Melihat Berbagai Kemajuan Transisi Energi di Indonesia

Jakarta, 15 Desember 2023 – Dalam tiga tahun terakhir, terdapat sejumlah kemajuan dalam transisi energi di Indonesia. Sejak 2020, Pemerintah Indonesia mulai memasukkan agenda transisi energi dalam agenda pemerintah.

Dalam peluncuran laporan utama tahunan Indonesia Energy Transition Outlook 2024, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan kemajuan ini merupakan suatu hal yang penting.

“Dalam 3 tahun terakhir, Indonesia berupaya untuk konsolidasi kebijakan insentif energi terbarukan. Hasilnya belum banyak terlihat, namun isu transisi energi semakin dibicarakan, menjadi isu penting, dan menjadi agenda utama. Tahap selanjutnya, dengan adanya kebijakan yang terkonsolidasi, langkah transisi energi Indonesia dapat lebih cepat,”

Fabby menambahkan dalam menyusun laporan IETO 2024, tim IESR menggunakan empat kerangka untuk menganalisis perkembangan transisi energi di Indonesia meliputi (1) kerangka kebijakan dan regulasi, (2) dukungan pendanaan dan investasi, (3) aplikasi dari teknologi, serta (4) dampak sosial dan dukungan masyarakat.

Dalam kesempatan yang sama, Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan bahwa konsolidasi yang dilakukan pemerintah saat ini tidak hanya dilakukan dari sisi regulasi, tetapi juga dilakukan dari sisi tekno ekonomi.

“Menurut kami, salah satu kunci suksesnya NZE (net zero emission) di sektor pembangkitan listrik adalah adanya super grid yang menyambungkan pulau-pulau di Indonesia,” kata Dadan.

Capaian dekarbonisasi Indonesia selama tahun 2023, dinilai kurang menggembirakan di mana dalam kurun waktu satu tahun ini penambahan kapasitas energi terbarukan hanya bertambah sekitar 1 GW, jauh dari target RUPTL 2021-2030 yang menetapkan 3,4 GW pada periode yang sama.

Alvin Sisdwinugraha, Analis Sektor Ketenagalistrikan IESR mengungkapkan Indonesia perlu segera berbenah untuk mengejar target dekarbonisasinya, terutama dalam pengembangan proyek energi terbarukan.

“Pemerintah dapat melakukan sejumlah strategi meliputi peninjauan ulang fase persiapan proyek, meningkatkan daya tarik proyek, meningkatkan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri, dan segera meningkatkan infrastruktur jaringan ketenagalistrikan.”

Alvin juga menyoroti strategi pengembangan biomassa, yang terkait erat dengan ketersediaan lahan untuk tanaman bahan baku (feedstock). Mengingat ketersediaan lahan yang terbatas, ia mengungkapkan. baik jika penggunaan biomassa difokuskan pada sektor-sektor yang sulit untuk didekarbonisasi (hard-to-abate).

Selain sektor ketenagalistrikan, sektor lain yang mengkonsumsi energi adalah industri dan bangunan. Sektor industri merupakan pemicu peningkatan konsumsi energi yang signifikan di Indonesia, atau sekitar 81%. Pada tahun 2022, terdapat penambahan 5 unit smelter komersil, yang dapat berdampak pada potensi peningkatan konsumsi energi sebanyak 2 kali lipat pada tahun 2023.

Fathin Sabbiha Wismadi, Analis Energi Efisiensi pada Bangunan, IESR, mengungkapkan adanya regulasi yang mengikat akan menjadi salah satu akselerasi efisiensi energi.

“Kita memiliki 6 hal yang dapat berkontribusi untuk menurunkan intensitas energi di Indonesia, pertama, elektrifikasi. Kedua, efisiensi energi, ketiga, regulasi mengenai konsumsi energi dan efisiensi energi, keempat ekosistem dan infrastruktur seperti lokasi pengisian daya, kelima, insentif dan keenam, meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia,” ungkap Fathin.

Dari sisi suplai, pada level sub-nasional, sejumlah daerah di Indonesia telah menyelesaikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Anindita Hapsari, Analis Agrikultur, Kehutanan,

Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim IESR menyoroti kebutuhan asistensi pada tiap-tiap daerah dalam mengakselerasi adopsi energi terbarukannya.

“Kemampuan setiap daerah yang berbeda, memerlukan adanya asistensi dalam bentuk  regulasi dan skema, baik finansial dan non finansial,” kata Anin.

Ketersediaan pembiayaan menjadi salah satu isu yang menghambat akselerasi energi terbarukan. Salah satu penyebabnya adalah persepsi investasi energi terbarukan masih terbilang rendah. Martha Jessica, Analis Sosial Ekonomi IESR, menyampaikan investasi pada pembangkit energi terbarukan masih dianggap sebagai investasi berisiko tinggi (high risk).

“Realisasi investasi di renewables juga masih rendah. Tren sangat jauh dari kata ideal di mana tahun ini dan tahun lalu tidak mencapai targetnya, yaitu target investasi sebesar USD 1,8 miliar  pada 2023, namun semester kemarin hanya tercapai  sekitar 30% saja,” katanya.

Sektor ketenagalistrikan merupakan sektor terdepan dalam agenda dekarbonisasi Indonesia, karena sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi nya. Meskipun demikian, target di sektor ketenagalistrikan tetap tidak mudah untuk dicapai. 

His Muhammad Bintang, Analis Teknologi Penyimpanan Energi dan Baterai, IESR, menyebutkan setidaknya terdapat tiga hal yang perlu didorong untuk memastikan tercapainya target dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan. 

“Pertama, kita perlu membangun clean energy ecosystem, kedua physical and non-physical infrastructure, dan prioritaskan intervensi yang sudah teruji,” katanya.

Penggunaan Macam Moda Transportasi Indonesia Butuh Dorongan Kuat dari Pemerintah

Dekarbonisasi sektor transportasi Indonesia

Jakarta, 5 Desember 2023 – Sejak tahun 2021 sektor transportasi di Indonesia menduduki peringkat kedua penghasil emisi tertinggi, menggeser industri. Emisi sektor transportasi ini banyak diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar minyak yang menjadi sumber energi utama dari kendaraan. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan rencana pembangunan, diprediksi emisi dari sektor transportasi akan terus meningkat. Sebagai salah satu upaya untuk memperkuat aksi mitigasi perubahan iklim, dekarbonisasi sektor transportasi penting dilakukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar Dissemination of Indonesia’s Transportation Decarbonization Roadmap, (5/12) menekankan bahwa untuk memastikan berbagai aksi mitigasi perubahan iklim selaras dengan Persetujuan Paris (Paris Agreement) maka target penurunan emisi harusnya dihitung bukan sekedar berdasarkan persentase namun juga memperhitungkan keselarasan dengan target Paris.

“IESR melakukan pemodelan untuk menemukan kebijakan, dan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk peningkatan aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia terutama di sektor transportasi,” kata Fabby.

Rancangan peta jalan dekarbonisasi transportasi ini fokus pada dua skala, yaitu skala nasional dan regional (Jabodetabek).

Analis mobilitas berkelanjutan IESR, Rahmi Puspita Sari menambahkan bahwa penambahan kepemilikan kendaraan pribadi terutama sepeda motor telah menjadi salah satu faktor penyebab naiknya emisi dari sektor transportasi.

“Dengan berbagai jenis demand yang besar dan pemilihan moda masih pada private transport, hal ini berdampak pada emisi gas rumah kaca (GRK) sektor transportasi. Kebanyakan dari emisi GRK berasal dari angkutan penumpang (passenger) (73%), dan dilanjut oleh transportasi darat (27%),” kata Rahmi.

Fauzan Ahmad, anggota Tasrif Modeling Team, yang turut serta mengerjakan pemodelan peta jalan dekarbonisasi transportasi ini memaparkan salah satu temuan utama dari simulasi ini yaitu dalam skema Avoid, Shift, Improve (ASI) yang sudah cukup umum dalam bidang pengelolaan transportasi, terdapat potensi pengurangan emisi hingga 18% dengan menghindari (avoid) adanya perjalanan dengan menerapkan sistem work from home (WFH).

“Sebenarnya hanya 8% dari total pekerja yang dapat melakukan work from home, dari potensi 8% ini saat ini baru sekitar 1% pekerja yang melakukan work from home. Jika potensi ini dimaksimalkan, kita dapat menekan lebih banyak emisi jumlah perjalanan yang dihindari,” kata Fauzan.

Fauzan juga menambahkan pemilihan untuk meninjau pola transportasi di Jabodetabek disebabkan Jabodetabek dinilai sebagai suatu kesatuan area yang saling berinteraksi. 

Arij Ashari Nur Iman, modeller dari Tasrif Modelling Team, menambahkan bahwa dengan kondisi sistem transportasi yang ada saat ini solusi paling efektif untuk dekarbonisasi sektor transportasi adalah dengan membagi beban penumpang kepada berbagai moda (moda share). 

“Kendaraan listrik akan berdampak besar pada tujuan pengurangan emisi namun memerlukan dua kondisi yang harus dicapai untuk berdampak pada skala nasional yaitu meningkatkan sales share kendaraan listrik dan membuat kerangka kebijakan yang mendukung discard rate kendaraan ICE. Pergeseran moda ke kendaraan umum akan menjadi solusi yang sustain dalam konteks penggunaan bahan bakar dan sumber daya namun membutuhkan investasi besar di awal,” terang Arij.

Guru besar teknik sipil Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Taufik Mulyono menyatakan bahwa pemerintah Indonesia masih belum berani untuk membuat kebijakan (transportasi) yang mendorong adanya moda share

“Permasalahan moda share ini harus diatur oleh pemerintah dalam undang-undang, saat ini belum ada undang-undang. Kajian ini baik, karena saat moda share yang lebih advance dirasa sulit dilakukan, maka sama-sama masih transportasi jalan, namun dibagi (share) antar ruang,” katanya.

Agus juga mengingatkan tantangan implementasi jika rekomendasi kajian ini diadopsi dalam bentuk kebijakan atau peraturan.

Senada dengan Agus, Alloysius Joko Purwanto, Komisi Penelitian dan Pengembangan, Dewan Transportasi Kota Jakarta juga menyoroti penggunaan transportasi umum yang harusnya bisa lebih didorong lagi.

“Kebijakan saat ini ada yang berpotensi menimbulkan kontradiksi, seperti kebijakan insentif kendaraan listrik yang di satu sisi berpotensi untuk meningkatkan angka kepemilikan kendaraan pribadi dan berpotensi menambah kemacetan sebab angka discard rate kendaraan ICE masih rendah,” kata Joko.

Penggunaan bahan bakar nabati seperti biofuel juga dimasukkan dalam modeling  peta jalan dekarbonisasi transportasi ini. Edi Wibowo, Direktur Bioenergi, Kementerian ESDM, mengatakan bahwa hasil kajian ini secara garis besar sudah sejalan dengan peta jalan transisi energi Indonesia yang secara umum akan menambahkan kapasitas energi terbarukan pada pembangkit listrik dan sektor-sektor lain pun akan mengikuti untuk transisi ke sistem yang lebih bersih seperti bahan bakar nabati.

“Kami (di kementerian ESDM) terus mengembangkan bahan bakar nabati, saat ini sedang uji terap Biodiesel B40 dan jika prosesnya lancar tahun 2026 akan mulai digunakan. Upaya pengembangan ini sebagai wujud dukungan nyata pada rencana transisi energi Indonesia,” kata Edi.

Gonggomtua E. Sitanggang, Direktur, ITDP Indonesia menekankan pentingnya komunikasi publik untuk membangkitkan kesadaran bagi masyarakat. Ketika masyarakat memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup tentang pentingnya sistem transportasi rendah emisi, akan lebih mudah pula untuk melibatkan dan menggerakkan mereka untuk perlahan mengurangi ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi.

“Selain itu, penting juga untuk melihat relasi pemerintah nasional dengan pemerintah daerah, yang perlu digaris bawahi adalah peraturan perundang-undangan kita yang berkaitan dengan otonomi daerah, dimana yang memiliki budget dan otoritas adalah pemerintah daerah, sementara transportasi belum menjadi salah satu KPI (key performance indicator) bagi pemimpin daerah. Akibatnya budget untuk sektor transportasi masih minim,” kata Gonggom.

Menggalakkan Pemanfaatan Energi Surya di Jambi

Jambi, 28 November 2023 – Dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia menargetkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Hingga tahun 2023, Indonesia baru meraih 12,5% energi terbarukan pada bauran energinya. Dalam Forum Pemerintah Jambi yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR) berkolaborasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jambi (28/11), Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan menyatakan bahwa Dewan Energi Nasional (DEN) memprediksi pada tahun 2025 Indonesia hanya akan mencapai 17-19 persen bauran energi terbarukan pada bauran energi nasional.

“Peran provinsi dalam mengejar target energi terbarukan yang telah ditentukan penting, sesuai dengan potensi di tiap-tiap daerah,” kata Yunus.

Yunus menambahkan,  Jambi memang memiliki sumber daya fosil yang cukup banyak, namun masih dapat menangkap berbagai peluang untuk mengembangkan energi terbarukannya, seperti penggunaan PLTS atap pada bangunan pemerintah.

Anjas Bandarso, Analisis Kebijakan Energi dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, dalam forum yang sama menyoroti perihal kewenangan pemerintah daerah yang terbatas untuk urusan energi. 

“Apapun yang dilakukan oleh daerah, selama tidak ada kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah maka hanya akan menjadi cerita belaka. Maka pemerintah pusat mencari upaya bagaimana daerah bisa mengembangkan energi baru terbarukan. Hal ini dapat diwujudkan dengan Perpres 11/2023 tentang tambahan kewenangan konkuren bagi pemerintah daerah,” kata Anjas.

Nanang Kristanto, Sub Koordinator Pemantauan Pelaksanaan RUEN, Dewan Energi Nasional menambahkan bahwa target apapun yang menjadi prioritas pemerintah baik itu untuk Net Zero Emission (NZE) ataupun mencapai angka bauran energi terbarukan, pemerintah daerah memiliki peran penting. 

“Pemerintah daerah memiliki peran penting untuk mendorong agenda transisi energi dengan memaksimalkan kegiatan turunan transisi energi di wilayahnya, dukungan pendanaan, menyiapkan SDM untuk menjaga instalasi pembangkit terdesentralisasi, serta sosialisasi tentang energi baru terbarukan di kabupaten bahkan kecamatan,” kata Nanang.

Selain memiliki hasil alam seperti perkebunan kelapa sawit dan penghasil batubara, Jambi juga memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Provinsi Jambi menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 24% pada tahun 2025, dan target ini optimis tercapai sebab saat ini sedang dibangun PLTA Merangin-Kerinci dengan kapasitas 350 MW. 

Jambi juga memiliki potensi energi surya yang cukup besar, mencapai 281,5 GW berdasarkan kesesuaian lahan. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR menyatakan bahwa energi surya bisa menjadi salah satu pilihan yang memungkinkan berbagai pihak untuk ikut berkontribusi pada tersedianya listrik yang bersih. 

“PLTS atap memiliki sejumlah manfaat seperti sebagai sarana gotong-royong pencapaian target bauran energi dan penurunan emisi, tersedianya sumber listrik bersih di berbagai daerah, membuka peluang usaha/kerja bagi warga sekitar, juga meningkatkan daya saing industri/usaha tenaga surya di Indonesia,” katanya.

Marlistya menambahkan bahwa masyarakat mendambakan adanya insentif untuk pengguna PLTS atap yang dapat berupa kemudahan perizinan, ataupun fasilitasi pembiayaan oleh pemerintah.

Menggali Lebih Dalam Dampak Transisi Energi pada Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 21 November 2023 – Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Produksi batubara di Indonesia terkonsentrasi pada empat provinsi yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan. Batubara atau sektor pertambangan menjadi komponen signifikan pada perekonomian lokal para daerah penghasil batubara ini. 

Adanya agenda transisi energi secara global membuat setiap negara berpotensi menurunkan permintaan batubara. Hal ini akan menjadi ancaman utamanya bagi provinsi penghasil batubara jika tidak disikapi dengan strategis.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam acara Media Dialogue: Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia menyatakan tren penurunan produksi batubara akan dirasakan mulai tahun 2025 berdasarkan proyeksi IESR. 

“Berangkat dari hipotesa ini, kami mencoba melihat empat aspek dari transisi energi pada daerah penghasil batubara yaitu sektor pekerjaan, masyarakat sekitar yang bergantung secara ekonomis pada industri tambang, penerimaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan perekonomian daerah secara keseluruhan,” kata Fabby.

Untuk itu, Fabby menekankan pentingnya mempersiapkan daerah penghasil batubara melakukan transisi bertransisi sebab akan ada dampak ekonomi yang signifikan jika proses transisi tidak dipersiapkan sejak sekarang.

Syahnaz Nur Firdausi, analis iklim dan energi IESR, menjelaskan salah satu temuan utama kajian ini yakni kontribusi signifikan sektor pertambangan pada pendapatan daerah.

“Kontribusi sektor pertambangan pada PDRB sebesar 50% di Muara Enim dan 70% di Paser. Namun kontribusi besar ini tidak berbanding lurus dengan nilai tambah pada besaran upah tenaga kerja atau efek pengganda lainnya. Dengan kata lain, keuntungan dari sektor pertambangan sebagian besar dinikmati oleh perusahaan, bukan masyarakat sekitar,” kata Syahnaz.

Martha Jessica, analis sosial dan ekonomi IESR, menambahkan bahwa ada kesenjangan pemahaman diantara masyarakat, pemerintah daerah, dan perusahaan tambang. Perusahaan tambang sudah menyadari adanya tren untuk beralih ke energi terbarukan dan mereka memang berencana untuk bertransisi.

“Perlu ada komunikasi antara perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat terkait rencana transisi dan bisnis model baru dari perusahaan supaya pemerintah daerah dan masyarakat dapat bersiap-siap,” kata Martha.

Hasil temuan studi IESR ini diamini oleh perwakilan pemerintah daerah Muara Enim dan Paser. Kepala Bappeda Muara Enim, Mat Kasrun, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerahnya bersifat eksklusif. 

“Pertumbuhan ekonomi di Muara Enim sebesar 8,3% pada 2023 namun angka kemiskinan ekstrem masih di angka 2,9%. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dinikmati segelintir orang saja,” katanya.

Kondisi di kabupaten Paser kurang lebih mirip dimana kontribusi sektor pertambangan pada pendapatan daerah sangat besar. Rusdian Noor, Sekretaris Bappeda kabupaten Paser, menyatakan bahwa daerahnya membutuhkan pendampingan khusus untuk menghadapi era transisi energi ini. 

“75% pendapatan kabupaten Paser pada tahun 2022 disumbang oleh sektor pertambangan dan pertanian, dan alokasi belanja APBD ini banyak untuk pembangunan infrastruktur. Kalau langsung beralih ke energi bersih dan tambang tidak lagi beroperasi, kami tidak bisa lagi melakukan pembangunan. Nah, kami perlu pendampingan khusus supaya dengan adanya transisi ini, kami tidak kehilangan daya (ekonomi, red),” kata Rusdian.

Reynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menanggapi studi ini dengan menggarisbawahi keterbatasan wewenang pemerintah daerah dalam urusan energi. Untuk itu, diperlukan pendekatan komprehensif untuk memastikan proses transisi berjalan secara berkeadilan.

“Transisi yang berkeadilan adalah transisi yang mendukung pemulihan dan perbaikan ekosistem. Transisi energi Ini bisa menjadi momentum harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah,” kata Reynaldo.

Nikasi Ginting, Sekretaris Jenderal DPP FPE Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia,  menyoroti adanya kesenjangan kebutuhan jumlah pekerja dari transisi energi ini.

“Contoh yang terjadi di Sidrap tahun 2013, saat proses pembangunan PLTB dibutuhkan hingga 4480 pekerja namun saat selesai dan beroperasi tenaga kerja yang dibutuhkan hanya ratusan saja. Nasib dari ribuan pekerja ini harus menjadi perhatian bersama,” katanya.

Laporan lengkap Transisi yang Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia dapat diunduh di sini.

Refleksi Kewenangan Pemerintah Daerah untuk Transisi Energi pada Forum Energi Daerah 2023

Jakarta, 7 November 2023 – Peran pemerintah daerah dalam percepatan transisi energi diharapkan semakin signifikan. Kementerian Dalam Negeri sebagai badan induk yang memfasilitasi para pemerintah daerah berusaha memfasilitasi kebutuhan ini dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 tahun 2023 tentang urusan pemerintahan konkuren tambahan di bidang energi dan sumber daya mineral pada sub-bidang energi terbarukan. 

Adanya payung hukum untuk pemerintah daerah ini diharapkan dapat memberikan kewenangan tambahan bagi pemerintah daerah, dan secara linier berdampak pada percepatan transisi energi. 

Sri Retnowati, Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Kementerian Dalam Negeri menegaskan dengan terbitnya Perpres 11 tahun 2023 diharapkan pemerintah daerah dapat lebih leluasa dalam mengambil program inisiatif.

“Keterbatasan kewenangan itu berkorelasi erat dengan keterbatasan anggaran, maka melalui instrumen kebijakan, kami memberikan kewenangan lebih pada daerah,” kata Retno.

Retno menambahkan bahwa pihaknya masih mendapatkan keluhan bahwa Peraturan Presiden No 11/2023 ini masih belum efektif berjalan, terutama menyangkut dengan kapasitas fiskal yang belum dapat digunakan. Retno mengungkapkan bahwa hal ini membuat beberapa daerah memilih untuk tidak segera menjalankan Perpres 11/2023.

Ariansyah, Perwakilan Dinas ESDM Sumatera Selatan, menyoroti tentang pembagian kewenangan perizinan industri. Jika seluruh perizinan industri berkumpul di pemerintah pusat, sulit bagi pemerintah daerah untuk mengawasi dan menindak tegas pelaku industri yang tidak mendukung agenda pemerintah, seperti penggunaan energi yang kurang efisien atau tidak melakukan praktik-praktik konservasi energi. 

Menyoroti perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang sedang dikerjakan oleh Dewan Energi Nasional, Ariansah memandang perlunya ketentuan mengenai konservasi energi untuk menyokong pencapaian bauran energi daerah.

“Dalam draf RPP KEN yang baru kami melihat poin konservasi energi dihapus, jika hal ini berlaku maka bauran energi terbarukan Sumatera Selatan akan turun, karena bauran energi terbarukan Sumsel yang mencapai 23% saat ini banyak disumbang dari industri-industri yang kita minta untuk melakukan konservasi energi,” kata Ariansyah. 

Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional (DEN) dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa tujuan besar dari revisi kebijakan energi di Indonesia ini untuk meningkatkan ketahanan energi sekaligus menyediakan energi dengan harga terjangkau.

“Selain itu, (revisi KEN-red) bertujuan juga untuk memenuhi kebutuhan energi yang rasional untuk mencapai target human development index dan ekonomi tinggi sebagai negara maju, dan terwujudnya dekarbonisasi dan transisi energi untuk mencapai peak emission sebelum 2045 dan NZE di tahun 2060,” kata Yunus.

IESR Memberikan Advokasi dan Terlibat dalam Penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Jawa Tengah

Semarang, 2 November 2023 – Indonesia telah meratifikasi komitmennya dalam Paris Agreement yang termaktub dalam UU. No. 16/2016. Sebagai negara peratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan yang tertuang dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan dokumen kebijakan tersebut, Indonesia menargetkan 23% energi terbarukan pada tahun 2025 dalam bauran energi nasional. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah daerah dimandatkan untuk memiliki Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sebagai turunan dari RUEN. Namun demikian, untuk tetap sejalan dengan target dalam Paris Agreement, penetrasi energi terbarukan harus lebih ditingkatkan lagi.

Sebagai acuan untuk menyusun RUED, dokumen RUEN telah disusun pada 2017 silam menggunakan ketersediaan data hingga tahun 2015 diantaranya data sosio-ekonomi, energi, dan lingkungan. Data-data tersebut diproyeksikan hingga 2050 dengan mempertimbangkan kebijakan yang ada kala itu. Namun demikian, melihat data-data ril dari indikator-indikator tersebut hingga tahun 2022, terlihat jelas bahwa terdapat ketidaksesuaian antara data proyeksi RUEN yang ada dengan perkembangan yang sebenarnya. Selain itu, terdapat banyak pengembangan kebijakan baru sejak 2017-2022 yang dapat memberikan perubahan signifikan pada lansekap energi dan pengembangan kedepannya, secara khusus di Jawa Tengah.

Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi energi terbarukan yang besar untuk mewujudkan target bauran energi terbarukan yang lebih ambisius dalam dokumen RUED-nya. Peta jalan menuju target ambisius tersebut harus didukung dengan perencanaan energi daerah yang memadai untuk mengarahkan pengembangan energi ke arah yang benar. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai mitra kerjasama Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 2019 terkait pengembangan energi terbarukan melalui transisi energi turut ikut terlibat di dalam perencanaan dan penyusunan RUED Jawa Tengah. IESR membantu memberikan advokasi berbasis fakta dalam mengkaji eksisting RUED di Jawa Tengah serta memproyeksikan bagaimana perkembangan teknologi yang ada saat ini dan pengembangan kebijakan energi (baik di tingkat global dan nasional) akan berdampak pada pengembangan sistem energi masa depan. 

Sarworini, selaku Analis Kebijakan Ahli Madya Biro Infrastruktur dan Sumber Daya Alam (ISDA), Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah menyampaikan bahwa Pemprov Jawa Tengah optimis dalam peningkatan dan perubahan RUED yang dilakukan agar dapat mencapai target bauran energi terbarukan sesuai dengan skenario terbaik hingga tahun 2050. 

“Kami juga telah mengirim surat kepada Bupati/Walikota, OPD Kabupaten/Kota dan BUMD se- Jawa Tengah untuk melaksanakan Konservasi Energi. Melalui surat tersebut, kami mohon apabila dapat dilakukan oleh masing-masing OPD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota, menghimbau mereka agar bisa menyediakan anggaran untuk melaksanakan konservasi energi, jika ini dapat dilaksanakan, kami optimis kami dapat menaikkan dari target yang telah disampaikan tadi” jelas Rini. 

Rini menekankan, banyak investor yang telah masuk di Jawa Tengah untuk penanganan sampah menjadi energi, misalnya saja di Solo. Kemudian, beberapa waktu lalu, Pemprov Jawa Tengah juga telah melakukan sosialisasi motor listriK, yang mendapat semangat dari masyarakat yang cukup tinggi. Namun demikian, kata Rini, Pemprov Jawa Tengah masih perlu dukungan sosialisasi motor listrik karena masih ada masyarakat yang berpikiran negatif terkait bagaimana jika motor rusak dan ketersediaan bengkel kendaraan listrik di Jawa Tengah belum banyak.

Berdasarkan laporan awal review RUED yang telah dilakukan, rencananya akan dilakukan forum diskusi lanjutan antara IESR dan stakeholder Jawa Tengah untuk membahas lebih lanjut rekomendasi kebijakan dan rencana aksi dari hasil temuan pemodelan RUED untuk mencapai target bauran energi nasional.

Kita Tidak Punya Pilihan, Kita Harus Mencapai Netralitas Karbon

Jakarta, 25 Oktober 2023 – Industri merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan sektor terbesar yang mendorong kemajuan teknologi. Aktivitas ekonomi dari sektor industri telah mentransformasi perekonomian global. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini harus dibayar dengan tingginya emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer.

Untuk sementara waktu, masyarakat mencoba mencari cara untuk meminimalkan emisi GRK dari proses industri. Upaya ini akan menjadi langkah berarti dalam upaya mencapai emisi nol bersih di abad ini sebagaimana diamanatkan oleh Perjanjian Paris.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) pada acara Workshop “Diseminasi Peta Jalan dan Rekomendasi Kebijakan Dekarbonisasi Industri Indonesia” pada Rabu 25 Oktober 2023 mengatakan, IESR saat ini sedang menjajaki lima industri besar yakni semen, pulp & kertas, baja, tekstil, dan amonia serta mengembangkan peta jalan dekarbonisasi.

“Kami berada pada tahap awal dekarbonisasi sektor industri, dan kami memerlukan lebih banyak kolaborasi antar pemangku kepentingan karena begitu banyak pemangku kepentingan yang terlibat di sektor industri,” kata Deon.

Farid Wijaya, analis senior di IESR kemudian menjelaskan bahwa Indonesia telah memulai kerangka kebijakan industri hijau namun masih memerlukan lebih banyak perbaikan agar lebih kuat dan kontekstual.

“Lima industri yang kami incar memiliki motivasi tinggi untuk melakukan dekarbonisasi proses bisnisnya, namun saat ini masih terdapat tantangan seperti biaya dan kerangka kebijakan yang masih perlu diperbaiki,” jelas Farid.

Menyadari bahwa proses industri membutuhkan energi dari listrik dalam jumlah besar, untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri, maka dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan juga merupakan suatu keharusan.

“(Ketersediaan) kebijakan yang mendukung industri untuk mendapatkan pasokan listrik dari sumber energi terbarukan atau mengembangkan/memasang sendiri listrik terbarukan sangatlah penting,” kata Hongyou Lu, Peneliti Teknologi Energi dan Lingkungan, LBNL.

Lu menambahkan bahwa dekarbonisasi industri tidak bisa dihindari, namun memiliki banyak aspek dan berpotensi menumbuhkan perekonomian lokal, mengurangi polusi udara, dan membuat komoditas lebih kompetitif dalam perdagangan global.

Stephane de la Rue du Can, peneliti Kebijakan Energi – Lingkungan, LBNL kemudian menambahkan bahwa harus ada paket reformasi kebijakan yang lengkap untuk dekarbonisasi sektor industri, termasuk (1) target dan perencanaan pengurangan GRK industri, (2) inovasi, (3) elektrifikasi dan peralihan bahan bakar, (4) efisiensi energi, (5) efisiensi material dan ekonomi sirkular, dan (6) tenaga kerja dan komunitas lokal.

Endra Dedy Tamtama, Koordinator Pemantauan Konservasi Energi, Kementerian ESDM menyampaikan bahwa saat ini praktik efisiensi energi yang dilakukan oleh beberapa industri masih yang bersifat tanpa biaya atau berbiaya rendah. Hal-hal terkait revitalisasi alat yang memerlukan modal besar belum dilakukan.

“Karena saat ini tidak ada insentif fiskal yang diberikan kepada industri setelah menggunakan infrastruktur hemat energi, maka perubahan apa pun yang memerlukan biaya besar, meskipun akan lebih menghemat energi, belum sepenuhnya terlaksana”

Muhammad Akhsin Muflikhun, Pakar Teknologi PSE UGM, menekankan pentingnya kesiapan teknologi untuk mendukung dekarbonisasi industri seperti pemanfaatan hidrogen.

“Hidrogen telah menjadi fokus kami dalam teknologi penyimpanan energi. Kami mencoba membandingkan penyimpanan hidrogen vs baterai, sejauh ini masih terdapat kesenjangan efisiensi energi yang sangat besar setelah disimpan dalam baterai dibandingkan ketika disimpan dalam sistem penyimpanan hidrogen,” ujarnya.

Sri Gadis Pari Bekti, Tenaga Ahli Fungsional Madya, Kementerian Perindustrian sepakat bahwa teknologi akan menjadi game changer selama dekarbonisasi industri. Teknologi baru seperti CCS dan CCUS, serta hidrogen diharapkan mampu memenuhi kebutuhan energi di industri.

“Sebagai bagian dari dukungan kami kepada industri, kami memfasilitasi sertifikasi bagi industri. Sampai batas tertentu, pemerintah dapat membantu proses peningkatan kapasitas dan sertifikasi,” kata Bekti.

Untuk memperlancar dekarbonisasi industri, ketersediaan pembiayaan ramah lingkungan sangatlah penting.

PT PLN selaku pemasok listrik utama di Indonesia melalui Manajer Bioenergi-nya Yudas Agung Santoso mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan pemetaan kebutuhan energi khususnya dari industri karena dalam waktu dekat akan datang beberapa industri besar seperti smelter nikel.

“Bagi industri (dan yang membutuhkan) saat ini kami memiliki program Renewable Energy Certificate (REC), dimana kami mendedikasikan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan untuk menyuplai mereka yang berlangganan sertifikat sehingga bisa mendapatkan listrik ramah lingkungan,” ujarnya.

Nan Zhou, peneliti Senior Kebijakan Lingkungan – Energi, LBNL, dalam sambutan penutupnya menyoroti pentingnya Indonesia mengambil pembelajaran dari negara lain yang mulai melakukan dekarbonisasi industrinya.

“Kita tidak punya pilihan lain, kita harus mencapai netralitas karbon. Jadi, kita harus mengambil tindakan apa pun untuk mewujudkannya,” kata Zhou.

Peningkatan Kapasitas untuk Para Pemangku Kepentingan di Era Transisi Berkeadilan

Jakarta, 26 Oktober 2023 – Transisi energi yang sedang digaungkan saat ini akan berpengaruh signifikan pada penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara. Berbagai negara telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai salah satu aksi kunci transisi energinya. Hal ini perlu diwaspadai oleh negara-negara penghasil fosil seperti Indonesia, karena akan ada penurunan permintaan dari pasar global.

Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur merupakan daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia. Batubara telah menjadi komponen pokok dalam pertumbuhan ekonomi kedua provinsi. Pada tahun 2022, batubara menyumbang 30-35% pada PDRB Kalimantan Timur dan 15% di Sumatera Selatan. kedua provinsi ini membutuhkan strategi khusus untuk melepaskan ketergantungan ekonomi dari batubara. Stefan Boessner, peneliti Stockholm Environmental Institute (SEI) dalam “Lokakarya Nasional Transisi yang Adil: Membangun Kapasitas Pemerintah untuk Transisi Batubara Berkelanjutan di Indonesia” mengatakan bahwa alternatif ekonomi tersedia dan dapat dikembangkan.

“Telah terdapat contoh suatu daerah berhasil mendiversifikasi perekonomiannya. Pemerintah akan membutuhkan dukungan peningkatan kapasitas dari pemerintah pusat,” katanya.

Stefan menambahkan Pemerintah Indonesia telah memulai membuat kerangka kebijakan yang menjadi dasar hukum dari transisi energi di Indonesia seperti target net zero emission, peraturan nilai ekonomi karbon, serta roadmap pensiun dini PLTU batubara. 

Dalam mempersiapkan transisi ini, perencanaan pembangunan, ekonomi, dan energi menjadi sangat penting. Keterlibatan berbagai elemen yang akan terdampak dalam transisi menjadi penting.

Martha Jessica, Analis Sosial dan Ekonomi Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan salah satu temuan awal studi yang saat ini sedang dilakukan IESR yaitu terdapat kesenjangan kapasitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga perencanaan transisi ini dirasa belum optimal.

“Untuk menghasilkan proses perencanaan dibutuhkan berbagai kapasitas yang unggul/memadai oleh pemerintah sebagai inisiator (pelaku awal) dan katalis dari transisi energi,” kata Martha.

Elisa Arond, peneliti SEI menambahkan bahwa pemerintah daerah dapat mengambil peran krusial untuk mendukung agenda transisi yang berkeadilan. Untuk melakukan semua ini tentu pemerintah daerah akan membutuhkan sejumlah dukungan dari pemerintah pusat. 

“Mereka (pemerintah daerah-red) membutuhkan dukungan keuangan baik dari pemerintah pusat maupun institusi internasional, dialog inklusi yang melibatkan aktor dengan latar belakang beragam, strategi pendanaan, dan akses informasi yang transparan tentang rencana penutupan tambang,” jelas Elisa.

Tavip Rubiyanto, Analis Kebijakan Ahli Madya selaku Koordinator ESDM, Ditjen Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri menjelaskan mengapa saat ini transisi energi terasa belum berjalan di daerah karena masih terbatasnya kewenangan daerah.

“Untuk itu, Kemendagri sudah menginisiasi penyusunan Perpres No. 11 Tahun 2023 untuk menguatkan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang ESDM, khususnya di sub-bidang energi terbarukan,” katanya.

Brilian Faisal, perwakilan Bappeda Provinsi Sumatera Selatan menyambung dengan harapan bahwa konsep transisi energi berkeadilan harus berkaitan dengan akses dan infrastruktur. 

“Di daerah kami juga belum membuat produk turunan dari berbagai aturan terkait transisi energi ini karena untuk membuatnya kami perlu merevisi RUED, secara kewenangan banyak kewenangan ada di bidang ESDM,” kata Brilian.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR menyatakan bahwa lokakarya ini merupakan momen yang tepat sebagai persiapan penyusunan RPJMN dan RPJMD yang harus memuat agenda transisi batubara ini.

“Transisi ini membutuhkan beberapa hal seperti perencanaan dan pendanaan dan harus masuk dalam agenda pembangunan daerah supaya bisa mendapat pendanaan dari pemerintah,” kata Wira.

Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Berpindahnya tongkat kepemimpinan ASEAN pada Laos menandakan berakhirnya kepemimpinan Indonesia di kawasan ASEAN. Sejumlah kemajuan seperti adanya kerjasama dengan pihak eksternal non ASEAN, serta adanya beberapa peluang kerjasama antar negara anggota ASEAN menjadi satu catatan baik. Namun, catatan baik ini belum diimbangi dengan meningkatnya komitmen untuk menahan laju perubahan iklim yang dampaknya kian terasa.

Dalam Diskusi Publik Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023: Menuju Regional Frontrunner dalam Isu Iklim dan Transisi Energi, Wira Agung Swadana, Program Manajer Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa selama masa kepemimpinan Indonesia, kerjasama atau aksi yang disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN masih yang bersifat infrastruktur. 

“Hasil dari KTT ASEAN 2023 dan pertemuan terkait energi dan iklim lainnya, bisa dilihat masih kurang fokus terhadap isu energi terbarukan. Misalnya saja belum ada komitmen bersama untuk peningkatan pembangunan ekosistem energi surya atau hydro power yang lebih bersih,” kata Wira.

Selain ekosistem untuk energi terbarukan, Wira juga mengatakan beberapa isu yang ‘luput’ dari perhatian para petinggi negara ASEAN seperti isu bahan mineral kritis (critical mineral), dan transportasi elektrik yang rendah karbon dan berkelanjutan.

Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Moekti Handajani (Kuki) Soejachmoen, menjelaskan fenomena tingginya kontribusi emisi dari sektor energi di negara-negara ASEAN.

“Energi merupakan engine untuk pembangunan, maka jika pembangunan masih menggunakan pola pengadaan energi dengan skema business as usual (tinggi fosil-red), emisi pasti akan naik signifikan. Di satu sisi seluruh negara anggota ASEAN butuh melakukan pembangunan namun harus menjaga emisinya,” jelas Kuki.

Kuki kemudian menambahkan bahwa dibutuhkan peran teknologi yang memungkinkan untuk tetap melakukan pembangunan dan menjaga jumlah emisi yang dilepas tetap rendah. Pemanfaatan teknologi ini akan membawa konsekuensi finansial.

Dengan melihat permasalahan ini, Kuki menekankan penting bagi ASEAN sebagai satu kesatuan kawasan untuk menyusun strategi komprehensif untuk mencapai target NDC tiap-tiap negara dan mendorong tercapainya Net Zero Emission. Dari strategi tersebut dapat dikelompokkan aksi-aksi mitigasi yang dapat dikerjakan sendiri, yang membutuhkan dukungan keuangan internasional, yang unit reduksi emisinya dapat dijual dan yang perlu tambahan pembelian unit reduksi emisi. 

Koordinator Diplomasi Energi dan Iklim IESR, Arief Rosadi menyoroti kecenderungan ASEAN yang terkesan lambat dalam mengambil posisi-posisi diplomasi strategis sehingga menciptakan berbagai kesenjangan (gaps) seperti kesenjangan kelembagaan, kesenjangan ambisi, kesenjangan implementasi, dan kesenjangan partisipasi. Menurutnya Indonesia dapat menggunakan posisinya untuk menguatkan diplomasi iklim dan energinya serta berkontribusi pada pembenahan kesenjangan di ASEAN 

“Peningkatan ambisi iklim dalam penguatan strategi diplomasi iklim dan energi Indonesia menjadi modalitas bagi Indonesia untuk mendorong hal yang sama di negara lainnya di tingkat regional, bilateral maupun multilateral. Selain itu pembenahan kesenjangan tersebut dapat dilakukan dengan mendorong penyelesaian kesenjangannya di tingkat regional dalam proses internal ASEAN,” imbuh Arief.