Pojok Energi #3: Bercita-cita Menerangi Indonesia Seluruhnya

Pemerintah telah mengambil langkah berani untuk mengalihkan subsidi tarif dasar listrik (TDL) golongan rumah tangga 900 VA secara bertahap, bagi mereka yang termasuk dalam kelompok Rumah Tangga Mampu (RTM). Pengalihan subsidi ini menimbulkan pro kontra yang cukup marak di masyarakat, dan dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil. Apakah pentingnya pengalihan subsidi TDL ini?

Untuk membahas isu kelistrikan Indonesia, Institute for Essential Services Reform (ESR) bersama Strategic Partnership Green and

Melistriki Indonesia. Alihuddin Sitompul dari Kementerian ESDM, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan Tulus Abadi, Ketua YLKI hadir sebagai pembicara dalam diskusi Pojok Energi #3.

Inclusive Energy menyelenggarakan diskusi Pojok Energi 3 pada hari Selasa (23/5) dengan tema Menerangi Indonesia. Dalam diskusi ini dihadirkan narasumber Alihuddin Sitompul, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM; Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI; dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Pojok Energi yang ketiga ini juga dihadiri berbagai kalangan, yaitu konsumen pengguna listrik, netizen, blogger, NGO, dan jurnalis.

Dalam paparannya, Alihuddin Sitompul menjelaskan mengenai kondisi kelistrikan Indonesia saat ini. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan pulau-pulau yang tersebar, pemerintah masih memiliki pekerjaan untuk menuntaskan tugas menerangi Indonesia. Rasio elektrifikasi Indonesia saat ini masih berada di 92%. Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional (nawacita), pembangunan di sektor ketenagalistrikan ditandai dengan tersedianya listrik dalam jumlah cukup dengan kualitas yang baik dan harga yang wajar. Jaminan ketersediaan listrik ini juga harus memenuhi prinsip berkelanjutan, mengutamakan energi baru terbarukan (EBT), dan pemanfaatan sumber dalam negeri diutamakan untuk penyediaan energi nasional.

Alihuddin Sitompul juga memaparkan mengenai skenario penyediaan tenaga listrik bagi konsumen. Listrik tersedia bagi konsumen melalui rantai pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penyaluran pada konsumen. Apabila ada salah satu langkah yang tidak berada dalam kategori “sukses”, maka keandalan listrik untuk konsumen tidak akan tercapai. Konsumsi listrik Indonesia saat ini masih di kisaran 950 kWh/kapita, jauh di bawah negara-negara tetangga di ASEAN. Infrastruktur ketenagalistrikan masih banyak didominasi oleh Indonesia bagian barat dan rasio elektrifikasi di Indonesia bagian Timur masih banyak yang di bawah 70%.

Menyinggung pengalihan subsidi TDL, salah satu kebijakan pemerintah untuk melakukan penyediaan listrik yang efisien dan menjaga keseimbangan kepentingan penyedia layanan listrik dan konsumen adalah dengan melakukan penyesuaian TDL. Subsidi listrik diprioritaskan bagi konsumen tidak mampu, sementara tarif konsumen lainnya ditetapkan sesuai prinsip keekonomian secara bertahap. Sebanyak 18,94 juta pelanggan berdaya 900 Volt Ampere (VA) mengalami pencabutan subsidi bertahap terhitung mulai 1 Januari 2017. Subsidi tersebut berkisar 82% dari total jumlah pengguna listrik 900 VA.

Subsidi tersebut akan dicabut dalam tiga tahap, di mana tarif listrik per kilowatt-hour (KWh) setiap periodenya akan naik 33 persen. Pemerintah menilai pencabutan subsidi listrik ini adalah langkah yang baik karena selama ini subsidi yang diberikan dianggap salah sasaran. Dengan pencabutan subsidi ini, diharapkan anggaran subsidi listrik di tahun 2017 bisa ditekan menjadi Rp 45 triliun, dari sebelumnya Rp 60,44 triliun di tahun 2016. Dana yang tersedia dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau untuk listrik perdesaan dengan harapan di tahun 2019 Indonesia sudah terang seluruhnya. Kementerian ESDM juga membuka layanan pengaduan untuk mengantisipasi kebijakan ini, dan pelaporan yang masuk akan ditindaklanjuti untuk diproses dan dikembalikan subsidinya jika memang pelapor masih tergolong rumah tangga yang memerlukan subsidi.

Tulus Abadi sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI memberikan beberapa catatan kritis mengenai pencabutan subsidi listrik ini. Menurutnya, beberapa aspek yang penting terkait konsumen perlu diperhatikan. Sesuai dengan UU Energi, masyarakat tidak mampu berhak atas subsidi energi, sehingga penetapan parameter tidak mampu dan format pemberian subsidi harus dikaji mendalam sehingga tidak merugikan masyarakat yang membutuhkan. Pemenuhan kebutuhan listrik dalam negeri juga hendaknya mengutamakan energi bersih. Energi fosil yang mengakibatkan dampak eksternal negatif bagi lingkungan sebaiknya tidak diberikan subsidi, dan energi terbarukan yang seharusnya menerima insentif.

Berdasarkan pengamatan YLKI, dampak pencabutan subsidi mendorong inflasi dan menurunnya daya beli konsumen. Untuk perkotaan, dan untuk komoditas non makanan, tarif listrik memicu kemiskinan sebesar 2,86 %. Urutan pertama adalah perumahan (9,8%), dan urutan ketiga adalah BBM (2,84%). Sementara itu untuk masyarakat perdesaan, pemicu kemiskinan terbesar adalah makanan pokok (25,53 %), diikuti oleh rokok (10,7%). Pencabutan subsidi listrik bisa memicu kemiskinan, tetapi kecil; baik untuk perkotaan dan perdesaan, masih di bawah rokok.

Dari aspek psikologi dan pelayanan, pencabutan subsidi ini juga dapat menimbulkan dampak kontraproduktif apabila kualitas dan layanan listrik tidak andal. Menurut Tulus Abadi, kenaikan tarif harus paralel dengan kenaikan pelayanan, insentif pada konsumen, kemudahan mendapatkan listrik, dan integritas PLN.

Melihat bahwa listrik adalah infrasruktur yang wajib disediakan oleh negara dan merupakan essential services, maka YLKI mendesak pemerintah untuk tidak menyerahkan pengelolaan listrik pada mekanisme pasar. YLKI juga menilai pentingnya keberadaan Essential Services Act yang mengakomodasi public utility comission sehingga suara pengguna layanan dan penerima manfaat dapat menjadi pertimbangan mendasar untuk penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia.

Fabby Tumiwa dari IESR melanjutkan paparan mengenai tantangan kelistrikan di Indonesia. Selain rasio elektrifikasi, kualitas listrik adalah tantangan yang terus muncul. Banyak daerah di Indonesia yang mengalami pemadaman. Tegangan listrik yang tidak stabil juga masalah yang jamak dialami oleh konsumen, yang menyebabkan tagihan listrik naik dan alat elektronik yang rusak atau lama bila di-charge.

Salah satu inisiatif yang sedang dikelola oleh IESR adalah Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI). Inisiatif dengan metode data crowdsourcing ini memantai kualitas listrik di level konsumen dengan mengambil data frekunsi dan durasi pemadaman listrik serta tegangan. Dengan 28 titik yang tersebar di Jabodetabek dan Kupang, dapat dilihat bagaimana kualitas listrik yang tersedia di lokasi berbeda. Sementara area Jabodetabek memiliki kualitas listrik yang lebih baik dibandingkan dengan Kupang diliat dari frekuensi dan durasi pemadaman listrik, ketidakstabilan tegangan banyak terjadi di Jabodetabek. Beberapa lokasi di Jakarta menunjukkan dominasi tegangan rendah (di bawah 210 V). Pada prinsipnya, tegangan rendah akan menyebabkan kenaikan konsumsi daya listrik. Meski tak kasat mata, tegangan listrik yang rendah bisa terlihat dengan lamanya pengisian daya untuk alat elektronik atau pendingin ruangan yang memerlukan waktu lama untuk menyejukkan ruangan.

Fabby Tumiwa menggarisbawahi pentingnya memperhatikan perawatan infrastruktur kelistrikan dan peningkatan kualitas listrik. Dengan menggunakan ESMI, masyarakat dapat memantau kualitas listrik yang mereka terima dan penyedia layanan listrik bisa mendapatkan gambaran penyediaan kelistrikan bagi konsumen untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas layanan. ESMI dapat diakses secara publik melalui alamat pantaulistrikmu.id.

Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, beragam pertanyaan muncul. Ada yang bertanya mengenai kebijakan pemerintah untuk swasta yang hendak membangun pembangkit EBT, bagaimana konsumen memahami layanan listrik prabayar dan paskabayar, juga mengenai peningkatan kualitas listrik untuk daerah-daerah di sekitar Jakarta. Beberapa peserta membagikan pengalaman mereka sebagai pengguna listrik dan harapan mereka untuk pemerintah dan penyedia layanan listrik.

Pojok Energi #2: Energi dan Perempuan (Edisi Khusus Hari Kartini)

Pojok Energi kali ini menghadirkan para perempuan pegiat energi dan penerima manfaat energi bersih dari Sumba.

“Sekarang saya tak perlu beli pupuk lagi,” Mama Seni dari Sumba bercerita mengenai pengalamannya menggunakan ampas biogas (bioslurry) sebagai pupuk. Tanah miliknya tak hanya menjadi lebih subur, produksi sayur dan buahnya juga meningkat. Dalam sebulan, Mama Senin bisa mendapatkan penghasilan tambahan 5 juta per bulan dari hasil menjual sayuran dan buah-buahan seperti sawi dan pepaya California.

Mam Senin adalah salah satu narasumber dalam Pojok Energi Edisi Peringatan Hari Kartini yang diselenggarakan di Cikini, 21 April lalu.  Dalam acara tersebut juga hadir Ibu Rovina dari Lembata, Maritje Hutapea dari Kementerian ESDM, Verania Andria dari MCA-Indonesia, dan Sandra Winarsa dari Hivos. Sebagai diskusi yang diselenggarakan tepat pada Hari Kartini, Pojok Energi kali ini memang mengundang para perempuan pegiat energi dan local champion yang merasakan manfaat adanya energi terbarukan bagi keseharian mereka. Pojok Energi ini terbuka untuk umum dan dihadiri netizen, jurnalis, perwakilan CSO lain, pemerintah, serta publik yang tertarik untuk berdiskusi mengenai energi.

Adanya akses pada energi terbarukan tidak hanya meringankan beban perempuan, namun juga membuat perempuan lebih produktif dan dapat menguntungkan keluarga secara ekonomi. Mama Seni tak perlu mencari kayu bakar untuk memasak dan kini bisa menikmati hasil panen sayuran dan buah-buahan. Keberhasilannya ini ditularkan pada kelompok tani di desanya, yang sama-sama menggunakan biogas untuk memasak dan memanfaatkan ampasnya sebagai pupuk.

Cerita serupa dikisahkan oleh Ibu Rovina dari Lembata. Desanya belum terjangkau listrik. Dengan adanya solar home system (SHS) yang diperkenalkan oleh Kopernik, Ibu Rovina dapat menikmati terang dan merasakan manfaatnya. Ibu Rovina pun kemudian memperkenalkan SHS ini pada penduduk desa dan sekaligus menjadi enterpreneur yang mendistribusikan SHS. Dari hasil penjualan SHS ini, Ibu Rovina yang merupakan orangtua tunggal dapat membiayai kebutuhan keluarganya dan menyekolahkan kedua anaknya.

Indonesia dan Tantangan Energi

Mama Seni dan Ibu Rovina adalah contoh mereka yang beruntung. Tak semua perempuan di daerah-daerah terpencil, terdepan, dan terluar di Indonesia yang bisa merasakan nikmat terang atau bahan bakar memasak yang bersih. Saat ini Indonesia masih memiliki tantangan melistriki 8% penduduknya, jumlah yang setara dengan 20 juta penduduk. Perbandingan Indonesia bagian barat dan timur pun masih signifikan bedanya, di mana sebagian besar provinsi di Indonesia bagian barat sudah menikmati listrik hingga hampir 90%, sementara Indonesia bagian timur masih memiliki rasio elektrifikasi di bawah 80%. Desa Lembata di mana Ibu Rovina tinggal merupakan salah satu desa yang sebelumnya gelap, namun kini bisa merasakan terang dengan SHS. Penerangan dan listrik dalam rumah tangga sangat membantu perempuan untuk mengerjakan tugasnya dan mampu mendorong mereka untuk produktif.

Tantangan lain bagi perempuan adalah persoalan memasak. Tak sampai 10 tahun ke belakang, penduduk Indonesia masih bergantung pada bahan bakar kurang bersih seperti kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak. Selain memakan waktu untuk mencari kayu bakar, kedua bahan bakar tersebut juga menghasilkan asap dan polusi yang dapat mengganggu kesehatan, terutama untuk ibu dan anak-anak. Di tahun 2009, pemerintah menyelenggarakan program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas. Program ini cukup berhasil karena mendorong peningkatan penggunaan bahan bakar bersih yang menjangkau lebih dari 50% penduduk Indonesia. Meski begitu, masih ada 20 juta rumah tangga yang bergantung pada kayu bakar.

Perempuan memiliki kaitan erat dengan energi dan ini selaras dengan temuan studi Bank Dunia di tahun 2003. Perbedaan tugas antara perempuan dan laki-laki di rumah tangga cukup signifikan, di mana sebagian besar tugas domestik dikerjakan oleh perempuan. Tersedianya energi bersih bagi perempuan akan berdampak pada efektivitas waktu dan juga penghematan biaya rumah tangga. Contoh sederhananya adalah perempuan tak perlu mengambil air dan mencari kayu bakar lagi. Pelibatan perempuan dalam pemenuhan akses energi harus terus ditingkatkan.

Pemerintah sudah menyadari pentingnya kaitan energi dan pemberdayaan perempuan, seperti disampaikan oleh Maritje Hutapea dari Ditjen Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), ESDM. Menurutnya, energi bersih dapat mengubah pola hidup dan pola pikir manusia. Energi bersih dan off-grid juga merupakan solusi untuk menembus daerah-daerah di Indonesia yang belum terjangkau listrik dan bahan bakar bersih. Anggaran pemerintah yang terbatas membuat Kementerian ESDM mencoba bekerja sama dengan swasta dan donor internasional. Untuk proses pra-elektrifikasi, pemerintah juga membangun pembangkit listrik tenaga surya komunal dan SHS.

Verania Andria dari  Millenium Challenge Account – Indonesia (MCAI) juga menyinggung mengenai syarat dan target dari MCAI sebagai donor yang membiayai berbagai program energi. Aspek gender telah dimasukkan dalam komponen perencanaan dan pemantauan. “Lokasi dan target jadi prioritas dalam program. Bukan hanya jumlah rumah yang akan diakses juga rumah yang kepala keluarga perempuan,” paparnya. Sejauh ini, MCAI telah mendanai program listrik EBT berbasis komunitas di 7 kabupaten dengan total investasi lebih dari US$54 juta. Menambahkan contoh nyata program yang sudah berjalan, Sandra Winarsa dari Hivos bercerita mengenai Sumba Iconic Island. Hivos menggunakan pendekatan pelibatan perempuan, sehingga kebutuhan pemenuhan akses energi dan penggunaannya mampu memberikan manfaat yang optimal bagi perempuan. Mama Seni adalah salah satu local champion di Sumba yang menjadi contoh keberhasilan pelibatan perempuan dan kaitannya dengan akses pada energi bersih.

Dalam Pojok Energi ini juga didiskusikan mengenai bagaimana lembaga lain seperti Baznas dapat berperan dalam program pemenuhan energi bersih dan bagaimana peran perempuan di daerah urban untuk terlibat dalam agenda pemenuhan energi bersih. Diskusi ini ditutup dengan impian Mama Seni dan Ibu Rovina yang ingin lebih berdaya dan memberdayakan perempuan lain dengan manfaat energi bersih yang mereka terima.

 

Potensi dan Peran Photovoltaic dan PV Rooftop untuk Mempercepat EBT

Oleh Erina Mursanti

Persatuan Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI), Asosiasi Energi Surya Indonesia/Indonesia Solar Association (AESI/ISA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan sebuah acara diskusi publik pada 22 Februari 2017 di Jakarta. Acara ini bertujuan untuk membangun kesadaran dan mengakselerasi pemanfaatan teknologi sel surya (solar photovoltaic) dan aplikasinya untuk solar PV rooftop (sistem pembangkit listrik surya di atap), dalam rangka mendukung pencapaian target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.

Acara ini menghadirkan beragam narasumber yang berasal dari pemerintah, Perusahaan Listrik Negara (PLN), akademisi, konsultan, serta Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Sebanyak 60 peserta menghadiri acara ini berasal dari beragam pelaku usaha (baik swasta maupun BUMN) di bidang energi, asosiasi bisnis, penyedia jasa konsultan, lembaga non pemerintah dan lembaga penelitian.

Direktur PLN Bisnis Regional Kalimantan, Djoko R. Abumanan, menyampaikan sambutan pembukaan pada diskusi ini. Dia menyampaikan upaya yang telah dilakukan PLN sejak akhir tahun 2016 untuk mengintegrasikan pembangkit energi terbarukan yang intermittent dengan smart grid. Menurut Djoko, PLN saat ini mengelola sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang terletak di perbatasan Kalimantan dengan menggunakan teknologi smart-grid.

PLN dan PT INTI juga telah melakukan studi kelayakan dan kajian stabilitas jaringan dari pembangkit hybrid PLTS-PLTD. Selain itu, PLN juga mengoperasikan PLTS yang dibangun oleh Kementerian ESDM di 10 lokasi yang tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.

Menurut Djoko ada beberapa kendala dalam mengelola PLTS di daerah terpencil, baik teknis dan non teknis. Sebagai contoh kendala teknis adalah kondisi atau keberadaan sinyal telepon seluler (GSM) yang lemah di lokasi-lokasi PLTS sehingga sulit melakukan komunikasi data dengan modem dalam rangka pemantauan operasi sistem. Contoh kendala teknis lainnya adalah dibutuhkan penyambungan kabel dari PLTS menuju jaringan PLN (JTM) untuk dapat menyalurkan listrik yang dihasilkan dari PLTS melalui jaringan PLN.

Kendala non teknis yaitu panel surya mudah untuk dicuri atau modul rusak karena tanah longsor. Meskipun banyak kendala yang dihadapi PLN, sejauh ini dari kinerja yang ada, efisiensi biaya dan keuntungan dari penjualan listrik yang dihasilkan dari PLTS meningkat. Hal ini ditunjukkan dari keuntungan PLN sebesar Rp 12 juta per bulan untuk masing-masing PLTS (PLTS Sei Limau dan PLTS Sebuku) yang berasal dari penghematan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit diesel yang di-hybrid. Kedepan, PLN merencanakan akan mengoptimalkan sistem hybrid PLTS-PLTD ataupun menggunakan kombinasi pembangkit energi terbarukan lainnya untuk mendukung penyediaan listrik di wilayah-wilayah terpencil.

Luluk Sumiyarso dari AESI/ISA juga memberikan kata sambutan yang pada intinya memaparkan potensi PLTS di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Acara diskusi ini dibagi dalam 2 sesi. Pada sesi pertama ada Marijte Hutapea, Direktur Aneka Energi Ditjen EBTKE KESDMl Ign. Rendroyoko dari tim smart grid PT PLN, dan Prof. Iwa Garniwa dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Direktur Aneka Energi, Ditjen EBTKE, Maritje Hutapea, memaparkan intisari target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan target yang berkaitan dengan pemanfaatan solar PV rooftop sebagai pembangkit listrik (lihat Gambar 1). Dalam KEN dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kontribusi solar PV ditargetkan mencapai kapasitas 6,5 GW pada 2025. Kapasitas ini terdiri dari kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Solar Home System (SHS), dan solar PV rooftop.

Gambar 1. Target-target dalam Kebijakan Energi Nasional

Dalam upaya mendorong pencapaian target pemanfaatan EBT sebagai sumber pembangkit listrik, Menteri ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Permen ini mewajibkan PLN untuk membeli listrik yang dihasilkan dari PLTS Fotovoltaik, PLTB, PLTA, PLTBiomassa, PLTBiogas, PLTSampah, PLTP dengan mengikuti ketentuan yang telah diatur. Untuk PLTS dalam pelaksanaannya, PLN wajib mengumumkan jumlah kuota kapasitas dari sistem setempat yang akan dilelang secara terbuka. Calon Independent Power Producer (IPP) yang tertarik untuk memasukkan proposal dalam lelang tersebut bisa melihat Biaya Pokok Produksi (BPP) satu tahun sebelumnya untuk dijadikan patokan perhitungan harga jual listrik yang akan dibeli oleh PLN.

Martije menilai bahwa PLTS skala besar memiliki potensi untuk dikembangkan di sistem kelistrikan Sumatera dan Jamali. Sedangkan untuk sistem kelistrikan lainnya yang memiliki kapasitas jaringan lebih kecil, PLTS dengan kapasitas kecil yang dipasang di atas lahan cocok untuk dikembangkan. Untuk selanjutnya, IPP dapat memasang solar PV dan menjual listrik yang dihasilkannya ke PLN. Terkait dengan hal ini, pemerintah sedang merumuskan bentuk insentif finansial dan fiskal yang dibutuhkan untuk menarik investasi PLTS.

Ign Rendroyoko dari Tim Smart Grid PLN memaparkan bagaimana PLN mendorong peranan solar PV rooftop. PLN saat ini sudah memiliki regulasi yang mendukung pelanggan untuk memasang dan mengoperasikan solar PV rooftop yang tersambung dengan jaringan PLN, yakni Peraturan Direksi PLN No. 0733.K/DIR/2013 dan Edaran Direksi PLN No. 0009.E/DIR/2014.

Hingga saat ini, menurutnya terdapat sejumlah kantor PLN yang sudah memasang solar PV rooftop sebagai proyek percontohan dan media pembelajaran. Selain unit PLN, juga ada beberapa pelanggan di Bali yang sudah memasang solar PV rooftop dan net metering. Bagi pelanggan PLN yang memasang solar PV rooftop, PLN memberlakukan net metering. Net metering ini sudah dilakukan di beberapa instalasi pelanggan yang memasang small-scale solar PV rooftop di daerah Bali dengan kapasitas < 1 MWp. Prinsip net metering adalah energi listrik yang dijual pelanggan ke jaringan PLN akan mengurangi jumlah penggunaan energi listrik yang digunakan pelanggan dari jaringan PLN. Walaupun demikian tidak ada transaksi finansial dari ekspor dan impor listrik ini. Gambar 2 di bawah menjelaskan bagaimana PLN menghitung ekspor dan impor listrik dengan menggunakan ketentuan net-metering sebagai pedoman transaksi dengan pelanggan.

Gambar 2. Ilustrasi Net Metering yang Dilakukan PLN

Meskipun PLN sudah mengeluarkan regulasi, Rendroyoko menekankan bahwa solar PV rooftop belum disebutkan dalam RKP PLN 2013-2017 ataupun dalam RUPTL. Solar PV rooftop akan tercantum dalam RJP PLN 2017-2021. Di dalam RUPTL PLN pun, program ini dituliskan sebagai bagian pengembangan instalasi PLTS setiap Distribusi dan Wilayah.

Prof. Iwa Garniwa dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengkritisi kemampuan kapasitas pembangkitan solar PV yang sebenarnya untuk menghasilkan listrik. Menurut Iwa, solar PV module rentan mengalami penurunan daya mampu atau derating. Kenaikan temperatur modul adalah faktor derating yang paling besar. Penurunan daya bisa mencapai 12% dari kapasitas yang tercantum pada name plate solar module. Selain itu, lokasi pemasangan modul harus memperhatikan jarak optimal dengan benda-benda yang ada di sekitar karena bayangan (shading) dari benda sekitar dapat mengakibatkan penurunan daya hingga 10%.

Di samping itu, Prof. Iwa memaparkan beberapa hal yang dapat mempertanyakan solar PV rooftop sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan apabila dilihat dari proses pembuatan dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembuatannya. Contohnya adalah klorin, yang merupakan salah satu bahan kimia yang berbahaya, yang digunakan dalam setiap tahapan proses pembuatan dari satu tahapan ke tahapan lain. Contoh lain adalah penggunaan batubara dimana satu panel berukuran 1 x 1,5 m dengan kapasitas 1 KW/hari membutuhkan energi setara dengan 40 kg batubara; padahal 40 kg batubara dapat langsung menghasilkan energi sebesar 130 kWh. Yang terakhir, permasalahan daur ulang panel surya yang tidak terpakai pun dapat menyebabkan kerusakan lingkungan jika tidak dilakukan hati-hati karena silikon, selenium, kadmium, dan sulfur heksafluorida dapat menjadi sumber pencemaran selama proses daur ulang berlangsung.

Dari sesi diskusi ini terdapat beberapa hal yang dibicarakan. Terkait dengan perhitungan potensi solar PV rooftop di suatu daerah, prinsip kehati-hatian harus dipegang ketika menggunakan software mengingat ada software yang tidak cocok digunakan di iklim sub tropis seperti Indonesia, ataupun ada software yang tidak dapat menunjukkan lokasi geografis secara detil. Terkait dengan rencana smart grid dan solar PV rooftop, PLN tidak mempublikasikannya secara luas, meskipun begitu, PLN siap memasang apabila ada pelanggan berminat.

Untuk mendorong permintaan solar PV rooftop, Ditjen EBTKE sedang mengkaji berbagai kemungkinan insentif fiskal dalam bentuk pembebasan pajak impor untuk komponen dalam perakitan modul surya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menurunkan biaya produksi dari modul surya yang dirakit di Indonesia. Untuk saat ini, pembebasan pajak impor masih hanya sebatas pada impor modul surya yang sudah jadi.

Peserta juga menyoroti presentasi Prof. Iwa Garniwa, khususnya mengenai energy balance dari solar PV cell atau PV module. Menurut Jon Respati, sejumlah penelitian atas life-cycle solar PV module menunjukan produksi energi yang lebih besar daripada energi yang dipakai untuk membuat modul surya. Selain itu teknik pembuatan sel dan modul surya yang maju menyebabkan sel surya lebih tahan terhadap faktor kenaikan suhu.

Di akhir diskusi sesi pertama, Maritje menyampaikan bahwa sudah ada pilot project yang menunjukkan bahwa solar PV rooftop dengan kapasitas hingga 2 MW dapat dipasang di bandara untuk membangkitkan listrik yang dibutuhkan dalam kegiatan operasional. Adapun untuk bandara-badara perintis skala kecil, solar PV rooftop dapat diinstal dengan kapasitas ratusan kW.

Pada sesi kedua, para narasumber yang tampil adalah Andre Susanto, Edhie Widiono, dan Fabby Tumiwa.

Sebagai seorang konsultan yang biasa menangani bisnis energi terbarukan, Andre Susanto dari Inovasi Dinamika Pratama, memaparkan apa saja hambatan dan bagaimana potensi dari pengembangan solar PV rooftop di Indonesia. Andre berpendapat bahwa selama PLN diwajibkan membeli listrik dari IPP, IPP tentu saja akan berusaha keras untuk memenuhi tarif yang tercantum dalam PPA yang sudah disepakati. Namun, untuk ini, PLN harus transparan dalam proses lelang dan proses pengadaannya serta PLN harus menyediakan kesempatan proyek yang cukup besar supaya proyek yang dilakukan oleh IPP dapat mencapai skala ekonomisnya.

Solar PV cocok dikembangkan di daerah dimana biaya produksi PLN relatif tinggi, seperti Maluku dan NTT, dan juga daerah dimana jumlah peak load relatif besar, seperti Sumatera Utara. Setelah itu, lokasi proyek instalasi solar PV yang mendetil dapat ditentukan dengan bantuan software. Semakin besar skala proyek, maka pay-back period akan dicapai dalam waktu yang lebih cepat. Namun sayangnya pemanfaatan solar PV ini tidak menambah kapasitas listrik; dan pemasangan solar PV sangat bergantung pada program kerja dan kebijakan PLN lokal.

Setelah mengetahui bagaimana regulasi dari pemerintah, bagaimana respon dari PLN, apa saja yang harus diperhatikan ketika memasang solar PV supaya dapat memanfaatkannya secara optimal, serta mengetahui bagaimana potensi dan hambatan solar PV di Indonesia, penting untuk diketahui bagaimana mekanisme pendanaan untuk dapat menyediakan solar PV.

Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform menerangkan instrumen fiskal seperti Viability Gap Fund (VGF) dapat dipakai untuk meningkatkan kelayakan ekonomi untuk proyek solar PV dalam rangka mendukung elektrifikasi perdesaan. Elektrifikasi perdesaan dapat dikategorikan sebagai proyek infrastruktur yang dapat dilakukan dengan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Ketentuan dalam Perpres No. 56/2012 dan Keppres No. 38/2015 menyatakan bahwa pemerintah bisa memberikan insentif untuk penyediaan infrastruktur. Salah satu bentuk insentif ini didukung oleh PMK No. 223/PMK.011/2012 yang dijadikan sebagai dasar hukum untuk instrumen VGF dengan tujuan meningkatkan kelayakan finansial proyek infrastruktur sehingga menarik partisipasi swasta dalam menjalankan proyek KPS.

Dalam implementasinya, pemerintah dapat memberikan bantuan dana tunai kepada proyek KPS untuk sebagian atau seluruh biaya konstruksi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan, VGF dapat dipakai untuk biaya konstruksi, biaya peralatan, biaya pemasangan, biaya bunga atas pinjaman selama masa konstruksi, dan biaya yang tidak termasuk konstruksi non-lahan dan non-insentif perpajakan. Dalam pelaksanaanya Menteri Keuangan akan mengeluarkan Keputusan Menteri sebagai pernyataan pemberian instrumen VGF kepada proyek KPS dan Kepmen ini merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian Kerja Sama.

Mengingat sifat proyek pembangkit off-grid skala kecil adalah tingginya risiko dan rendahnya kemampuan membayar serta operator harus menjamin ketersediaan pasokan listrik dengan kualitas tinggi untuk jangka waktu lama, maka instrumen VGF sangat sesuai diterapkan. Dalam rangka implementasi Permen ESDM No. 12/2017, pemerintah dapat mempertimbangkan penerapan instrumen VGF untuk mendorong pengembangan PLTS skala utilitas di sistem Jawa Bali atau Sumatra yang memiliki BPP rendah. Instrumen VGF ini dapat dipadukan dengan skema lelang kompetitif. Namun demikian, untuk proyek diluar skema KPS atau KPBU penerapan VGF masih memerlukan kajian yang lebih dalam, serta koordinasi antara KESDM dan Kementerian Keuangan terkait dengan besaran nilai dan mekanisme pelaksaannya.

Fabby memberikan contoh bagaimana pemanfaatan VGF untuk pembangkit energi terbarukan di India. VGF dialokasikan dari National Clean Energy Fund untuk proyek solar PV dengan kapasitas 2.000 mW on-grid, sebagai bagian dari Program Jawaharlal Nehru National Solar Mission (JNNSM) phase 2 (2015). Dana ini diberikan kepada pengembang proyek dengan skema BOO, dengan ketentuan yakni: (1) memasok listrik dengan harga yang ditetapkan selama 25 tahun kepada Solar Energy Corporation of India (SECI) (sebesar Rs. 5,45/kWh atau sekitar US$ 0,8/kWh), (2) penjualan listrik harus dimulai setelah 13 bulan penandatanganan PPA.

Menurut Fabby, satu hal yang dapat dipelajari dari India adalah pemerintah bersedia mengeluarkan dana relatif besar untuk mengembangkan pasar solar PV; dan biaya investasi akan turun ketika pasar sudah besar. Ketika biaya investasi turun, pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana lagi dan menyerahkan pada mekanisme pasar. Ada satu cara yang dilakukan pemerintah India untuk meminimalisasi risiko, yaitu menciptakan kerjasama antara pengembang solar PV dengan pemilik gedung yang mau memasang solar PV. Dalam hal ini, pemerintah India pun memberikan insentif kepada pemilik gedung di samping kepada pengembang solar PV.

Menjadi pembicara terakhir, Eddie Widiono selaku perwakilan dari PJCI melengkapi paparan dari narasumber-narasumber sebelumnya. Eddie mengingatkan satu hal bahwa kunci dari suksesnya pelaksanaan smart grid adalah kesiapan jaringan dalam menampung listrik yang dihasilkan dari EBT. Di samping itu, Eddie menambahkan informasi mengenai tiga jenis instalasi solar PV rooftop, yaitu on-grid, off-grid, dan beyond meter. Apabila ada pelanggan yang berminat untuk memasang solar PV rooftop namun jaringan PLN yang ada di sekitarnya belum siap menerima listrik dari solar PV rooftop, maka pelanggan dapat memasang jenis yang terakhir ini (beyond meter). Untuk jenis instalasi beyond meter, akan dipasang suatu pembatas sehingga jaringan pelanggan tidak dapat mengirimkan listrik ke jaringan PLN sehingga pelanggan tidak dapat menjual listrik ke PLN.

Pada akhirnya, forum diskusi ini merekomendasikan beberapa hal yang dianggap penting untuk dapat dilaksananakan dalam upaya mempercepat pencapaian target EBT 23% pada tahun 2025. Beberapa hal tersebut adalah: (1) dibutuhkan inovasi strategi yang lain dari biasanya; (2) dibutuhkan kecepatan penurunan biaya investasi yang dibarengi dengan kecepatan penurunan BPP PLN; (3) dibutuhkan optimalisasi pemanfaatan biaya publik untuk pengembangan EBT yang akan menurunkan biaya investasi.

Cerita Tentang Listrik dari Timur Indonesia

“Itu listrik di rumah beta sering sekali mati e…..,”

Gunawan, seorang warga di Alak, Kupang, bercerita mengenai seringnya listrik di rumahnya padam. Meski tak lebih dari 1 jam, pemadaman listrik tiba-tiba ini terjadi beberapa kali dalam sehari. Selain mengganggu aktivitas yang dilakukan pada siang hari, pemadaman yang terjadi di sore dan malam hari sangat berpengaruh pada kondisi rumah yang memerlukan penerangan.

Aprintho, warga Kupang yang lain, menggunakan listrik untuk pompa air di Taman Eden 001, sebuah kawasan percontohan tanah produktif milik desa. Di sana, Aprintho memerlukan listrik untuk memompa air guna mengairi kebun dan membersihkan kandang sapi. Pemadaman listrik yang terjadi beberapa kali dan lebih dari 1 jam membuatnya tidak bisa beraktivitas dengan lancar.

Bincang-bincang tentang listrik di Kupang

Di era modern seperti saat ini, energi menjadi kebutuhan yang sangat penting. Listrik diperlukan sepanjang hari untuk berbagai aktivitas, mulai dari memasak, menyetrika, mengerjakan banyak hal di kantor, hingga mengisi ulang baterai telepon genggam. Hampir semua aktivitas yang kita lakukan memerlukan listrik.

Lalu bagaimana jika listrik padam?

Kupang dan Tantangan Kelistrikannya

Tantangan kelistrikan di Kupang saat ini adalah penambahan daya dan pemeliharaan jaringan. Selain pemadaman bergilir karena kurangnya daya, Kupang dan daerah Nusa Tenggara Timur lainnya juga terdampak cuaca buruk yang terjadi sejak bulan Desember 2016. Misalnya pada tanggal 17 Januari 2017, sistem Kupang-So’e sempat mengalami pemadaman karena petir menyambar jaringan transmisi 70 kV dan menyebabkan unit mesin di Marine Vessel Trip dan PLTU mengalami gangguan.

Frekuensi pemadaman yang cukup tinggi ini dikonfirmasi oleh data dari Electricity Supply Monitoring Inisiatif (ESMI). Sepuluh responden dari wilayah yang berbeda-beda di Kupang memasang Electricity Supply Monitor (ESM) di rumah mereka dan data yang dikirimkan melalui layanan seluler ke server yang dikelola IESR diamati sejak bulan Oktober 2016. Jumat, 3 Maret lalu, hasil pengamatan selama 5 bulan ini dipaparkan pada responden ESMI dalam workshop yang digelar oleh IESR dan Perkumpulan Pikul. Salah satu temuan yang dipaparkan adalah frekuensi pemadaman listrik.

Semua responden pernah mengalami pemadaman listrik dalam 5 bulan pengamatan ini, dengan frekuensi pemadaman yang bervariasi. Oebobo, misalnya, tidak banyak mengalami pemadaman listrik, sedangkan Alak tercatat mengalami pemadaman dengan frekuensi tertinggi sepanjang Oktober hingga Desember 2016. Cuaca yang mulai memburuk di bulan Desember juga mempengaruhi pemadaman listrik, terlihat dari meningkatnya frekuensi pemadaman listrik di bulan itu hingga bulan-bulan berikutnya.

Hasil pengamatan data ESMI

Selain pemadaman listrik, kualitas listrik yang diamati adalah tegangan. Karena tak kasat mata, tegangan listrik yang tidak stabil atau rendah sering luput dari perhatian. Seorang responden di Lasiana bercerita bahwa lampu di rumahnya sering terlihat redup dan kipas angin yang ada sering rusak sehingga harus membeli yang baru. Rekam data ESMI menunjukkan bahwa profil tegangan di rumah responden tersebut memang dominan rendah. Tegangan rendah dapat menyebabkan kerusakan alat elektronik dan membebani biaya listrik karena menyedot arus dalam jumlah lebih tinggi.

Dalam workshop ini, pemaparan hasil pengamatan ESMI juga disertai dengan diskusi dua arah dan konfirmasi data. Sering terjadinya pemadaman listrik dibenarkan oleh responden, juga bagaimana kondisi tersebut mempengaruhi aktivitas mereka. Dengan data ESMI yang dapat diakses secara online dan real-time, responden dapat memantau listrik di rumah mereka. Selain itu, responden dapat mengetahui bahwa kualitas listrik yang kurang baik dapat menyebabkan kerusakan alat listrik atau membengkaknya tagihan listrik.

Inisiatif pemantauan pasokan listrik ini akan dilanjutkan hingga bulan April 2017. Hasil pengamatan kualitas listrik melalui ESMI diharapkan dapat menjadi media informasi bagi masyarakat untuk mengetahui kualitas listrik di tempat tinggal mereka dan membantu pemerintah serta penyedia layanan listrik untuk memantau sekaligus meningkatkan kualitas listrik. Terkait defisit daya dan gangguan pada jaringan karena faktor alam di Kupang, hasil ESMI dapat menjadi pertimbangan untuk perencanaan penambahan daya dan pengembangan serta pemeliharaan jaringan listrik.

Hening Marlistya Citraningrum adalah Program Manager untuk Sustainable Energy Transition di IESR.

Paparan Studi dan Diskusi Pendanaan Perubahan Iklim di Kota Kupang

Kupang adalah kota dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, di mana persentasenya di tahun 2015 mencapai lebih dari 10%. Pertumbuhan penduduk ini juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor konstruksi, perdagangan, servis kendaraan, dan sektor komunikasi dan informasi.

Kenaikan aktivitas ekonomi ini juga mendorong peningkatan kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK). Hal ini terlihat dengan meningkatnya kebutuhan energi untuk listrik, bahan bakar rumah tangga, pertumbuhan kendaraan, dan peningkatan timbunan sampah. Menilik pemenuhan energi di Kupang, listrik di Kupang bergantung pada pembangkit listrik tenaga diesel dan uap yang menggunakan bahan bakar fosil. Jumlah kendaraan di Kupang juga meningkat drastis hingga dua kali lipat dalam periode 2009 – 2011. Dua hal ini menyebabkan emisi GRK di Kupang perlu mendapatkan perhatian lebih dari para pemangku kepentingan.

Dalam workshop yang diadakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Climate and Development Knowledge Network (CDKN), dan Perkumpulan Pikul di Kupang pada tanggal 4 Maret 2017, paparan mengenai kebutuhan pendanaan untuk menghadapi perubahan iklim disampaikan dan didiskusikan dengan berbagai pemangku kepentingan. Dalam workshop ini hadir perwakilan pemerintah dari Bappeda Kota Kupang, Otoritas Jasa Keuangan, Bank NTT, WALHI Kupang, dan Geng Motor Imut (GMI).

Kota Kupang mengalami sejumlah ancaman akibat perubahan iklim, di antaranta kenaikan muka air laut, angin kencang, dan hujan tak menentu. Fenomena ini menyebabkan meningkatkanya kejadian bencana terkait cuaca di Kupang, misalnya banjir, puttng beliung, hingga gelombang tinggi. Studi pencakupan yang dilakukan oleh IESR, CDKN, dan Perkumpulan Pikul menemukan bahwa Kota Kupang belum memiliki agenda dan strategi pengurangan emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim. Pemerintah Kota Kupang sendiri sudah memiliki inventarisasi emisi gas rumah kaca sektoral melalui database SIGN-SMART. Dokumen Rencana Anggaran Daerah Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiki Bencana juga sudah ditetapkan, tetapi belum diadopsi secara resmi dalam regulasi. Saat ini belum ada rencana pembangunan yang rendah karbon dan adaptif terhadap perubahan iklim. Kota Kupang juga masih membutuhkan peningkatan kapasitas perencanaan pembangunan yang memitigasi perubahan iklim dan mengurangi emisi GRK. Elemen pembiayaan juga terhitung penting, karena dari studi ini, terlihat bahwa Kota Kupang belum memiliki pembiayaan yang cukup.

Dalam diskusi yang berlangsung setelah paparan hasil studi, isu-isu perubahan iklim di Kota Kupang dibahas oleh peserta yang hadir. Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, koordinasi multistakeholder adalah faktor penting, di mana peran serta elemen pemerintah, lembaga sipil masyarakat, individu, dan perbankan mutlak ada untuk efektivitas program yang direncanakan dan dijalankan. Masukan dan saran yang muncul dalam diskusi tersebut adalah perlunya melibatkan masyarakat sipil dalam program mitigasi perubahan iklim, perencanaan yang lebih tepat sasaran, integrasi rencana pembangunan yang terstruktur sehingga dapat diturunkan pada satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) terkait, perlunya instrumen pendanaan yang reliable¸ dan pertimbangan untuk membatasi investasi agar tidak menimbulkan emisi GRK dalam jumlah lebih banyak.

Pembiayaan program mitigasi perubahan iklim dari dana-dana swasta dan luar negeri juga didiskusikan dengan perwakilan Bank NTT dan OJK. Saat ini pihak swasta, terutama perbankan belum mengucurkan dana yang cukup untuk agenda perubahan iklim. Pihak perbankan juga belum memiliki skema pembiayaan lewat kredit untuk program mitigasi perubahan iklim, padahal masyarakat sipil dan komunitas sudah bergerak untuk terlibat. Geng Motor Imut, misalnya, sudah mampu memproduksi 200 kompor biomassa per bulannya. Biogas digester juga sudah mulai dikembangkan, sejumlah 50 instalasi sudah dipasang di seluruh NTT. Ke depannya, kegiatan-kegiatan terkait pengurangan emisi GRK ini perlu ditingkatkan dan didukung baik dari segi regulasi, sosialisasi pada masyarakat, model bisnis, maupun pembiayaan. Dialog-dialog multipihak dalam rangka pengembangan institusi pembiayaan bersama, misalnya dalam bentuk trust fund, juga perlu dilakukan terus menerus sehingga institusi yang memiliki kekuatan hukum tetap dapat terbentuk.

Perwakilan dari Bappeda Kota Kupang menyatakan bahwa dalam RPJMD 2017 – 2022, elemen mitigasi perubahan akan dimasukkan, sehingga bisa diturunkan menjadi regulasi untuk SKPD terkait. Koordinasi dengan lembaga sipil masyarakat dan masyarakat umum juga merupakan langkah yang akan diambil guna mendorong efektifitas program yang direncanakan. Dalam pembahasan anggaran pemerintah, Fabby Tumiwa menggarisbawahi perlunya perencanaan yang lebih cerdas dan terarah, di mana pos pendanaan yang sudah ada dapat digunakan dengan penyesuaian. Jika ini dilakukan, komponen pembiayaan dari luar APBD dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan mitigasi perubahan iklim lainnya.

Paparan studi dan diskusi ini ditutup dengan kesepakatan untuk lebih banyak mengadakan temu bersama guna mendorong sinergi multi pihak dalam program-program mitigasi perubahan iklim di Kota Kupang.

Hening Marlistya Citraningrum adalah Program Manager untuk Sustainable Energy Transition di IESR.

Featured image via Shutterstock.

Direktur Eksekutif IESR Berbicara dalam Sumba Investment Forum

Oleh : Hening Marlistya Citraningrum

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa tampil sebagai salah satu pembicara dalam Sumba Investment Forum 2017 yang digelar di Soehanna Hall, Enery Building oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Hivos Southeast Asia, Senin (20/2).

Sumba Investment Forum 2017 merupakan ajang pertemuan bisnis antara pemerintah, baik nasional maupun daerah, dan para investor untuk mendukung tercapainya target pemenuhan energi di Sumba dengan 100% energi terbarukan di tahun 2025.

Sumba Iconic Island (SII) telah menjadi program prioritas nasional dalam pemenuhan kebutuhan energi melalui pengembangan potensi energi baru dan terbarukan (EBT). Program yang dikembangkan di Sumba, sebuah pulau di Nusa Tenggara Timur ini dikelola bersama oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hivos Southeast Asia, PT PLN dan Pemerintah Daerah serta kelompok masyarakat.

Berbicara di hadapan ratusan undangan, Fabby berbicara tentang pengembangan energi terbarukan on-grid dan kesiapan PLN dalam mendukung peta jalan target Sumba Iconic Island (SII) di tahun 2020.

Dia menjelaskan bahwa saat ini kondisi kelistrikan di pulau Sumba baru mencapai 30% dan 15 % diantaranya berasal dari energi terbarukan.

“Target dari program ini adalah tercapainya rasio elektrifikasi sebesar 95% dengan keseluruhan sumber energi berasal dari energi terbarukan’ ujar Fabby.

Untuk mewujudkan target ini dibutuhkan sebuah Rancangan Umum Penyediaan Energi Sumba (RUPES). Rancangan ini berisi tentang analisa menyeluruh pentingnya target ini dan telaah mengenai pilihan jaringan off-grid dan on grid, rencana ekspansi jaringan yang telah ada ataupun pembangunan jaringan baru.

“Perencanaan ini harus disusun dengan baik dan didukung oleh investasi swasta serta optimalisasi pembiayaan negara” ujarnya.

Lebih lanjut Fabby yang juga adalah anggota kebijakan Tim Pelaksana SII menjelaskan tentang dua skenario mengenai produksi listrik di Sumba selama satu tahun. Untuk skenario tinggi, total elektrifikasi yang terjangkau jaringan mencapai 80% sedangkan sisanya akan disumbang dari minigrid dan off-grid. Di musim kemarau dimana debit air dan kecepatan air berkurang maka penetrasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) diperkiran bisa mencapai 87% dengan syarat pumped storage selalu tersedia sebagai cadangan listrik. Sedangkan skenario rendah, total elektrifikasi yang terjangkau jaringan mencapai 70%, dan sisanya berasal dari mini dan off-grid. Di musim kemarau, diesel diperlukan sebagai pengganti pembangkit tenaga EBT yang lain. Penetrasi EBT diperkirakan mencapai 71%.

Fabby juga menjelaskan beberapa contoh gambaran skenario kebutuhan investasi yang bisa diadopsi. Untuk skenario dasar 20 MW strorage hydro dengan seluruh pembangkit energi terbarukan beroperasi akan membuntuhkan biaya investasi yang lebih rendah dibandingkan dengan skenario pumped storage 10 MW strorage, Meski begitu, biaya pembangkit listrik untuk skenario kedua akan lebih murah dari yang pertama.

Fabby menilai dengan besarnya potensi energi terbarukan yang dimiliki Sumba, target untuk mencapai 100% energi terbarukan akan bisa diwujudkan dalam jangka waktu 10 tahun yang solid dan didukung dengan analisa lapangan melaui feasibility study dan investasi yang memadai.

“Selain sumber energi, Sumba juga memiliki iklim investasi yang mendukung pemerintah provinsi dan kabupaten sangat terbuka terhadap investor dan PLN memiliki komitmen menjadi off-taker dalam pengembangan jaringan” ujarnya menutup paparan.

FGD Pemenuhan Kebutuhan Pangan di Indonesia dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim telah terjadi di seluruh pelosok dunia. Di beberapa tempat di Indonesia, kekeringan, curah hujan dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi, telah mempengaruhi produksi pertanian untuk memenuhi permintaan pangan di Indonesia. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) yang dipublikasikan oleh Bappenas di tahun 2010, menunjukkan proyeksi temperatur dan juga variabilitas iklim yang akan terjadi di tahun 2020. Diperkirakan Indonesia akan mengalami perubahan pada tingkat curah hujan, dan juga perubahan temperatur permukaan air laut.

ICCSR memperkirakan kenaikan muka air laut rata-rata di Indonesia akan berada di rentang 0.6 cm/tahun – 0.8 cm/tahun. Sedangkan suhu muka air laut diperkirakan akan meningkat hingga 0.65oC di tahun 2030 hingga 1.10oC di tahun 2050. ICCSR juga memberikan prediksi ketersediaan air bersih di Indonesia pada tahun 2030. Diperkirakan pada tahun 2030, Sumatera, Jawa-Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, akan mengalami kekuarangan air bersih dimana permintaan air akan melebihi pasokan air bersih yang ada. Hal-hal ini akan mempengaruhi ketahanan pangan di Indonesia baik dari sisi pertanian (komoditi beras) maupun ketersediaan protein yang berasal dari laut.

Ketahanan pangan pun tidak hanya dipengaruhi oleh supply seperti ketersediaan komoditi beras untuk pertanian maupun protein dari laut, namun juga dari ketersediaan lahan dan juga dari jalur distribusi untukpemenuhanpermintaan di wilayah-wilayah yang bukanmerupakansentraproduksipangan. Banjir yang disebabkan oleh frekuensi dan intensitas hujan yang tinggi, seringkali memutus jalur distribusi pangan untuk wilayah-wilayah yang memerlukan pangan. Itu sebabnya, ketahanan pangan harus dilihat secara menyeluruh, bukan hanya dari peningkatan produksi, namun juga dari sisi permintaan.

Ketahanan pangan saat ini masih bertumpu pada ketersediaan beras. Pada kenyataannya, bahan pangan juga mencakup ketersediaan protein, seperti protein dari laut. ICCSR menyatakan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan permukaan air laut, kekeringan, dan perubahan curah hujan. Dampak-dampak ini berakibat pada pengurangan luas lahan pertanian di wilayah pesisir, menurunkan produktivitas dari tanaman pangan. Perubahan curah hujan menyebabkan pergeseran musim tanam, bahkan mengurangi ketersediaan air.

Bukan hanya sektor pertanian, namun juga sektor kelautan dan perikanan yang terpengaruh oleh perubahan iklim. ICCSR mengidentifikasikan bahwa sektor kelautan dan perikanan akan mengalami dampak perubahan iklim terutama akibat naiknya permukaan air laut, dan juga kerusakan yang disebabkan oleh badai yang angin kencang yang terjadi. Dampak ini berakibat pada kerusakan di wilayah pesisir, pergeseran lokasi untuk mencari ikan, serta berkurangnya stok ikan tangkap.

Terkait dengan hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) didukung oleh Oxfam, melakukan kajian terkait dengan ketahanan pangan dan perubahan iklim yang dilihat dari empat sektor yang berbeda: pertanian, perikanan, perkotaan, dan tata guna lahan. Untuk itulah IESR bermaksud untuk mengadakan FGD terkait dengan isu pengaruh perubahan iklim terhadap ketahanan pangan dengan menggunakan pendekatan empat sektor, guna memperkaya kajian yang telah dilakukan.

FGD ini dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 2016 di Penang Bistro Kebon Sirih.

Unduh laporan FGD Pangan dan Perubahan Iklim (PDF)

FGD Mengenai Pengarusutamaan Gender di dalam Sektor Energi

IESR bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melakukan kajian awal mengenai pengarusutamaan gender di dalam sektor energi, khususnya yang terkait dengan energi terbarukan. FGD ini merupakan FGD kedua dari rangkaian diskusi untuk mendapatkan masukan terhadap studi yang sedang dilakukan.

Pada diskusi ini, IESR memaparkan hasil kajiannya, serta mendapatkan masukan dari MCAI, HIVOS, EBTKE direktorat Aneka Energi, serta beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya dan Bappenas. FGD ini dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2016, bertempat di Hotel Grand Mercure, Harmoni, Jakarta Pusat.

Beberapa hal yang muncul di dalam diskusi tersebut adalah:

  1. Akses informasi yang diberikan kepada masyarakat, terutama perempuan, seharusnya tidak terbatas pada sosialiasi satu arah.
  2. Teknologi yang digunakan untuk mengakses informasi, harus dapat digunakan oleh perempuan dengan mudah. Membuat informasi tersedia secara online di internet, seringkali bukan suatu hal yang dapat meningkatkan akses informasi perempuan.
  3. Partisipasi bagi perempuan menjadi sulit, jika informasi yang diberikan kepada kaum perempuan tidak lah cukup. Ruang partisipasi untuk perempuan juga harus diciptakan, di mana perempuan dapat merasa nyaman untuk menyatakan pendapatnya.
  4. Terkait dengan teknologi energi terbarukan. Teknologi yang digunakan menjadi kurang dekat dengan perempuan, karena perempuan tidak dilibatkan mulai dari sisi perencanaan hingga implementasi kegiatan. Pada umumnya perempuan juga tidak mendapatkan pelatihan terkait dengan teknologinya.
  5. Para pengembang energi terbarukan pada umumnya belum melihat relevansi dari isu gender ini terhadap energi terbarukannya sendiri. Bagi pengembang, yang penting adalah terbukanya peluang bisnis. Diskusi terkait dengan DAK untuk tahun 2017 pun belum menyentuh hal ini, hanya sebatas aspek-aspek teknis. Jika konsep ini diperkenalkan kepada pengembang, maka akan membuat kerja pengembang menjadi lebih efektif dan mengurangi biaya. Misalnya, jika diketahui level ketelatenan perempuan di satu wilayah tertentu, maka pengembang akan memberikan tugas-tugas tertentu yang dapat dilakukan oleh perempuan dengan lebih baik.
  6. Menyediakan teknologi yang mudah bagi perempuan sebenarnya dapat dilakukan dari sisi pengembang. Pada umumnya, pengembangan teknologi akan ditentukan berdasarkan permintaan yang ada.
  7. Diskusi juga menyinggung perihal teknologi biogas dari sampah, dan bagaimana teknologi tersebut harus dirancang sedemikian rupa, sehingga akan mengurangi beban perempuan dalam mengelola sampah rumah.
  8. Pemahaman mengenai isu gender perlu untuk dilakukan di berbagai level dan berbagai pihak.

Unduh Laporan FGD Mengenai Pengarusutamaan Gender di dalam Sektor Energi (PDF)