Diskusi : Pendanaan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia

foto 1 - 26 Juli 2013Perubahan iklim telah terjadi dimana-mana. Dampaknya berupa cuaca ekstrim sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Banjir yang terjadi di Magdeburg, Jerman, bulan Juni yang lalu juga menjadi salah satu dampak dari perubahan iklim. Walau demikian, tidak banyak orang yang membicarakan mengenai pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Walaupun adaptasi lebih sulit untuk diukur dibandingkan dengan upaya mitigasi, namun kebutuhan pendanaannya jauh lebih besar daripada mitigasi. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan bagian dari Indonesia Climate Change Alliance (ICA), mengadakan diskusi mengenai pendanaan adaptasi perubahan iklim, terutama di Indonesia. Diskusi ini mengambil tempat di Hotel Cemara, dan dilangsungkan pada tanggal 26 Juli 2013 yang lalu. Diskusi ini dihadiri oleh Bapak Ari Mochamad, Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi dari Dewan Nasional Perubahan Iklim. Juga Bapak Raphael Anindito dari GIZ, serta Ibu Wahyuningsih Darajati dari Bappenas.

Diskusi dibuka oleh Bapak Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Dalam pembukaannya, Fabby menyatakan pentingnya untuk membicarakan tentang pendanaan adaptasi perubahan iklim, mengingat di tingkat internasional, ada gelagat yang menunjukkan penipisan dana untuk adaptasi perubahan iklim. Contoh saja Adaptation Fund, yang sumber pendanaannya berasal dari 2% hasil transaksi karbon untuk Clean Development Mechanism. Estimasi dana untuk Adaptation Fund, pada awalnya bisa mencapai hingga ratusan miliar dollar per tahun, dengan perkiraan harga karbon sampai dengan 30 euro per tonnya, ternyata meleset sangat jauh. Harga karbon di pasar karbon Eropa turun drastis hingga 4-5 euro. Di lain pihak, apabila semua orang enggan untuk membicarakan mengenai pendanaan untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim, lalu bagaimana mengatasi dampak-dampak perubahan iklim yang akan terjadi di kemudian hari? Terutama bagi negara berkembang yang kapasitasnya masih sangat terbatas.

foto 2 - 26 Juli 2013Bapak Ari Mochamad memberikan gambaran mengenai permasalahan adaptasi dan kebutuhan pendanaan adaptasi di Indonesia. Ari menyatakan bahwa sekarang dampak perubahan iklim sudah semakin nyata, dan bukan hanya negara berkembang saja yang mengalaminya, negara maju pun mengalaminya. Hal ini membuat banyak pikiran negatif mengenai apakah negara maju akan memenuhi komitmen mereka untuk memobilisasi dana perubahan iklim bagi negara berkembang, hingga USD 100 miliar per tahunnya. Kota New York contohnya, mereka harus mengalokasikan sebesar USD 20 miliar, akibat bencana yang dialami beberapa waktu lalu. Kehilangan sejumlah besar uang untuk membenahi situasi dalam negeri, sedikit banyak mempengaruhi keputusan negara maju untuk mengalirkan dana mereka kepada negara berkembang.

Banyak hal yang seringkali salah dimengerti orang, menganggap bahwa adaptasi adalah isu yang sama sekali terpisah dengan isu mitigasi, merupakan salah satunya. Pada dasarnya adaptasi dan mitigasi bukanlah dua hal yang dapat dipisahkan, karena keduanya memiliki dampak dan saling mempengaruhi dalam fungsi ekonomi, fungsi keanekaragaman hayati, fungsi budaya, dan fungsi air.

Apabila kita berbicara mengenai masalah adaptasi, maka akan menuntun kita pada satu masalah yang harus dipecahkan, yaitu ketidakpastian. Justru ketidakpastian inilah yang membuat isu adaptasi menjadi lebih kompleks dan tidak menarik bagi banyak negara maju untuk memberikan dananya. Ketidakpastian ini membuat isu adaptasi akan berkembang, melibatkan multidisiplin, dan multisektor. Itu sebabnya setiap rencana aksi adaptasi yang disusun, sudah seharusnya diberikan ruang untuk mengakomodir perkembangan tersebut. Walau demikian, banyak pihak juga yang kemudian menjadikan ketidakpastian menjadi alasan untuk pihak tersebut tidak melakukan apa-apa.

Bapak Raphael Anindito dari GIZ juga menyatakan ketidakpastian sebagai salah satu tantangan dalam isu adaptasi. Ketidakpastian tersebut membuat sulitnya menetapkan kebutuhan pendanaan untuk adaptasi. Ketidakpastian ini juga membuat ketimpangan pendanaan perubahan iklim antara mitigasi dan adaptasi menjadi jomplang sampai dengan 90%. Bagi Indonesia, pendanaan dalam bentuk pinjaman menjadi masalah. Kalaupun pendanaan untuk adaptasi itu ada, maka Indonesia memerlukan apa yang disebut dengan National Implementing Entity untuk dapat meng-akses dana tersebut.

Bapak Anindito memaparkan mengenai potensi dari sumber pendanaan untuk kegiatan adaptasi:

  1. Dana publik
    COP 13 di Bali sebenarnya sudah menegaskan tentang pembentukan Adaptation Fund, yang nilainya diperkirakan mencapai USD 270-600 miliar dari hasil transaksi Clean Development Mechanism (CDM). Walau demikian, seperti yang telah disampaikan di awal tadi, ternyata keberlanjutan dana di kantung Adaptation Fund menjadi mengkhawatirkan.
    Dana lainnya adalah USD 100 miliar per tahun yang menjadi kesepakatan di Copenhagen, dimana negara maju menyatakan komitmennya untuk mengucurkan dana sebesar USD 100 miliar per tahun bagi negara berkembang. Faktanya, hingga kini masih belum ada indikasi mengenai sumber dana yang mencapai USD 100 miliar per tahun tersebut.
  2. Pendanaan dari pihak Swasta, baik dari internasional maupun nasional.
    Pendanaan dari pihak swasta sangat patut untuk dilirik, karena sebenarnya sektor swasta lebih banyak memiliki dana ketimbang publik. Namun, tentu saja kembali lagi, apa yang menjadi insentif bagi pihak swasta apabila mereka berkontribusi secara positif untuk menggalang dana sebesar USD 100 miliar tersebut.
  3. Pendanaan pribadi/rumah tangga
    Pendanaan pribadi sebenarnya adalah salah satu pendanaan yang dibangkitkan dari pelaku kegiatan adaptasi itu sendiri. Karena mereka yang mengalami, sehingga seringkali korban dampak perubahan iklim justru harus menanggung dampak yang jauh lebih besar dari yang lainnya.

Ibu Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyampaiakn permasalah dari institusi pendanaan di Indonesia. Dari Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim yang sedang disusun oleh Bappenas, Ibu Wahyuningsih menyatakan estimasi kebutuhan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia, mencapai hingga Rp. 840 triliun, jauh lebih tinggi daripada kegiatan mitigasi yang tertuang dalam RAN GRK, yang mencapai Rp. 225 triliun. Hingga kini, masih belum ada bayangan mengenai sumber pendanaan perubahan iklim, khususnya untuk adaptasi, dapat diterapkan di Indonesia. Sumber pendanaan untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim, hingga kini masih harus mengandalkan dana APBN.

Materi presentasi dapat diunduh di bawah ini:

Dialog Publik : Energi Berkelanjutan untuk Semua : Status Kemajuan di Indonesia

banner to be published - 19 Juni 2013Semenjak tahun 1992 di Rio de Janeiro, Energi sudah menjadi salah satu masalah besar yang harus diselesaikan. WEHAB contohnya (Water, Energy, Health and Biodiversity), merupakan pengejewantahan dari kesepakatan negara-negara yang ada di Rio pada waktu itu, untuk melakukan sesuatu yang konkrit. Walau demikian, hingga kini, permasalahan energi menjadi salah satu masalah yang pelik, dan tidak kunjung habisnya. Gagalnya menerapkan WEHAB semenjak diluncurkan di tahun 2001, membuat Ban Ki Moon kemudian mencoba untuk kembali mengedepankan isu Energi, melalui sebuah inisiatif yang disebut dengan Sustainable Energy for All Initiative atau SEfA.

SEfA memiliki 3 buah target, yaitu:

  1. Menyediakan akses universal pada layanan energi modern
  2. Menggandakan kegiatan-kegiatan efisiensi energi
  3. Menggandakan komposisi energi terbarukan global di dalam bauran energi global

Foto 1 - 19 Juni 2013SEfA diluncurkan pertama kali di Oslo, Norwegia, pada tahun 2011, dimana kemudian tahun 2012 dinyatakan sebegai tahun Sustainable Energy for All (SEfA / Energi Berkelanjutan untuk Semua).

Di bulan Juni 2012, Indonesia menyatakan dukungannya atas inisiatif ini, yang kemudian membawa Indonesia menjadi salah satu negara dari 65 negara yang telah memberikan dukungannya untuk berkontribusi pada pencapaian target Sustainable Energy for All.

Salah satu hal pertama yang harus dilakukan Indonesia, sebegai negara yang mendukung kegiatan ini, adalah melakukan Gap Analysis/Rapid Assessment untuk Indonesia. Walau demikian, hingga kini, setahun setelah penandatanganan, belum juga ada kemajuan yang signifikan dari Indonesia. Padahal, dengan adanya Gap Analysis (analisis kesenjangan)/Rapid Assessment (Tinjauan Cepat), Indonesia dapat mengetahui apa yang harus dilakukan dengan jelas, berikut waktu yang diperlukan, serta berapa banyak pendanaan yang diperlukan. Tentu saja, hal tersebut akan mempermudah, serta mempercepat pencapaian target Indonesia, bukan hanya target global namun juga target nasional. Sebagaimana diketahui, Kebijakan Energi Nasional menginginkan tercapainya elastisitas energi hingga kurang dari 1, dimana energi terbarukan akan berkembang hingga menempati 17% dari bauran energi nasional, atau, sesuai dengan draf Kebijakan Energi nasional yaitu 25%; sedangkan target konservasi energi yang diinginkan adalah 18%.

Foto 2 - 19 Juni 2013

Dialog publik yang diadakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Hotel Harris Tebet, pada tanggal 19 Juni 2013 yang lalu, bertujuan untuk mengetahui dan memberikan informasi kepada kelompok masyarakat sipil, mengenai kemajuan dari implementasi inisiatif Energi Berkelanjutan untuk Semua (Sustainable Energy for All) di Indonesia. Dialog publik ini dihadiri oleh Ibu Maritje Hutapea, Direktur Konservasi Energi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi sebagai narasumber yang menjelaskan mengenai apa yang menjadi tantangan dan hambatan serta strategi yang diterapkan untuk mencapai target akses energi, energi terbarukan, dan konservasi energi di Indonesia.

Narasumber lainnya adalah Bapak Dr. Agung Wicaksono, sebagai Asisten Ahli Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), yang menyampaikan mengenai Energi Berkelanjutan di dalam Agenda Pembangunan Paska 2015. Narasumber lainnya adalah Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), yang menyampaikan mengenai pandangan kelompok masyarakat sipil tentang implementasi SEfA di Indonesia.

Ibu Maritje Hutapea dalam presentasinya menjelaskan mengenai situasi energi Indonesia saat ini. Menurut kebijakan energi nasional, Peraturan Presiden no. 5 tahun 2006, telah ditetapkan bahwa di tahun 2025 nanti, komposisi energi terbarukan di dalam bauran energi nasional mencapai 17%. Dari semenjak dikeluarkannya kebijakan tersebut, hingga tahun 2010, porsi energi terbarukan di dalam bauran energi nasional hanya mencapai 5% saja; masih diperlukan sekitar 12% untuk mencapai target 17% dalam jangka waktu kurang dari 12 tahun. Itu sebabnya, Pemerintah kemudian mulai melakukan banyak program di dalam Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Program-program ini diharapkan dapat keluar dengan model-model best practices yang diperlukan untuk mencapai target, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan tentunya, menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.

Foto 3 - 19 Juni 2013

Dari sisi kebijakan, EBTKE merupakan salah satu direktorat jenderal yang memiliki begitu banyak kebijakan. Namun, permasalahan terdapat di sisi sosialisasi serta implementasi. Justru implementasi yang buruk inilah yang menyebabkan pertumbuhan akses energi, kegiatan efisiensi energi, serta energi terbarukan di Indonesia, menjadi tersendat.

Belum lagi harga energi yang saat ini masih sangat rendah, mengurangi daya tarik investasi di bidang energi terbarukan. Harga energi yang masih rendah ini juga menyebabkan terhambatnya aktivitas-aktivitas yang terkait efisiensi energi. Tentu saja, efisiensi energi di sini bisa dilakukan baik di sisi supply maupun demand-nya. Ibu Maritje menyatakan, bahwa sebenarnya EBTKE telah melakukan survey untuk assessment di Yogya, Semarang, Jawa Tengah, Sulawesi, Kalimantan, serta Papua.

Bapak Dr. Agung Wicaksono, kemudian menjelaskan bagaimana isu energi berkelanjutan untuk semua, diakomodasi di dalam laporan High Level Panel on Eminent Persons, mengenai agenda pembangunan paska 2015 atau paska agenda Tujuan Pembangunan Milenium.

Bapak Agung menjelaskan bahwa di dalam Tujuan Pembangunan Millenium, tidak ada satu pun yang menyebutkan ‘Energi Berkelanjutan’ sebagai salah satu tujuan yang genting untuk dicapai. Itu sebabnya, setelah melalui berbagai macam proses konsultasi, High Level Panel of Eminent Persons, mencantumkan usulan mereka dengan menempatkan Energi Berkelanjutan sebagai salah satu tujuan utama. Pada tujuan ini, terdapat 4 indikator yang harus dicapai sesuai dengan rentang waktu yang disepakati. Ke-empat indikator tersebut adalah:

  1. Menggandakan komposisi energi terbarukan di dalam bauran energi global
  2. Memastikan adanya akses yang universal pada layanan energi modern
  3. Menggandakan kecepatan perbaikan dalam kaitannya dengan efisiensi energi di dalam gedung, industri, pertanian, dan transportasi.
  4. Menghilangkan subsidi energi fosil yang tidak diberlakukan secara tidak efisien, serta yang mendorong kegiatan-kegiatan konsumtif yang berlebihan tanpa ada guna yang jelas.

Bapak Agung menyatakan bahwa keempat tujuan di atas, yang sifatnya global, akan banyak mempengaruhi apa yang terjadi di regional bahkan lokal, terutama yang berhubungan dengan sumber daya.

Foto 4 - 19 Juni 2013

Fabby Tumiwa menjelaskan mengenai proses implementasi SEfA di Indonesia, sangatlah lambat. Fabby mencatat bahwa untuk mencapai ketiga tujuan SEfA, diperlukan kondisi yang mendukung bagi terlaksananya kegiatan-kegiatan pencapaian tujuan SEfA. Beberapa kondisi yang mendukung tersebut adalah:

  1. Dicabutnya subsidi untuk bahan bakar fosil secara bertahap
  2. Merancang ulang skema subsidi energi agar berpihak pada kaum yang miskin energi (energy poor) yang mencakup listrik serta bahan bakar untuk memasak, berikut fasilitasnya
  3. Adanya perencanaan dan implementasi yang terintegrasi dan terkoordinasi
  4. Pendanaan yang memadai sangat diperlukan dalam konteks ini

Fabby juga menyampaikan posisi kelompok masyarakat sipil mengenai Energi Berkelanjutan untuk Semua, yang disusun melalui pertemuan dengan kelompok masyarakat sipil pada bulan Desember 2012 yang lalu. Posisi tersebut adalah:

  1. Penyediaan energi adalah tanggung jawab negara, dan pemerintah adalah pelaksananya.
  2. Dalam pelaksanaan SEfA, perlu diperhatikan:
    i. Pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan
    ii. Redistribusi energi yang berkeadilan
    iii. Pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan energi
    iv. Memperhitungkan dampak investasi energi pada kehidupan masyarakat atau komunitas lokal
  3. Penyusunan rapid assessment/gap analysis dan action plan hendaknya dilakukan secara transparan dan partisipatif.
  4. Naskah Rapid Assessment/Gap Analysis dan naskah lainnya dapat diakses secara bebas oleh publik, dan perlu ada forum konsultasi yang melibatkan kelompok masyarakat sipil dalam penyusunannya

Materi-materi dapat diunduh di bawah ini:

STREAM : Pelatihan Efisiensi Energi untuk Karyawan Hotel dan Restoran di Pangandaran

Pelatihan 29 April 2013 - 2Peningkatan kesadaran mengenai penghematan penggunaan energi tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat dan satu kali saja. Peningkatan kesadaran harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari tingkat yang paling tinggi, hingga ke tingkat yang paling rendah, karena melakukan efisiensi energi berhubungan dengan adanya perubahan perilaku, yang membutuhkan waktu. Menyadari akan hal itu, Institute for Essential Services Reform (IESR), sebagai implementing partner dari STREAM untuk komponen mitigasi, melakukan pelatihan mengenai efisiensi energi untuk karyawan hotel dan restoran, yang telah melakukan audit energi sebagai bagian dari project STREAM.

Pelatihan ini dihadiri oleh sekitar 50 orang, berasal dari hotel dan restoran yang mengikuti program efisiensi energi yang difasilitasi oleh STREAM; bahkan ada juga hotel yang tidak mengikuti program audit, mengikuti pelatihan efisiensi energi ini. Pelatihan yang diadakan di Hotel Sandaan pada tanggal 29 April 2013 yang lalu meliputi dasar-dasar mengenai efisiensi energi, serta beberapa tips untuk mengelola energi serta melakukan upaya-upaya penghematan energi.

Pelatihan ini juga memberikan informasi kepada para peserta pelatihan tentang bagaimana memilih lampu yang hemat energi, bagaimana menempatkan AC, kinerja AC, juga bagaimana melakukan inventori peralatan yang dimiliki oleh hotel dan restoran, untuk membantu hotel dan restoran untuk bisa memeriksa penggunaan energi mereka. Pelatihan ini juga ditujukan untuk menanamkan pengertian kepada para peserta bahwa melakukan upaya penghematan energi, bukan berarti harus menurunkan tingkat kenyamanan tamu atau pelanggan. Namun justru, upaya penghematan energi dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan tamu. Dengan demikian, hotel dan restoran bukan hanya mendapatkan penilaian yang baik dari para tamu karena tingkat kenyamanan yang diberikan, namun juga ada penghematan biaya dari pengurangan energi yang terjadi.

Salah satu bagian dari pelatihan ini juga memberikan ruang bagi para peserta untuk berdiskusi mengenai hal-hal apa saja yang dapat diterapkan setelah mereka selesai mengikuti pelatihan efisiensi energi ini.

Pelatihan 29 April 2013 Pelatihan 29 April 2013 - 4Pelatihan 29 April 2013 - 3Pelatihan 29 April 2013 - 1

Sosialisasi Hasil Audit Hotel dan Restoran di Pangandaran dan Batu Karas

Fabby Tumiwa dalam kegiatan Sosialisasi Hasil Audit
Fabby Tumiwa dalam kegiatan Sosialisasi Hasil Audit

Sebagai salah satu bentuk kegiatan dari proyek STREAM (Sustainable Tourism through Energy Efficiency with Adaptation and Mitigation Measures in Pangandaran), Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan audit energi di 17 hotel dan 2 restoran di wilayah Pangandaran dan Batu Karas, Jawa Barat. Audit Energi di hotel dan restoran ini ditujukan untuk melihat penggunaan energi di hotel dan restoran di wilayah Pangandaran dan Batu Karas, dan berusaha untuk melihat kemungkinan-kemungkinan penurunan konsumsi energi di hotel dan restoran. Bukan hanya untuk mengetahui kemungkinan penurunan konsumsi energi, namun kegiatan ini berimplikasi pada kesadaran industri jasa seperti hotel dan restoran di Indonesia, akan pentingnya melakukan kegiatan hemat energi.

Sebagai fasilitas pendukung pariwisata yang sangat penting, pertumbuhan hotel dan restoran pun akan menjamur, terutama di daerah-daerah pariwisata di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, konsumsi energi pun akan meningkat. Dengan melakukan kegiatan efisiensi energi, industri jasa seperti hotel dan restoran akan mampu bersaing, karena konsumsi energi yang lebih hemat dari biasanya.

Sosialisasi Hasil Audit - 10 April 2013 - PHRIHasil dari audit energi di sejumlah 19 lokasi audit, IESR kemudian mengadakan sosialisasi hasil audit tersebut pada 10 April 2013 yang lalu, sekaligus memberikan rekomendasi untuk masing-masing hotel, tindakan hemat energi apa saja yang relevan untuk diterapkan di masing-masing lokasi audit. Hasil-hasil ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak manajemen hotel untuk mulai menerapkan kegiatan hemat energi, sehingga dapat berkompetisi dengan hotel serta restoran lainnya, karena harga jual kamar (untuk hotel) tidak akan setinggi hotel lainnya, karena sudah ada penghematan-penghematan yang dilakukan.

Beberapa rekomendasi yang diberikan adalah:

  • Pengurangan jam operasional dari peralatan, yang merupakan kegiatan dengan investasi rendah
  • Penggantian lampu, dari yang saat ini ada ke teknologi LED (apabila belum menggunakan LED)
  • Penggantian jenis refrigeran, dari senyawa flourin ke refrigeran tipe hidrokarbon
  • Penggunaan solar water heater sebagai ganti pemanas air berbahan bakar LPG
  • Penggantian teknologi AC yang ada saat ini dengan AC inverter
  • Dan beberapa usulan lainnya.

Sosialisasi Hasil Audit - 10 April 2013 - peserta

ASEAN Forum : Menyebarkan Inisiatif Tata Kelola Sumber Daya Alam ke Wilayah ASEAN

Jakarta. Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Pusat Studi ASEAN, Universitas Indonesia menyelenggarakan ASEAN Forum on Natural Resources Governance: Toward ASEAN Economic Community 2015 and beyond yang berlangsung di Jakarta, tanggal 17 April 2013.

Forum yang dihadiri oleh enam puluh peserta yang mewakili pihak pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dunia usaha dan universitas ini bertujuan untuk berbagi pengalaman para pihak yang telah mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam di kawasan, serta mendorong ASEAN untuk menyiapkan prinsip-prinsip tata kelola sumber daya alam yang baik menjelang terbentuknya ASEAN Economic Community di tahun 2015.

“ASEAN Charter telah menyatakan bahwa tata kelola yang baik merupakan prinsip dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam agar proses pembangunan dapat berjalan secara berlanjutan” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam pembukaanya.

Dari kiri ke kanan: Jose Melvin (Bantay Kita), Hendra Sinadia (IMA) dan T Nirarta Samadi (UKP4)

Forum ini menghadirkan sejumlah pembicara seperti T. Nirarta Samadi, Wakil Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang membahas tentang upaya pemerintah Indonesia mendorong keterbukaan informasi melalui pengembangan portal peta digital “One Map” dalam program Open Government Partnership (OGP).

Dengan peta one map ini seluruh data mengenai wilayah pertambangan, hutan, dan lahan gambut dintegrasikan secara digital, dan memungkinkan masyarakat mengakses berbagai informasi seperti peraturan pemerintah, wilayah sumber daya alam dan pihak-pihak yang berwenang dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Selain mengintegrasikan data dari Kementerian Lingkungan, Energi dan Sumber daya Mineral serta Kehutanan, peta ini juga memungkinkan masyarakat untuk mengakes dan memberikan informasi terkini mengenai kondisi yang terjadi di lapangan, seperti koreksi wilayah konsensi hutan yang dilakukan oleh LSM Green peace dan komunitas GIS Indonesia. Peta ini juga dipantau oleh lebih dari 80 perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan perkebunan” jelas Samadi.

Hendra Sinadia dari Asosiasi Pertambagan Indonesia menambahkan, koordinasi data yang disediakan peta digital bisa menjadi langkah awal perbaikan untuk perbaikan tata kelola sumber daya alam, khususnya pertambangan, namun untuk langkah selanjutnya perlu dilakukan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Hendra juga menyoroti kasus yang terjadi di Indonesia dimana juga perlu dilakukan secara sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti yang terjadi di Indonesia, sejak diberlakukannya otononomi daerah, kekuasaan pengelolaan tambang berpindah dari pusat ke daerah, namun kondisi ini tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas dalam pengelolaan tambang.

“Pertambangan menjadi komoditas politik bagi pemerintah daerah, dengan mengeluarkan berbagai macam ijin pertambangan tanpa menghiraukan prinsip-prinsip dasar pengelolaan tambang seperti daya dukung lingkungan.

Secretary Elisia “Bebet” Gozun,

Sementara di Filipina, buruknya pengelolaan pertambangan telah menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari kerusakan lingkungan hingga konflik sosial dan politik yang melibatkan masyarakat adat, perusahaan, pemerintah dan aparat keamanan. Pertambangan juga dianggap sarang praktek korupsi dan menimbulkan proses kemiskinan yang berkepanjangan.

“Pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi dalam Extractive Industry Transparansi Initiative (EITI)merupakan bukti komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dan kemiskinan, EITI juga mendorong terbukanya pintu dialog antara pemerintah, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan untuk mendorong perbaikan pengelolaan tambang”ujar Elisia “Bebet” Gozun, Penasihat Presiden untuk Perubahan Iklim dan ketua Tim Pelaksana EITI Filipina.

Ditambahkan oleh Jose Melvin, anggota koalisi masyarakat sipil Filipina, Bantay Kita, penerapan prinsip transparansi juga harus dilakukan sejak awal proses pengolahan pertambangan, dengan memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat megngenai rencana pertambangan dan konsekwensi dan dampak kegiatan pertambangan terhadap kehidupan dan lingkungan mereka

“Pemerintah dan perusahaan harus konsisten untuk menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dan melibatkan masyarakat untuk membuat keputusan, apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan kegiatan pertambangan. Prinsip ini harus menjadi pedoman bagi semua pihak, sehingga tidak ada pemaksanaan dalam kegiatan pertambangan.”tegasnya

Industri Ektraktif untuk masa depan

Forum ini juga mempresentasikan hasil scoping study mengenai tata kelola industri ektraktif di lima negara di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Myanmar dan Timor Leste.

Dalam presentasinya, Direktur Eksekutif Energy Analystics and Consulting menjelaskan industri ekstraktif merupakan merupakan sumber bagi pendapatan utama bagi negara-negara di kawasan ini. Namun pengelolaan yang tidak transparan telah mendorong para pemimpin negara di kawasan ini menggunakan sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi dan politik yang hanya menguntungkan segelintir golongan.

Pemerintah di negara kaya sumber daya, cenderung untuk memberikan subsidi energi yang tinggi bagi warga negarannya, ketimbang penerapkan kebijakan pajak. Akibatnya, masyarakat kehilangan kekuatan untuk mengawasi dan mendesak pemerintah menjalankan program pembangunan yang sehat dan akuntabel.

“Penerapan EITI adalah salah satu inisiative untuk mendorong perbaikan tata kelola tersebut, tapi pemerintah juga perlu menyiapkan pengelolaan dana yang transparan dan akuntabel dalam bentuk Sovereign Wealth Fund untuk memastikan bahwa negara tetap memiliki sumber keuangan bagi pembangunan jangka panjang dan generasi mereka di masa depan” Ujar Doshi.

Dari kiri ke kanan: Professor Zainuddin Djafar (Universitas Indonesia), Dr. Tilak K. Doshi (National University of Singapore) and Evy Firiani Ph.D (Universitas Indonesia)

Selain itu, tambanya, pemerintah juga harus membentuk badan pengatur sumber daya alam yang independen, menyiapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang jelas, termasuk menentukan badan, tingkat pemerintah dengan wewenang yang jelas, serta penerapan hukum yang jelas dan berlaku pada semua pihak untuk mendorong iklim investasi yang sehat bagi investasi asing dan lokal.

“Pemerintah juga harus mendorong perusahaan nasional yang mengelola sumber daya alam secara professional yang menjamin kedaulatan energi dan keuntungan buat negara,” tegasnya

Professor Zainuddin Djafar dari Universitas Indonesia menambahkan, selain mendorong perbaikan pengelolaan sumber daya alam secara teknis, pemerintah juga perlu mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk lebih mandiri dan tidak bergantung pada kekayaan alam saja” ujar Djafar.

Forum ini juga memberikan rekomendasi bagi pemerintah ASEAN untuk menyiapkan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan aspek perlindungan pada hak asasi manusia, lingkungan, pembagian keuntungan yang adil serta transparansi dan akuntabilitas

Materi Presentasi dapat diunduh di halaman berikut:

  1. Extractive Industries Governance in Southeast Asia
  2. The Philippines Experiences in improving transparency and management in Mining Sector.
  3. Indonesia Country Lesson: Transparency, Participation and Innovation in Natural Resources Management

 

EITI Diterima dalam Kerjasama Mineral ASEAN

Pertemuan Menteri-Menteri Bidang Mineral ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting on Mineral/AMMin) yang diselenggarakan di Hanoi, Vietnam, 9 Desember 2011 mengesahkan ASEAN Mineral Cooperation Action Plan (AMCAP) 2011-2015: Dynamic Mineral Sector Initiative for Prosperous ASEAN. AMCAP yang baru ini merupakan rencana aksi implementasi kerjasama mineral di kawasan ASEAN. Hingga lima tahun mendatang.

Dalam pertemuan yang dipimpin oleh H.E. Nguyen Minh Quang, Menteri Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vietnam, para Menteri Mineral negara-nengara ASEAN secra aklamis menerima usulan dari Indonesia untuk menyelenggarakan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas (capacity building) tentang Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di ASEAN sebagai bagian dalam program kerja AMCAP 2011-2015.

Pertemuan Tingkat Menteri di Hanoi merupakan puncak dari serangkaian pertemuan selama empat hari sejak 6 Desember 2012, yang dimulai dengan pertemuan ke-8 empat kelompok kerja ASOMM, diikuti dengan Pertemuan Pejabat Senior ASEAN untuk Mineral (ASOMM) ke-11, ASOMM + 3 (Cina, Korea Selatan dan Jepang) ke-4, ditutup dengan AMMin ke-3.

Delegasi Indonesia di ASOMM ke-3 dipimpin oleh Dr. Ir. Hadiyanto, MSc, Staf Ahli Menteri ESDM bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis. Sedangkan pimpinan delegasi Indonesia di AMMin adalah Wakil Menteri ESDM, Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo. Dirjen Mineral dan Batubara KESDM adalah focal point kerjasama Mineral ASEAN di Indonesia.

Sehubungan dengan agenda keketuaan Indonesia di ASEAN yang baru saja berakhir pada KTT bulan November lalu, delegasi Indonesia sebelumnya telah mempersiapkan proposal untuk memasukan EITI didalam AMCAP 2011-2015. Sebelum disampaikan di ASOMM dan AMMin, usulan tersebut terlebih dahulu dikomunikasikan dengan Vietnam sebagai Ketua ASOMM ke-11 dan Sekretariat ASEAN yang memfasilitasi seluruh rangkaian proses.

Sebagai bagian dari delegasi Republik Indonesia, tim EITI Indonesia yang rangkaian sidang kerjasama mineral ASEAN di Hanoi terdiri dari Bambang Adi Winarso, Asdep bidang Minyak Bumi, dan Agus Wibowo dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta Erry Riyana Hardjapekas, Chandra Kirana, Ananda Idris, dari sekretariat EITI Indonesia, dan Fabby Tumiwa, anggota tim asistensi EITI ASEAN, yang juga Direktur Eksekutif IESR serta Lumondang Harahap dari Kementerian Luar Negeri.

Memasuki hari pertama, delegasi RI menyampaikan usulan EITI di dalam pertemuan kelompok kerja, diantaranya Investasi dan Perdagangan (Trade and Investment), Pengembangan Kapasitas (Capacity Building), Pertambangan yang Berkelanjutan (Sustainable Mining), dan Data dan Informasi (Data and Information).

Setelah usulan Indonesia mendapatkan persetujuan di tingkat kelompok kerja, di sidang ASOMM ke-3, Ketua Tim Formatur EITI Indonesia, Erry Riyana Hardjapamekas, mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan presentasi tentang EITI secara umum dan usulan Indonesia. Hasilnya proposal Indonesia diterima dan ditetapkan untuk dimasukkan kedalam rancangan AMCAP 2011-2015 yang dipersiapkan untuk disetujui oleh para Menteri.

Pada pertemuan AMMin, Indonesia kembali mengusulkan pernyataan terkait dengan EITI sebagai hasil dari ASOMM untuk dimasukan dalam Joint Press Statement ASEAN Ministerial Meeting on Mineral yang merupakan rangkuman hasil AMMin ke-3 yang disampaikan kepada publik. Setelah melalui pembahasan para Menteri, AMMin kemudian menyepakati rumusan teks sebagai berikut: “The Ministers noted the Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) that is known as international quality standard on revenue collection in mineral sector, and agreed to the proposal to include capacity building on EITI in ASEAN Mineral Cooperation Action Plan (AMCAP) 2011-2015.”

Fabby Tumiwa menyatakan diterimanya EITI didalam AMCAP cukup monumental, dan dapat menjadi pijakan untuk memperluas pengertian dan manfaat EITI di ASEAN. Menurutnya, untuk pertama kalinya frasa “EITI” disebut secara lugas dalam pernyataan kerjasama ASEAN di bidang mineral dan di dalam pernyataan para menteri mineral ASEAN.

Selain itu EITI dapat menjadi alat yang dapat memfasilitasi proses harmonisasi kebijakan di sektor mineral di ASEAN untuk mendukung tercapainya terbentuknya masyarakat ekonomi ASEAN tahun 2015 yang berkelanjutan.

Lebih lanjut kata Fabby, yang juga menjadi salah satu anggota delegasi RI pada pertemuan ini menambahkan bahwa masuknya EITI di dalam program kerja kerjasama mineral ASEAN diharapkan dapat membantu negara-negara ASEAN lainnya untuk memahami EITI dan manfaatnya serta memperbaiki tata kelola bagi pengelolaan sumberdaya mineral di kawasan ini.

Sebelumnya, upaya Indonesia untuk memperkenalkan EITI di dalama kerjasama ASEAN juga dilakukan melalui Pertemuan para Staf Senior bidang Energi dan Pertemuan para Menteri Energi AMEM) di Brunei, Juni dan September 2011 yang lalu. Dalam pertemuan tersebut para menteri energi ASEAN mengapresiasi usulan Indonesia dan meminta agar pengertian dan manfaat EITI dalam mendukung keamanan energi di ASEAN dilanjutkan untuk dikaji dan dikomunikasikan kepada negara-negara anggota lainnya, serta dilaporkan hasilnya di sidang AMEM tahun 2012.

Kemajuan dalam mewacanakan gagasan EITI di ASEAN diharapkan dapat menjadi pemacu implementasi EITI di Indonesia, kata Chandra Kirana, anggota sekretariat EITI Indonesia.

“Keberhasilan Indonesia melaksanakan EITI dengan kualitas proses dan hasil yang baik, tentunya dapat menjadi acuan bagi negara-negara ASEAN lainnya di kemudian hari,” kata Chandra.

Sebagai negara pertama yang menerapakan EITI di Asia Tenggara, Indonesia juga dapat memberikan bantuan teknis kepada negara-negara ASEAN lainnya tentang EITI, imbuhnya.

Di tahun 2012/2013, sesuai dengan AMCAP 2011-2015, Indonesia merencanakan sejumlah lokakarya bagi para pengambil kebjakan serta kementerian teknis dari negara-negara ASEAN. Indonesia juga terbuka untuk berkolaborasi dengan negara-negara anggota ASEAN untuk mempercepat implementasi rencana aksi mineral ASEAN. (FT)

Referensi: Joint Press Statement 3rd ASEAN Ministerial Meeting on Mineral

Download PDF

Durban Platform

Fabby Tumiwa [1]

Setelah memperpanjang perundingan hingga 2 hari, pada 11 Desember 2011 pagi hari Presiden COP-17 Maite Nkoana-Mashabane, yang juga adalah Menteri Kerjasama dan Hubungan Internasional Afrika Selatan, menutup COP-17 secara dramatis.Continue reading