliki pertumbuhan konsumsi energi yang besar. “Hal ini dikarenakan di kota-kota dengan konsumsi energi yang tinggi, kota yang maju telah menerapkan usaha efisiensi energi,” ujar Andy Simarmata.

Gambar 1: Grafik hubungan pertumbuhan konsumsi energi terhadap energi konsumi berbagai kota di dunia tahun 2014

Secara garis besar Andy Simarmata menerangkan tiga usaha yang dapat dilakukan oleh Jakarta agar dapat menjadi kota yang berkelanjutan. Pertama, dari segi yang paling luas dan paling awal adalah perencanaan kota seperti zonasi. Di level perumahan desentralisasi dan pengalihan energi ke energi terbarukan juga ditekankan. Sedangkan pada level rumah tangga, langkah efisiensi dan desain rumah hemat energi menjadi penting.

Ahmad Safruddin dari Komite Pembebasan Bensin Bertimbal menjelaskan tantangan transportasi di Jakarta adalah kemacetan dan  polusi udara akibat sisa pembakaran kendaraan bermotor. Masalah kemacetan berdampak pada masalah lain seperti penurunan produktivas kerja, pemborosan BBM, dan masalah kesehatan. Bahkan biaya kemacetan menurut perhitungan pada tahun 2014 mencapai Rp 63,5 T.

Pria yang akrab dipanggil Puput ini menjabarkan, solusi transportasi Jakarta bisa diselesaikan dengan dua pendekatan, yaitu dengan pendekatan teknologi dan non-teknologi. Saat ini sudah berkembang beberapa teknologi kendaraan bermotor seperti mobil listrik atau mobil hibrid. Namun, Puput mengingatkan bahwa pemilihan teknologi harus disesuaikan dengan kondisi dan lokasi diterapkan teknologi. Dibutuhkan perhitungan dan kajian yang cermat sebelum teknologi diterapkan secara luas. Bisa jadi sebuah teknologi lebih efisien di suatu negara tetapi justru lebih boros di negara lain.

Beberapa kebijakan berkaitan dengan teknologi yang bisa diterapkan antara lain peningkatan kinerja kendaraan dengan penerapan standar EURO 4 atau EURO 6, dan scraped car bagi kendaraan yang berumur tua yang tidak efisien.

Sementara beberapa opsi yang bisa dilakukan dari segi non teknologi adalah pergeseran ke kendaraan umum atau pembiasaan warga untuk memilih moda transportasi non motor.

Teknologi energi terbarukan saat ini juga sudah banyak berkembang. Namun, menurut Bambang Sumaryo, Indonesia masih tertinggal dari segi penerapan. Saat ini harga listrik yang dibangkitkan dari energi matahari sudah semakin murah. Bambang Sumaryo menuturkan, beberapa waktu yang lalu Arab Saudi telah menekan kontrak PLTS dengan harga pembangkitan mencapai USD 1,7 sen/kWh. Dibandingkan dengan harga PLTU yang harga batubaranya saja sudah mencapai USD 4 sen/kWh, harga tersebut jelas sangat murah.

Salah satu permasalahan teknis pembangkit tenaga surya adalah sifatnya yang intermittent sehingga membutuhkan teknologi penyimpanan. Teknologi yang ditengarai bisa mengatasi masalah tersebut adalah mobil listrik. Rata-rata mobil listrik saat ini memiliki baterai/storage dengan kapasitas rata 26 kWh, sementara rata-rata konsumsi energi rata-rata masyarakat Indonesia berada pada sekitar 20 kWh. Bahkan saat ini produsen mobil listrik Tesla telah memiliki teknologi mobil listrik dengan kapasitas penyimpanan listrik sebesar 100 kWh.

Menurut Bambang Sumaryo, hal ini yang sekiranya membuat PLN cukup resisten. Dari segi korporasi, PLN akan merasa rugi jika masyarakat telah bisa memproduksi energi secara mandiri.

Sesi diskusi yang berlangsung setelah pemaparan para pembicara berlangsung cukup seru. Para peserta yang berasal dari latar belakang yang bervariasi menyampaikan pertanyaan dan masukan yang beragam.

Salah satu peserta yang berlatar belakang pengusaha mengaku saat ini telah memiliki teknologi RDF yang dapat secara otomatis memilah dan mengolah sampah organik dan anorganik. Peserta lain yang aktif di kegiatan kampanye pengolahan sampah menuturkan upaya pengolahan di hulu melalui pemilahan sudah saatnya diterapkan lebih masif. Peserta lain memberi saran bahwa upaya edukasi menjadi solusi yang seharusnya dilakukan lebih gencar.

Fitri dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menjabarkan bahwa saat ini telah banyak program yang dilakukan oleh Pemprov Jakarta. Dalam tataran advokasi Pemerintah Provinsi Jakarta memiliki program hingga sekolah-sekolah.

Pada akhir diskusi, Andy Simarmata menegaskan bahwa konsistensi terhadap perencanaan kota musti dijaga. Bermacam teknologi tersedia menjadi kurang optimal jika pemangku kebijakan kurang setia terhadap rencana awal.  Untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota yang berkelanjutan dibutuhkan kajian dan pemahaman yang komprehensif. Dibutuhkan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan Kota Jakarta baik warga, akademisi, pengusaha, maupun pemerintah.

Artikel ini ditulis oleh Kukuh Samudra (internee di IESR) dan disunting oleh Hening Marlistya Citraningrum.

 

Pojok Energi #4: Menerangi dari Desa

Tujuh puluh dua tahun Indonesia merdeka, belum seluruh masyarakat Indonesia dapat menikmati fasilitas dan kenyamanan yang sama. Salah satunya dari segi aksesibilitas energi listrik. Untuk mencari lebih jauh informasi, program, dan perkembangan program pemerintah dalam menangani masalah ini, IESR bersama Strategic Partner (SP) for Green and Inclusive Energy yang didukung oleh Hivos  menyelenggarakan diskusi publik Pojok Energi dengan judul “Quo Vadis Listrik Perdesaan?” pada tanggal 23 Agustus 2017 di Hotel Oria, Menteng.

Hadir sebagai pembicara adalah  Rachmat Mardiana (Direktur Energi, Telekomunikasi dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas), Alihuddin Sitompul (Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), dan Kiswanto (Manajer Senior Perencanaan Sistem III PLN).

Alihuddin Sitompul membuka sesi dengan menjabarkan kondisi kelistrikan Indonesia saat ini. Menurut data terakhir yang dimiliki oleh ESDM, rasio elektrifikasi Indonesia telah mencapai 92,8% dengan konsumsi listrik sebesar 959,46 kWh/kapita. Berdasarkan data geografis, rasio elektrifikasi terendah ada di Provinsi Papua dan NTT. Jika dilihat berdasarkan lokus desa, terdapat 2.424 desa yang belum terlistriki yang sebagian besar berada di provinsi Papua dan Papua Barat. “Kita tahun 2019 punya target konsumsi 1.250 kWh/kapita. Kalau cuma berdasarkan elektrifikasi saja, yang naik paling 50 kWh/kapita,” terang Alihuddin.

Tantangan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi salah satunya adalah letak geografis yang sulit dijangkau. Untuk menjawab tantangan ini, Kementerian ESDM memiliki program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) yang penyediaannya telah diatur dalam Perpres No. 47 Tahun 2017 dan tata cara penyediaannya diatur dalam Perpres No. 33 Tahun 2017. Program LTSHE ini dimaksudkan sebagai program pra-elektrifikasi, guna menerangi desa-desa yang masih gelap sebelum jaringan PLN masuk.

Program lain berkaitan listrik perdesaan yang dimiliki Kementerian ESDM adalah perluasan jaringan PLN yang diatur oleh RUPTL. Nilai anggaran program tersebut sebesar Rp 3,1 triliun. Di dalamnya terdapat biaya penyambungan senilai 2,1-2,5 juta rupiah/sambungan yang dibayar oleh pelanggan.

Salah satu regulasi yang mengatur pengembangan listrik perdesaan adalah Permen ESDM No. 38/2016. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa investor swasta dapat masuk untuk menerangi desa-desa yang jauh lokasinya atau sulit terjangkau jaringan PLN. Terkait hal ini, Alihuddin menyebutkan investor asing lebih banyak tertarik berinvestasi di pulau-pulau besar di Papua.

“Kuasa usahanya bisa sampai 20-25 tahun. Jadi pulau tersebut menjadi wilayah usaha swasta berbasis listrik hingga 25 tahun. Lebih baik bila bergabung dengan BUMD pemerintah setempat, sehingga pengelolaannya tidak murni oleh asing,” jelas Alihuddin lebih jauh.

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Rachmat Mardiana dari Bappenas. Paparan Rachmat Mardiana secara garis besar mencakup tiga hal: rencana besar pembangunan nasional, rencana pembangunan infrastruktur kelistrikan, serta opsi skema pembiayaan infrastruktur kelistrikan.

Seperti disampaikan oleh Rachmat Mardiana, kerja pemerintah sekarang beralih dari yang semula money follow function menjadi money follow program.

“Ada kegiatan yang untuk mendukung pencapaian atau target-target RKT (Rencana Kerja Tahunan) kita kategorikan sebagai proyek prioritas nasional. Kemudian ada kegiatan-kegiatan yang  bertujuan memenuhi target-target pada RPJMN kita kategorikan sebagai prioritas bidang, “ jelas Mardiana.

Secara garis besar arah kebijakan ekonomi makro 2018 meliputi tiga hal: menjaga pertumbuhan ekonomi 5,4-6,1%, menjaga stabilitas ekonomi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Mardiana lebih lanjut menjabarkan terdapat tiga sektor prioritas, yaitu industri pengolahan, pariwisata, dan pertanian. Dengan demikian, penetapan proyek-proyek infrastruktur perlu merujuk pada sektor-sektor prioritas.

Berkaitan dengan pendanaan, menurut Mardiana dana pemerintah saat ini terbatas. “Untuk investasi sebesar Rp 4.796,2 T selama 5 tahun (2015-2019), dana APBN dan APBD hanya mencakup sekitar 41,3%,, BUMN 22,2%, dan sisanya swasta.”

Mardiana lebih lanjut menjelaskan terdapat empat skema pendanaan swasta yaitu investasi sosial, KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha), special commercial investment, dan general commercial investment.

Sementara untuk sektor ketenagalistrikan, terdapat beberapa pos pendanaan dalam APBN antara lain: Dana Desa, belanja kementerian/lembaga, dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Berbicara lebih jauh mengenai Dana Alokasi Khusus (DAK), menurut Rachmat Mardiana jumlahnya terbatas. “Untuk dua tahun ini mungkin sekitar 500 milyar, tetapi dibagi-bagi ke seluruh Indonesia dengan menunya PLTS, PLTMH, biogas skala rumah tangga untuk DAK 2016,” papar Rachmat Mardiana. Namun menurut Rachmat Mardiana, kendala yang muncul adalah mengenai proposal. Untuk mendapatkan DAK, salah satu persyaratannya adalah pengajuan proposal dari pemerintah daerah. Artinya tanpa proposal, meski daerah tersebut misalnya membutuhkan listrik, DAK tidak bisa diberikan. Lebih lanjut, tantangan terkait DAK adalah keberlanjutan program. Banyak aset yang mangkrak karena warga atau pemerintah tidak bisa mengoperasikan.

Pada sesi selanjutnya, Kiswanto dari PLN berbicara tentang tantangan yang dihadapi PLN beberapa tahun ke belakang. Salah satu kendala PLN dalam melistriki desa adalah larangan pembangunan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) oleh manajemen PLN dan pemerintah . Larangan tersebut berlaku hingga tahun 2015. Untuk mendapatkan minyak diesel pun PLN terbentur kuota dari Pertamina, sedangkan di satu sisi PLN dilarang untuk membeli dari luar negeri.

Kiswanto selanjutnya menjelaskan rencana ekspansi jaringan PLN. Saat ini perluasan jaringan sudah menyasar daerah luar pulau Jawa seperti pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Maluku Utara. Hingga tahun 2019, PLN berencana dapat menerangi 2.500 desa yang masih gelap.

Secara garis besar rencana PLN untuk menerangi 2.500 desa adalah dengan pengembangan paralel segi pembangkitan, transmisi, maupun distribusi. Namun, menurut pengakuan Kiswanto, pengembangan jaringan transmisi masih terkendala pembebasan lahan. ”Ini memang soal prosesnya, di mana pembebasan lahan untuk fasilitas umum prosesnya agak sulit meski ada unsur paksa yang dilindungi undang-undang.”

Kiswanto melanjutkan, “Ketika sosialisasi sering ada perantara-perantara dadakan, hal seperti ini sulit dihindari.”

Pada sesi tanya jawab, diskusi yang dihadiri oleh pengamat kelistrikan, akademikus, peneliti, maupun masyarakat sipil berjalan menarik. Berbagai pertanyaan dan pendapat kritis terkait rencana pengembangan infrastruktur kelistrikan disampaikan audiens. Topik penyediaan energi baru-terbarukan  (EBT) juga disinggung dalam diskusi hari itu.

Kanti dari Artikel33 mengemukakan temuan penelitian banyak inisiatif masyarakat dalam membangkitkan energi dari sumber EBT  terkubur sia-sia setelah PLN justru mengembangkan jaringan di daerah itu.

Sementara Yurgen, inisiator masyarakat sipil dari Kupang, memberikan saran kepada pemerintah agar pembangkitan listrik juga memperhatikan kearifan dan pola perilaku lokal masyarakat. Menurutnya, pengembangan infrastruktur kelistrikan jangan hanya berhenti di perumahan, tapi juga ke wilayah-wilayah pertanian. Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa mayoritas penduduk perdesaan bekerja sebagai petani dengan usia yang sudah tua.

Rachmat Mardiana menanggapi bahwa pengembangan infrastruktur memang seharusnya perpaduan antara pendekatan top-down dan partisipasi daerah. Menyinggung kembali mengenai Dana Alokasi Khusus, program tersebut baru bisa berjalan jika ada inisiatif pemerintah daerah.

Kiswanto dari PLN menyatakan bahwa pengembangan EBT telah menjadi prioritas PLN. Hal ini juga mengacu pada batasan dari pemerintah bahwa porsi pembangkitan dari batu bara maksimal 50%. Namun kendala EBT adalah sifatnya yang intermittent (suplai tidak bisa diatur), sedangkan di satu sisi masyarakat menginginkan karakteristik listrik yang handal dengan harga yang murah.

Harga Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) EBT saat ini ditengarai masih mahal. Menurut Kiswanto, BPP EBT bisa menjadi lebih murah jika pengembangannya dalam skala besar. Kendati demikian, pengembangan skala besar juga harus disertai dengan pengembangan transmisi dan sambungan ke grid.

Masalah listrik desa adalah permasalahan multisektor. Pemerintah di satu sisi harus memutar otak untuk dapat mengoptimalkan anggaran melalui sektor-sektor prioritas. Beberapa program nasional pada praktek kurang dapat berjalan optimal karena kurang memperhatikan aspek sosial lokal. Di satu sisi, pada level birokrasi yang lebih rendah perlu peningkatan kapasitas dan inisiatif dari pemerintah daerah untuk dapat mengakses dana-dana yang diberikan oleh pemerintah pusat. Tidak ketinggalan, inisiatif masyarakat sipil perlu mendapatkan perhatian agar kebijakan listrik nasional lebih produktif dan tepat sasaran.

Artikel ini ditulis oleh Kukuh Samudra (internee di IESR) dan disunting oleh Marlistya Citraningrum.

 

 

 

 

Mengukur Capaian NDC di Sektor Energi

Jika Indonesia tidak mampu mencapai target penurunan emisi sebesar 29-41% di tahun 2030, maka akan lebih berat lagi untuk mencapai target Kesepakatan Paris dengan skenario 1,5°C.

Apakah Indonesia mampu mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% seperti yang dinyatakan dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution)? Bagaimana dengan target penurunan emisi di sekto energi? Bagaimana mengukur capaian NDC dan siapa yang mengukurnya?

Pembahasan tentang pengukuran pencapaian target NDC di sektor energi menjadi topik yang hangat dalam diskusi Pekan Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Jum’at pekan lalu (4/8).

Diskusi ini menghadirkan Rida Mulyana, Dirjen EBTKE, Kementerian ESDM, Retno Gumilang Dewi Pusat Kebijakan Keenergian Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Menurut Rida Mulyana untuk mendukung pencapaian target NDC kementerian ESDM telah menyiapkan berbagai perangkat kebijakan, program strategis dan rencana aksi untuk menurunkan emisi sebesar 11% atau 314 juta ton CO2e yang dicapai di tahun 2030.

“Hingga tahun 2016 target penurunan emisi telah mencapai 33 juta ton CO2e, baik yang masuk ke dalam program DIPA maupun yang dilaksanakan oleh pihak swasta,”jelas Rida.

Namun pencapaian ini, terbatas hanya pada kementerian ESDM dan tidak termasuk penurunan emisi di sektor energi dari kementerian atau pihak lainnya.

“Kami tidak mempunyai wewenang untuk mendokumentasikan seluruh capaian tersebut,” jelasnya.

Pengukuran capaian NDC Indonesia sebesar 29-41% di tahun 2030, menurut Fabby Tumiwa menjadi sangat penting. Dan untuk, itu diperlukan sebuah sistem pemantauan dan verifikasi dengan indikator yang jelas dan disepakati semua pihak.

“Komitmen terhadap Kesepakatan Paris tidak hanya membuat dokumentasi NDC, namun yang lebih penting adalah bagaimana target tersebut dapat diintegrasikan atau dimasukkan ke dalam rencana kerja pembangunan dan sektoral, dan dapat dilaksanakan setiap tahunnya oleh para pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan kelompok masyarakat sipil.” ujar Fabby.

Jika target NDC ini tidak dapat tercapai, maka akan lebih berat lagi bagi Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi dengan skenario 1,5°C.

Dia menjelaskan ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengukur pencapaian NDC Indonesia, salah satunya dengan menggunakan indikator kebijakan administratif. Indikator ini akan melihat sejumlah aspek seperti 1) Besarnya pendanaan yang di alokasikan untuk pembangunan energi terbarukan seperti APBN atau APBD, 2) Jumlah perizinan yang dikeluarkan untuk proyek-proyek energi terbarukan. Selain lintas kementerian, indikator ini juga perlu dikoordinasikan dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang selama ini mempunyai wewenang terkait perizinan, 3) Monitoring pelaksanaan proyek-proyek energi terbarukan yang dilihat dari jumlah PPA dan kapasitas pembangkit yang sudah direncanakan dan disiapkan, serta 4) Kesuaian pencapaian terhadap target dan aturan yang ditetapkan pemerintah.

Selain menggunakan indikator di atas, pencapaian NDC juga bisa dapat diukur dari dampak kegiatan aksi mitigasi, seperti

  • Pengembangan energi terbarukan yang mengukur total kapasitas pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan, kontribusi terhadap bauran energi, komposisi Bahan Bakar Nabati (BBN) terhadap bahan bakar yang dipakai, jumlah produksi listrik dari energi terbarukan
  • Efisiensi energi yang dihitung dari total konsumsi energi di tingkat nasional dan sektoral, intensitas energi untuk ekonomi di setiap sektor
  • Clean Power yang dilihat dari kapasitas PLTU yang menggunakan teknologi ulta super critical (USC) dari kapasitas PLTU nasional, kapasitas PLT Sampah
  • Fuel Switching yang diukur dari penambahan jaringan gas kota, jumlah konsumsi gas dan LPG dll
  • Reklamasi pasca tambang yang diukur dari jumlah kawasan pertambangan yang telah direklamasi

Fabby menegaskan pencapaian target penurunan emisi tidak bisa dicapai hanya hanya dengan mendorong proyek-proyek energi terbarukan, namun juga perlu dukungan kebijakan lain seperti peluang untuk menerapkan carbon pricing, disinsentif untuk pajak bahan bakar, penutupan PLTU yang tidak lagi efisien, peningkatan standar emisi PLTU, rasionalisasi batubara serta percepatan standar Euro 4.

“Semua pilihan ini tentunya perlu dipertimbangkan termasuk risiko yang ditimbulkan dan upaya mitigasinya” ujar Fabby.

Retno Gumilang Dewi juga menegaskan pengukuran dan dokumentasi pencapaian target NDC merupakan bagian dari prinsip Kesepakatan Paris terkait clarity, transparency and understanding. Oleh karena itu, penguatan sistem informasi dan monitoring yang terkoordinasi menjadi sangat penting.