Belajar Bagaimana AS Berupaya Meraih Peluang Menahan Laju Krisis Iklim

Jakarta, 13 September 2022 – Untuk memerangi krisis iklim, tindakan kita hari ini akan menentukan ekonomi, dan keberlanjutan umat manusia dalam jangka panjang. Laporan IPCC telah memberitahu kita bahwa waktu yang tersisa untuk kita dapat berupaya menahan suhu global pada 1,5 derajat celcius terbatas. Komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim telah didorong melalui forum internasional.

Setelah bergabung kembali dengan Perjanjian Paris selama pemerintahan Biden – Harris, Amerika Serikat (AS) secara aktif mendorong warga dunia untuk mengatasi perubahan iklim melalui kebijakan dan perencanaan pembangunan strategis. Baru-baru ini, AS baru saja mengeluarkan peraturan baru yaitu Inflation Reduction Act (IRA) untuk mendorong pemanfaatan teknologi energi bersih. Target AS adalah mengurangi 50-52% emisi GRK pada tahun 2030 dan menggunakan 100% listrik bersih pada tahun 2035 sebelum menjadi nol emisi karbon pada tahun 2050.

Nathan Hultman, direktur Center for Global Sustainability University of Maryland, dalam sesi kuliah umum yang terselenggara atas kerja sama  Kantor Staf Presiden Indonesia, dan Institute for Essential Services Reform mengatakan bahwa ia yakin bahwa kita dapat mencapai tingkat 1,5 derajat.

“Kita telah membuat beberapa kemajuan dan masih di jalur 1,5 derajat. Namun bukan berarti pekerjaan kita telah selesai. Kita memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan terutama melalui kebijakan,” kata Nathan.

Nathan menekankan perlunya pendekatan multi-stakeholder dalam menangani keadaan darurat iklim melalui transisi energi. Ia menjelaskan, pemerintah pusat merupakan pemangku kepentingan penting dalam menentukan arah transisi energi. Namun, dalam transisi energi kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah nasional karena gagasan transisi energi harus dipahami dan dilaksanakan oleh banyak aktor termasuk pemerintah tingkat daerah dan bahkan sektor swasta.

“Misalnya di AS pada masa pemerintahan Trump tidak begitu banyak terjadi kemajuan (kebijakan iklim), tetapi ada beberapa kemajuan di tingkat sub-nasional yang mendorong kebijakan nasional di pemerintahan mendatang,” jelasnya.

Menyadari bahwa sebagian besar negara demokratis memiliki pemangku kepentingan yang sama, pendekatan ‘All in’ ini dapat diduplikasi di negara lain. Setiap negara berbeda, tetapi masing-masing dari kita memiliki kesempatan untuk berbuat lebih banyak.

Memainkan peran strategis sebagai pemimpin G20 tahun ini, Indonesia memiliki peran krusial dalam mencapai tujuan iklim global. Dengan mengajukan komitmen iklim yang lebih ambisius, mempercepat energi terbarukan ke dalam sistem, dan mengadopsi kendaraan listrik dalam jumlah besar, Indonesia dapat menginspirasi negara lain untuk menunjukkan tindakan nyata dalam mengatasi krisis iklim.

Setiap negara perlu mencari cara strategis untuk melakukan transisi, perlu untuk belajar dan menggali inspirasi dari negara lain. Komitmen global untuk mendukung pendanaan transisi energi harus dipenuhi untuk membantu negara-negara berkembang dalam menjalankan transisi dengan lancar.

Hageng Nugroho, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden menekankan peran kolaborasi global untuk mencapai target net zero.

“Indonesia berencana untuk menjadi net zero pada 2060, dan dalam mencapainya kita menghadapi beberapa kendala dari teknologi hingga pendanaan. Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk menghindari dampak fatal krisis iklim. Pertama, memenuhi target NDC, mendorong partisipasi warga dan pemangku kepentingan potensial dalam transisi energi,   memperkuat kemitraan global, dan mendorong pembangunan ekonomi hijau,”

Hageng menambahkan, poin terpenting adalah memastikan komitmen itu diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya pada level kebijakan.

Melihat Peluang dan Tantangan Transisi Energi di Daerah

Bali, 30 Agustus 2022 – Pemerintah daerah (Pemda) dan masyarakat dapat menjadi motor untuk percepatan transisi energi. Transisi energi yang terdesentralisasi relatif memerlukan waktu yang  lebih singkat karena dilakukan dalam skala kecil dan dampaknya pun dapat secara langsung dirasakan dan dilihat oleh masyarakat. 

Disampaikan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dalam seminar paralel G20 “Decentralizing energy transition: Advancing the role of the community and subnational government” (30/8), bahwa dalam konteks pengembangan energi terbarukan diperlukan desentralisasi asimetris, yang berarti masing-masing Pemda diberikan ruang yang cukup untuk merencanakan pengembangan energi terbarukan sesuai potensi dan situasi daerahnya.

“Potensi kemandirian energi di desa-desa ini, dari sisi bisnis tidak bagus sebab skalanya relatif kecil untuk skala bisnis, tetapi jika kita tidak membuat contoh seperti pemasangan PLTS sebesar 20 kWp untuk 8 UMKM di Jepara, PLTS off grid untuk pompa air, atau PLTMH dengan kapasitas 15 kWp yang melistriki 75 kepala keluarga, dengan sungguh memanfaatkan potensi yang ada di lokal,  maka tidak akan terlaksana, jadi kita perlu keberanian untuk berubah.” tegas Ganjar.

Ida Ayu Giriantari, Staf Khusus Gubernur Bali menyatakan masyarakat, utamanya masyarakat Bali memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk menjaga lingkungan dan beralih pada sumber energi yang lebih ramah lingkungan. 

“Energi bersih sudah menjadi landasan hidup dan visi pembangunan Bali sejak dulu dan tertuang dalam Pergub 45/2019, ketika pemerintah pusat membuat kebijakan energi bersih secara nasional kami merasa ada dukungan dari pemerintah pusat,” katanya.

Pada bulan Maret 2022, Gubernur Bali mengeluarkan surat edaran yang menghimbau untuk kantor pemerintah, dan bangunan pariwisata memasang PLTS atap. Hal ini salah satunya untuk mengejar target Bali mencapai status netral karbon 2045.

“Dengan kerjasama semua stakeholder dan masyarakat saya optimis kita bisa mencapai Bali Net Zero Emission 2045,” tutur Ida Ayu.

Dilalui aliran sungai Batang Hari, provinsi Jambi mulai memperkenalkan penggunaan energi terbarukan pada tahun 2000an mencakup PLTA, PLTB (Tanjung Barat dan Timur), dan surya.

“Saat ini kami sedang menyiapkan program bantuan konsumsi energi terintegrasi dapur dan rumah tangga, atau kami sebut program Boenda. Ini akan segera kami luncurkan,” jelas Abdullah Sani, Wakil Gubernur Jambi pada acara yang sama.

Sani melanjutkan bahwa pemerintah Provinsi Jambi berkomitmen untuk bekerjasama dengan pemerintah pusat maupun swasta untuk mengembangkan transisi energi karena sumber daya yang tersedia dirasa sudah cukup melimpah namun masih perlu mentransformasikannya menjadi energi yang dapat digunakan.

Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PT PLN, menyatakan bahwa pihaknya sebagai penyedia listrik di Indonesia telah merancang skema transisi energi melalui RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) berbasis energi terbarukan.

“Dalam RUPTL saat ini porsi energi terbarukan mencapai 52%, hal ini menjadi langkah awal dalam transisi yang kami rancang. Bahwa setelah 2022, kita tidak lagi menambah komitmen PLTU baru lagi,” kata Bob.

Chrisnawan Anditya, Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM, menyatakan bahwa perbedaan potensi EBT di berbagai daerah merupakan tantangan teknis sekaligus peluang besar untuk sistem energi kita. 

“Hal ini memungkinkan pembagian energi berbasis EBT, ketika daerah mengalami kelimpahan atau kelangkaan energi. Agar hal tersebutdapat terjadi, maka diperlukan sistem tenaga listrik yang terintegrasi (SmartGrid dan SuperGrid),” jelas Chrisnawan.

Sektor energi diperkirakan akan menjadi kontributor emisi utama jika tidak ditangani dengan serius. Togap Simangunsong, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Dalam Negeri menjelaskan pihaknya terus memantau provinsi-provinsi dalam menyusun Perda RUED (Rencana Umum Energi Daerah) sebagai turunan dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“27 dari 34 provinsi sudah memiliki Perda RUED dan sejumlah provinsi masih berproses dengan tahapan beragam untuk penyusunan RUED-nya,” tutur Togap.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengingatkan para pemimpin daerah untuk menyelaraskan RUED dengan RPJMD supaya kebijakan yang dibuat sejalan sehingga pelaksanaannya pun dapat berjalan lancar. Dirinya juga menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam inisiatif transisi energi di daerah

“Masyarakat dapat ikut serta berinvestasi pada energi terbarukan dengan memasang PLTS atap di rumah masing-masing. Pemda juga dapat berkontribusi dengan mengalokasikan anggaran pada sektor ini. Jika investasi dalam negeri tumbuh baik, maka investasi asing pun akan lebih tertarik untuk masuk,” jelas Fabby.

Apa yang dapat dilakukan Perusahaan Listrik Negara G20 untuk Mengatasi Krisis Iklim?

Bali, 29 Agustus 2022 – Sektor kelistrikan merupakan salah satu penghasil emisi terbesar setelah sektor kehutanan dan tata guna lahan. Dengan semakin terbatasnya peluang untuk menjaga suhu global pada level 1,5 derajat, dorongan untuk mendekarbonisasi sektor kelistrikan menjadi semakin penting. Perusahaan utilitas listrik akan menjadi pendorong utama upaya dekarbonisasi untuk mencapai emisi nol bersih.

Philippe Benoit, Adjunct Senior Research Scholar Center on Global Energy Policy, Columbia University, dalam seminar “The Role of G20 Power Utilities in Climate Mitigation Effort” yang diselenggarakan oleh C20, menekankan pentingnya mereformasi perusahaan listrik milik negara, mewujudkan perannya sebagai produsen listrik, pembeli listrik, dan pemilik/operator jaringan untuk mempercepat transisi energi.

“Perusahaan listrik nasional bersifat multidimensi. Ketika kita berbicara tentang dekarbonisasi, kita harus memikirkannya karena merekalah yang akan menentukan laju dekarbonisasi,” katanya.

Philippe melanjutkan bahwa skenario berbasis pasar seperti pajak karbon, perdagangan karbon, dan penetapan harga dapat menjadi instrumen untuk mempengaruhi perusahaan listrik nasional untuk melakukan dekarbonisasi. Selain itu, pemerintah juga dapat menyediakan sumber daya bagi perusahaan listrik nasional dengan mendukung mereka, melakukan advokasi, dan secara langsung menjalankan kekuasaan pemegang saham pemerintah.

Mahmoud Mohieldin, High-Level COP 27 Champion Mesir, mengusulkan beberapa poin untuk dibahas, termasuk kebijakan energi komprehensif yang mencakup penghentian penggunaan bahan bakar fosil, akses energi, dan pengembangan hidrogen hijau.

“Anggaran negara harus mencerminkan prioritas agenda iklim dalam kerangka pembangunan SDGs,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Joojin Kim, Managing Director Solution for Our Climate (SFOC), Korea Selatan, memaparkan fakta bahwa saat ini energi terbarukan menghadapi beberapa pembatasan di beberapa wilayah untuk menghindari energi yang ‘tidak terjual’.

“Secara global, ada peningkatan signifikan dari kapasitas energi terbarukan tetapi sebagian besar dibangun di AS atau Eropa. Untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan listrik, beberapa daerah mulai menerapkan pembatasan energi terbarukan,” katanya.

Joojin mengatakan kondisi ini tidak kondusif untuk mencapai target net zero. Untuk menyelaraskan dengan jalur 1,5 derajat Celcius, negara G20 harus memiliki 75% energi terbarukan pada tahun 2040. Menurutnya baik Korea Selatan maupun Indonesia tidak dalam situasi yang ideal untuk mencapai target itu jika tidak ada perubahan segera.

Menurut Dennis Volk, Kepala Divisi Bundesnetzazagenturn (BNetZa), Jerman, komitmen politik dari pemerintah menjadi kunci dekarbonisasi sektor kelistrikan.

“Diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mendorong sektor ketenagalistrikan ke jalur dekarbonisasi. Hal  kedua yang juga penting adalah skema pendukung termasuk pembiayaan,” kata Dennis.

Youngjin Chae, Vice President Strategy and Planning Korea Power Exchange (KPX), Korea Selatan menjelaskan, saat ini terdapat sekitar 19% energi terbarukan di Korea Selatan pada bauran energinya. Isu terkait fleksibilitas, penyimpanan, dan kelayakan (secara bisnis) menjadi perhatian karena karakteristik energi terbarukan yang terkonsentrasi secara lokal.

Indonesia berencana untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat. PLN sebagai perusahaan penyedia tenaga listrik, melalui Direktur Perencanaan Perusahaan Evy Haryadi mengatakan PLN perlu membangun pembangkit baru sebesar 413 GW dengan energi terbarukan sekitar 75% dan interkoneksi 19 GW untuk mencapai net zero pada tahun 2060.

“Kami (PLN) menilai setidaknya ada lima hal besar yang harus diubah (dibangun), mulai dari sistem penyimpanan baterai, interkoneksi, klaster industri hijau, mekanisme penarikan batu bara, hingga pengembangan teknologi baru,” pungkas Evy.

Beberapa tantangan serius dihadapi oleh negara-negara dalam mengembangkan energi terbarukan. Mempertimbangkan situasi tiap negara yang beragam, setiap negara harus segera mencari solusinya karena IPCC telah memperingatkan bahwa waktu kita semakin pendek.

“Setiap negara harus mampu menjawab isu penyelesaian perubahan iklim, permintaan pelanggan akan listrik yang handal dan terjangkau, kebutuhan tenaga kerja untuk meningkatkan keterampilan, regulasi dari pemerintah, dan lebih banyak teknologi untuk menyediakan energi hijau,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menutup webinar.

Transisi Energi: Dari, Oleh, dan Untuk Masyarakat

Denpasar, 11 Agustus 2022 – Keterlibatan masyarakat luas memiliki peranan yang sangat penting dalam merealisasikan agenda transisi energi, . alah satu langkah awalnya adalah dengan menyediakan wadah untuk saling berbagi pengetahuan dan diskusi. Berbeda dengan diskusi formal yang menyasar para pemangku kepentingan, diskusi dengan format informal dan ringan untuk masyarakat diyakini lebih efektif untuk dilakukan. Hal ini diharapkan menjadi ruang yang nyaman untuk publik menyampaikan pendapatnya secara terbuka

Didasarkan pada pemahaman tersebut, proyek Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) di Indonesia mengadakan kegiatan bertajuk “The Role of Public Participation in Energy Transition” yang dilakukan di Denpasar bersama para perwakilan organisasi masyarakat, kelompok pemuda dan mahasiswa di Bali. Pada kegiatan ini, CASE berupaya untuk menyediakan wadah untuk berdiskusi sekaligus bertukar pikiran dan pengetahuan terkait topik transisi energi di Indonesia, khususnya dalam konteks Bali. 

Untuk memfasilitasi masyarakat Bali dalam memahami konteks transisi energi, CASE Indonesia turut menghadirkan berbagai pembicara ahli lokal yang menjelaskan berbagai aspek transisi energi dan kaitannya dengan masyarakat di Bali. Misalnya, bagaimana energi terbarukan bisa dimanfaatkan, diakses dan membawa dampak positif bagi berbagai lapisan masyarakat di Bali. 

Berbagai kebijakan untuk merealisasikan transisi energi sudah banyak diterbitkan di Indonesia. Khususnya di Bali, Pemerintah Provinsi Bali menunjukkan respon positif dan mendukung transisi energi dengan kebijakan energi bersih yang diharapkan dapat mendukung pengembangan perekonomian masyarakat Bali. Namun berbagai kebijakan tersebut tidaklah banyak bermanfaat jika masyarakat tidak ambil andil dalam menyukseskan rencana tersebut. 

“Seluruh keterlibatan berbagai kelompok masyarakat di Bali ini penting, agar transisi energi menjadi doable dan tidak hanya berupa kebijakan-kebijakan diatas kertas, ” ujar Ida Ayu Dwi Giriantari dari Center of Excellence Community Based Renewable Energy – Universitas Udayana. 

Masyarakat di Bali menggantungkanpenghidupan di sektor pariwisata untuk menopang perekonomiannya. CASE berupaya untuk mengenalkan contoh nyata unit usaha pariwisata milik masyarakat asli Bali yang sudah memanfaatkan energi terbarukan sehingga masyarakat dapat menyaksikan dampak energi terbarukan dalam sebuah usaha di tingkat masyarakat. 

Putu Swantara Putra atau yang kerap disapa Bli Klick, seorang arsitek dan pengusaha di bidang perhotelan di Bali menceritakan pengalamannya menggunakan energi terbarukan. 

“Tidak ada ruginya menggunakan energi terbarukan (PLTS atap), dengan berbagai skema pembiayaan yang ada sekarang, bagi kita pengusaha rasanya sama saja seperti bayar listrik PLN. Bayangkan, bedanya saya sudah buat perbedaan dan lebih ramah lingkungan, lebih lagi dalam beberapa tahun alatnya jadi milik saya dan bisa saya gunakan secara gratis”.

Serupa dengan pernyataan Bli Klick, Dayu Maharatni dari Koperasi Amoghassiddhi mengungkapkan potensi pembiayaan PLTS atap menarik untuk dicermati. Koperasi Amoghassiddhi  merupakan, sebuah lembaga pembiayaan koperasi berbasiskan masyarakat yang menyediakan skema pembiayaan pemasangan panel surya untuk para anggotanya. 

“Sudah ada peraturan yang mengatur kami, para koperasi, untuk memberikan suku bunga tidak lebih dari 1%. Dengan ini, kami berharap lebih banyak lagi anggota koperasi kami yang tertarik untuk mengembangkan bisnis dengan energi terbarukan. Bagi koperasi kami sendiri, pembiayaan kredit energi ini baru 2,4% dibandingkan jenis pembiayaan lain. Hal ini artinya masih banyak sekali potensi pengembangan (untuk pembiayaan energi terbarukan-red) bagi para anggota kami.”

Dayu mengajak masyarakat untuk memahami bahwa saat ini potensi pengembangan energi terbarukan masih sangat luas dan memiliki banyak sekali manfaat untuk masyarakat di Bali. Lebih jauh lagi, tidak hanya dari sudut pandang mitigasi perubahan iklim, pengembangan energi terbarukan dirasa juga memiliki potensi sebagai pilihan karir (green jobs) dan perekonomian masyarakat di masa depan. 

“Nantinya sumberdaya manusia yang diperlukan dalam pengembangan energi terbarukan ini akan dibutuhkan dalam setiap proses usahanya, misal peneliti, perencana, operator, evaluator, dan sebagainya. Berdasarkan data ini, jika dikembangkan sesuai dengan peta pengembangannya, Pemerintah memperkirakan pada Tahun 2050, setidaknya ribuan tenaga kerja akan terserap di sektor energi terbarukan ini,” ujar I Gusti Ngurah Agung Dwijaya Saputra dari Politeknik Negeri Bali menutup sesi pemaparan.

Penerbitan Studi IESR: Financing Indonesia’s Coal Phase Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net Zero

Jakarta, 3 Agustus 2022– Pensiun dini PLTU perlu dilakukan untuk mencapai bebas emisi di 2050 sesuai komitmen Persetujuan Paris. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Center for Global Sustainability (CGS), Universitas Maryland dan didukung oleh Bloomberg Philanthropies menemukan bahwa Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU pada 2045 untuk meraup manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih luas. Beberapa manfaat yang dijelaskan dalam kajian berjudul “Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero” diantaranya: meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi, meningkatkan kualitas lingkungan dan ekonomi, mengurangi polusi, meningkatkan kualitas udara, dan menurunkan biaya kesehatan. 

Ailun Yang Head of International Program of  Climate and Environment Bloomberg Philanthropies menyatakan bahwa penghapusan batubara bukanlah tugas yang mudah bagi setiap negara. Ailun menyatakan bahwa dibutuhkan kerangka kerja yang konsisten dan  strategi paling efektif untuk menghentikan penggunaan batubara. 

“Untuk itulah studi ini penting untuk melihat skenario yang tepat untuk diterapkan di Indonesia,” ucap Ailun. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menginformasikan bahwa studi ini merupakan investigasi pertama di Indonesia tentang rencana pensiun batubara dan program pembiayaannya. Di samping itu, Fabby menyampaikan informasi bahwa tahun lalu, IESR dan BNEF menghasilkan laporan yang menunjukkan bahwa pada tahun 2027, kapasitas penyimpanan baterai PLTS akan menghasilkan biaya listrik yang 25% lebih murah daripada pembangkit batubara baru. Pada tahun 2032, biaya pembangkitan pembangkit batubara dapat dilampaui oleh PLTS yang dikombinasikan dengan penyimpanan baterai 100%.

“Percepatan pensiun bertahap PLTU pada akhirnya akan memberi PLN peluang untuk mengubah aset coklatnya dengan cepat menjadi aset bersih dan terbarukan, meningkatkan produktivitas, dan menurunkan risiko aset terlantar,” ungkap Fabby.

Fabby berharap bahwa studi ini dapat membantu Pemerintah Indonesia dan PLN untuk mempersiapkan program transisi energi, terutama dalam pembentukan Just Energy Transition Partnership (JETP).

Nathan Hultman, Direktur Global Sustainability Center, Universitas Maryland. Nathan menjelaskan bahwa setiap negara mempunyai strategi berbeda, tetapi terdapat kemungkinan untuk lebih cepat beralih ke energi yang lebih bersih. 

“Dengan menjauhi energi tak terbarukan, kita akan mendapatkan lebih banyak manfaat di bidang kesehatan, ekonomi, dan pembangunan,” jelasnya

Menambahkan, Ryna Yiyun Cui, Assistant Research Professor, Center for Global Sustainability, University of Maryland menyebutkan bahwa agar kompatibel dengan emisi nol bersih dan target global 1,5 C, Indonesia harus mengurangi PLTU sebesar 11% pada tahun 2030, sebesar 90% pada tahun 2040, dan sepenuhnya dihapus pada tahun 2045. Lebih jauh, ia menyatakan dibutuhkan biaya mempensiunkan PLTU sekitar USD4,6 miliar hingga 2030 dan 27,5 miliar USD hingga 2050. “Membatalkan perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) atau pembangunan PLTU dapat menghemat hingga USD18,7 miliar yang dapat diinvestasikan secara alternatif dalam energi terbarukan,” jelasnya.

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan menginformasikan bahwa pensiun dini PLTU sudah menjadi perhatian pemerintah untuk menuju Net Zero Emission tahun 2060. Ia menjelaskan bahwa masih perlu kajian mendalam untuk waktu implementasinya. Ia menambahkan bahwa menurut modelling pemerintah, PLTU masih akan beroperasi hingga 2056 dan jika ingin mendorong pensiun batubara pada tahun 2045, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam lagi.

“Pemerintah sedang merancang peta jalan pensiun dini PLTU batubara. Harapannya jika ada bantuan internasional, diharapkan akan terjadi lebih cepat,” tambah Andriah.

Di lain sisi, Sinthya Roesly, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, PT PLN Persero mengatakan bahwa dari sisi finansial, perlu dilihat sejauh mana APBN Indonesia bisa menyerap biaya yang diperlukan. Ia menambahkan bahwa perlu kesiapan pasar dan pertimbangan sejauh mana investor swasta akan berinvestasi.

“(Biaya pensiun dini PLTU-red) barangkali yang musti kita hitung dan kita lihat secara seksama di tengah kondisi over supply yang ada saat ini. Jadi kita sekarang kita handle dulu over supply dan take or pay serta (dicarikan) solusikan agar tambahan dari EBT ini tidak menambah ongkos,” ungkap Sinthya.

Negara ASEAN Butuh Bergotong Royong untuk Transisi Energi

Jakarta, 29 Juli 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan satu kawasan strategis dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina. Asia Tenggara diprediksi akan terus berkembang secara ekonomi. Permintaan energi diprediksi juga akan terus naik. Dengan kondisi energi fosil masih banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara diperlukan upaya bersama antar negara-negara di Asia Tenggara untuk mencapai dekarbonisasi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. 

Korea Selatan dan Cina yang menjadi investor berbagai proyek fosil khususnya PLTU batubara di kawasan Asia Tenggara telah berkomitmen untuk tidak lagi membiayai proyek PLTU di luar negeri pada tahun 2021. Komitmen ini diharapkan menjadi sinyal yang menggiring investasi energi terbarukan semakin masif.

Dongjae Oh, program lead for climate finance, Solutions for Our Climate (SFOC) dalam webinar bertajuk “The State of Southeast Asia Energy Transition” menyatakan bahwa komitmen Korea Selatan untuk tidak lagi membiayai PLTU batubara memang cukup mengejutkan namun ada hal lain yang patut diwaspadai terkait preferensi investasi Korea Selatan.

“Meski sudah menarik pendanaan untuk PLTU batubara, namun Korea Selatan tetap berinvestasi pada sektor minyak dan gas di kawasan Asia Tenggara dengan nilai 10 kali lipat yaitu sebesar $127 miliar dari investasi batubara yang hanya sebesar $10 miliar. Indonesia merupakan penerima investasi migas terbesar dari Korea Selatan,” jelas Dongjae.

Dongjae menambahkan bahwa gas dianggap oleh pemerintah Korea sebagai energi alternatif yang bersih untuk masa transisi. 

Cina juga mengumumkan tidak akan lagi membiayai proyek batubara di luar negeri pada September 2021. Sejumlah kebijakan baik luar maupun dalam negeri Cina mengalami perubahan sejak saat itu. Isabella Suarez, peneliti Center for Research on Energy and Clean Air, menjelaskan pemerintah Cina mulai memasukkan klausul tentang penghentian pembiayaan batubara pada UU mereka.

“Sejumlah bank lokal Cina juga mulai menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi membiayai proyek batubara,” tambah Isabella.

Mundurnya Korea Selatan dan Cina dalam pembiayaan PLTU batubara diharapkan mendesak negara-negara ASEAN untuk mengembangkan energi terbarukan secara lebih masif. 

Sementara itu, situasi transisi energi di beberapa negara Asia Tenggara masih perlu banyak dorongan, dan insentif.

Handriyanti Diah Puspitarini, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan situasi perkembangan transisi energi di Indonesia saat ini cukup lambat dan belum cukup untuk mengejar target mitigasi iklim untuk membatasi kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat. 

“Jika Indonesia tidak melakukan sesuatu untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan, menurut hitungan IESR pada tahun 2025 kita hanya akan mencapai 15% energi terbarukan pada bauran energi dan 23% pada tahun 2030,” jelas Handriyanti.

Handriyanti menekankan pentingnya pemerintah Indonesia untuk mencari model pendanaan dan memiliki political will yang konsisten dalam proses transisi energi Indonesia, mengingat proses transisi terjadi dalam waktu panjang dan membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Mirip dengan situasi sektor ketenagalistrikan Indonesia, Filipina juga masih didominasi oleh energi fosil pada sektor kelistrikannya. Albert Dalusung, penasihat transisi energi, Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menyatakan saat ini pemerintah Filipina sedang fokus untuk mengurangi penggunaan minyak pada sektor transportasi dan mengembangkan energi terbarukan. 

“Presiden telah menyatakan bahwa energi terbarukan menjadi garda terdepan untuk agenda iklim, tingginya harga energi fosil juga membuat pemerintah mengubah kebijakan energi,” jelas Albert.

Negara tetangga Indonesia, Malaysia, memiliki target 31% energi terbarukan pada tahun 2025 dan mencapai status netral karbon pada 2050. Antony Tan, executive officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM – SDG), menyatakan bahwa saat ini Malaysia optimis dapat mencapai target tersebut.

“Namun ada hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan energi di Malaysia, yaitu perlu adanya kementerian energi secara spesifik serta kebijakan yang lebih holistik untuk mendesain sistem transportasi yang lebih berkelanjutan,” jelas Antony.

Menyediakan Pembiayaan Terjangkau untuk Transisi Energi

Jakarta, 27 Juni 2022 – Transisi energi menjadi perhatian dunia akhir-akhir ini. Seiring dengan meningkatnya desakan untuk mengatasi perubahan iklim, transisi energi menjadi salah satu tindakan kunci dalam menjaga suhu global. Pembakaran bahan bakar fosil diyakini sebagai salah satu pencemar GRK terbesar yang menyebabkan kenaikan suhu. Oleh karena itu, mengubah sistem energi menjadi sistem energi terbarukan sangat penting untuk mengurangi emisi polusi.

Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam seminar G20 bertajuk “Unlocking Innovative Financing Scheme and Islamic Finance, to Accelerate a Just Energy Transition in Emerging Economies” mengatakan bahwa selama ini transisi energi merupakan tantangan.

“Dengan adanya Covid-19 dan eskalasi konflik antara Ukraina dan Rusia, transisi energi menjadi tantangan terutama bagi Indonesia sebagai presiden G20 tahun ini,” katanya.

Menteri Tasrif menambahkan, dengan strategi yang komprehensif, Indonesia dapat mendorong transisi energi. Pembiayaan menjadi salah satu masalah karena Indonesia membutuhkan sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060 untuk transisi energi.

Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin mendorong pengembangan obligasi syariah untuk mendanai transisi energi. Ia juga menekankan peran keuangan syariah dalam transisi energi.

“Salah satu potensi pembiayaan transisi adalah Sukuk/Obligasi Syariah sebagai instrumen penghimpunan dana dari masyarakat untuk transisi energi. Inovasi dan promosi sukuk perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih tertarik untuk berinvestasi,” kata Amin.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia saat ini sedang mencari cara strategis untuk membiayai transisi energi melalui berbagai skema.

“Kami baru saja meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) dengan ADB untuk mendukung penghentian penggunaan batubara. Kami juga akan menerapkan mekanisme penetapan pajak karbon untuk PLTU batubara, serta mengembangkan pembiayaan campuran (blended finance). Sejak 2018 Indonesia telah menerbitkan sukuk hijau, dan dialokasikan untuk sektor hijau dan proyek mitigasi iklim,” pungkasnya.

Sri Mulyani juga menambahkan, untuk memenuhi target NDC Indonesia, APBN hanya mampu menutup sekitar 34% dari anggaran yang dibutuhkan. Selebihnya, kita perlu mencari cara, untuk membiayai transisi.

Sistem ekonomi berbasis fosil telah mendukung perekonomian Indonesia selama beberapa dekade. Tidak hanya ekonomi, sistem kelistrikan dan energi juga didominasi oleh bahan bakar fosil. Tidak heran mengubahnya menjadi sistem berbasis energi terbarukan terasa penuh tantangan, juga membutuhkan investasi besar. Namun kita juga tidak bisa hanya tinggal dalam ekonomi berbasis fosil. Permintaan batu bara di seluruh dunia akan menurun seiring dengan menguatnya komitmen iklim, dan daerah penghasil batu bara akan segera merasakan dampaknya pada tahun 2030. Batubara telah mendatangkan pendapatan bagi Indonesia khususnya untuk provinsi penghasil batu bara, bertransformasi dari batu bara berarti kita akan kehilangan pendapatan ini. Hal ini harus diantisipasi atau akan ada dampak bencana pada transisi batubara.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menyoroti bahwa menyediakan dana yang cukup untuk transisi tidak hanya mengatasi masalah keuangan tetapi juga dampak dari transisi energi itu sendiri.

“Ini (pembiayaan transisi) menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai transisi yang adil dan inklusif yang mengarah pada pemerataan pembangunan,” kata Fabby.

Selain mencari pembiayaan yang terjangkau, harus ada perubahan perilaku dari lembaga keuangan. Lembaga keuangan Indonesia kebanyakan tidak memiliki kemampuan teknis untuk menilai risiko proyek energi terbarukan. Hal ini perlu segera diantisipasi. Amjad Abdulla, Head of Partnership IRENA, menekankan hal ini.

Dalam hal pensiun batu bara, pemerintah perlu menghitung berapa banyak biaya yang bisa diakomodasi oleh skema transisi yang adil, dan berapa banyak yang belum terakomodasi sehingga kita perlu mempersiapkannya; ini termasuk untuk meningkatkan keterampilan pekerja, menciptakan diversifikasi ekonomi, dll.

Udetanshu, analis Climate Transition, mengatakan selain anggaran yang harus disiapkan, pemerintah juga perlu memastikan agar tenaga kerja lokal yang sebelumnya bekerja di PLTU atau sektor batubara mendapatkan lapangan pekerjaan baru.

“Jika memungkinkan, pembangkit baru (yang merupakan pembangkit energi terbarukan) harus dibangun di dekat pembangkit lama, untuk memastikan bahwa lebih banyak pekerja lokal yang dipekerjakan dalam proyek tersebut,” katanya.

Menyiapkan Angkatan Kerja yang Akan Terdampak Pengurangan Permintaan Energi Fosil

Jakarta, 6 Juli 2022 – Komitmen global untuk mengurangi penggunaan energi fosil, serta ambisi iklim yang meningkat dari negara-negara pengguna batubara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Afrika Selatan membuat permintaan batubara global turun secara signifikan. 

Sebagai salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia, Indonesia perlu mencermati hal ini. Batubara banyak berkontribusi pada penerimaan nasional bukan pajak (PNBP) secara nasional, bagi daerah-daerah penghasil batubara, peran komoditas batubara untuk pendapatan daerah dapat sangat besar. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencoba melihat implikasi dari kebijakan penghapusan penggunaan batubara dan iklim global dan domestik terhadap perekonomian Indonesia, khususnya bagi para pekerja di sektor tersebut melalui kajian “Mendefinisikan Pekerjaan Masa Depan: Implikasi penghapusan penggunaan batubara terhadap sektor ketenagakerjaan dan transformasi ekonomi di wilayah penghasil batubara Indonesia”.  

Kajian ini juga bertujuan melihat peluang transformasi ekonomi di daerah yang bergantung pada batubara dan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi pekerja. Julius Christian, penulis kajian ini menjelaskan bahwa data Kementerian ESDM menunjukkan pada tahun 2020 terdapat 167.380 pekerja pada sektor pertambangan batubara. Secara demografi, pekerja ini rata-rata berusia di bawah 40 tahun, sehingga akan masih berada pada usia produktif pada 10 tahun ke depan. 

“Dari sisi tenaga kerja, karena kebanyakan berusia muda terdapat kesempatan untuk melakukan pelatihan untuk persiapan masuk ke industri lain,” kata Julius.

Menyiapkan transformasi ekonomi setelah era ekonomi batubara ini penuh tantangan namun harus tetap dilakukan. Hal ini untuk mengantisipasi permintaan batubara yang dapat turun lebih drastis. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan bahwa jika negara-negara di dunia memiliki aksi iklim yang lebih ambisius untuk mengejar target persetujuan Paris, akan ada penurunan permintaan batubara sebesar 20% pada 2030, 60% pada 2040, dan 90% pada 2050. 

“Penurunan produksi ini juga harus diantisipasi sebab pasti akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja di sektor batubara,” Fabby mengingatkan. 

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif APBI (Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia), juga menambahkan bahwa untuk menyasar pekerja-pekerja yang potensial terdampak, perlu melakukan pemetaan cadangan batubara berdasarkan perusahaan. 

“Supaya proses transformasi ini efektif dan efisien, kita dapat melakukan pemetaan cadangan untuk tiap perusahaan sehingga terlihat umur operasinya seberapa panjang lagi. Untuk perusahaan-perusahaan kecil mungkin pada tahun 2030-2040 sudah habis masa operasinya jadi dapat didahulukan untuk pekerjanya mendapat pelatihan,” jelas Hendra yang hadir dalam diskusi kelompok terpumpun peluncuran kajian “Mendefinisikan Ulang Pekerjaan Masa Depan”.

Mengupayakan Ruang untuk Energi Terbarukan

Jakarta, 15 Juni 2022 – Indonesia telah berkomitmen untuk tidak lagi membangun batubara kecuali yang sudah dalam proses kontrak. Dalam COP 26 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan bahwa Indonesia siap mempensiunkan 9,2 GW PLTU batubara jika ada bantuan internasional. Kementerian ESDM membidik PLTU tua yang efisiensinya telah menurun. Untuk mengejar bauran energi 23% pada 2025, selain mengeksekusi rencana penambahan kapasitas energi terbarukan dalam RUPTL, masih dibutuhkan setidaknya 18 GW energi surya hingga tahun 2025 untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada bauran energi nasional.

Alternatif lain yang dapat diambil yaitu mengintegrasikan energi terbarukan pada sistem kelistrikan yang ada sekarang dengan memodifikasi PLTU menjadi lebih fleksibel. Dalam laporan terbaru Institute for Essential Services Reform, berjudul Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-Fired Power Plants Flexibly to Enable the High-Level Variable Renewables in Indonesia’s Power System, dijelaskan bahwa operasi PLTU secara fleksibel dapat dilakukan di Indonesia dengan terlebih dahulu melakukan retrofit pada unit PLTU tersebut. 

Proses retrofitting PLTU akan membuat operasi PLTU menjadi lebih fleksibel dengan mengurangi beban minimum (minimum load). Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya operasional yang muncul akibat bertambahnya proses start-up/shutdown sebagai konsekuensi bertambahnya variabel energi terbarukan dalam jaringan. Dua negara yang telah melakukan operasi PLTU secara fleksibel adalah Jerman dan India.

“Di Jerman PLTU yang diretrofit adalah PLTU tua. Salah satu strategi yang dilakukan adalah memberikan insentif pada pembangkit listrik thermal. Sementara di India, operasi PLTU fleksibel masih dalam tahap pilot project, dan saat ini sedang menyiapkan instrumen kebijakan pasar seperti Jerman,” jelas Raditya Wiranegara, penulis laporan Flexible Thermal Power Plant. 

Raditya menambahkan bahwa biaya pembangkitan PLTU fleksibel lebih rendah daripada gas turbine atau combine cycle sehingga dapat dipertimbangkan sebagai opsi untuk pembangkit dalam periode transisi dengan efisien dan mengusahakan ruang untuk energi terbarukan.

Bayu Nugroho, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, menyatakan operasi PLTU fleksibel ini sangat mungkin dilakukan di Indonesia, namun perlu dilakukan sejumlah persiapan sebelumnya. 

“Untuk mencapai NZE 2060 kita harus menempuh berbagai upaya. Salah satunya yang saat ini sedang disiapkan pemerintah adalah mekanisme pajak karbon. Skema ini juga bisa dilakukan, kami (Kementerian ESDM) perlu meramu semuanya agar dapat berjalan maksimal,” jelas Bayu dalam diskusi panel peluncuran laporan ini.

Arief Sugianto, VP Pengendalian RUPTL PLN, mengemukakan sejumlah prasyarat jika ingin membuat PLTU di Indonesia beroperasi secara fleksibel.

“Pertama kita perlu memikirkan insentif apa yang akan diberikan pada PLTU yang akan dioperasikan secara fleksibel, dan siapa yang akan menanggung subsidi tersebut,” katanya.

Arief menambahkan, untuk konteks PLN yang menggunakan skema take or pay dalam jual beli listrik dengan IPP agak sulit untuk langsung menerapkan operasi PLTU fleksibel ini sebab biaya retrofit yang harus dikeluarkan di awal akan membebani pemerintah atau pelanggan. 

Dengan kondisi PLTU yang masih mendominasi pembangkitan listrik di Indonesia saat ini, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk meningkatkan bauran energi terbarukan antara lain mengurangi kapasitas PLTU dan mengoperasikan PLTU secara fleksibel.

“Kami melihat terdapat 5 GW kapasitas PLTU yang sudah tua (di atas 35 tahun) sebagai low-hanging fruit yang dapat dipensiunkan segera, sebab secara efisiensi sudah turun dan sarat emisi,” terang Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan bahwa mengoperasikan PLTU secara fleksibel dapat membuka ruang bagi energi terbarukan untuk masuk dalam jaringan.

Dimitri Pescia, Program Lead Southeast Asia, Agora Energiewende, mengingatkan bahwa PLTU fleksibel bukanlah sumber energi bersih meskipun mungkin menghasilkan emisi yang lebih kecil dari PLTU biasa.

“PLTU fleksibel bukanlah sumber energi bersih, namun hal ini memberi ruang integrasi bagi energi terbarukan secara efisien, maka dapat dijadikan solusi sementara untuk bertransisi menuju sistem energi terbarukan,” tutur Dimitri.

Dimitri menjelaskan lebih lanjut bahwa teknologi yang digunakan dalam operasi PLTU fleksibel cukup kompleks dan tetap menghasilkan emisi, maka instrumen nilai ekonomi karbon menjadi elemen penting untuk menjaga keseimbangan dan harus segera beralih ke sistem energi terbarukan.