RAN GRK : Rencana, Implementasi dan Sistem MRV untuk Mencapai Penurunan Emisi GRK 26% (atau 41%) Pada 2020

IESR menyelenggarakan diskusi ahli mengenai Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)

(Jakarta, IESR) Pada tanggal 12 September 2011, IESR mengadakan sebuah diskusi ahli mengenai rencana kebijakan Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) di Jakarta. Diskusi ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan dan status serta penjelasan mengenai perhitungan dari penurunan 26% (dan 41%) yang tercantum dalam RAN GRK. Sebagai narasumber diskusi adalah Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, pakar NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions), dan juga Sekretaris Pokja Mitigasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Adapun sekitar 25 orang peserta dari sejumlah Kementerian diantaranya Kehutanan, Pertanian, Perhubungan dan ESDM, serta anggota Dewan Energi Nasional, dan kelompok masyarakat sipil.

Dalam paparannya, ketiga narasumber menjabarkan bagaimana sebenarnya isi dan status dari draft Peraturan Presiden tentang RAN GRK yang telah disusun oleh Bappenas dan bagaimana hubungannya dengan dokumen NAMAs yang harus disusun oleh negara berkembang, serta pengaruhnya pada posisi Indonesia di area negosiasi perubahan iklim internasional.

Kesimpulan dari diskusi ini menggambarkan adanya kebutuhan untuk memiliki pendalaman khusus terhadap angka penurunan emisi yang dicantumkan di dalam lampiran RAN GRK, karena perhitungan baseline yang tidak jelas. Bappenas menjelaskan bahwa angka tersebut adalah angka indikatif, dan ada kemungkinan berubah, disesuaikan dengan hasil studi dari kelompok kerja yang telah dibentuk oleh Bappenas terkait dengan monitoring implementasi RAN GRK.

Diskusi ini juga mengusulkan agar kelompok kerja yang terbentuk, menyusun indikator-indikator keberhasilan guna memonitor implementasi dari RAN GRK tersebut.

Missing link

RAN GRK dan NAMAs seharusnya memiliki kaitan yang sangat erat, karena NAMAs secara konsep adalah rancangan kegiatan mitigasi negara berkembang untuk skala domestik dan skala internasional. Itu sebabnya, adopsi skema NAMAs sudah seharusnya dilakukan, dalam pengembangan RAN GRK, yang merupakan dokumen kerja penurunan emisi baik oleh usaha sendiri, maupun dengan bantuan internasional.

Hal terpenting yang harus tersedia dalam menentukan NAMAs adalah bagaimana menentukan reference level dari masing-masing sektor yang tercakup dalam NAMAs tersebut. Tentunya, dalam rencana penurunan emisi sebesar 26%, harus jelas tahun referensinya. Dengan demikian dapat diketahui, berapa jumlah yang terproyeksi di tahun yang terkait (dalam hal ini 2020), dan berapa banyak emisi yang dapat direduksi di tahun yang telah disepakati (dalam hal ini 2020).

Pada kenyataannya, proses penyusunan RAN GRK di Indonesia, tidak melalui tahapan tersebut. Melalui diskusi terbatas pada tanggal 12 September 2011 di Hotel Puri Denpasar, Jakarta, Indonesia, telah dikonfirmasi bahwa jumlah emisi yang tercantum dalam RAN GRK tidak memiliki tahun dasar (base year) yang jelas [1]. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut, adalah sulit untuk masing-masing sektor dapat menentukan berapa banyak emisi gas rumah kaca yang dapat direduksi secara optimum. Hal ini lah yang sebenarnya terjadi dalam proses penyusunan RAN GRK itu sendiri.

Pada diskusi tanggal 12 September tahun 2011 tersebut, Bappenas menyatakan bahwa seluruh angka potensi penurunan emisi yang tercantum di RAN GRK adalah angka-angka indikatif yang dapat dicapai oleh masing-masing sektor dan disampaikan oleh masing-masing sektor tersebut. Walau demikian, seharusnya, angka-angka tersebut bukan berasal dari hasil indikasi masing-masing sektor, namun berdasarkan perhitungan yang sebenarnya dengan memperhitungkan baseline sebagai acuan emisi.

RAN GRK kemudian ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 20 September 2011 lalu. Hal ini berarti, pemerintah akan mulai mengimplementasikan seluruh rencana penurunan emisi seperti yang tercantum dalam Perpres 61 tahun 2011, dimana Bappenas akan membentuk sebuah kelompok kerja, dengan tanggung jawab untuk memonitoring jalannya implementasi kerja dari RAN GRK yang telah tersusun.

Indonesia: Memastikan Implementasi NAMAs

Ketiadaan koordinasi antara kementerian dan departemen di Indonesia membuat perlu diadakannya koordinasi kembali antar pihak. Sebuah perhitungan yang lebih komprehensif seharusnya dilakukan untuk dapat menentukan besaran emisi gas rumah kaca yang dapat dilakukan dengan APBN dan mana yang dapat dilakukan dengan dana internasional.

Dalam presentasi mengenai NAMAs, disampaikan bahwa biaya kegiatan penurunan emisi, berkaitan erat dengan pemilihan kegiatan penurunan emisi apakah itu dengan APBN ataupun dengan bantuan internasional. Hardiv Situmeang, mengatakan bahwa seharusnya ada prioritas berdasarkan biaya yang harus dibuat oleh Pemerintah sebelum menyusun RAN GRK. Prioritaskan teknologi-teknologi dengan biaya termurah untuk didanai oleh APBN, sedangkan yang mahal, seharusnya diajukan ke dalam skenario penurunan emisi 41%. Hal ini tidak didapati di RAN GRK itu sendiri.

Kesimpulan

Walaupun Presiden telah menandatangani RAN GRK sehingga sudah memiliki kekuatan untuk diimplementasikan, namun dalam diskusi tanggal 12 September lalu, Pemerintah masih perlu melakukan kajian lebih lanjut mengenai aksi-aksi terukur yang bisa dilakukan dari berbagai sektor untuk mendapatkan penurunan emisi 26% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional secara nyata.

Beberapa hal yang harus kembali dikaji adalah:

  1. Penentuan baseline dari emisi BAU (Business as Usual). Bagaimana metode perhitungan tersebut harus dibuat transparan untuk konsumsi publik.
  2. Perlu dikaji kembali rencana aksi untuk setiap sektor dan target penurunan emisi yang diusulkan.
  3. Perlunya disusun sebuah metode monitoring untuk dapat memonitor apakah jumlah emisi yang tereduksi dari sebuah kegiatan yang tercantum di RAN GRK, adalah benar dengan jumlah emisi yang terukur secara langsung.
  4. Bappenas akan membentuk sebuah kelompok kerja yang memiliki tugas untuk merancang indikator keberhasilan penurunan emisi dari masing-masing sektor.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Henrietta Imelda (imelda@iesr.or.id) dan Fabby Tumiwa (fabby@iesr.or.id)


[1] Presentasi Bappenas menunjukkan bahwa baseyear yang digunakan adalah tahun 2005, sedangkan menurut DNPI (presentasi dapat dilihat di OECC Japan), baseyear yang digunakan bukan tahun 2005.

Blok Montara Percayalah, kami sedang bekerja keras

Pemerintah Indonesia optimis jika PTTEP Australasia akan memenuhi tuntuntan ganti rugi kebakaran kilang minyak di Blok Montara. Namun di tengah alotnya perundingan, empat anak perusahaan PTTEP di Indonesia mendapatkan konsensi pengelolaan ekplorasi minyak di Sulawesi.

Jakarta (IESR) JIka tak ada halangan, tanggal 29 Agustus 2011 nanti Pemerintah Indonesia bersama PTTEP Australasia akan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) mengenai tuntutan ganti rugi pencemaran perairan Indonesia akibat ledakan kilang minyak yang terjadi pada di Blok Montara pada Agustus 2009 lalu.

Kesepakatan ini, menurut Masnellyati Hilman, Ketua Tim Advokasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTL), merupakan langkah yang maju bagi proses perundingan. Sebab pihak PTTEP Australasia bersedia menyertakan dua poin penting, yaitu pembayaran klaim CSR sebesar US$ 2 juta dan pembayaran ganti rugi senilai Rp 23,7 triliun.

Namun dia tidak bisa merinci lebih lanjut mengenai isi kesepakatan yang akan ditandatangani di Jakarta itu, termasuk jumlah masyarakat nelayan di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao yang menjadi korban pencemaran laut tersebut.

“Dalam proses negosisasi ini memang banyak hal yang tidak bisa diumumkan ke publik, karena ini menyangkaut kepercayaan dan reputasi kedua belah pihak. Namun percayalah, kita sedang berusaha untuk mendapatkan yang terbaik untuk bangsa ini. Yang terpenting, kedua belah pihak telah meggunakan metodelogi yang sama dalam pengukuran tumpahan minyak.” ujar Nelly .

Tertutupnya proses negosiasi ini membuat beberapa kalangan-terutama kelompok masyarakat sipil-mengganggap pemerintah bergerak lamban dan tidak tegas menyelesaikan kasus pencemaran lingkungan ini. Padahal, sudah banyak bukti yang menguatkan bahwa perusahaan minyak milik Australia dan Thailand telah melakukan kesalahan dalam kegiatan ekplorasinya.

“Pemerintah Australia yang diwakili oleh Otoritas Keselamatan Laut sudah membenarkan jika tumpahan minyak di Blok West Atlas masuk ke perairan Indonesia pada September 2009 lalu. Jadi secara substansi kita mempunyai posisi yang kuat” jelas Riza Dimanik, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam Seminar Pencemaran Minyak Blok Montara pada Selasa (26/7) lalu.

Justru yang menjadi persoalannya adalah bagaimana pemerintah bisa bersikap tegas untuk mengejar komitmen PTTEP Australasia untuk segera menyelesaikan kasus ini.

Pemerintah dianggap terlalu mengikuti keinginan PTTEP Australasia yang ingin memperpanjang masa penyelidikan hingga tahun 2011, termasuk memverifikasi kuesioner Tim Advokasi Laut Timor (TALT) yang diisi oleh para nelayan.

“Kita sedang berkejaran dengan waktu, semakin lama proses penyelidikan berlangsung, bukti-bukti yang ada di lapangan akan semakin hilang” ujar Riza.

Parahnya, ujar Riza, ditengah proses ini, Pemerintah Indonesia juga memberikan empat konsensi blok minyak kepada anak perusahaan PTTEP untuk eksplorasi minyak di Sulawesi. Tak heran, jika kemudian PTTEP merasa nyaman dan mendominasi perundingan sejak awal.

Ketidaktegasan pemerintah juga diungkapkan oleh Marwan Batubara dari Indonesia Resources Institute. “Sudah dua tahun kasus ini berlalu, dan presiden SBY hanya berbicara sekali ketika pemerintah akan mengajukan klaim ke PTTEP Australasia pada 22 Juli 2010.” Ujar Marwan

Kondisi ini sungguh berbeda berbeda ketika minyak milik Bristish Petroleum tumpah di perairan Teluk Mexico pada tahun 2010. Presiden AS, Barack Obama pada saat itu langsung turun menangani kasus ini dan meminta komitmen BP untuk membayar kerugian minimal US$ 20 milyar bagi masyarakat yang menjadi korban di wilayah tersebut.

“Presiden SBY harusnya bisa bersikap tegas seperti Obama dan meminta pertanggungjawaban PTTEP karena telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan merugikan rakyat Indonesia.”

Akibat berlarutnya kasus blok Montara ini, kini jutaan jutaan masyarakat di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao kini terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan karena mereka sulit mencari ikan atau berkebun rumput laut.

Masyarakat, menurut Heri Saba dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) kini lebih memilih menyewakan perahu kepada imigran Afghanistan yang akan mencari penghidupan di Australia. Tentu saja, ini akan menimbulkan persoalan baru karena bisa melanggar hukum internasional.

Indonesia Introduces EITI Principles for Securing Energy and Improving Investment Climate in ASEAN

Jakarta (IESR). On 9-10 August 2011 Coordinating Ministry for Economic Affairs, Ministry of Energy and Mineral Resources and Ministry of Foreign Affairs were hosting the Regional Workshop: Securing ASEAN Energy Supply: Learning from Best Practice and Global Standards to Improve Investment Climate. The Workshop was held at Hotel Borobudur, Jakarta attended by 30 participants from five ASEAN member countries: Cambodia, Laos, Indonesia, Malaysia and Philippines, and presenting speakers from Timor Leste, Norway and other international institutions.

The workshop plan has been scheduled in the agenda of Indonesia’s Chairmanship in ASEAN. Indonesia had initially proposed this plan at the Senior Official Meeting on Energy (SOME) on 29 June-1 July in Brunei Darussalam and responded positively from ASEAN delegations

During two days, the participants have been discussing about non-technical aspects of energy security in ASEAN. One of those aspects was good governance to support investment climate. In this regard was the implementation of Extractive Industries Transparency Initiative (EITI)-the international quality assurance for governance of extractive industries revenue.

The Government of Indonesia believes that EITI can play important roles in promoting investment in ASEAN. Finding from EITI implementation countries shows that by implementing EITI, country attracts more business and investors in extractive industries (oil, gas and minerals). EITI can address part of the underlying cause of political instability in many resources rich countries through participation and dialogue among stakeholders (government, business and investors and civil society).

Fabby Tumiwa, Executive Director of Institute for Essential Services Reforms (IESR) welcomed the initiative from Government of Indonesia in introducing and encouraging EITI implementation in ASEAN. Fabby said principles of EITI are in accordance with the principles in ASEAN Charters and ASEAN pillars would a gateway for ASEAN to adopt and support the implementation in ASEAN

“We from Civil Society Organizations are supporting ASEAN to encourage its member countries to implement EITI as the initiative,” said Fabby. However, he also emphasized it is important for ASEAN to review the implementations from other standards-not only conclude on EITI-so that ASEAN will have comprehensive standards in managing natural resources as support to a sustainable development.

Chandra Kirana from Revenue Watch Institute (RWI) said essentially EITI could help ASEAN member countries in generating revenue from the extraction of natural resources and contribute to their economic development.

“If those countries can maximize their revenue from the extractive industries there will be a wider fiscal term in budget allocation for poverty reduction and sustainable development.” said Chandra

Indonesia has already implemented EITI principles since last year. On April 23, 2011 President of Indonesia released a decree on Transparency of National/Local Government of Extractive Revenues. Indonesia is now the first country of ASEAN releasing a regulation for EITI implementation as well as the first country in this region officially accepted as the EITI candidate country. Nowadays, the secretariat is preparing the first EITI Indonesia report, the report scheduled to be available by the end of this year

Fabby Tumiwa added, EITI can be a platform to improve country’s revenue from unrenewable natural resources. Optimizing revenue through a transparent fund flow will improve national income. So that the rich hydrocarbon countries would start investing their fund for research and invention for renewable energy technologies and securing energy supply in the future as hydrocarbon reservation is getting declining.

At the end of the workshop the participants agreed on “Outcome Document” covered six action plans of developing joint- study, working group in ASEAN for EITI promotion and dialogue forum among stake holders in ASEAN which facilitated by ASEAN Secretariat and the Government of Indonesia

Results of the regional workshop will be reported by Indonesia delegation on SOME summit and ASEAN Ministerial Meeting on Energy in next September.

Institute for Essential Services Reform (IESR), Revenue Watch Institute (RWI) and EITI Indonesia secretariat also supported for this workshop.

1010 Actions-Global Work Party

Materi publikasi acara 1010 Actions-Global Work Party, event yang diselenggarakan secara internasional secara serentak pada tanggal sama diselenggarakan oleh The Climate Project Indonesia. IESR berpartisipasi untuk sesi talkshow Carbon Calculator oleh Fabby Tumiwa

Spot Event Triple Ten TCPI Bodyshop 2010:

Flyer:

CSO Serukan Pemerintah se-ASEAN Adopsi EITI

Jakarta, 28 Februari 2010

Enam koalisi organisasai masyarakat sipil (Civil Society Forum/CSO)  yang mengkampanyekan keterbukaan dan akuntabilitas ekstaktif Industri di region Asia Tenggara menyerukan kepada pemerintah negaranya masing-masing agar serius mempertimbangkan mengadopsi EITI (Extractive Industry Transparency Initiative/EITI).

Hal ini terungkap dalam pertemuan Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Social Organization/CSO) Internasional, se-ASEAN yang membahas tentang Inisiatif Keterbukaan Ekstraktif Industri (The Extractive Industry Transparency Imitative (EITI), di Inter Continental, Jakarta (28/2). Acara ini dihadiri CSO dari Timor Leste, Kamboja, Vietnam, Philipina, dan Indonesia sebagai tuan rumah, yang dipandu langsung oleh Oxfam Amerika dan RWI (Revenue Watch Institute). Pertemuan ini sendiri dimaksudkan sebagai persiapan  CSO se-ASEAN dalam menghadapi  Konfrensi EITI se-Asia yang akan (telah berlangsung) di Shangrila, Indonesia, awal Maret 2010.

EITI itu sendiri adalah adalah standard global yang menyediakan mekanisme dimana sebuah perusahaan EI harus secara terbuka menginformasikan pendapatan dan pembayarannya kepada Negara (pemerintah), dan pemerintah juga harus mengumumkan kepada publik tentang hasil penerimaaan yang diterima. Semua itu harus dilakukan di bawah pengawasan multipihak termasuk masyarakat sipil.

Ketidakterbukaan pelaporan pendapatan kegiatan tambang oleh perusahaan EI dan penerimaan negara atas usaha itu, telah menimbulkan celah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat tinggi. Belum lagi menyebut dampak ekologisnya bagi alam dan berbagai konflik horizontal yang telah menimbulkan masalah sosial, politik dan ekonomi bagi masyarakat asli yang lahan dan hutannya dijadikan areal kegiatan usaha tambang atau dikenal sebagai ektraktif industri.

“Sementara itu Indonesia, Philipina, Kamboja, Vietnam, Timor-Leste, dan Papua Nugini  adalah negara kaya di sektor tambang ini, dan sejumlah perusahaan EI besar dalam puluhan tahun telah dipastikan akan terus beroperasi di sana. EITI akan ‘memaksa’ mereka baik perusahaan dan pemerintah melakukan tanggungjawab dan transparansi  yang  jelas serta memberikan ruang bagi pengawasannya, yang juga dilakukan masyarakat sipil,” jelas Direktur IESR (Institute for Essential Services Reform), Fabby Tumiwa dalam acara tersebut.

Kendati tidak semua CSO sepaham dalam melihat persoalan EI bisa terselesaikan lewat EITI, namun sejumlah CSO sudah mendorong upaya hal ini untuk terus dilakukan seiring dengan berbagai advokasi persoalan EI lainnya.  Para CSO juga melihat bahwa  ketiadaan tatakelola yang baik dalam hal mengatur keterbukaan usaha EI telah melemahkan tanggungjawab pemerintah yang harusnya secara terbuka memperlihatkan kepada publik pendapatan yang diterima dalam usaha EI ini. Termasuk kekhawatiran semakin tidak terkontrolnya eksplorasi sumber daya alam yang berakibat pada rusaknya ekologis, dan penderitaan rakyatnya.

“Sebagai contoh saja di Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara, produksi batu bara Indonesia adalah terbesar kedua.  Ironisnya daerah-daerah yang menghasilkan batu bara ini justru adalah daerah yang dikenal paling miskin dan tertinggal untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan isu aktivitas korupsi yang tinggi, isu lingkungan, HAM dan juga kemiskinan,” jelas Fabby Tumiwa, Executive Director of Institute for Essential Services Reform (IeSR), Indonesia yang mempresentasikan gambaran umum tentang peta masalah EITI di kawasan ASEAN.

Ironis lagi, negara ASEAN yang kaya akan sumber daya alam tambang dan mineralnya seperti Indonesia, Laos, dan Philipina yang pengelolaannya sebagain besar “dikuasai” perusahaan asing  seperti  Petronas, Chevron dan Pertamina ini justru mendapatkan pendapatan GDP di sektor EI lebih kecil dibandingkan sektor lainnya.

“Sebagai contoh di Indonesia pendapatan dari sumber mineral sangatlah kecil jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Di sektor tambang, bahkan, pemerintah hanya dapat royaltinya saja dan bukan pendapatannya,” jelas Fabby lagi.

Karena itu menurut Fabby, mekanisme EITI itu sangat diperlukan di setiap Negara yang diberkati dengan berlimpahnya sumber daya tambang mineral ini, mengingat di setiap daerah opersinya EI kebanyakan merupakan daerah miskin, indeks pembangunannya rendah dan begitu banyak konflik dan kerusakan lingkungan yang terjadi karena kegiatan EI yang tidak bertanggungjawab.

“Meskipun EITI hanya terbatas untuk menyediakan platform untuk transparansi aliran pendapatan di sektor ini, kami percaya bahwa mekanisme semacam itu tetap diperlukan untuk memperbaiki negara dalam mengelola pemerintahan demokrasi ekonomi,” jelas Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia.

Ketidakterbukaan pertanggungjawaban laporan pendapatan perusahaan EI dan penerimaan yang diperoleh pemerintah ini pula yang dianggap CSO Meeting sebagai salah satu matarantai penting yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah konflik sosial dan ekonomi yang cukup tinggi.

Di Indonesia, dalam catatan Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia, konflik vertikal selalu terjadi di wilayah yang dikenal sebagai penghasil EI tertinggi seperti di Papua, Kalimantan dan NAD. Seperti disebut di atas, wilayah ini justru menjadi provinsi yang tertinggal dan miskin di antara provinsi lainnya.

Dalam cerita di Kamboja terungkap berbagai usaha EI di area sekitar Danau Tonle Sap telah menimbulkan berbagai konflik yang cukup tinggi. Area itu kini telah “diramaikan” blok-blok  izin usaha  berbagai kegiatan EI. Salah satu areanya yang disebut area Blok A  dikuasai oleh Chevron.

“Telah banyak di area lahan-lahan di Kamboja semakin menunjukkan peningkatan eksplorasi sumberdaya alam yang semakin meningkat. Kebanyakan perusahaannya adalah dari Barat dan ini juga sarat dengan korupsi,” jelas Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari  The NGO Forum on Cambodia, Kamboja.

Ath juga menjelaskan bahwa saat ini ada 20 perusahaan minyak yang telah mendapatkan konsensi dari pemerintah. Emas merupakan pendapatan terbesar dibanding usaha EI lainnya di Kamboja.  Kamboja berharap banyak pendapatan atas gas dan minyak bisa membuat mereka lebih independent dari ketergantungan donor.  Namun demikian di sekitar wilayah tempat beroperasinya EI, selalu terjadi pelanggaran HAM, dan rusaknya ekologi yang sangat parah.

CSO dan EITI

Terkait dengan persoalan di atas para peserta CSO meeting menyadari benar bahwa kondisi tersebut akan jauh lebih baik jika perusahaan EI dan pemerintah bersungguh-sungguh mengimplementasikan apa yang mereka sebut dengan EITI (The Extractive Industries Transparency Initiative) secara sukarela. Di beberapa Negara, EITI telah diusung dan diterapkan seperti yang terjadi di Timor-Timor, sementara yang lainnya sudah pada upaya “memaksa” pemerintah dan pelaku usaha EI untuk memasukkan EITI sebagai salah satu standard yang harus dikuatkan secara hukum seperti yang terjadi di Indonesia. Sementara di beberapa negara lainnya masih berjuang untuk memperkenalkan EITI ini untuk tidak hanya dilihat sebagai wacana.

Di Kamboja seperti diungkapkan Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari  The NGO Forum on Cambodia, Kamboja, ketersediaan informasi terkait keterbukaan pertanggungjawaban usaha EI itu tidak ada. Baik itu berupa informasi kontrak, dan daftar pendapatan perusahaan EI. Lebih parah lagi belum ada legal aspek atau regulasi yang bisa dijadikan “pemaksa” untuk menjalani EITI.

Sementara di Indonesia kendati EITI telah dikenal baik oleh pemerintah dan pelaku usaha EI, menurut Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia, keterbukaan masih sangatlah kurang. Mereka juga mengalami kesulitan mendapatkan data yang update di anggaran Nasional terkait dengan EI. Sementara informasi terkait kontrak usaha EI bisa disediakan namun atas dasar permintaan itu pun tanpa disertai  dokumen  PSC  termasuk  POD, WP dan anggaran.

“Yang menyulitkan lagi adalah masih adanya perbedaan pandangan antara menteri Sumber Daya dan Energi vs Menteri Keuangan serta Menteri Lingkungan,”jelas Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional  Publish What You Pay, Indonesia. (Musfarayani/IESR)

Public Lecture Series : The Road to Climate Justice

IESR, The Climate Project Indonesia (TCP), and School of Public Health of University of Indonesia organized a half-day event: “Public Lecture on Climate Change,” in conjunction with the “United Nations Day” and “The International Day of Climate Action,” organized internationally by 350.org (www.350.org). This activity is part of TCP Indonesia activity on the public lecture on Climate Change in 34 universities across Indonesia. IESR has been trying to engage wider public on climate change awareness, and this event is a part of IESR’s Climate Justice Program. This event is taken place in the auditorium of the School of Public Health, University of Indonesia on 23 October 2009.

Nadia Hadad from TCP Indonesia presented the climate change evidences and humanity challenges. Nadia, who is Indonesia Project Coordinator of Bank Information Center (BIC), is alumni of The Climate Project training. Prof. Dr. I Made Jaya, SKM from the School of Public Health of University of Indonesia made presentation on Adaptation and Mitigation of Climate Change, while Febi Dwirahmadi, an alumni of the school and associate researcher of IESR who is working on climate adaptation project for urban, presented the impact of climate change to the public health. The lecture is moderated by Dr. dr. Rahmadi Purwana, SKM, from the School of Public Health.

One of messages conveyed in this lecture, that the current carbon dioxide level in the atmosphere has reached 386 part per million (ppm) based on findings from NASA’s climate scientist (NASA 2008). This level exceeds the 350 ppm level that some scientists said about the safe upper limit to avoid catastrophic impact to the ecosystem. So far the impacts of climate change have occurred in many part of the world and are projected to worsen in the future. It contributes to the reducing number of glacier in Alaska, Argentina and also New Zealand; inducing forest fire in Riau, Indonesia and Australia, sea level rise due to ice melting, flood and drought, and other extreme weather and the extinction of wildlife.

From public health aspect, climate change has the potential to affect population health either directly or indirectly. The examples of direct impact of climate change are : climate change will increase the frequency and the intensity of climate extreme events such as heat wave or cold wave in which may result in deaths or injuries. It also has been reported that climate change will intensify the climate related natural hazards such as storms, high tidal wave, and hurricane in which may not only impact human health but also building and infrastructure. Indirectly, climate change can also impact human health.

This may happen because climate change will disturb the ecological system. This will include disease transmission and distribution, hydro-agronomical system, air pollution, water availability, and others. This for example, the global dengue fever which will increase during the La Nina phenomenon. In Indonesia dengue fever has significantly increased doubled during La Nina year in 1973, 1988, and 1998 (UNDP, 2007). Since Indonesia already experienced the impact of Climate Change, the government should design a mitigation and adaptation strategy including energy sector, land use, forest, and also ocean to reduce green house gases in atmosphere.

Further, it was explained also about the climate debt concept. Based on the historical emission, industrial countries that represent only ¼ of world population already occupied ¾ of atmosphere with their carbon emission. Meanwhile developing countries who are the majority of the world population only produce ¼ of the historical emission. Further it constitutes a term that called as “climate debt”. Industrial countries ran up debts to developing countries due to their over-using the right to emit.

IESR now is working on a campaign on climate debt and preparing to release a post card campaign to ask developed countries leader to take serious and meaningful action to cut their emission. The post-card targeted the top 5 largest emitter countries and will be sent through the embassy or representative offices in Indonesia. This is part of our effort to make industrial countries responsible to their debt. IESR has asked student to participate in this campaign and raising their voice to demand the climate justice.