Membandingkan Teknologi dan Biaya Rata-Rata Pembangkitan dengan Adil

Jakarta, 24 Maret 2023 – Perkembangan berbagai teknologi pembangkitan listrik energi terbarukan terus mengalami perkembangan yang berimbas pada harga listrik yang dihasilkan. Selain teknologi, beberapa jenis pembangkit tenaga listrik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain harga komoditas bahan bakar, juga situasi geopolitik. 

Dalam sambutan pembukaan untuk peluncuran laporan dan alat penghitung rata-rata biaya pembangkitan listrik (levelized cost of electricity, LCOE) dan biaya penyimpanan energi rata-rata (levelized cost of storage, LCOS), Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa terjadi dua kondisi yang bertolak belakang antara pembangkit energi terbarukan dan pembangkit fosil.

“Hampir semua pembangkit energi terbarukan harganya menurun. PLTS menurun 90% dan PLTB turun sekitar 80%. BBM atau fosil sampai saat ini harganya terus dipengaruhi tidak hanya oleh biaya, namun juga kondisi geopolitik. Pembangkit listrik energi terbarukan tidak akan terpengaruh oleh harga bahan bakar, karena tidak menggunakan bahan bakar,” katanya.

Penulis laporan “A 2023’s Update on The Levelized Cost of Electricity and Levelized Cost of Storage in Indonesia” His Muhammad Bintang memaparkan temuan senada. Menurutnya, di Indonesia listrik dari PLTU batubara dipercaya lebih murah daripada listrik dari pembangkit energi terbarukan padahal banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. 

“Harga listrik PLTU menjadi murah karena adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Kebijakan ini membuat PLTU memiliki biaya pembangkitan yang relatif murah dan stabil,” jelas Bintang.

Bintang menambahkan bahwa tanpa kebijakan DMO, harga listrik dari PLTU batubara dapat naik hingga tiga kali lipat saat harga batubara global naik. 

Kebijakan lain yang akan mempengaruhi besarnya biaya pembangkitan energi adalah penerapan nilai ekonomi karbon seperti carbon cap, dan pajak karbon. Penerapan nilai ekonomi karbon perlu dipastikan efektif dengan memastikan besaran kuota (cap) ataupun harga pajak karbon kompetitif. Penetapan nilai ekonomi karbon yang sesuai diharapkan akan menurunkan penggunaan energi fosil dan mendorong pengembangan energi terbarukan. 

Pada kesempatan yang sama, Mustaba Ari Suryoko, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka EBT, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menjelaskan bahwa perubahan pergerakan harga energi terbarukan di tingkat global sebenarnya terjadi juga di Indonesia. 

“Kami mengidentifikasi penurunan harga itu relatif berkaitan dengan teknologi. Misal di surya dan angin, PLTB terkait dengan feedstock, dan beberapa stagnan seperti hidro,” kata Mustaba.

Dijelaskan oleh Mustaba, Kementerian ESDM saat ini sedang menyusun aturan setara UU untuk pengembangan energi terbarukan. Sebelumnya dalam Perpres No. 112/2022 diamanatkan untuk mengadakan evaluasi harga. Adanya perangkat penghitung LCOE dan LCOS akan membantu dalam melakukan evaluasi tersebut, tentu dengan menyesuaikan asumsi yang digunakan sebagai parameter. 

Salah satu aktor kunci pengembangan energi terbarukan dan transisi energi pada umumnya adalah PLN yang bertindak sebagai offtaker dari listrik yang dihasilkan pembangkit. Perkembangan teknologi yang berimbas pada harga listrik ini pun tidak luput dari perhatian PLN. 

Disampaikan Cita Dewi, EVP Energi Baru dan Terbarukan PT PLN, tren penurunan harga listrik dari pembangkit energi terbarukan masuk dalam pantauan PLN.

“PLN menyambut baik hal ini, karena kami menyadari untuk melakukan transisi energi kita butuh banyak pembangkit EBT,” jelas Cita.

Selain pembangkit PLN juga memiliki mandat untuk membangun ekosistem energi terbarukan serta memastikan proyek-proyek pengembangan energi terbarukan dalam RUPTL terlaksana dengan baik.

Menilik lebih dalam ke sisi teknologi, penurunan harga energi surya salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan efisiensi modul surya.

“Adanya peningkatan efisiensi modul surya ini meningkatkan produksi energi surya tanpa menambah biayanya. Selain itu perkembangan teknologi mekanik seperti nano cell juga bisa menurunkan biaya produksi atau biaya jual. Hal ini nantinya akan menurunkan biaya modul surya secara signifikan,” terang Andhika Prastawa, Peneliti Teknik Utama BRIN.

Evvy Kartini, founder National Battery Research Institute, mengingatkan juga tentang pentingnya peran teknologi penyimpanan atau baterai dalam ekosistem transisi energi. 

“Harga dari transisi energi ini akan bergantung pada baterai. Ambil contoh kendaraan listrik, 45% harga dari kendaraan listrik adalah harga baterai, sehingga jika baterainya murah harganya akan turun.”

Selain perkembangan teknologi, keteraturan jadwal lelang juga menjadi faktor penting dalam memastikan pengembangan energi terbarukan. 

“Terkait risiko pengembangan PLTS di indonesia, di setiap tahap tentu ada resikonya. Di tahap pengembangan, kami mengharapkan adanya certainty, seperti ketersediaan informasi tentang jadwal lelang dan kapasitasnya dalam satu tahun seperti yang dilakukan di negara lain,” kata Refi Kunaefi, Managing Director Akuo Energy Indonesia.

Memperkuat Narasi Energi Surya

Jakarta, 9 Maret 2023 – Energi surya memiliki potensi untuk dikembangkan secara masif di Indonesia. Institute for Essential Services Reform dalam laporan bertajuk “Beyond 207GW” menyebutkan bahwa potensi teknis energi surya di Indonesia mencapai 20.000 GW. Sayangnya, pemanfaatan energi surya masih minim. Tercatat, kapasitas terpasang energi surya baru sekitar 270,3 MW hingga 2022.

Dalam talkshow “Bincang Energi Surya” kolaborasi enam institusi yaitu Institute for Essential Services Reform (IESR), Solar Scholars Indonesia (SSI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Institut Energi Surya Generasi Baru (Insygnia), dan Solarin, Anindita Satria Surya, Vice President Transisi Energi dan Perubahan Iklim PT PLN menyatakan bahwa pengembangan energi surya sangat diperlukan untuk pengembangan energi terbarukan. 

“Gambaran skenario JETP adalah pertama, membangun baseload yang besar seperti PLTA, kedua, membangun jaringan transmisi yang kuat, dan yang ketiga, membangun pembangkit pendukung seperti PLTS,” jelasnya menjelaskan gambaran besar rencana PLN dalam membangun pembangkit energi terbarukan dalam beberapa tahun ke depan. 

Selain rencana investasi komprehensif untuk pelaksanaan program Just Energy Transition Partnership, pembangunan pembangkit energi terbarukan juga berpedoman pada RUPTL. Dalam RUPTL 2021-2030, direncanakan bahwa Indonesia akan memiliki lebih dari 50% energi yang digunakan berasal dari sumber energi terbarukan. Energi surya sendiri direncanakan akan bertambah sebanyak 4,6 GW hingga tahun 2030. 

Widi Nugroho, Sub Koordinator Pengawasan Usaha Aneka EBT, Kementerian ESDM menegaskan untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025 akan diutamakan pemenuhannya dengan energi surya. 

“Untuk pembangunan pembangkit EBT diutamakan sesuai RUPTL 2021 – 2030 di mana surya akan bertambah sebesar 4,6 GW di 2030,” jelasnya.

Berdasarkan perencanaan pemerintah, energi surya akan menjadi penopang utama sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan kapasitas 461 GW pada tahun 2060. Terpilihnya Indonesia sebagai penerima dana transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) membuka berbagai peluang pendanaan proyek energi terbarukan dan riset teknologi. 

Dalam kesempatan yang sama, Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti Kebijakan, Paramadina Public Policy Institute, menyatakan bahwa saat ini terdapat satu tantangan utama dari sisi kebijakan yaitu bertumpuknya sejumlah komitmen yang tidak dibarengi dengan regulasi turunan sehingga kemajuan untuk mencapai komitmen yang sudah dijanjikan tidak berjalan mulus.

“Tingginya dominasi batubara pada sistem kelistrikan Indonesia dan harga batubara yang dianggap relatif lebih murah menjadi salah satu tantangan pengembangan energi terbarukan khususnya surya,” jelas Rosyid.

Rosyid juga menambahkan bahwa selain kebijakan persepsi masyarakat perlu dibangun terkait dengan energi terbarukan dan teknologi rendah karbon supaya terjadi perubahan perilaku. Saat ini energi terbarukan ataupun teknologi rendah karbon lain seperti kendaraan listrik ataupun PLTS atap belum menjadi pilihan utama masyarakat. Terbatasnya informasi terkait dengan teknologi dan harga yang masih relatif lebih mahal menjadi beberapa faktor pemberat di masyarakat.

Bincang Energi Surya merupakan serangkaian acara diseminasi publik seputar energi surya. Diseminasi tematik energi surya akan diselenggarakan secara regular, setiap dua minggu hingga Juni 2023 mendatang, yang mencakup topik; lanskap energi surya Indonesia, kebijakan terkini, teknologi, industri, sosio-ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission (NZE).

Kolaborasi Multisektoral di Teknologi Untuk Mempercepat Transisi Energi di Indonesia

Kolaborasi Multisektoral

Jakarta, 6 Maret 2023 –  Program Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) Indonesia bersama Kementerian PPN/Bappenas meluncurkan  rangkaian diskusi dengan aktor multisektoral dalam persiapan menuju Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober 2023. Rangkaian diskusi dibuka dengan tema “Emerging New Technologies to Support Energy Transition in Indonesia” yang mendatangkan ahli-ahli pada bidang energi untuk membahas teknologi yang dapat digunakan Indonesia dan tantangan yang dihadapi dalam pengimplementasiannya.

Devi Laksmi, Koordinator Kelompok Kerja Pengembangan Usaha Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia menerangkan tentang perkembangan energi terbarukan di Indonesia yang harus mencapai 23% pada bauran energi primer di tahun 2025, namun jarak target tersebut masih sangat besar dari apa yang sudah dicapai. Kementerian ESDM tengah menyusun strategi untuk memaksimalkan potensi energi terbarukan di Indonesia.

Sementara itu, Mentari Pujantoro, Manajer Proyek Transisi Energi, Agora Energiewende menyatakan, emisi karbon dunia telah mencapai tingkat baru di tahun 2022 yang disebabkan oleh konsumsi energi dan penggunaan bahan bakar fosil. Sumber energi terbarukan, efisiensi energi dan elektrifikasi berbasis energi terbarukan akan berkontribusi sekitar 70% pada penurunan emisi di seluruh dunia.

“Untuk itu, Indonesia perlu untuk mengidentifikasi teknologi yang sudah ada serta perannya, sebelum membicarakan tentang teknologi baru yang dapat digunakan,” tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, Badariah Yosiana, Programme Officer International Renewable Energy Agency (IRENA) menuturkan, peluang pengembangan perekonomian Indonesia melalui penggunaan energi terbarukan. Teknologi energi terbarukan dapat membuka peluang, khususnya untuk sektor industri. 

“Misalnya saja hidrogen hijau bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi bersih untuk sektor industri dan sebagai produsen nikel, Indonesia dapat berkembang menjadi produsen dan eksportir baterai yang dapat berkontribusi pada pasar kendaraan elektrik dan produksi panel surya,” paparnya. 

Beni Suryadi, Manajer ASEAN Center for Energy menerangkan, walaupun energi bersih seperti tenaga bayu atau surya akan mendominasi bauran energi di indonesia pada tahun 2031, namun, tidak ada negara yang bisa mencapai 100% energi terbarukan hanya dengan memanfaatkan keduanya. 

“Di bagian dunia lain, banyak negara yang berdebat tentang kesiapan nuklir sebagai pilihan yang aman dan dapat diandalkan sebagai pengganti batubara. Namun, karena alasan keamanan dan regulasi yang ketat, energi ini masih dianggap tidak fleksibel,” ujarnya.

Prof. Dr. Ir. Suwarno, M.T., Dosen Institut Teknologi Bandung, Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika menyatakan, pentingnya sumber daya manusia yang dapat ditingkatkan melalui pendidikan, keterbukaan dan kesadaran dari masyarakat, badan penelitian,  serta regulasi untuk memastikan proses transisi energi di Indonesia dapat berjalan dengan baik.  

Sesi diskusi diakhiri oleh presentasi dari PLN yang diwakili oleh Zainal Arifin, Wakil Direktur Eksekutif Bidang Mesin dan Teknologi. Indonesia tengah mengalami beberapa isu di bidang energi seperti over kapasitas dan trilema energi untuk memastikan energi dapat memiliki harga terjangkau, dapat diandalkan dan berkelanjutan. Hingga saat ini, hanya pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Ia menambahkan, bahwa dalam pembahasan mengenai teknologi energi, fleksibilitas dan adaptabilitas harus diutamakan, karena pembahasannya tidak linier dan strategi implementasinya berjangka panjang.

Pada akhir acara ditutup oleh pernyataan Agus Tampubolon, Program Manajer CASE. Dia menyampaikan timeline seri diskusi yang akan diadakan empat kali dengan topik yang berbeda. 

“Keempat diskusi akan fokus pada satu topik yang berbeda di setiap bahasannya untuk menghasilkan pembahasan yang lebih dalam dan seluruh temuan akan dipresentasikan pada acara puncak Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) di bulan Oktober 2023”, kata Agus.

 

IEVO 2023: Meninjau Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia

Jakarta, 21 Februari 2023 – Sektor transportasi menyumbang hampir seperempat dari emisi sektor energi pada tahun 2021. Emisi sektor transportasi ini sebagian besar datang dari pembakaran bahan bakar yang 52% nya berasal dari impor BBM. Mengingat target pemerintah Indonesia untuk mencapai status net-zero emissions pada 2060 atau lebih cepat, dekarbonisasi sektor transportasi penting untuk dilakukan.

Mengadaptasi pendekatan ASI yaitu Avoid – Shift – Improve, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilik salah satu strategi dekarbonisasi sektor transportasi yakni kendaraan listrik. Disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam peluncuran laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook 2023, bahwa secara jumlah kendaraan listrik di Indonesia terus bertambah dalam 5 tahun terakhir, namun secara pangsa pasar masih rendah.

“Walau demikian, pangsa pasar kendaraan listrik hanya 1% dari penjualan keseluruhan kendaraan di Indonesia per tahunnya. Beberapa faktor masih membuat calon pembeli enggan seperti harga awal yang masih tinggi, dan ekosistem pendukung seperti stasiun pengisian yang masih terbatas jumlahnya,” jelas Fabby.

Sebagai salah satu ekosistem pendukung kendaraan listrik, stasiun pengisian daya baik itu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) maupun Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) memiliki peran penting dalam kecepatan adopsi kendaraan listrik. Secara psikologis, jumlah stasiun pengisian ini mempengaruhi keputusan calon konsumen kendaraan listrik.

“Secara angka, jumlah SPKLU terus bertumbuh sebenarnya. Namun saat ini masih terpusat di Jawa dan Bali. Hanya 12% SPKLU yang berada di luar Jawa – Bali,” jelas Faris Adnan, peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR.

Selain jumlah stasiun pengisian daya, Faris mengutarakan sejumlah hal antara lain tipe pengisian daya yang saat ini banyak yang bertipe pengisian lambat (slow charging). Perlu pemetaan lokasi yang komprehensif untuk menentukan tipe pengisian daya yang dipakai. Kawasan perkantoran dan pusat perbelanjaan di mana orang akan beraktivitas di dalamnya dapat menggunakan medium atau slow charging. Namun untuk tempat-tempat seperti pengisian daya di ruas jalan harus memakai tipe pengisian pengisian cepat (fast charging).

Standarisasi porta pengisian daya (port charging) juga menjadi salah satu bahasan dalam laporan ini. Dijelaskan Faris bahwa saat ini terdapat 3 jenis port charging untuk kendaraan listrik roda empat. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi calon investor SPKLU karena kewajiban menyediakan tiga jenis porta ini berimbas pada nilai investasi yang harus dikeluarkan. 

“Jika pemerintah berhasil mengatur standarisasi port charging, maka nilai investasi untuk SPKLU akan lebih menarik,” jelas Faris.

Ilham Fahreza Surya, peneliti Kebijakan Lingkungan IESR, yang juga penulis IEVO 2023 menambahkan bahwa wacana pemerintah untuk memberikan insentif harga kendaraan listrik sebaiknya difokuskan pada transportasi umum, kendaraan angkutan logistik, dan kendaraan roda dua.

“Kami merekomendasikan pemerintah untuk mengutamakan kendaraan roda dua untuk mendapatkan insentif pemotongan harga, juga mengkombinasikan rencana insentif ini dengan aturan TKDN. Jadi yang berhak mendapat insentif adalah motor yang berasal dari produsen yang sudah memenuhi aturan TKDN,” jelas Ilham. 

Dari sisi industri, perakitan kendaraan listrik adalah industri yang paling maju dibandingkan dengan industri komponen pendukung kendaraan listrik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah rencana Indonesia untuk melakukan hilirisasi nikel hingga menjadi baterai. 

Pintoko Aji, peneliti Energi Terbarukan IESR melihat bahwa rencana pemerintah Indonesia ini dapat dimanfaatkan oleh industri kendaraan listrik yang berniat membuka pabrik di Indonesia.

“Dengan adanya industri baterai dalam negeri, pabrik kendaraan listrik di dalam negeri dapat menggunakan baterai hasil industri dalam negeri pada kendaraannya sebagai strategi pemenuhan komponen TKDN,” jelas Pintoko.

Dalam diskusi panel menyambung pemaparan laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023, Wildan Fujiansah, Koordinator Kelayakan Teknis Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa untuk menjawab beberapa isu dalam penyediaan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No. 1/2023 yang mengatur salah satunya tentang standarisasi port charging, daya dan dimensi baterai.

“Permen No 1/2023 ini juga mengatur tentang investasi SPKLU yang awalnya harus menyediakan 3 port charging, sekarang cukup 1. Salah satu tujuan aturan ini memang untuk mendorong investasi SPKLU,” jelas Wildan.

Riza, Peneliti Senior Infrastruktur Pengisian Kendaraan Listrik, BRIN menyatakan bahwa dari sisi teknis proses pengisian daya kendaraan listrik bukan sekedar perangkat dengan teknologi tertentu.

“Secara perkembangannya, proses pengisian daya harus sesuai dengan karakteristik baterainya sementara kendaraan listrik terus berkembang,” kata Riza.

Dari sisi pengguna, kendaraan listrik roda dua saat ini banyak digunakan oleh perusahaan ride hailing untuk mitra pengemudinya. Namun untuk meningkatkan kepercayaan diri calon pengguna untuk beralih menggunakan kendaraan listrik, infrastruktur pendukung khususnya stasiun penukaran baterai perlu ditambah jumlahnya.

Rivana Mezaya, Direktur Digital and Sustainability Grab Indonesia menekankan bahwa dari sisi industri pengguna kendaraan listrik dapat menjajaki berbagai upaya untuk kepemilikan unit kendaraan listrik, namun perlu dukungan terkait kesediaan infrastruktur pendukung seperti stasiun penukaran baterai. 

“Kolaborasi dengan berbagai pihak ini akan mendorong masyarakat luas untuk dapat ambil bagian dalam transisi energi di Indonesia,” jelas Meza. 

Selain kolaborasi untuk mewujudkan ekosistem pendukung kendaraan listrik baik dari hulu hingga hilir penyebaran informasi yang komprehensif, mudah diakses dan ditemukan menjadi sangat penting untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat. Hal ini diutarakan Indira Darmoyono, Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi, Masyarakat Transportasi Indonesia. 

“Praktik baik dari penggunaan kendaraan listrik dan informasi-informasi penting seperti di mana bengkel konversi yang bersertifikat, biaya konversi, insentif dalam berbagai bentuk itu harus dipublikasikan secara luas supaya masyarakat memiliki informasi yang cukup dan tergerak untuk beralih ke kendaraan listrik,” tutup Indira.

Laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook adalah salah satu dari laporan utama IESR, dan dapat dibaca melalui Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 – IESR

IETO 2023: Pacu Langkah Cepat Transisi Energi di Indonesia

Handriyanti Puspitarini, Peneliti Senior IESR

Jakarta, 15 Desember 2022 –  Institute for Essential Service Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023. IETO 2023 merupakan jilid ke-6, sebelumnya laporan ini berjudul Indonesia Clean Energy Outlook di 2017, namun berubah nama pada tahun 2020. Transformasi ini melebarkan analisis dari awalnya hanya berfokus pada perkembangan energi bersih saja menjadi analisis sistem energi secara keseluruhan, termasuk sistem pendanaannya.

Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR, dalam sambutannya menyatakan transisi energi di Indonesia sudah memasuki babak baru. Hal ini tercermin dari beberapa kebijakan yang diterbitkan sudah mulai mendukung adopsi teknologi rendah karbon dan rendah emisi, seperti Perpres 112/2022. Selain itu, tercapainya komitmen pendanaan bagi transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) dan proyek infrastruktur yang merupakan hasil dari KTT G20. Topik tersebut diulas pula pada IETO 2023.

“Pendanaan menjadi salah satu kunci sukses transisi energi di Indonesia. Selanjutnya, kami juga menyoroti peran tenaga surya dalam transisi energi serta perkembangan kendaraan listrik di dalam laporan IETO 2023,” ucapnya. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam pemaparannya pada peluncuran laporan dan diskusi Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan Bloomberg Philanthropies, menjelaskan bumi mengalami kenaikan temperatur 1,1°C. Tanpa intervensi, diperkirakan kenaikan ini dapat mencapai 2,8°C. Ia menekankan transisi energi menuju energi terbarukan menjadi krusial untuk membatasi kenaikan suhu bumi melebih 1,5°C. 

“Studi IESR menunjukkan bahwa solar PV (PLTS) ditambah dengan storage dengan kapasitas 50% dan 100%, maka energi terbarukan akan lebih murah dibandingkan mengoperasikan PLTU setelah tahun 2032. Artinya, apabila kita masih mempertahankan pembangkit fossil dalam sistem energi maka kita akan menghadapi kenaikan biaya energi yang jauh lebih mahal,” terang Fabby Tumiwa. 

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa hadir di peluncuran dan diskusi Indonesia Energy Transition Outlook 2023

Fabby menekankan, memperbesar porsi energi terbarukan di dalam sistem energi Indonesia jauh lebih menguntungkan daripada memanfaatkan energi fosil ataupun mempertahankan energi fosil dengan teknologi penangkap karbon, seperti carbon capture and storage (CCS). Namun, saat ini terdapat 87%  dari listrik yang dikonsumsi Indonesia masih berasal dari energi fossil, hanya 13% dari energi terbarukan.  Untuk itu, Fabby menuturkan terdapat tiga hal yang perlu dilakukan dalam mendorong transisi energi. 

“Pertama, memanfaatkan sebesar-besarnya potensi energi terbarukan Indonesia untuk sektor listrik, transportasi, industri dan sektor lainnya. Berdasarkan kajian terakhir ESDM, Indonesia mempunyai potensi energi terbarukan yang jauh dari lebih cukup untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam rangka mencapai net zero emissions (NZE). Dengan menaikkan energi terbarukan, kita juga harus mengurangi PLTU batubara.  Kedua, menggenjot investasi untuk transisi energi,” ujar Fabby. 

Studi IESR menilai, untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat, dibutuhkan investasi rata-rata USD 25-30 miliar dari sekarang sampai 2030. Untuk mendapatkan investasi, diperlukan no regret policy atau sekalinya sudah ada kebijakan, tidak boleh dicabut atau diberhentikan. Kedua, perlu dilakukan reformasi kebijakan yang menghambat EBT. Untuk itu, kata Fabby, Pemerintah harus mengkaji ulang pemberian DMO untuk batubara karena kebijakan tersebut kontradiktif dengan upaya Indonesia mendorong energi terbarukan. Ketiga, mengelola proses transisi energi. Transisi energi merupakan tindakan yang beresiko karena akan menyebabkan adanya kenaikan biaya dalam jangka pendek, dan saat bersamaan kita masih bergantung pada energi batubara. Untuk itu, proses transisi energi perlu dikelola secara efektif sehingga proses transisi energi akan mulus.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana memaparkan transisi energi menjadi salah satu isu prioritas pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Hal ini bisa dilihat dengan tercapainya kesepakatan  Bali Compact yang bisa menjadi panduan untuk mencapai NZE 2060 atau lebih cepat.  Untuk itu, Indonesia telah mempunyai peta jalan transisi energi baru terbarukan (EBT) menuju net zero emission pada 2060 yang dibuat Kementerian ESDM.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana hadir dalam peluncuran dan diskusi Indonesia Energy Transition Outlook 2023

“Indonesia berencana membangun PLTS mulai tahun 2030 secara masif, diikuti PLTB onshore dan offshore dimulai 2027 serta geothermal juga akan dimaksimalkan. PLTA akan dioptimalkan dan listriknya akan dikirimkan ke pusat beban di pulau-pulau lainnya, serta pembangkit listrik nuklir beroperasi tahun 2039,” ujar Rida Mulyana. 

Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR menyatakan, sistem kelistrikan adalah low hanging fruits untuk mencapai NZE. Sistem kelistrikan menyumbang 250 MtCO2 emisi atau sekitar 40% emisi di sektor energi. Status energi terbarukan pada bauran energi 12,67% sedangkan target 2025 sebesar 23%. Untuk itu, kata Akbar, Indonesia perlu mengurangi kapasitas fosil dan mencari alternatif sumber energi demi mencapai target tersebut. 

“Setidaknya Indonesia bisa memanfaatkan energi terbarukan yang belum maksimal seperti surya dan angin. Kemudian, jaringan transmisi (grid) harus juga dibuat fleksibel. Meski demikian, perlu aturan tentang panduan sistem operasional dan negosiasi pada unit pembangkit,” papar Akbar. 

Senada dengan Akbar, Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menegaskan, hal yang bisa dilakukan untuk memberikan penetrasi energi terbarukan yakni mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Secara teknis, pengoperasian ini membutuhkan perubahan di dalam komponen utama PLTU. 

“Pengoperasian secara fleksibel akan membutuhkan fleksibilitas dalam hal perjanjian jual beli listrik dan kontrak suplai bahan bakar. Berdasarkan IEA, dengan membuat kontrak-kontrak ini lebih ‘luwes’ akan terdapat penghematan sebesar 5% dari total biaya operasi selama setahun atau setara USD 0,8 miliar. Grid Code (kode jaringan) juga harus dibuat lebih detail. Hal ini juga mutlak diperlukan agar operator memiliki pedoman regulasi pengoperasian secara fleksibel,” jelas Raditya. 

Julius Christian, Peneliti Spesialis Bahan Bakar Bersih IESR menerangkan, sampai saat ini konsumsi energi fosil di transportasi mencapai 87%, industri mencapai 56%  dan bangunan mencapai 41%. Dalam sektor transportasi, penggunaan kendaraan listrik menjadi strategi krusial untuk menuju sistem transportasi rendah karbon karena memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi dan memanfaatkan energi terbarukan. Julius menjelaskan, tercatat 199 bangunan yang tersertifikasi sebagai bangunan hijau di Indonesia sampai saat ini, padahal seharusnya bangunan yang luas sudah wajib memiliki sertifikasi bangunan hijau. 

“Untuk mempercepat transisi energi maka perlu fokus dalam empat hal yakni regulasi untuk mendorong masyarakat dan industri beralih ke teknologi yang hemat karbon, Pemerintah juga perlu melakukan lebih banyak sosialisasi agar awareness masyarakat meningkat untuk beralih ke rendah karbon, insentif dan skema pembiayaan juga patut diperhitungkan, serta menyiapkan ekosistem pendukungnya,” papar Julius. 

Di sisi lain, Martha Jessica, Peneliti Sosial dan Ekonomi IESR mengatakan,  pentingnya kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menggalakkan transisi energi dan mencapai NZE. Saat ini terdapat 71,05% provinsi di Indonesia telah menetapkan Rencana Umum Energi Daerah (RUED), di mana masing-masing daerah mengatur target bauran energinya. 

“Salah satu provinsi yang menunjukkan komitmen untuk pengembangan energi terbarukan yaitu Jawa Tengah. Menariknya, tahun ini terdapat komitmen baru untuk pemulihan hijau. Hal ini didefinisikan sebagai pemanfaatan anggaran publik untuk menyasar level tapak, terutama untuk pembangunan energi terbarukan. Sekitar Rp 8,9 miliar telah dianggarkan untuk komitmen tersebut. Pembangunan ini kemudian sudah berhasil meningkatkan pendapatan penggunanya sebanyak 2-3 kali lipat, di mana petani mendapatkan sumber air yang lebih mudah lewat penggunaan pompa air tenaga surya,” papar Martha.   

Handriyanti Puspitarini, Peneliti Senior IESR menuturkan, beberapa hal penting dalam status transisi energi di Indonesia yaitu penggunaan energi fossil meningkat tahun ini karena perekonomian yang semakin menggeliat, namun kondisi ini dapat dipastikan berubah karena banyaknya bantuan luar negeri untuk menekan emisi, terutama dalam sektor ketenagalistrikan. Ia menilai aturan yang mendukung penetrasi energi terbarukan perlu tersedia. Ia mencontohkan pembatasan kapasitas PLTS atap sebesar 15% akan menurunkan minat masyarakat untuk memanfaatkannya dan menekan partisipasi masyarakat terkait bauran energi terbarukan dalam skala nasional.

“Untuk itu, terdapat perubahan yang dibutuhkan yakni memperbanyak dukungan finansial untuk pengembang proyek PLTS atap, memperjelas skema tarif dan proses perizinan, serta meningkatkan akses pengembang ke modal dengan suku bunga lebih rendah. Implementasi PP 112/2022 juga perlu diamati di tahun depan. Masyarakat sendiri juga berpendapat bahwa ini menjadi saatnya Indonesia bertransisi energi dan memanfaatkan sumber energi lainnya seperti surya, air dan angin,” tegas Handriyanti. 

Berpacu dalam Momentum Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 15 Desember 2022 – Berbagai peristiwa geopolitik dunia sepanjang 2022 telah mempengaruhi naiknya harga komoditas energi fosil. Sebagai sektor yang mempengaruhi dan menggerakkan sektor lain, sektor energi memainkan peran penting dalam berbagai aspek mulai dari sosial-ekonomi hingga politik. Krisis energi global di 2022 dapat menjadi peluang yang Indonesia manfaatkan untuk mempercepat transisi energi. 

Pasar energi Indonesia yang masih banyak bergantung pada subsidi membuat Indonesia kurang merasakan dampak krisis energi global akibat melambungnya harga komoditas fosil. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kapasitas fiskal pemerintah tidak lagi seluas 2-3 tahun ke belakang mengingat begitu banyak subsidi energi yang dikeluarkan .

Hal ini disampaikan oleh Dannif Danusaputro, Direktur Utama PT Pertamina New & Renewable Energy dalam acara peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023, oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Kamis 15 Desember 2022. 

“Ruang fiskal yang semakin sempit mau tidak mau akan memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tidak populer dan hal ini dapat ditangkap sebagai momentum akselerasi energi terbarukan,” jelas Danif.

Bukan hanya krisis energi global yang dapat menjadi momentum akselerasi energi terbarukan, tapi juga masuknya  komitmen pendanaan transisi energi di Indonesia. Dalam KTT G20 bulan November 2022, Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi sebesar 20 miliar dolar melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Dana ini dikucurkan oleh International Partners Group yang terdiri dari negara-negara G7 ditambah dengan Denmark dan Norwegia. 

Suzanty Sitorus, Direktur Eksekutif Viriya ENB, mengatakan bahwa dana JETP belum cukup untuk membiayai proses transisi energi di Indonesia, namun bukan berarti perannya menjadi tidak penting. 

“Yang lebih penting adalah (dana ini) mau untuk apa. Apakah USD 20 billion ini akan meletakkan dasar-dasar untuk kita bisa bertransisi lebih cepat atau tidak,” kata Suzanty. 

Dirinya menambahkan penting bagi Indonesia untuk belajar dari Afrika Selatan (penerima pendanaan JETP sebelumnya), tentang investment plan yang sesuai dengan kebutuhan negara penerima. 

Harris, Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menyatakan bahwa sejak KTT G20, minat pengusaha untuk berinvestasi pada energi terbarukan terutama panas bumi meningkat. Hal ini merupakan hal baik untuk mengejar target energi terbarukan di RUPTL.

“RUPTL yang saat ini ada, saya rasa belum perlu dinaikkan targetnya tapi kita harus pastikan target yang ada sebanyak 51% (20,9 GW) benar-benar tercapai,” kata Harris.

Ditambahkannya, penting untuk memastikan target RUPTL tercapai karena beberapa kali pemerintah tidak mencapai target RUPTL. 

Selain penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan, efisiensi energi juga menjadi salah satu strategi untuk mencapai status net-zero emission terutama pada sektor industri. Dijelaskan oleh Octavianus Bramantya, anggota tim kerja harian Net Zero Hub, KADIN, bahwa sektor industri sudah cukup aware dengan kebutuhan untuk bertransisi ke sumber energi yang lebih bersih namun mereka masih menunggu kepastian regulasi. 

“Ada ledakan gerakan net-zero dari companies. Perusahaan tidak lagi bersaing melalui price dan product quality, namun karena ada penilaian carbon footprint untuk ekspor, maka perusahaan sudah mulai terpacu untuk memikirkan carbon footprint mereka,” kata Bramantya. 

Perusahaan yang bergerak di pasar luar negeri (foreign market) sudah memikirkan tentang hal ini. Untuk perusahaan lokal masih menganggap perhitungan karbon ini sebagai halangan, sehingga menjadi tantangan bagi salah satunya KADIN Net-Zero Hub untuk membantu merestrukturisasi nilai capex dan menunjukkan bahwa low carbon development justru menguntungkan. 

Dukungan Pemerintah dan Sektor Industri untuk Transisi Energi di Jawa Tengah

Semarang, 8 Desember 2022 Indonesia menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23 persen di tahun 2025.  Kerjasama dan partisipasi segenap pihak diperlukan untuk mewujudkannya, terutama di tingkat daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menggelar acara acara Central Java Stakeholder Gathering 2022 dengan tema ‘Transisi Energi untuk Pembangunan Daerah Rendah Karbon’ untuk mendorong transisi energi di Jawa Tengah. 

Achmad Husein, Bupati Banyumas memaparkan, pihaknya telah menutup dua tempat pembuangan akhir (TPA) yang terbesar di Banyumas sebagai upaya pengurangan karbon. Sampah akan dipilah yang bernilai guna, non-organik dan organik. 

“Dalam mengelola sampah, Banyumas menggunakan solusi teknologi yang terbagi menjadi dua macam, pertama di hilir (masyarakat), dengan menggunakan bank sampah. Kedua, inisiatif aplikasi untuk pengurangan sampah plastik di hulu, dengan cara kita membeli semua plastik dari masyarakat (berbagai jenis plastik). Lalu, ada juga aplikasi untuk masyarakat memilah sampah organik dan dibayar. Setiap sampah organik sekilonya dibayar Rp100,” jelas Achmad Husein.

Tavip Rubiyanto, Kasubid ESDM Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri memaparkan pentingnya pembangunan daerah yang dapat memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional. Masalahnya, daerah hanya dapat berkontribusi sebanyak kewenangan yang ia miliki.

“Kewenangan daerah untuk transisi energi masih relatif kecil, maka kontribusinya juga relatif kecil. Untuk itu, Kemendagri akan menyusun rancangan Perpres untuk Penguatan Peran Daerah. Konsekuensinya, daerah perlu merevisi RUED menyesuaikan dengan wewenang/anggaran baru untuk mendukung target transisi energi,” jelas Tavip. 

Senada dengan Tavip, Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) berharap agar  koordinasi dan kerjasama yang lebih baik antara pemerintah daerah di Indonesia untuk mencapai tujuan energi terbarukan. Misalnya saja dalam implementasi RUED, pemerintah pusat bisa menginstruksikan pemerintah daerah untuk menggunakan kendaraan listrik. Walaupun demikian, masih ada kendala dalam meningkatkan pemanfaatan energi sesuai dengan potensi daerah, yaitu pendanaan.

“Untuk menghadapi tantangan pendanaan dalam transisi energi, kita memerlukan dukungan internasional. Untuk itu, Perda bisa menjadi dasar untuk investor dalam pengembangan EBT di daerah. Bisa saja dengan kerjasama BUMD, swasta, dan pihak internasional,” ungkap Djoko. 

Untuk mendukung percepatan transisi energi di daerah, Muhammad Firdaus, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah menjelaskan green financing (ekonomi  hijau) di Jawa Tengah sangat penting untuk mendukung ekonomi yang berkelanjutan. Ekonomi hijau diproyeksikan memberikan manfaat seperti penciptaan lapangan kerja, dan membantu meringankan hambatan ekspor. Walaupun demikian, penurunan biaya produksi hanya maksimal 10% sehingga kurang menarik bagi perusahaan untuk menerapkan circular economy.

“Bank Indonesia, dalam upaya mendorong green economy, berupaya mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit kepada sektor ekonomi hijau. Salah satu proyek yang telah dilakukan adalah Green Loan to Value Ratio (LTV) 0% (tanpa DP) dan memperbolehkan membeli green bond untuk memenuhi Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM),” tandas Firdaus.

Sementara itu, Ignasius Iswanto, General Manager Engineering, PT Djarum OASIS Kretek Factory menyatakan bahwa Djarum telah melakukan upaya ke arah keberlanjutan. Misalnya, Djarum telah memiliki carbon footprint report, pengelolaan sumber daya air, penghematan energi, dan composting. Untuk boiler, PT Djarum menggunakan boiler biomassa dengan bahan bakar woodchip. Emisi yang direduksi dari penanaman pohon trembesi (Program Djarum Bakti Lingkungan) sebesar 4.457.400 juta ton CO2e. Beliau juga menjelaskan bahwa lewat usahanya membuat Djarum sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, beliau menemukan pemanfaatan limbah lain yang dapat menghasilkan energi, yaitu energi plasma.

“Energi plasma juga patut dipertimbangkan sebagai salah satu sumber energi terbarukan, di mana limbah cair dapat diurai oleh plasma menjadi listrik dan air bersih. Namun, penggunaannya lebih cocok untuk kompleks industri,” pungkasnya. 

Strategi Pemerintah Provinsi Jateng demi Wujudkan Pembangunan Rendah Karbon

Semarang, 8 Desember 2022Transisi energi menjadi urgensi sebagai respons dunia terhadap tantangan untuk membangun sistem energi yang lebih resilien. Untuk itu, perlu adanya sinergi dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun pihak swasta. Dalam rangka terus mendorong transisi energi di Jawa Tengah, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menggelar acara Central Java Stakeholder Gathering 2022 dengan tema ‘transisi energi untuk pembangunan daerah rendah karbon’.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, Jawa Tengah berperan penting sebagai mercusuar transisi energi di Indonesia. Fabby menyampaikan, dari perkembangan transisi energi di Jawa Tengah yang pesat bisa menjadi pelajaran bagi daerah lain bahwa kepemimpinan, inovasi daerah, dan kolaborasi itu menjadi kunci keberhasilan transisi energi menuju pembangunan rendah karbon.

“Mengatasi ancaman krisis iklim sangat relevan dengan apa yang terjadi di Jawa Tengah. Berbagai praktek pemanfaatan energi terbarukan di Jawa Tengah sudah terjadi dan menggambarkan bagaimana masyarakat mampu mendorong transisi energi dengan upaya sendiri didukung oleh pemerintah membuat inovasi. Inilah yang kami sebut dengan Transisi Energi Gotong Royong,” papar Fabby. 

Menambahkan, Taj Yasin Maimoen, Wakil Gubernur Jawa Tengah, menyatakan, pemerintah telah menetapkan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Jateng. Peraturan ini mengatur tentang konservasi energi, konservasi sumber daya energi, dan diversifikasi energi. Pemerintah juga mendorong otonomi energi di desa-desa dan memanfaatkan potensi energi yang ada di setiap desa. 

Wagub Jateng
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen hadir di Central Java Stakeholder Gathering 2022 pada Kamis (8/12/2022). Dok. Humas Pemprov Jawa Tengah

“Di satu desa di Magelang, kami melihat ada potensi yang kuat. Tidak mungkin pemerintah provinsi bekerja tanpa paradigma dari masyarakatnya. Di kasus mereka, peternakannya sudah disentralkan, dimiliki masyarakat dan dijadikan satu tempatnya. Ada ratusan kambing yang perlu diolah kotorannya. Tidak hanya sebagai pupuk, namun juga sebagai energi terbarukan,” tegas Taj Yasin.

Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menjelaskan, Jawa Tengah telah melakukan inovasi terkait energi terbarukan melalui proyek seperti Jateng Solar Province. Program ini diharapkan dapat membantu Jawa Tengah mencapai tingkat bauran energi sebesar 23,32% pada tahun 2025.

“Lewat Jateng Solar Province dampak yang paling terasa yakni meningkatnya kapasitas PLTS atap di Jawa Tengah dari 0,1 MWp di 2019 hingga 22 MWp di 2022,” ujar Sujarwanto.

Di sisi lain, Widi Hartanto selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Tengah menuturkan,  pihaknya tengah mengkaji pemanfaatan kembali air limbah dan sampah menjadi energi baru terbarukan. 

“Program ini bertujuan untuk mensurvei karakteristik air limbah dan sampah serta mengadakan focus group discussion (FGD)  terkait pengelolaan sampah menjadi energi terbarukan di kota-kota seperti Pati, Sukoharjo, Boyolali, Kab. Semarang, Karanganyar, Grobogan, Kab. Magelang, Kota Magelang, Temanggung, Klaten, Kota Semarang, Kab. Semarang, Kab. Karanganyar, Boyolali, Salatiga, dan Kudus,” tuturnya.

Demi mewujudkan pembangunan rendah karbon, M Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Tengah menekankan sektor industri berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon.  Pihaknya mendorong penggunaan energi terbarukan di sektor industri. Di samping itu, Disperindag Jawa Tengah berencana memperkuat kemitraan dengan industri baja lokal untuk memasok produksi panel surya.

“Saat ini sebenarnya terdapat tuntutan dari konsumen untuk industri mulai menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT) sehingga menuntut industri untuk menggunakan EBT dalam proses produksinya,” papar Arif.

Sementara itu, Muhammad Iqbal selaku Direktur Utama Jateng Petro Energi (JPEN) menerangkan, terdapat tiga strategi untuk mendukung transisi energi yaitu penguatan kelembagaan ekosistem, solarpreneurship (pengadaan lapangan kerja hijau), dan capacity building

“Untuk itu, JPEN berkomitmen untuk mendorong transisi energi lebih masif seperti penggunaan PLTS terapung, PLTS rooftop, pelatihan PLTS, perdagangan karbon serta pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang menjadi bagian penting ekosistem kendaraan listrik,” ucapnya.

Pemerintah Indonesia Perlu Komitmen Kuat untuk Cegah Krisis Iklim

CAT

Jakarta, 6 Desember 2022 – Saat ini dunia mengalami perubahan iklim yang berpengaruh terhadap peningkatan intensitas bencana iklim dan mengancam  kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati. Untuk itu, diperlukan komitmen pemerintah dan target yang konkret untuk  menurunkan emisi emisi. Salah satunya dengan menetapkan target yang lebih ambisius dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) yang telah disampaikan Indonesia pada September 2022 lalu,  yang berisikan peningkatan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 2%.

Berdasarkan dokumen NDC terbaru, Indonesia bertekad mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2% pada 2030. Namun berdasarkan penilaian target dan ambisi iklim Indonesia tersebut oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa. IESR dan CAT menilai, NDC Indonesia sampai saat ini belum linear dengan target 1,5°C. Secara angka lebih kuat, tetapi masih belum mendorong aksi iklim lebih lanjut. Indonesia kemungkinan besar akan mencapai targetnya (kecuali kehutanan) tanpa upaya tambahan, sementara emisinya hampir dua kali lipat saat ini. Untuk itu, Indonesia perlu memperbarui Skenario Bisnis seperti-Biasa (BAU) agar linier dengan target yang lebih kuat.

“Indonesia berkontribusi terhadap pemanasan global, untuk itu diperlukan target penurunan gas rumah kaca (GRK) yang lebih ambisius. Semakin terlambat kita menghambat GRK maka risiko bencana iklim akan semakin besar. Misalnya saja bencana banjir, puting beliung, hal ini menandakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi peristiwa tersebut juga lebih tinggi dan diperlukan penyelesaian yang tepat. Untuk itu, environmental cost perlu dihitung untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa  Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Energi dan Iklim, IESR menyatakan,  energi terbarukan hanya menyumbang 13,5% dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2021, Indonesia perlu membuat kemajuan substansial untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Beberapa penelitian telah menunjukkan bagaimana Indonesia dapat meningkatkan penggunaan potensi energi terbarukannya jauh melampaui rencana saat ini dan memasok 100% listriknya dengan sumber terbarukan pada tahun 2050.

“Walaupun batubara masih memainkan peran utama dalam sistem kelistrikan Indonesia, pemerintah telah merencanakan penghentian PLTU. Namun demikian,  untuk memenuhi batas suhu 1,5°C, penggunaan batubara di Indonesia harus turun hingga 10% pada tahun 2030 dan dihentikan secara bertahap pada tahun 2040.  Indonesia akan membutuhkan dukungan keuangan yang signifikan untuk merencanakan penghentian PLTU sesuai dengan Persetujuan Paris,” jelas Shanaz. 

Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),  Erik Armundito menegaskan, pihaknya memiliki kebijakan pembangunan rendah karbon, yang terintegrasi dengan prioritas nasional RPJMN 2020-2024, dilengkapi juga dengan strategi indikator dan target yang jelas setiap tahunnya. 

“Indikator makro yang dimaksud yakni persentase potensi penurunan GRK dengan target 27,3% di tahun 2024 dan persentase penurunan  intensitas GRK dengan 31,6% di tahun 2024. Penetapan target ini menjadi langkah maju Indonesia dalam pelestarian lingkungan. Selain itu, Bappenas memiliki aplikasi AKSARA untuk  pemantauan, evaluasi, dan pengendalian terhadap penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari pembangunan rendah karbon,” jelas Erik. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani, Nadia Hadad menuturkan, diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk mendorong pencapaian target 1,5°C. Berbagai pihak harus memiliki peran dan berkontribusi. 

“Kita semua memiliki peran. Laporan CAT ini bukan mengkritik, tetapi untuk mendorong agar langkahnya lebih baik. Semuanya dilakukan untuk menyelamatkan bumi, untuk itu diperlukan akuntabilitas dan transparansi,” papar Nadia Hadad. 

Mahawan Karuniasa, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) menuturkan, emisi karbon yang dihasilkan seluruh negara di dunia diproyeksikan tidak boleh lebih dari 33 gigaton pada tahun 2030 untuk menjaga suhu bumi tidak lebih dari 1,5°C. Meski demikian, perkiraan emisi karbon yang dihasilkan mencapai 58 gigaton. 

“Apabila terdapat implementasi NDC di seluruh negara, maka perkiraan emisi bisa menurun menjadi 53-56 gigaton pada tahun 2030. Yang berarti masih ada gap yang besar sekali antara 20-23 gigaton. Jika gap tersebut tidak bisa dipenuhi semua negara, termasuk Indonesia, maka kita bisa mencapai di atas 1,5°C,” papar Mahawan. 

Sonny Mumbunan,  ekonom juga peneliti dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, memandang perlu pula membahas bagian pembiayaan iklim secara mendalam pada  laporan Climate Action Tracker.

“Ketika Indonesia masuk menjadi anggota G20 dengan dinarasikan memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, hal ini menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia. Mengingat, Indonesia juga masih perlu dana dari negara lain. Hal ini juga mempengaruhi cara kita mendekati sektoral di energi, di sektor berbasis lahan maupun sektor loss and damage. Kelihatannya Indonesia memerlukan pendekatan berbeda berdasarkan profiling dirinya, yang berada antara negara maju maupun negara berkembang,” tegas Sonny. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.