Ketika Minyak dan Gas Tak Lagi Menjadi Andalan Penopang Anggaran Negara

Pemerintah diminta untuk segera menyiapkan strategi kebijakan fiskal yang mengurangi ketergantungan pada pendapatan dari minyak dan gas. Realisasi lifting yang terus meleset dan merosotnya harga minyak mentah di pasar internasiona menjadi penyebab terjadinya ketidakstabilan fiskal di tingkat nasional dan daerah.

iesr-6-300x171Jakarta, 23 September 2015. Selama lima belas tahun terakhir, realisasi lifting minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan, bahkan meleset dari asumsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2000 misalnya, realisasi lifting minyak mentah hanya mencapai angka 1.328 ribu barel per hari (bph) dari target APBN sebesar 1.460 bph, maka pada tahun 2015 pemerintah hanya menetapkan asumsi lifting sebesar 825 ribu bph, itu pun menurut perkiraan banyak kalangan akan tercapai pada kisaran 812 ribu bph hingga akhir Desember 2015.

Dalam Rancangan APBN Tahun 2016, Pemerintahan Presiden Jokowi menerapkan asumsi lifting minyak mentah sebesar 800-830 bph dan lifting gas bumi sebesar 1.100-1.300 ribu barel setara minyak per hari. Meski belum disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada Desember nanti, namun asumsi ini dianggap cukup realistis mengingat situasi dimana cadangan minyak Indonesia yang kian menipis dan anjloknya harga minyak mentah di pasar internasional sejak pertengahan tahun lalu.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) penurunan lifting minyak mentah ini perlu menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah, sebab lifting minyak dan gas merupakan salah satu asumsi yang digunakan dalam menyusun penerimaan negara APBN Indonesia.

“Ketika lifting minyak terus menurun dan harga minyak merosot secara tajam maka pendapatan dari sektor migas juga menurun secara tajam. Situasi ini tentu saja menimbulkan ketidakstabilan fiskal, baik di pusat maupun daerah. Sekarang ini banyak daerah-daerah penghasil migas yang mengalami kebingungan mengatasi biaya belanjanya karena alokasi Dana Bagi Hasil Migas menurun secara drastic,” ujar Fabby ketika membuka diskusi publik yang membahas tentang ketahanan sektor migas dalam menopang APBN Indonesia ke depan, yang berlangsung di Hotel Gren Alia Cikini, Rabu pekan lalu (23/09).

Dengan situasi dimana cadangan migas Indonesia yang semakin menipis dan tidak menentunya harga minyak di pasar internasional, pemerintah perlu segera menyiapkan strategi kebijakan dalam pengelolaan anggaran yang tak lagi bertopang dan menggantungkan penerimaan dari produksi minyak dan gas bumi.

Menurut data dari kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan minyak bumi terbukti Indonesia saat ini berkisar 3,7 milyar barel dan dengan tingkat ekstraksi saat ini produksi akan bertahan selama 10-12 tahun ke depan. Namun terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara laju pertumbuhan konsumsi dan produksi sehingga mendorong pemerintah untuk melakukan impor bahan bakar.

“Pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah kebijakan guna memastikan bahwa sektor migas yang tersisa dapat mendukung ketahanan energi Indonesia di masa depan” ujar Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selain itu, dia menambahkan, pemerintah juga membuka iklim investasi yang lebih luas di sektor migas guna mendorong pencarian sumber-sumber ladang minyak baru yang kini lebih banyak di wilayah Indonesia timur.

“Kita juga perlu merubah paradigma bahwa Indonesia bukan lagi negara kaya minyak dan sektor migas bukanlah devisa bagi negara. Pendapatan dari sektor migas harus dikelola untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sektor lainnya.” ujar Agus.

Harga minyak dan kutukan sumber daya

Anjloknya harga minyak mentah memang memberikan pukulan yang cukup keras bagi APBN Indonesia. Jika pada tahun 2015 Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas mencapai besaran 14% dari APBN atau sebesar Rp. 216 triliun, maka pada Agustus 2015 kontribusinya baru mencapai 5% atau sebesar Rp. 81 triliun.

“Meski prosentasenya mengalami penurunan, namun jumlah pendapatan dari sektor migas masih sangat penting dalam menopang postur APBN dan APBN. Di beberapa provinsi kaya migas, seperti Riau, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau kontribusi Dana Bagi Hasil (DBH) Migas bahkan mencapai 25-40% dari pendapatan daerah” jelas Heru Wibowo, Kasubdit Penyusunan Anggaran, Kementerian Keuangan.

Pemerintah memang harus segera menyiapkan langkah-langkah adaptasi yang sangat serius akibat penurunan harga minyak dunia, ujar Berly Wartawardaya, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia. Sebab, diperkirakan situasi ini akan berjalan cukup lama akibat ditemukannya cadangan shale gas yang cukup besar di Amerika Serikat.

Pengelolaan pendapatan sektor migas harus dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan jangka panjang sektor non-migas, khususnya untuk pembangunan sumber daya manusia dan diversifikasi pendapatan nasional dan daerah, dan menyiapkan dana sumber daya alam untuk pembangunan jangka panjang.

Pembangunan sektor migas juga harus dilakukan secara bijak dan mendorong iklim investasi yang lebih sehat sehingga menarik investor untuk melakukan pencarian sumur-sumur migas baru di kawasan timur Indonesia.

“Perusahaan minyak nasional juga perlu didukung untuk melakukan ekspansi ke luar negeri untuk menambah jumlah cadangan minyak di dalam negeri. Selain perlunya pengelolaan konsumsi bakar bakar yang lebih bijak, terutama dalam pengelolaan sektor transportasi, sehingga jurang antara laju produksi dan konsumsi tidak semakin lebar” jelas Berly.

Dia juga menambahkan, pemerintah daerah juga perlu didorong untuk meningkatkan kapasitasnya dalam pengelolaan pendapatan dari sektor migasnya agar bisa terhindar dari fenomena kutukan sumber daya.

Berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 2006-2012 di 415 kabupaten 93 kota di Indonesia terlihat bahwa Indeks pembangunan manusia di daerah-daerah kaya sumber daya ternyata lebih buruk dibandingkan dengan daerah-daerah miskin sumber daya.

“Dengan jumlah dana yang mengalir ke daerah, pemerintah harusnya bisa lebih bijak dalam mengelola sumber daya yang mereka punya untuk pembangunan jangka panjang. Jika tidak, keberadaan sumber daya tersebut hanya akan menjadi sia-sia” jelasnya.

Ananda Idris, praktisi perminyakan menambahkan, Indonesia juga bisa belajar dari negara lain yang memisahkan pendapatan sektor migas dari APBN, dan memanfaatkan pendapatan tersebut untuk pengembangan industri migas melalui Petroleum Fund yang tujuanya adalah untuk membangun fasilitas sumber energi baru dan terbarukan atau optimalisasi energi yang telah ada.

Pendapatan yang akan masuk ke APBN, menurut Anada, justru berasal dari pajak atau retribusi yang dihasilkan dari industri yang dimotori dari industri migas. Di beberapa negara Eropa yang kaya migas seperti seperti Norwegia, pendapatan dari migas justru digunakan untuk mendorong pertumbuhan industri lain lebih berkelanjutan, seperti manufaktur, jasa dan lain-lain.

Untuk bahan presentasi narasumber dapat diunduh dibawah ini:

IESR Mendukung Seruan Kepada G20 untuk Memprioritaskan Efisiensi Energi sebagai Investasi Infrastruktur

ex logo

Institute for Essential Services Reform (IESR) mendukung seruan kepada Menteri Keuangan G20 untuk memprioritaskan Efisiensi Energi sebagai investasi infrastruktur. Seruan ini dibuat menjelang pertemuan menteri Energi dan Menteri Keuangan G20 pada tanggal 2 dan 8 Oktober, serta Pertemuan Puncak Pemimpin G20 15-16 November 2015.

IESR bersama dengan 32 organisasi lainnya (NGO, think tank, asosiasi bisnis, aliansi) dari 18 negara menyerukan bahwa efisiensi energi seharusnya menjadi elemen inti (core elements) dari program reformasi ekonomi yang dapat meningkatkan produktifitas dan daya saing ekonomi.

Pengalaman di sejumlah negara anggota G20 menunjukkan bahwa kebijakan dan regulasi yang mempromosikan efisiensi energi di industri, bangunan gedung dan peralatan rumah tangga dapat menarik investasi swasta dan hasilnya adalah meningkatkan produktifitas dan menurunkan permintaan energi.

Walaupun demikian tidak sedikit negara anggota G20 yang menganggap efisiensi energi dan produktifitas energi sebagai sebuah program skala kecil yang hanya mendapatkan pendaan seadanya. Cara pandang ini perlu berubah dengan demikian investasi dalam ha efisiensi energi dapat memperoleh prioritas pendanaan, sama dengan pembiayaan modal untuk infrastruktur lainnya.

Seruan ini mendesak Menteri Keuangan anggota G20 untuk:

  1. Mengklasifikasi investasi untuk efisiensi energi merupakan bagian dari prioritas infrastruktur publik;
  2. Melakukan kajian kebutuhan reformasi struktural yang diperlukan untuk mengatasi hambatan-hambatan pembiayaan dan perkembangan pasar untuk meningkatkan produktivitas sehingga memampukan implementasi Rencana Aksi Energi Effisiensi G20 yang paling cocok untuk masing-masing negara anggota G20;
  3. Berkomitmen untuk menganggarkan dana publik secara cukup untuk memastikan akses pembiayaan yang sama bagi rumah tangga dan untuk menarik investasi swasta skala besar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas infrastruktur gedung/bangunan.

Silahkan unduh lampiran (Bahasa Inggris):

Download

September 2015.

Framework untuk Tata Kelola Industri Ekstraktif di ASEAN Resmi Diluncurkan

Ini merupakan kerangka kerja yang unik yang dapat membantu negara-negara ASEAN memenuhi panggilan untuk menyelaraskan kebijakan mineral dan memastikan bahwa sumber daya ekstratif akan memberikan manfaat bagi negara, masyarakat, dan menguatkan integrasi ekonomi ASEAN.

pic1Jakarta, 3 Desember 2014. Institute for Essential Services Reform (IESR) secara resmi meluncurkan “Kerangka Kerja untuk Tata Kelola Industri Ekstraktif di ASEAN, yang berlangsung pada Jumat (28/11) di Jakarta. Acara ini merupakan puncak dari beberapa kegiatan yang telah dilakukan IESR sebelumnya, yang berkaitan dengan upaya untuk membentuk suatu kerangka kerja dari tata kelola yang baik di bidang industri ekstraktif.

Kerangka kerja ini dikembangkan oleh IESR selama dua setengah tahun bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam proyek Kemitraan Indonesia Amerika Serikat (IKAT-US) yang didukung oleh USAID dan Natural Resource Governance Institute (NRGI). Organisasi tersebut adalah Cambodians for Resource Revenue Transparency (CRRT) dari Cambodia, Institute for Democracy and Economic Affairs (IDEAS) dari Malaysia, Bantay Kita dari Filipina, CODE dan Pan Nature dari Vietnam, Luta Hamutuk Institute dari Timor Leste, dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Article 33, dan PolGov Universitas Gadjah Mada dari Indonesia.

Tata kelola yang baik di sektor industri ekstraktif, menjadi tantangan yang besar bagi banyak negara-negara di Asia Tenggara. Sumber daya alam khususnya minyak, gas dan mineral yang seharusnya menjadi modal untuk pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan yang berkelanjutan justru menimbulkan berbagai persoalan pelik seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial, praktik korupsi dan kemiskinan.

orange“Kerangka kerja ini diharapkan dapat mendorong perbaikan tata kelola tersebut dan membantu negara-negara ASEAN untuk melakukan harmonisasi kebijakan di sektor energi dan mineral sehingga sumber daya alam ini bisa memberikan manfaat yang maksimal bagi negara dan masyarakat ASEAN, serta mendorong organisasi regional ini mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya.

Kerangka kerja ini menawarkan empat prinsip yang meliputi prinsip-prinsip serta praktik yang mencerminkan dari good governance dari semua rantai kegiatan dalam industri ekstraktif ini. Empat prinsip tersebut adalah (1) Perlindungan terhadap lingkungan hidup; (2)Menghormati dan melindungi hak asasi manusia; (3) Praktik yang transparansi dan akuntabel; (4) Menyiapkan kebijakan fiskal dan pengelolaan pendapatan yang sehat.

Menurut Dr.Ir.Sukhyar, Direktur Dirjen Mineral dan Batubara, Kementrian Energi dan Sumber Daya mineral, kerangka kerja ini sejalan dengan perubahan paradigma yang terjadi di Indonesia, dimana pertambangan bukan lagi sekedar meneksploitasi sumber daya alam, namun sebagai modal pembangunan yang berkelanjutan dan kemakmuran masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

1“Dalam tata kelola yang baik, keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan menjadi sangat penting, termasuk kelompok masyarakat” jelas Sukhyar Dan rekomendasi yang perlu dilakukan dalam perbaikan tata kelola pertambangan di Indonesia dalah dengan merevisi kebijakan royalti, membangun sistem layanan satu pintu bagi ijin pertambangan, menguatkan sistem sertifikasi dan kompetensi proses perijinan.

Sedangkan menurut Natacha Kim dari Cambodians for Resource Revenue Transparency (CRRT), bagi negara -negara yang baru mengolah sumber daya alamnya seperti Kamboja, kerangka kerja ini bisa dijadikan jembatan dalam upaya untuk memperbaiki tata kelola di negaranya

“Di Kamboja, masih terdapat jurang yang lebar antara undang-undang yang dibuat dan praktik pelaksanaanya. Kerangka kerja ini bisa menjadi alat untuk perbaikan tersebut, dan kelompok masyarakat sipil bisa terlibat di dalamnya” ujar Natacha.

Rantai Nilai Proses Ektraksi

Lebih lanjut Fabby Tumiwa menjelaskan bahwa persoalan tata kelola di sektor industri ektraktif tidak hanya hanya terjadi pada pengelolaan pendapatan, tapi juga di seluruh rantai nilai industri ekstraktif, yang dimulai dari keputusan apakah akan mengesktraksi atau tidak mengekstraksi, pemberian kontrak, hingga pengembangan kebijakan pasca tambang.

2
Rantai kegiatan (value chain) dalam industri ekstraktif

“Karena tidak ada mekanisme yang transparan dan akuntabel di seluruh rantai nilai tersebut, tak heran jika kemudian muncul berbagai konflik diantara pemerintah, masyarakat dan kelompok usaha” jelas Fabby.

Kerangka kerja ini dimaksudkan untuk menyiapkan prinsip-prinsip dasar tata kelola sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam dengan menyeimbangkan antara keuntungan ekonomi, lingkungan dan sosial.

“Prinsip-prinsip yang ditawarkan dalam kerangka kerja ini sudah menjamin bahwa tidak memiliki konflik dengan kerangka kerja serupa yang sudah ada sebelumnya, seperti Natural Resource Charter yang sudah diluncurkan oleh NRGI.” jelas Fabby.

IESR bersama dengan partner yang tergabung dalam kolaborasi ini merencanakan untuk melakukan implementasi dari kerangka kerja di beberapa negara yang tergabung dalam ASEAN tahun depan.

3IESR sendiri akan mengembangkan sebuah toolkit untuk kerangka kerja ini dan bekerjasama dengan pemerintah serta masyarakat sipil dan kalangan pengusaha bisnis untuk menerapkan kerangka kerja ini di tingkat nasional.

“Kami sedang menantikan dua atau tiga negara yang bisa diuji, sehingga tahun depan hasil dan pembelajarannya bisa dilaporkan pada pada saat pertemuan ASEAN Ministerial Meeting on Mineral (AMMIn) pada akhir tahun 2015″, lanjut Fabby.

Kerangka kerja ini juga akan diluncurkan di Hanoi, Vietnam, pada tanggal 5 Desember 2014 dan selama ASIA CSR FORUM di Singapur pada tanggal 10 Desember 2014.

Untuk informasi selanjutnya mengenai kerangka kerja ini, dapat di download di http:/www.iesr.or.id/regional-framework/. Saran dan komentar mengenai kerangka kerja ini dan bagaimana kemungkinan implementasinya di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, dapat menghubungi Fabby Tumiwa melalui email: fabby@iesr.or.id atau Yesi Maryam melalui email: yesi@iesr.or.id.

Internasional Seminar Kerangka Kerja Tata Pemerintahan yang Baik untuk Industri Ekstraktif di ASEAN

Jakarta, 3 September 2014. Pada tanggal 20 Agustus 2014, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) membuka Seminar Internasional yang membahas tentang tata pemerintahan yang baik untuk industri ekstraktif di kawasan Asia Tenggara.

Seminar yang dihadiri oleh lebih dari 80 peserta yang mewakili pemerintah, dunia usaha, akademisi dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja dan Timor Leste ini menyepakati bahwa tata pemerintahan yang baik untuk pengelolaan minyak, gas dan mineral merupakan kunci untuk memastikan bahwa sumber daya alam di kawasa ini akan membawa kesejahteraan masyarakat.

fabby1“Sebagian negara-negara kaya sumber daya alam yang tergabung dalam Asosiasi Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara atau ASEAN, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam memang mampu menghindar dari fenomena kutukan sumber daya alam, karena pendapatan dari sumber daya tersebut bisa dikelola untuk mendorong pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi” ujar Fabby.

Namun demikian, negara-negara tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan seperti praktek korupsi, kerusakan lingkungan serta votalitas harga komoditas yang sulit untuk diprediksi.

Itu sebabnya, menurut Fabby, para pemimpin di ASEAN perlu menyiapkan sebuah kerangka kerja regional mengenai tata pemerintahan yang baik di sektor industri ektraktif. Kerangka kerja ini dimaksudkan untuk menjadi standar kebijakan dalam pengelolaan industri ektraktif, tranparan dan akuntabel, sekaligus membangun media dialog dan kepercayaan antara pihak-pihak yang berkepentingan.

“Kerangka kerja ini dibutuhkan karena mulai tahun 2015 ASEAN akan berkembang kawasan ekonomi terpadu dan terintegrasi dengan tatanan ekonomi global”

Kepala Unit Kerja Presiden Bidang pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP), Dr. Kuntoro Mangkusubroto, juga menjelaskan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan kini menjadi isu strategis tatanan global, dan salah satu faktor yang mendorong tersebut adalah pemerintah yang terbuka.

“Indonesia dan Filipina merupakan dua negara ASEAN yang aktif untuk mendorong terbentuknya gerakan Open Government Partnership (OGP). Dan bersama dengan Amerika Serikat kedua negara ini mendorong gerakan ini ke tingkat kawasan dan dunia.

Sementara Profesor Budi Resosudarmo dari Australian National University, mengungkapkan meskipun pertambangan merupakan sektor yang penting bagi ekonomi negara-negara di ASEAN, namun analisa ekonomi dampak pertambangan masih sulit untuk dilakukan.

pic2“Tidak jelasnya kebijakan pertambangan yang diterapkan pemerintah di negara ASEAN menjadi salah satu tantangan dalam melakukan analisa dampak pertambangan di kawasan ini. Selain itu, sistem yang tidak transparan dan akuntabel mulai dari tahap perencanaan, seperti pemberian ijin dan kontrak, hingga pengelolaan pendapatan dan kegiatan pasca tambang, menyebabkan banyak permasalahan yang terjadi di sektor ini” ujar Budi.

Negara-negara di ASEAN bahkan tidak memiliki data yang jelas berapa sebetulnya jumlah cadangan pertambangan yang masih mereka miliki.

Di tahun 2013, Revenue Watch Institute mengeluarkan index mengenai pengelolaan sumber daya alam, dan hampir sebagian besar negara-negara ASEAN masuk dalam kategori lemah yang ditandai dengan buruknya sistem pelaporan, lemahnya institusi dan penegakan hukum dan penerapkan standar global pengelolaan sumber daya alam.

Meski demikian, kesadaran untuk memperbaiki pengelolaan sektor yang strategis ini juga sudah mulai tumbuh di sejumlah negara ASEAN. Indonesia, Filipina dan Myanmar merupakan negara kandidat EITI (Extractive Industry Transparency Inisiative), sebuah standar global mengenai transparansi pendapatan dari sektor minyak, gas dan mineral.

Di Filipina, bahkan EITI telah diterapkan diseluruh rantai nilai proses esktraksi mulai dari keputusan untuk mengesktraksi hingga pengelolaan pendapatannya.

“Transparansi merupakan kata kuncinya, sebab di Filipina pertambangan hanya menyumbang kurang dari 2% dari GDP, sementara kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang terjadi akibat pertambangan sudah sedemikian buruknya.” Ujar Danileen Kristel Parel analis dari Philippines Institute for Development Studies

Sementara di Myanmar, EITI digunakan sebagai media dialog antara pihak pemerintah, kelompok bisnis dan masyarakat sipil, termasuk dialog dengan kelompok minoritas yang berada di wilayah pertambangan.

Di Thailand, seperti belum menerapkan EITI sejak tahun 1992 negara gajah putih ini telah menerapkan Environmental Impact Assessment (EIA) yang menilai kelayakan aspek lingkungan ekonomi dan sosial sebelum dan sesudah kegiatan industri pertambangan.

“Konsultasi dengan masyarakat wilayah pertambangan merupakan proses yang paling penting dalam kegiatan EIA dan harus dilakukan melalui beberapa tahap sebelum kegiatan pertambangan dilakukan “ jelas Prof. Chakkaphan Sutthirat dari Universitas Chulalangkorn.

Seminar ini juga membahas tentang pertambangan rakyat dan posisi kelompok masyarakat adat yang selama ini terbaikan dalam pembahasan tentang pengelolaan pertambangan.

Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Iskandar Zulkarnain dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, meskipun pemerintah telah mengakui keberadaan tambang rakyat namun pengawasan terhadap kegiatan ini masih sangat lemah, pertambangan ini juga tidak memberikan pendapatan bagi negara namun dampak yang ditimbulkan seperti kerusakan lingkungan dan konflik sosial tetap sama.

Di ASEAN, keberadaan masyarakat adat mencapai 20% dari total komunitas masyarakat adat dunia. Namun baru Filipina yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) untuk kegiatan pertambangan” jelas Andy Whitmore dari PIPLinks.

Seminar ini juga menghadarikan Prof. Reiji dari Tokyo Univesity yang memaparkan kebijakan pemerintah Jepang dalam menerapkan prinsip 3E+1S dalam pengelolaan pertambangan yaitu Economy, Energy, Environmen dan Safety.

pic3“Sebagai negara industri yang bergantung pada pasokan sumber daya, Pemerintah Jepang sangat serius dalam mengelola pertambangan dengan menyiapkan berbagai kebijakan yang saling terintegrasi antara kebijakan ekonomi, keuangan, cadangan sumber daya serta audit bagi perusahaan-perusahaan yang mengelola pertambangan. Pemerintah juga bersikap transparan kepada masyarakat atau pihak-pihak yang memiliki kepeduliaan terhadap isu ini.” jelasnya.

Jepang, ujarnya lagi juga terus mendorong keterbukaan untuk perdagangan dan investasi dan pembangunan yang berkelanjutan di tingkat global.

Dalam kesempatan ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan ASEAN Study Center, Universitas Indonesia juga sempat meluncurkan buku “Governance on Extractive Industry: Assessing National Experiences to Inform Regional Coorporation in Southeast Asia”. Buku ini berisi sejumlah pengalaman praktis pengelolaan industri ekstraktif di negara kaya seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Untuk bahan presentasi seminar dapat diunduh dibawah ini

  1. Artisanal Mining Issues in Indonesia; Lessons Learned for ASEAN
  2. ASEAN Framework on EI
  3. Developing a standard for Managing Natural Resources
  4. Political Economy on Natural Resources
  5. Mining Industry in Thailand
  6. Extractive Industry in Japan
  7. Improving EI Governance at sub national level
  8. Benefiting Applying FPIC
  9. Security and Human Rights_BP

Workshop : Sustainable Energy for All untuk Regio Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Sekitarnya

Pada tanggal 23 Mei 2014 yang lalu bertempat di Yogyakarta, IESR bekerja sama dengan Yayasan Dian Desa, didukung oleh HIVOS, menyelenggarakan workshop mengenai Sustainable Energy for All, untuk kawasan DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Workshop ini dihadiri oleh hampir 40 orang dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Continue reading

Diskusi Publik : Menuju COP 19 : Isu Kritis dan Kepentingan Indonesia yang Diusung pada Negosiasi Perubahan Iklim di Warsawa

Paska COP 17 di Durban, negara-negara anggota UNFCCC mulai membahas kerangka kerja perubahan iklim setelah tahun 2020. Pembahasan yang dilakukan melalui track Ad hoc Durban Platform (ADP) diharapkan dapat merumuskan sebuah kesepakatan baru yang melibatkan negara-negara maju dan berkembang dalam mengatasi perubahan iklim yang semakin kompleks.

IMG_3948 1Pembahasan mengenai bentuk legal kesepakatan perubahan iklim tidak lepas dari keadaan bahwa sebagian dari negara-negara non-Annex I saat UNFCCC disepakati masih berstatus sebagai negara miskin dan berkembang, mengalami pertumbuhan ekonomi dan politik yang pesat dalam satu dekade terakhir. Sebagai konsekuensinya, tingkat emisi negara-negara tersebut meningkat secara tajam, bahkan melampaui emisi GRK sebagian negara-negara Annex I.

Selain itu, laporan IPCC juga memberikan peringatan bahwa penurunan lajut peningkatan emisi GRK ke atmosfir harus dikurangi secara signifikan pada periode sebelum 2020, dan stabilisasi emisi GRK di atmosfir paska 2020, uuntuk menghindari bencana akibat kenaikan temperatur di atas 2 derajat. Bagaimana dinamika dan kecenderungan ini dapat termaktub dalam peningkatan ambisi penurunan emisi GRK sebelum 2015 dan paska 2020 menjadi salah satu fokus utama negosiasi perubahan iklim hingga tahun 2015 mendatang.

Perubahan arah dan tuntutan negosiasi dapat ikut menyentuh Indonesia, yang seperti Brasil, China, India, Afrika Selatan, dan Meksiko mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesar, demikian juga dengan laju emisi GRK secara agregat. Yang sedikit membedakanm memiliki pemikiran lebih maju dibandingkan beberapa negara berkembang lainnya. Selain melahirkan Bali Action Plan, Inodnesia juga merupakan negara berkembang yang pertama kali memberikan komitmen penurunan emisi sebesar 26% secara sukarela.

COP 19 di Warsawa, Polandia, akan lebih banyak membicarakan masalah peningkatan ambisi sebelum tahun 2020 serta bagaimana kerangka kerja setelah tahun 2020. Sebagai salah satu negara berkembang yang dinilai memiliki peranan penting di negosiasi perubahan iklim, posisi dan peran Indonesia di dalam dua rentang waktu yang berbeda; pra-2020 dan paska-2020, menarik untuk diketahui dan diulas.

IMG_3966 1Institute for Essential Services Reform (IESR) menyadari akan pentingnya posisi dan peranan Inodnesia bukan hanya dalam negosiasi tapi juga implementasi komitmen di tataran internasional di dalam negeri. Itu sebabnya, pada tanggal 29 Oktober 2013 yang lalu, IESR mengadakan diskusi publik terkait dengan isu COP 19 yang memiliki tujuan untuk memberikan informasi kepada para peserta bukan hanya mengenai status dari negosiasi perubahan iklim, tetapi juga bagaimana Indonesia dapat meningkatkan kontribusi dan perannya dalam negosiasi perubahan iklim.

Diskusi ini dihadiri oleh 3 (tiga) narasumber: Ibu Moekti Handajani Soejachmoen dengan kapasitasnya sebagai sekretaris kelompok kerja negosiasi di Dewan Nasional Perubahan Iklim, Bapak Ari Mohammad sebagai sekretaris kelompok kerja bidang adaptasi di DNPI, dan Ibu Suzanty Sitorus sebagai sekretaris kelompok kerja bidang pendanaan di DNPI.

Ibu Moekti Handajani Soejachmoen (Kuki) memaparkan tentang sesi-sesi yang akan berlangsung di Warsawa, Polandia, mendatang. Pada COP 19 mendatang, akan ada 5 sesi yang dilangsungkan secara bersamaan: COP 19 (19th session of the Conference of the Parties to the UNFCCC), CMP 9 (9th session of the Conference of the Parties serving as Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol), SBSTA 39 (39th session of the Subsidiary Body for Scientific and Technical Advice), SBI 39 (39th session of the Subsidiary Body for Implementation), ADP 2.3 (3rd part of the 2nd session of the Adhoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action). Ibu Kuki juga memaparkan beberapa isu tematis yang akan dibahas di COP 19 mendatang, seperti isu mitigasi, adaptasi, LULUCF dan land-based issues, mekanisme pendanaan, pengembangan dan alih teknologi, capacity building, aspek legal, response measures, aspek ilmiah dari perubahan iklim, serta kaitannya dengan administrasi, financial, institutional matters, yang juga penting karena akan menentukan kelangsungan pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Dalam kesempatannya, Ibu Kuki juga menyoroti beberapa isu kritis yang akan berdampak pada Indonesia juga. Dengan kondisi Indonesia saat ini, dimana pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat dapat membawa Indonesia pada satu titik dimana Indonesia akan diminta untuk berpartisipasi aktif, maka penting bagi Indonesia untuk dapat menentukan target dan jenis partisipasinya di jangka panjang; terlebih lagi setelah tahun 2020. Hal ini perlu dipertimbangkan, terutama dengan pengertian bahwa perjanjian baru yang akan diimplementasikan setelah tahun 2020, memberlakukan prinsip applicable to all Parties. Itu sebabnya, penting bagi Indonesia untuk mulai memikirkan target dan jenis partisipasi Indonesia di jangka panjang dalam lingkup perubahan iklim.

IMG_3984 1Di bidang adaptasi, Indonesia perlu untuk mendorong adanya pengakuan terhadap upaya-upaya adaptasi yang telah dilakukan, serta bagaimana mendapatkan akses untuk dapat melakukan aksi adaptasi yang lebih besar. Kepastian pada akses ini juga berlaku untuk komponen means of impelementation (pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas). Apa yang diperjuangkan di internasional, sudah seharusnya selaras dengan kesiapan di dalam negeri Indonesia sendiri untuk mengantisipasi apabila skenario-skenario internasional di atas, kemudian berpihak pada Indonesia. Perlu adanya peraturan perundangan yang dapat mengatur pengendalian perubahan iklim, agar apa yang akan diterima dari internasional, akan dapat diserap dengan baik oleh Indonesia sampai ke tingkat lokal sehingga akan meningkatkan reputasi Indonesia di mata dunia Internasional.

Dalam pemaparan mengenai isu adaptasi di COP 19, Bapak Ari Mochamad menjelaskan mengenai keterkaitan-keterkaitan isu yang berada di dalam lingkup adaptasi. Kembali kepada tujuan awal dari kegiatan-kegiatan adaptasi sebagaimana tercantum dalam konvensi, dimana adaptasi dimaksudkan untuk membangun ketahanan dan menurunkan tingkat kerentanan, Bapak Ari menjelaskan bagaimana beberapa elemen seperti Loss and Damage, National Adaptation Plans, Komite Adaptasi, dan Nairobi Work Programme dapat mendukung hal-hal tersebut.

Peran dari masing-masing elemen untuk membangun ketahanan dan menurunkan kerentanan adalah sebagai berikut:

  1. Komite Adaptasi, dimandatkan untuk mendukung implementasi adaptasi dalam upaya menurunkan kerentanan dan membangun ketahanan.
  2. Nairobi Working Programme merupakan media yang digunakan untuk membantu meningkatkan pemahaman, khususnya dalam mengembangkan National Adaptation Plans (NAPs) serta implementasinya.
  3. Mekanisme Loss and Damage akan sangat berperan pada saat dampak yang terjadi karena perubahan iklim, pada umumnya slow onset, tidak dapat kembali lagi ke kondisi semula. Fenomena ini harus diperhitungkan dan dibuat strategi untuk mengantisipasinya dalam rangka membangun ketahanan dan menurunkan tingkat kerentanan.
  4. National Adaptation Plans, merupakan media untuk mengintegrasikan kegiatan dan aktivitas adaptasi. National Adaptation Plans diharapkan dapat menjadi pedoman untuk melakukan kegiatan-kegiatan adaptasi di suatu daerah atau negara tertentu.

Walau demikian, keempat elemen ini hanya akan memberikan masukan-masukan teoritis, apabila tidak didukung oleh komitmen untuk menjalankan kewajiban pendanaan dan transfer teknologi dari negara maju kepada negara berkembang. Karena implementasi akan dapat berlangsung secara terarah pada saat kepastian akan pendanaan, teknologi, serta peningkatan kapasitas, telah diberikan oleh negara maju.

Ibu Suzanty Sitorus kemudian memaparkan mengenai perkembangan di isu pendanaan dan apa yang harus diperjuangkan di COP 19. Ditanya mengenai apa yang ingin dicapai di COP 19, dengan tegas Ibu Suzanty Sitorus menjawab bahwa pendanaan jangka panjang adalah inti yang harus diperjuangkan di COP 19. Komitmen pendanaan sudah dibuat di tahun 2009 melalui Copenhagen Accord, sehingga secara logika, bagi kebanyakan negara maju, dana yang dikucurkan untuk menggenapi komitmen mereka di Copenhagen sudah pasti dianggarkan. Hanya saja, sampai dengan saat ini pledges negara maju untuk pendanaan masih sangat minim yang tentunya akan berdampak pada operasionalisasi GCF (Green Climate Fund). Padahal, GCF diciptakan untuk menjadi lembaga yang akan mengelola pendanaan yang akan disalurkan oleh negara-negara maju. Pledges sangat diperlukan, terutama apabila target operasionalisasi penuh GCF harus berlangsung di pertengahan 2014. Status keuangan GCF saat ini dinilai kritis, dan hanya bisa digunakan untuk masalah-masalah administrasi. GCF harus segera dioperasionalkan, karena apabila meleset dari target operasionalisasinya di pertengahan 2014, demikian maka penyaluran pendanaan untuk kegiatan-kegaitan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di negara-negara berkembang akan terganggu.

Dengan adanya persaingan dalam mengakses pendanaan multilateral seperti dari GCF, maka beberapa strategi perlu dilakukan untuk meningkatkan aliran pendanaan internasional ke Indonesia, seperti:

  1. Perlunya Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam negosiasi pendanaan dan isu-isu lain yang terkait. Dalam hal ini, REDD+, FVA, NMM, NAMAs Registry, juga technology.
  2. Partisipasi aktif dalam diskusi dan pengambilan keputusan pada Green Climate Fund, Standing Committee on Finance, dan lain sebagainya.
  3. Promosi lembaga-lembaga nasional yang memiliki kapasitas mengelola program/proyek perubahan iklim
  4. Promosi kerangka kebijakan dan regulasi (enabling policy environment) yang sudah dibuat dan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia
  5. Peningkatan koordinasi dan evaluasi atas lingkungan kebijakan dan kapasitas lembaga-lembaga pengelola program/proyek

Materi-materi yang disampaikan dapat diunduh di bawah ini:

  1. Posisi Adaptasi CoP19 AMA
  2. Suzanty Sitorus Isu Pendanaan Menuju Warsawa 29 Okt 2013
  3. UNCCC Warsaw MHS

Lokakarya “Peningkatan Akses Energi dan Perannya bagi Pembangunan di Kalimantan Timur”

pic3Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan laju pertumbuhan yang cukup cepat, permasalahan kemiskinan energi di Indonesia masih sangat mencolok. Data menunjukkan bahwa sekitar 25% rumah tangga di Indonesia belum memperoleh akses terhadap listrik, dan diperkirakan sekitar 70 juta orang di Indonesia belum memperoleh akses listrik yang layak.

Menurut catatan Direktorat Jenderal Kelistrikan, rasio elektrifikasi Kalimantan Timur – sebagai salah satu propinsi dengan sumber energi yang besar – mencapai hingga 73,08% di akhir tahun 2012. Hal ini berarti bahwa 27% rumah tangga di wilayah Kalimantan Timur masih belum memiliki akses pada listrik. Data BPS di tahun 2011 mencatat bahwa di Kalimantan Timur terdapat sekitar 100-300 ribu rumah tangga yang masih menggunakan minyak tanah untuk memasak; hampir tidak ada rumah tangga di Kaltim yang menggunakan LPG untuk memasak; dan sekitar 100 ribu orang di Kaltim yang masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Di saat Kalimantan Timur menjadi salah satu penghasil sumber energi terbesar di Indonesia, fakta menunjukkan bahwa masih ada ratusan ribu rumah tangga di Kalimantan Timur yang masih belum dapat menikmati layanan energi modern, baik dalam bentuk listrik dan gas untuk memasak, yang padahal menurut Undang-Undang No. 30 tahun 2007, sudah menjadi hak mereka.

pic1Pada tanggal 9 Oktober 2013, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengadakan lokakarya dengan kelompok masyarakat sipil di Kalimantan Timur, sehubungan dengan diluncurkannya sebuah inisiatif internasional bernama Energi Berkelanjutan untuk Semua (Sustainable Energy for All Initiative atau SE4ALL). Inisiatif ini memiliki 3 tujuan untuk dicapai pada tahun 2030, yaitu: akses universal pada energi, penggandaan tindakan-tindakan efisiensi energi, dan penggandaan komposisi energi terbarukan di dalam bauran energi global. Sebagai salah satu negara yang telah menyatakan dukungannya, sudah seharusnya Indonesia melaksanakan komitmen yang telah diambil.

Terdapat 3 narasumber yang hadir dalam pertemuan ini: Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Bapak Istiadi dari Dinas Petambangan dan Energi Kalimantan Timur, dan Bapak Ismail Deu dari PLN Area Samarinda.

Fabby Tumiwa memaparkan inisiatif yang diinisiasi oleh Ban Ki Moon pada tahun 2011, yang disebut dengan Energi Berkelanjutan untuk Semua (Sustainable Energy for All), dimana ada 3 tujuan yang akan dicapai di tahun 2030. Tujuan pertama adalah untuk meningkatkan akses energi modern di seluruh dunia. Saat ini, tercatat masih ada sekitar 1,3 milyar penduduk dunia yang belum mendapatkan akses listrik dari total 7 milyar penduduk dunia. Selain itu, hingga kini masih ada milyaran orang di dunia yang masih bergantung pada bahan bakar tradisional seperti kayu.

pic2Tujuan kedua adalah meningkatkan tindakan-tindakan efisiensi energi. Harus diakui bahwa Indonesia saat ini masih merupakan negara yang boros akan penggunaan energi. Padahal, pemborosan energi artinya pemborosan dalam memanfaatkan sumber daya energi. Penerapan tindakan-tindakan efisiensi energi akan berdampak pada berkurangnya penggunaan sumber daya alam untuk membangkitkan energi. Dengan demikian, penerapan tindakan-tindakan efisiensi energi akan berdampak pada aktivitas pemenuhan energi bagi orang-orang yang saat ini belum memiliki akses pada energi.

Tujuan ketiga dari inisiatif ini adalah untuk menggandakan penggunaan energi terbarukan hingga mencapai dua kali lipat di dalam komposisi bauran energi global. Saat ini pemanfaatan energi terbarukan di dunia masih berada di angka 15%, dimana sebagian besar masih memanfaatkan bahan bakar fosil.

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2011 meluncurkan inisiatif yang disebut dengan Inisiatif Energi Berkelanjutan untuk Semua atau Sustainable Energy for All Initiative. Setiap negara yang menyatakan dukungannya untuk inisiatif ini, harus melakukan 3 hal, yaitu:

  1. Harus menyatakan secara resmi bahwa negara tersebut mendukung inisiatif ini
  2. Negara-negara tersebut harus menyusun yang disebut dengan Rapid Assessment atau Gap Analysis. Dokumen ini memberikan gambaran kepada publik mengenai kondisi energi di suatu negara, yang selanjutnya akan menjadi panduan bagi negara tertentu untuk menyusun rencana aksi nasional guna mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh SEFA.
  3. Negara-negara yang mendukung juga harus menyusun rencana aksi nasional, dimana dalam penyusunannya ada 3 pemangku kepentingan yang harus dilibatkan : kementerian terkait (termasuk pemerintah daerah), sektor bisnis swasta, dan masyarakat sipil.

Pemerintah Indonesia sendiri telah melayangkan pernyataan resminya untuk mendukung inisiatif ini di bulan Juni tahun 2012. Hingga kini, sudah lebih dari 60 negara di seluruh dunia yang berkomitmen untuk mendukung inisiatif ini. Itu sebabnya, penting untuk menyusun rencana aksi nasional, dimana keterlibatan tiga pihak (pemerintah, sektor bisnis swasta, dan masyarakat sipil) harus ditonjolkan dan dilakukan dengan porsi yang sama.

Di akhir tahun 2012, IESR mengadakan lokakarya mengenai inisiatif ini di kalangan organisasi masyarakat sipil, dalam rangka meningkatkan kapasitas organisasi masyarakat sipil mengenai isu ini (laporan kegiatan diskusi di tahun 2012 ini dapat dilihat di (https://iesr.or.id/2012/12/civil-society-workshop-catalyzing-indonesian-civil-society-action-to-deliver-sustainable-energy-for-all/). Beberapa rekomendasi dari pertemuan tersebut adalah:

  1. Untuk mencabut subsidi pada bahan bakar fosil secara bertahap
  2. Merancang ulang skema subsidi energi untuk kaum yang miskin energi
  3. Perencanaan dan implementasi yang terintegrasi dan terkoordinasi
  4. Pendanaan yang memadai

Dalam rangka penyusunan rencana aksi nasional untuk menuntaskan kemiskinan energi di Indonesia, keempat hal di atas telah disampaikan oleh IESR paska pertemuan Desember 2012 pada pihak Pemerintah, dan diharapkan dalam penyusunan rencana aksi nasional, keempat hal ini harus mendapatkan perhatian tinggi.

Bapak Istiadi dari Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur memaparkan keadaan energi di Kalimantan Timur, terutama dari sisi pemenuhan kebutuhan dasar. Pada tataran Pemerintah sendiri sudah ada beberapa kebijakan yang muncul terkait dengan pemanfaatan energi terbarukan, serta beberapa instruksi yang telah dikeluarkan terkait dengan penghematan energi. Di lapangan sendiri, Bapak Istiadi menyatakan bahwa sebenarnya rasio elektrifikasi di Kalimantan Timur berada di posisi 65,92%, dimana sekitar 35% rumah tangga di Kalimantan Timur masih belum mendapatkan akses pada listrik.

Bapak Istiadi menyatakan bahwa dalam rangka peningkatan akses masyarakat pada energi, beberapa hal telah dilakukan, diantaranya adalah dengan meningkatkan pemanfaatan gas bumi di dua lokasi yakni Bontang dan Tarakan. Kemudian pemanfaatan energi terbarukan dari kotoran hewan, dimana sebanyak 546 digester sudah terpasang. Di Kutai Timur ada 4 (empat) unit yang telah dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Beberapa pembangkit listrik lainnya yang sudah dibangun adalah biogas metan di muara jawa, kemudian beberapa PLTMH dan PLTS. Walau demikian, kenyataan berbicara bahwa hingga kini Kalimantan Timur masih mengalami pemadaman listrik.

Saat ini pemerintah sedang membuat surat edaran untuk perusahaan-perusahaan sawit, guna melakukan penghematan listrik dan membangun pembangkit listriknya sendiri. Saat ini di Kutai Kertanegara, sudah ada 4 pembangkit yang dibangun oleh perusahaan dalam rangka mencukupkan kebutuhan listriknya, dimana salah satunya adalah PT. REA Kaltim. Bapak Istiandi juga menyatakan bahwa Kalimantan Timur saat ini memiliki potensi limbah sawit cair yang diperkirakan sebesar 71,72 MW, dan seharusnya dapat berkontribusi untuk penyediaan energi listrik di wilayah Kalimantan Timur.

Selanjutnya, Bapak Ismail Deu dari PLN Area Samarinda memaparkan mengenai kondisi kelistrikan di wilayah Kalimantan Timur. Di wilayah kerja Area Samarinda, Bapak Ismail menyatakan bahwa PLN memiliki 224 ribu pelanggan, di mana di tahun 2013 terdapat penambahan jumlah pelanggan hingga 23 ribu pelanggan. Kaltim mengalami kesulitan dalam mempertahankan kondisi akses listriknya, karena beban daya mampu-nya hanya sebesar 294,8 MW, dengan beban puncak di angka yang sama; itupun setelah beberapa industri dilakukan pemadaman saat beban puncak terjadi. Saat ini pembangkit yang membawahi sistem Mahakam adalah PLTU Cahaya Fajar Kaltim, PLTD karang Asam, PLTD Kledang, PLTD Batakan, dan juga beberapa pembangkit-pembangkit kecil yang disewa oleh PLN untuk mengatasi beban puncak yang terus meningkat. Malahan ada satu PLTGU yang harus berhenti beroperasi lantaran ketiadaan gas di tempat tersebut.

Pemanfaatan energi biogas dari perkebunan kelapa sawit PT REA Kaltim sebagai kelebihan daya untuk menerangi daerah sekitar sudah mulai dilakukan. PT REA Kaltim ini menggunakan limbah cangkang sawit yang dihasilkan, untuk membangkitkan listrik. Dari lahan seluas 4 hektar, PT REA Kaltim dapat menghasilkan daya hingga 6 MW. Walau demikian, masalah akan timbul pada saat bahan bakunya, yakni limbah cangkang sawitnya, habis.

Masalah akses listrik yang dialami oleh Kalimantan Timur juga disebabkan karena adanya defisit daya. Apabila dibangun menara di daerah Samboja, maka koneksi listrik untuk sistem Mahakam akan mengalami surplus. Walau demikian, Bapak Ismail menyatakan bahwa koneksi listrik tersebut tidak dapat terjadi, karena masyarakat meminta ganti rugi untuk lahan yang akan digunakan sebagai tower, dengan nilai yang cukup besar serta tidak sesuai dengan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak).

Berdasarkan pemaparan di atas, dan juga dari diskusi yang berlangsung, beberapa poin yang dapat diangkat dari kondisi energi di Kalimantan Timur adalah:

  1. Masalah lahan menjadi salah satu faktor dari bisa dibangun atau tidaknya pembangkit listrik, atau infrastruktur distribusi dan transmisi yang diperlukan;
  2. Masih banyak potensi energi terbarukan di daerah-daerah miskin energi yang sebenarnya bisa dikembangkan. Namun, bagaimana dengan investasinya?
  3. Biogas dari cangkang kelapa sawit memiliki potensi yang tinggi di Kalimantan Timur. Walaupun demikian, diperlukan cara untuk mempertahankan kelangsungan ketersediaan bahan baku, supaya tersedia secara terus menerus; terutama untuk pembuatan biogas baik dari ternak maupun dari limbah sawit;
  4. Perencanaan energi merupakan aspek yang sangat penting untuk diterapkan, dimana perencanaan energi bukan hanya memberikan rekomendasi mengenai tipe pembangkit, namun juga harus diperhitungkan analisis bahan bakar yang diperlukan;
  5. Kalimantan Timur masih memiliki masalah dalam keseimbangan antara pasokan dan permintaan energi (dalam hal ini listrik), yang mengakibatkan terjadinya pemadaman yang cukup sering dilakukan oleh PLN. Itu sebabnya, upaya-upaya untuk melakukan tindakan-tindakan hemat energi serta diversifikasi sumber energi, perlu digalakkan.

Beberapa materi dapat diunduh di bawah ini:

FGD#2 Pendanaan Energi Berkelanjutan di Indonesia

Backdrop-5x2.5m-WWF-IDN-sustainable-energy-finance

Sehubungan dengan studi mengenai Pendanaan Energi Berkelanjutan di Indonesia, WWF Indonesia bekerja sama dengan Institute for Essential Services (IESR), yang didukung oleh NORAD, kembali mengadakan serial focus group discussion yang ke-2, pada tanggal 26 Juli 2013 lalu di Hotel Mahakam. Focus Group Discussion ini lebih berfokus pada pembelajaran dari proyek-proyek energi yang ada di Indonesia, serta pembelajaran di tingkat ASEAN.

Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan ulang permasalahan dari pendanaan energi di Indonesia, sebagai pembuka diskusi serta penjabaran latar belakang dari studi ini. Ada 3 isu kunci dari penyediaan energi di Indonesia, yaitu:

  1. Pertumbuhan kebutuhan energi yang tinggi sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi. Isu ini memberikan tantangan tentang perlunya melakukan diversifikasi energi, terutama peningkatan porsi energi terbarukan dalam bauran energi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Padahal, sumber daya dari energi terbarukan kebanyakan terletak di daerah pelosok, sedangkan permintaan lebih banyak ada di daerah perkotaan. Jelas, dengan kondisi seperti ini, konservasi energi menjadi sangat penting untuk dilakukan di wilayah perkotaan dan menjadi bagian dalam skema ketahanan energi.
  2. 2. Isu kemiskinan energi dan pemerataan energi masih sangat kental di Indonesia. Saat ini, jumlah masyarakat yang belum memiliki listrik ada sekitar 15 juta rumah tangga. Tentu saja, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, dan pada saat yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan energi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang merata, juga sangat diperlukan.
  3. Adanya masalah peningkatan emisi gas rumah kaca di sektor energi, yang menuntun pada isu perubahan iklim.

Saat ini pembiayaan energi berkelanjutan di Indonesia masih sangat bergantung pada donor internasional, seperti hibah dan pinjaman lunak dari donor multilateral dan bilateral seperti World Bank, GEF, UNDP, NEDO, dan lainnya. Semenjak tahun 2000, saat Indonesia sudah semakin kaya, yang ditandai dengan meningkatnya APBN serta APBD, pembiayaan energi berkelanjutan yang non komersial (elektrifikasi perdesaan, daerah tertinggal) dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui alokasi di APBN dan APBD. Teknologi seperti SHS, biogas, kompor hemat energi, mikrohidro, semakin sering diperkenalkan, terutama setelah adanya Kebijakan Energi Nasional di tahun 2006 yang menyatakan perlunya peningkatan komposisi energi terbarukan hingga 17% dalam bauran energi.

Walau demikian, dana yang sangat besar ini kemudian dikelola dengan tidak efektif. Terbukti dengan adanya proyek energi terbarukan yang didanai oleh APBN dan APBD yang tidak berkelanjutan; khususnya PV, serta beberapa biogas dan mikrohidro.

Praktek-praktek yang ada saat ini menunjukkan bahwa ada jeda pendanaan (financing gap) yang terjadi di Indonesia; diantaranya adalah:

  • APBN dan APBD yang digunakan untuk energi terbarukan hanya mencakup investasi di pengadaan teknologi, tidak termasuk upaya-upaya untuk mempersiapkan instisusi, serta komponen operational and maintenance (O&M) setelah proyek tersebut habis tenggat waktunya.
  • Pendanaan dari multilateral dan bilateral, hibah, hanya digunakan untuk proyek-proyek skala menengah sampai skala besar.
  • Pembiayan komersial juga hanya dilakukan untuk skala menengah sampai besar (Pembangkit Listrik Tenaga Air ukuran mini, 1-10 MW)
  • NGO hanya memberikan bantuan untuk pembangkit berskala kecil yang hanya dapat melistriki sampai 100 rumah.

Studi kasus pertama diawali oleh AZET Surya Lestari, yang pada kesempatan ini disampaikan oleh Bapak Abdul Kholik sehubungan dengan Indonesia Solar Energy Loan Program. Banyak pemikiran yang banyak beredar mengenai mahalnya mendapatkan listrik dari matahari. Padahal, setelah dihitung-hitung, justru dengan menggunakan surya, biaya yang dikeluarkan akan lebih murah, terutama dengan kondisi dimana harga listrik menanjak naik. Menurut perhitungan AZET, dalam waktu 5 tahun, pemasangan SHS akan mencapai nilai break even point-nya.

Kegagalan-kegagalan yang umumnya terjadi pada proyek-proyek SHS di daerah-daerah adalah:

  1. Manajemen energi. Teknologi SHS erat hubungannya dengan manajemen energi. Jadi, apabila diberikan sistem untuk menyalakan 3 lampu, harusnya tidak boleh dinyalakan secara bersamaan. Di beberapa desa dimana AZET melakukan uji coba, ternyata perilaku masyarakat tidak demikian. Mereka cenderung untuk menyalakan lampu tersebut secara bersamaan dan terus menerus, yang akhirnya mengganggu keseimbangan energi pada perangkat teknologi dan berakibat pada rusaknya baterai.
  2. Pemeliharaan. Memang pemeliharaan fasilitas energi surya cenderung sederhana dan relatif mudah. Walau demikian, tetap diperlukan kedisiplinan untuk melakukannya. Contohnya dengan penambahan air aki selama 6 (enam) bulan sekali. Hal sederhana tersebut dapat terlewat karena keteledoran dari masyarakat yang bertanggung jawab pada fasilitas tersebut.
  3. Short Component Life, dimana umur dari teknologi yang digunakan sangat pendek, sehingga menjadi persoalan tersendiri. Itu sebabnya kemudian AZET keluar dengan komponen baru bernama SLS atau Small Light System. Sebagai penunjangnya, dijaring juga para local entrepreneur untuk membuat mini charging station (wartes), dengan menggunakan SHS yang sebelumnya pernah digunakan. Mini charging station ini kemudian berevolusi tidak hanya terbatas pada memberikan jasa charging, tapi juga jasa-jasa lainnya seperti menyewakan peralatan atau jual peralatan, seperti lampu. Wartes juga memberikan cicilan kepada masyarakat apabila masyarakat ingin melakukan hal yang sama. Dengan melakukan hal ini, maka tercipta kebutuhan pasar, dimana banyak orang nanti bisa terlibat didalamnya.

Bapak Abdul Kholik juga menyatakan bahwa kunci sukses yang sekaligus merupakan tantangan dari proyek ini adalah:

  1. Ekspektasi dari pengguna akhir hanya di lampu saja dan tidak melebar untuk memiliki perangkat elektronik lainnya.
  2. Variasi produk, sehingga wartes tidak hanya menjual lampu saja, tapi juga menjual barang-barang lainnya, untuk meningkatkan pendapatan mereka.
  3. Permodalan, yang masih memerlukan bantuan dari pihak lain.
  4. Kontrol terhadap operasional di bawahnya. Lantaran kondisi geografis, kontrol terkadang sulit untuk dilakukan, sehingga menyebabkan adanya peminjaman uang yang terlalu besar yang biasanya digunakan untuk kepentingan pribadi.

Studi kedua yang dipaparkan berasal dari PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman Trawas mengenai mikrohidro. Mikrohidro Seloliman didirikan dengan dana hibah, untuk memberikan akses listrik di Dusun Janjing, lantaran mereka tidak mendapatkan akses listrik dari PLN. Walau demikian, setelah hampir 20 tahun berdiri, mikrohidro Seloliman hari ini bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan listrik dari masyarakatnya yang berjumlah sekitar 100 kk (kepala keluarga), namun juga dapat menghasilkan listrik tambahan untuk dijual ke PLN.

PLTMH Seloliman pada mulanya memiliki daya sebesar 12 kW dengan sistem pendanaan kolaboratif, yaitu dari lembaga donor dan swadaya masyarakat, pada saat itu sistem manajemen masih dikendalikan oleh PPLH Seloliman. Pada tahun 2000, kapasitas PLTMH ditingkatkan manajemen dan besarannya menjadi 35 kW untuk memenuhi kebutuhan listrik Dusun Janjing, PPLH Seloliman, dan unit usaha kecil di Dusun Sempur. Pada titik inilah manajemennya kemudian dirubah ke dalam bentuk paguyuban, dengan harapan masyarakat lah yang dapat lebih banyak terlibat aktif. Di tahun 2007, dibangun PLTMH kedua dengan kapasitas 14,5 kW untuk elektrifikasi dusun Balekambang dan dusun Biting sejumlah 50 kk, dimana kelebihan listriknya akan diinterkoneksikan ke PLN melalui sistem paralel ke PLTMH Kali Maron. Hasil penjualan listrik ke PLN menjadi tabungan mereka untuk membangun PLTMH yang baru.

Bapak Suroso menyatakan bahwa yang menjadi kunci sukses adalah karena dikelola oleh kelompok masyarakat dalam bentuk Paguyuban dengan manajemen profesional dimana terdapat AD/ART yang disepakati bersama, sistem pentarifan, serta adanya penunjukkan sistem kerja pelaksana harian yang mendapatkan kompensasi.

Beberapa hambatan dan tantangan yang masih dihadapi oleh PLTMH Seloliman adalah:

  1. Kesepakatan dengan PLN yang sifatnya masih jangka pendek/tahunan, serta harga jual listrik yang masih di bawah ketentuan (harga listrik ketentuan adalah Rp. 668/kWh, sedangkan yang didapat oleh Seloliman adalah Rp. 533/kWh sejak tahun 2005).
  2. Masih bergantung pada pihak luar untuk fabrikasi, sehingga menjadi tidak ekonomis. Apabila ada kerusakan atau harus membeli suku cadang, mereka harus pergi ke Bandung karena di Jawa Timur belum ada.
  3. Belum ada insentif langsung terhadap inisiatif lokal dalam hal rehabilitasi kawasan hutan dan daerah aliran sungai.

Studi kasus yang ketiga merupakan pembelajaran dari Indonesia Domestic Biogas Programme oleh Ibu Agi S. Cakradirana dari HIVOS. Proyek BIRU, atau Biogas Rumah, dilatarbelakangi oleh fakta rendahnya akses energi di Sumba, dimana HIVOS bekerja sama dengan BNI semenjak tahun 2011. Tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat pasarnya yang sulit serta mitra yang sedikit. Dari 4 tahun implementasi, terdapat beberapa pembelajaran dari Program ini:

  1. Kerjasama dengan Pemerintah, umumnya memberikan barang secara gratis, dimana kepemilikannya menjadi kurang. Pasar menjadi terganggu karena masyarakat jadi hanya menunggu barang gratis tanpa ada upaya lain.
  2. Fasilitas kredit. Koperasi setempat hanya akan memberikan pinjaman pada mitra. Namun, apabila mitra tersebut tersangkut kredit macet, maka, koperasi tidak akan mempromosikan mitra tersebut. Lama kelamaan, mereka tidak lagi memiliki mitra karena jumlahnya berkurang. Hal ini diperburuk dengan keengganan koperasi untuk melebarkan wilayah usaha, untuk mendapatkan mitra yang baru.
  3. Perlu kerjasama untuk meningkatkan efektivitas implementasi, karena BIRU tidak dapat bergerak sendiri. Diperlukan promosi dari penggunanya untuk meningkatkan peminat.
  4. Pilihan pendanaan. Tidak banyak mitra yang memiliki kemampuan untuk pre-financing; bukan hanya untuk pembangunan, namun juga untuk keberlanjutan seperti monitoring, dan lain-lain.
  5. BIRU juga mempertimbangkan pilihan untuk masuk ke dalam pasar karbon melalui mekanisme voluntary market menggunakan Gold Standard.

Focus Group Discussion tersebut juga mempaparkan pembelajaran dari ASEAN, yang disampaikan oleh Bapak Hardiv Situmeang dari ASEAN Center for Energy. Bapak Hardiv menyampaikan, bahwa ada aspek-aspek yang sangat relevan untuk kesuksesan proyek elektrifikasi perdesaan, yaitu:

  1. Teknologi yang tepat
  2. Keterlibatan masyarakat serta aspek sosial ekonomi
  3. Pelatihan dan peningkatan kapasitas yang terus menerus
  4. Kerangka kebijakan yang stabil dan dapat diprediksi
  5. Dukungan kebijakan yang reliable dan mekanisme pendanaan yang dapat diterapkan
  6. Susunan keberlanjutan proyek dan model bisnis

Menurut survey mengenai hal-hal yang paling penting dalam implementasi proyek-proyek elektrifikasi, skema pendanaan, setup proyek dan bisnis model dianggap hal yang paling penting ketimbang partisipasi lokal atau pun kepemilikan.
Dari sekian banyak mekanisme pendanaan yang diberlakukan di seluruh negara ASEAN, yang tentunya berbeda-beda kepemilikannya, beberapa elemen kunci dapat diidentifikasi:

  1. Menetapkan kerangka kebijakan dalam rangka meyakinkan sektor swasta untuk terlibat dalam kegiatan elektrifikasi perdesaan yang off-grid
  2. Menentukan tarif listrik yang tepat untuk elektrifikasi perdesaan yang off-grid
  3. Perlu dihindari adanya subsidi pada saat pendekatan elektrifikasi perdesaan berbasis pasar masih memungkinkan untuk dilakukan
  4. Perlunya kesepakatan jangka-panjang antara publik dan mitra swasta
  5. Perlu dihindari adanya keterlibatan politik dalam pemilihan model bisnis untuk proyek eletrifikasi perdesaan yang off-grid
  6. Karakter dari lokasi juga memegang peranan penting