Mitigasi Risiko Kegagalan Proyek DME dengan Dorong Penggunaan Kompor Listrik Induksi

Jakarta, 17 Maret 2023 – Keputusan Air Products and Chemicals Inc (APC), perusahaan asal Amerika Serikat, untuk mengundurkan diri dari konsorsium proyek gasifikasi batubara di Indonesia akan berpengaruh terhadap rencana substitusi LPG dengan  1,4 juta metrik ton/tahun Dimethyl Ether (DME) hasil gasifikasi batubara atau setara dengan 1 juta ton Liquefied Petroleum Gas (LPG). Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa keputusan APC untuk mundur sudah tepat. Sedangkan bagi pemerintah, upaya mitigasi untuk mengatasi kegagalan proyek DME, mengurangi impor LPG, dan menurunkan emisi gas rumah kaca adalah dengan mendorong konversi kompor gas menjadi kompor listrik induksi secara nasional yang diikuti dengan peningkatan bauran energi terbarukan.

“Keputusan APC mundur dari proyek DME di Sumatera Selatan dan proyek etanol dengan PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kaltim merupakan alasan yang tepat. Proyek-proyek ini keekonomiannya tidak masuk seiring dengan kenaikan harga batubara dan meningkatnya biaya investasi dengan memasukan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) untuk menangkap karbon. Mundurnya APC dari proyek ini justru bisa menyelamatkan keuangan negara di masa depan karena tidak harus mensubsidi produk DME yang biaya produksinya lebih mahal dari impor LPG,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.   

Fabby menjelaskan, walaupun demikian, pemerintah tetap harus mengupayakan menekan impor LPG yang telah mencapai 80% pasokan di Indonesia. Caranya adalah dengan mendorong pemanfaatan  kompor listrik induksi. Tahun lalu rencana program ini dikritik masyarakat hingga akhirnya dibatalkan, karena persoalan komunikasi publik yang buruk. Tapi program kompor induksi harus kembali diwacanakan dan didukung implementasinya.

Penggunaan kompor listrik induksi pun akan memangkas impor LPG yang menjadi beban APBN. Mengutip data Kementerian ESDM, mayoritas LPG dikonsumsi sektor rumah tangga sebanyak 96%, sektor komersial 2,5% dan industri 1,5%. Menurut Kemenkomarves, sejauh ini Indonesia telah mengimpor LPG senilai Rp80 triliun dari total kebutuhan Rp100 triliun. Sementara subsidi LPG yang diberikan pemerintah mencapai Rp70 triliun. Konsumsi LPG pada tahun 2021 mencapai 7,95 juta ton, dengan 6,4 juta ton berasal dari impor.

“Penghematan subsidi LPG dapat mencapai 1-2 juta per tahun per rumah tangga yang beralih ke kompor listrik, kisaran ini tergantung dari seberapa sering rumah tangga tersebut memasak tentunya. Pemerintah dapat mencanangkan program peralihan bertahap kepada ratusan ribu rumah tangga dan bertambah setiap tahun dengan cara memberikan insentif pembelian kompor listrik dan juga peningkatan daya listrik rumah tangga,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Pelaksanaan program kompor listrik akan membawa  manfaat ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat. Selain minim polusi, biaya yang dikeluarkan masyarakat jika menggunakan kompor induksi dapat 10-30% lebih rendah dibandingkan penggunaan kompor gas.

“Jika LPG tanpa subsidi, biaya operasional kompor listrik lebih hemat hingga 47% per tahun apabila dibandingkan dengan biaya operasional kompor gas,” jelas Faris Adnan, Peneliti IESR.

Ditinjau dari sisi emisinya, elektrifikasi peralatan memasak akan menurunkan emisi gas rumah kaca jika bauran energi terbarukan di sistem energi Indonesia lebih dari 50% pada 2030. Setiap satu juta rumah tangga menggunakan kompor listrik dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar ~1 TWh. Untuk itu, penting agar tambahan permintaan listrik ini disuplai oleh energi terbarukan.

“Agar kompor listrik memiliki emisi yang setidaknya sama dengan kompor gas, bauran energi terbarukan pada pembangkit pada tahun 2030 perlu mencapai 54% dan bauran batubara turun ke 29%, sehingga emisi pembangkitan listrik menjadi 0,415 kgCO2/kWh dari 0,781 kgCO2/kWh. Untuk itu, pemerintah juga perlu meningkatkan bauran energi terbarukan dalam pembangkit listrik secara ambisius dan mengurangi porsi batubara pada pembangkit,” ujar Faris.

Namun, tambahnya, jika dibandingkan dengan menggunakan DME, emisi dari kompor listrik lebih rendah sebesar 34% pada tahun 2025 dan 46% pada tahun 2030. Perhitungan ini mengasumsikan fasilitas produksi DME dari batubara tidak dilengkapi dengan teknologi carbon capture and storage sehingga menghasilkan emisi yang tinggi. Apabila 1,4 juta metrik ton/tahun DME yang digunakan untuk memasak diganti dengan listrik, maka pada tahun 2025 diprediksi dapat menghemat emisi sebesar 2,92 juta ton CO2 dan 3,94 juta ton CO2 pada tahun 2030. Selain itu, peralihan 1,4 juta metrik ton DME ke listrik ini dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 7,2 TWh per tahunnya.

IESR memandang, pemanfaatan kompor listrik mensubstitusi LPG yang dibarengi dengan percepatan peningkatan bauran energi terbarukan, dapat menjadi salah satu aksi mitigasi GRK Indonesia, dan dapat dimasukan dalam rencana penurunan emisi GRK di Nationally Determined Contribution (NDC) ke-2, yang akan diterbitkan di 2025 mendatang. ***

Peran Energi Surya dalam Mendukung Pencapaian NZE dan JETP

Jakarta, 10 Maret 2023 – Dukungan yang jelas dan serius dari pemerintah terhadap pengembangan energi surya perlu ditunjukkan, terutama dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat dan target bauran energi terbarukan pada Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 34% pada 2030.

“Diskusi JETP sejauh ini masih berfokus pada pensiun dini PLTU saja, belum terlihat elemen akselerasi energi terbarukannya. Hal ini perlu menjadi catatan, khususnya untuk mengakselerasi pengembangan energi surya yang diproyeksikan menjadi salah satu tulang punggung pembangkitan listrik dalam pencapaian NZE, mengingat potensinya yang besar di Indonesia, keekonomiannya yang semakin kompetitif dan konstruksinya yang relatif singkat,” ujar Daniel Kurniawan, Peneliti, Spesialis Teknologi Fotovoltaik dan Material, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Bincang Energi Surya: Teknologi, Kebijakan dan Tantangan Energi Surya dalam Mendukung  Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Net Zero Emission (NZE) pada Kamis (9/3/2023).

Menurutnya, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat dengan mengejar berbagai target tersebut dengan kebijakan yang mendukung akselerasi energi surya dan pemanfaatan PLTS atap baik skala komersial & industri maupun residential. Ia menyayangkan ketika public hearing yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021, pemerintah justru ingin meniadakan skema net metering untuk sektor residensial, yang akan menurunkan keekonomian dan ketertarikan pelanggan untuk memasang PLTS atap.

“Pemerintah seharusnya tidak menghapus dukungan kebijakan untuk masyarakat dalam mengadopsi  PLTS atap, khususnya untuk sektor rumah tangga dan sektor usaha kecil, di tahap adopsi yang masih sangat awal ini. Sebaliknya, dukungan kebijakan harus ditingkatkan untuk mendorong adopsi hingga ke tahap pasar yang matang,”tegasnya lagi.

Pada kesempatan yang sama, Widya Adi Nugroho, Sub Koordinator Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, Indonesia memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun hingga 2022 baru mencapai sekitar 12,3%. Ia mengatakan pemanfaatan pembangkit listrik energi baru terbarukan diutamakan sesuai perencanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). 

“Berdasarkan RUPTL 2021-2030, energi surya akan bertambah 4,6 GW di 2030. Surya akan menjadi tulang punggung ketenagalistrikan Indonesia mencapai 461 GW pada 2060. Selain itu, tren harga PLTS semakin turun dan kompetitif. Begitu juga komponen pendukungnya seperti baterai sehingga peluang pengembangannya semakin terbuka. Namun demikian, terdapat tantangan pengembangan PLTS, salah satunya ruangan pembangkitan listrik masih penuh sehingga memerlukan partisipasi masyarakat sebagai konsumen dan produsen untuk memanfaatkan energi terbarukan, melalui energi surya. Selain itu, kondisi intermitensi yang perlu dijaga oleh sistem, baik itu dengan pembangkit cadangan yang bisa mengkompensasi PLTS serta juga berkaitan dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN),” terang Widya Adi Nugroho.

Anindita Satria Surya, Vice President Transisi Energi dan Perubahan Iklim, Perusahaan Listrik Negara (PLN) memaparkan, pihaknya terus menerapkan inisiatif transisi energi untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, diperlukan peningkatan kapabilitas internal dan teknologi yang didukung oleh inovasi, kebijakan dan keuangan. Anindita memperkirakan kebutuhan investasi untuk mencapai NZE pada tahun 2060 sekitar USD 700 miliar. Selain itu, Anindita menegaskan, pelaksanaan program dedieselisasi atau konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi strategi peningkatan bauran energi, khususnya energi surya dalam sistem kelistrikan. 

“Terdapat beberapa strategi PLN untuk melakukan integrasi energi terbarukan, di antaranya dalam jangka pendek mencapai RUPTL (2021-2030) dengan sekitar 4,7 GW atau 22% berasal dari PLTS,”  ujar Anindita.

Dalam pemaparannya, energi terbarukan lainnya yang akan dikembangkan untuk mencapai RUPTL di antaranya adalah PLTA (44%) dan PLTP (16%). Selain itu, pihaknya akan melakukan, dedieselisasi, pensiun dini batubara, co-firing biomassa. Kemudian, dalam jangka panjang untuk mencapai NZE (2031-2060), langkah yang akan dilakukan diantaranya mendorong penyimpanan listrik berbasis baterai dan interkoneksi, serta co-firing hidrogen. Di sisi pengembangan teknologi dan ekosistem, PLN akan berfokus untuk di antaranya PLTS, dan kendaraan listrik.

“Sebagai gambaran, di awal kita membangun sistem yang kuat yakni pembangkit baseload, membangun transmisi yang kuat serta dibarengi dengan penguatan penggunaan energi terbarukan, termasuk PLTS. Di akhir periode 2035, PLTS sebagian besar sudah masuk ke sistem kita,” ujarnya. 

Anindita menekankan, PLTS bisa menjadi salah satu solusi untuk menambah bauran energi, namun harus dilihat pula kesiapan infrastruktur, terutama baterai untuk mengurangi sifat intermiten. Misalnya saja, belum ada baterai untuk mendukung adanya PLTS di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak hanya PLTS atap, PLN juga berupaya untuk memanfaatkan potensi PLTS terapung. Sebagai bagian dari dukungan pelaksanaan kegiatan G20 Presidensi Indonesia, terdapat 100 kWp PLTS terapung yang telah dibangun di Waduk Muara, Nusa Dua, Bali.

Sementara itu, Rosyid Jazuli, Peneliti Paramadina Public Policy Institute menjelaskan, Indonesia memiliki potensi surya yang sangat besar. Sayangnya, saat ini lebih dari 60% listrik di Indonesia masih berasal dari batubara. Hal ini terjadi karena beberapa tantangan penerapan energi surya untuk mendukung implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) seperti rencana yang belum jelas, tumpang tindih aturan, dan potensi dana dalam bentuk pinjaman. Rosyid menyarankan agar terdapat koordinasi antar kementerian dan lembaga dalam mendukung penerapan JETP, mengingat isu ini merupakan hal yang kompleks. 

“Di sisi lain, potensi pendanaan hijau yang mencapai USD 20 miliar ini juga sebaiknya dioptimalkan, apalagi tren dunia saat ini mengarah ke pembangunan berkelanjutan. Pembiayaan tentunya juga diperlukan untuk riset dan pengembangan energi surya serta potensi menarik investasi di tenaga surya,” ujar Rosyid. 

Bincang Energi Surya merupakan serangkaian acara diseminasi publik seputar energi surya yang diselenggarakan secara kolektif oleh enam institusi; Institute for Essential Services Reform (IESR), Solar Scholars Indonesia (SSI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Institut Energi Surya Generasi Baru (Insygnia), dan Solarin. Diseminasi tematik energi surya akan diselenggarakan secara regular, setiap dua minggu hingga Juni 2023 mendatang, yang mencakup topik; lanskap energi surya Indonesia, kebijakan terkini, teknologi, industri, sosio-ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission (NZE).***

Efektivitas Insentif Kendaraan Listrik Butuh Dukungan Pemerintah untuk Mereformasi Kebijakan Lainnya

Jakarta, 8 Maret 2023 – Pemerintah pada 6 Maret 2023 menetapkan insentif Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) berupa bantuan pembelian KBLBB sebesar Rp7 juta per unit untuk 200.000 unit sepeda motor listrik baru dan Rp7 juta per unit untuk konversi menjadi motor listrik untuk 50.000 unit sepeda motor BBM. Sementara, insentif untuk mobil listrik belum ditentukan besaran pastinya namun pemerintah merencanakan untuk memberikan bantuan kepada pembelian 35.900 unit mobil listrik dan 138 bus listrik. Pemerintah pun telah menyiapkan mekanisme pemberian insentif yang hanya ditujukan bagi produsen yang telah mendaftarkan jenis kendaran listrik yang memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40%. Insentif ini direncanakan akan mulai berlaku pada 20 Maret 2023 hingga 30 Desember 2023. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik pemberian insentif ini untuk mendorong adopsi kendaraan listrik dan menumbuhkan industri kendaraan listrik dalam negeri sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih berkelanjutan, dan mengurangi laju permintaan BBM. Namun untuk mendorong adopsi kendaraan listrik yang lebih agresif dan menjamin efektivitas insentif diperlukan sejumlah reformasi kebijakan, di antaranya pengurangan subsidi BBM dan kebijakan untuk menghentikan secara bertahap (phase-out) kendaraan BBM, mulai dari kendaraan penumpang (passenger car) sebelum 2045, dan motor konvensional. IESR memandang, meskipun reformasi kebijakan tersebut bukan kebijakan populis, tapi perlu diambil oleh pemerintah dengan pertimbangan yang dalam.

Penggunaan kendaraan listrik  juga merupakan strategi untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC), dengan target adopsi kendaraan listrik roda dua dan roda tiga mencapai 13 juta unit dan kendaraan listrik roda empat sebanyak 2 juta unit pada 2030. 

“Pemberian insentif ini merupakan langkah awal yang baik untuk meningkatkan permintaan kendaraan listrik. Dengan adanya persyaratan TKDN 40%, dapat mendorong investasi di sisi manufaktur dan rantai pasok komponen kendaraan listrik. Diharapkan dengan ini dapat tercapai skala keekonomian produksi kendaraan listrik dan mendorong kompetisi yang bisa berdampak pada penurunan harga kendaraan listrik sehingga mendongkrak adopsi kendaraan listrik lebih banyak lagi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Fabby menambahkan adanya insentif konversi ke motor listrik diharapkan dapat membangun kapasitas teknisi dan bengkel konversi, serta menarik minat pelaku usaha untuk mengusahakan proses konversi dengan skala yang lebih besar.

“Temuan IESR, terdapat 6 juta unit motor konvensional per tahun dapat dikonversi ke motor listrik pada 2030. Untuk itu diperlukan ratusan bengkel konversi tersertifikasi, teknisi terampil untuk mengerjakan ini. Dukungan rantai pasok baterai, motor listrik, dan komponen lainnya sangat perlu sehingga biaya konversi semakin terjangkau oleh masyarakat,” jelas Fabby.

Selain persyaratan TKDN bagi produsen kendaraan listrik, IESR menyarankan agar pemerintah dapat menambahkan syarat performa kendaraan listrik dalam pemberian insentif di tahun depan.  

“Pemerintah dapat menambahkan syarat tambahan yang berkaitan dengan performa kendaraan listrik untuk mendorong peningkatan keandalan kendaraan listrik serta ekosistem riset dan pengembangan dari industri kendaraan listrik yang ada di Indonesia, Standar tersebut misalnya jarak tempuh kendaraan, kapasitas baterai minimal, dan efisiensi konversi,” ungkap Faris Adnan, Peneliti IESR.

Lebih lanjut, Faris menambahkan hal menarik lainnya dari insentif kendaraan listrik ini adalah prioritas pemberian insentif bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), khususnya penerima Kredit Usaha Kecil (KUR) dan Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM), termasuk pelanggan listrik 450-900 VA. Namun menurutnya pengendara motor penyedia transportasi online atau penyedia jasa logistik perlu pula menjadi prioritas.

“Pengendara ojek online atau logistik perlu diprioritaskan dalam pemberian bantuan ini, karena mereka memiliki jarak tempuh yang jauh per harinya sehingga manfaat ekonomi yang didapat bagi pengguna maupun pemerintah akan lebih besar. Jumlah bantuan yang ditawarkan pun perlu didorong lebih tinggi dibandingkan jumlah bantuan bagi penerima awam, yakni di atas Rp 7 juta,” urai Faris.

Ia juga menyoroti kapasitas daya terpasang calon pembeli prioritas. Charger baterai motor listrik sendiri memerlukan daya hingga 400W. Artinya jika melakukan pengisian daya baterai, maka akan banyak peralatan elektronik yang tidak bisa dipasang pada saat bersamaan. 

“Hal ini bisa diantisipasi dengan pemberian peningkatan daya tambahan saat pembeli prioritas membeli kendaraan listrik yang mendapat bantuan pemerintah, ” kata Faris. 

IESR memandang penggunaan KBLBB bahkan dapat nol emisi jika sumber pengisian dayanya berasal dari energi terbarukan. Berdasarkan analisis IESR dalam laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023, emisi yang dikeluarkan motor listrik dan mobil listrik lebih rendah 18% dan  25% dibandingkan motor dan mobil BBM. Namun, jika pengembangan energi terbarukan hanya mengacu pada RUPTL PLN 2021-2030, maka penurunan emisi dari motor listrik dan mobil listrik diproyeksikan tidak signifikan, hanya berkisar 6% dan 8% saja pada 2030.

“Dengan beberapa komitmen pemerintah serta dukungan transisi energi seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), momentum ini bisa dipakai untuk juga mengakselerasi transisi sistem kelistrikan dengan membangun energi terbarukan dan menghentikan operasi PLTU batubara lebih dini. Akibatnya tentu faktor emisi jaringan yang lebih rendah sehingga manfaat kendaraan listrik untuk dekarbonisasi makin maksimal” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Deon menambahkan kajian IESR bahkan melihat dengan kombinasi elektrifikasi transportasi dan juga akselerasi pengembangan energi terbarukan, bauran energi terbarukan Indonesia bahkan bisa melebihi 34% target bauran ET yang dicanangkan di JETP.***

Implementasi Perdagangan Karbon Perlu Diikuti Pengetatan Batas Atas Emisi

press release

Jakarta, 1 Maret 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai mengimplementasikan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) batubara pada 22/2/2023. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik implementasi perdagangan karbon ini sebagai sebuah langkah maju, dengan catatan perlunya  pengetatan batas atas emisi di masa depan. Selain itu, hasil perdagangan karbon dapat menjadi sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang apabila dialokasikan dengan tepat dapat mendorong investasi energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi. 

Perdagangan karbon akhirnya diberlakukan setelah diujicobakan di sejumlah PLTU di 2021. Pemerintah pun telah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) mulai dari PLTU non mulut tambang (MT)/MT berkapasitas 25 MW sampai dengan 100 MW sebesar 1,297 ton CO2e/MWh,  hingga PLTU non MT berkapasitas besar dari 400 MW sebesar 0,911 ton CO2e/MWh.

“Walaupun skema perdagangan karbon sudah tepat diterapkan di Indonesia, batas atas emisi karbon yang ditetapkan pemerintah saat ini masih relatif tinggi dan tidak diperlukan upaya pemilik PLTU untuk memenuhinya. Sebagai gambaran intensitas emisi karbon di PLTU di negara tetangga 20%-40% lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ini membuka peluang pengetatan batas emisi PLTU di masa depan,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

IESR memandang dengan adanya penentuan pembatasan kuota bagi PLTU ini akan meningkatkan kesadaran bagi para pelaku usaha terhadap emisi yang dihasilkan dan mengatur operasional PLTU secara lebih efisien.  

Lebih lanjut, perdagangan karbon ini juga mengatur tentang penggantian atau pembelian karbon (carbon offset) jika unit pembangkit menghasilkan emisi melebihi dari Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Pembangkit ini harus membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU dan atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK). 

“Untuk meningkatkan integritas mekanisme offset dan dampak penurunan emisi secara nyata dengan menggunakan instrumen SPE, pemerintah harus memastikan standar aktivitas penurunan emisi yang bisa diperjualbelikan di pasar karbon. Disarankan agar SPE diutamakan berasal dari pembangkit energi terbarukan, untuk menyelaraskan instrumen ini dengan upaya transisi energi untuk mencapai NZE 2060 atau lebih awal. Instrumen SPE ini bisa menjadi insentif bagi pelaku usaha dan masyarakat membangun pembangkit energi terbarukan,” tambah Fabby.

IESR mengusulkan agar SPE dilakukan untuk mengakselerasi instalasi PLTS atap oleh konsumen. Listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap dan diekspor ke jaringan bisa menjadi SPE, dan dipakai untuk offset karbon. Pendapatan dari penjualan SPE dapat meningkatkan daya tarik konsumen untuk memasang PLTS atap. 

Bagi pelaku usaha yang lalai mengikuti perdagangan karbon dengan tidak menyampaikan rencana monitoring emisi GRK dan revisi laporan emisi GRK maka akan diberikan peringatan tertulis dari Menteri ESDM dan diberikan alokasi PTBAE-PU untuk perdagangan karbon berikutnya sebesar 75%.

“Adanya sanksi pembatasan kuota yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pelaku usaha yang melanggar aturan merupakan bentuk nyata bahwa pemerintah berkomitmen perdagangan karbon sebagai instrumen untuk mengurangi emisi. Namun, dalam pelaksanaannya diperlukan pemantauan yang ketat,” jelas Farah Vianda, Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan, Ekonomi Hijau IESR .

Pemerintah telah menetapkan nilai PTBAE-PU kepada 99 unit PLTU batubara dari 42 perusahaan yang akan menjadi peserta perdagangan karbon, dengan total kapasitas terpasang mencapai 33.569 MW. Nilai karbon yang diperdagangkan antar unit PLTU di dalam negeri harganya diperkirakan mulai dari US$ 2 hingga US$ 18 per ton.

“Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai harga karbon dapat segera diterbitkan untuk memberi kepastian aktivitas perdagangan karbon. Diharapkan harga karbon yang diterapkan tidak terlalu jauh dari rata-rata harga global,”imbuh Farah.

Pengawasan publik terhadap pelaksanaan perdagangan karbon juga perlu dibangun. Upaya masuknya mekanisme perdagangan karbon dalam perdagangan bursa, yang saat ini sedang dikaji oleh Bursa Efek Indonesia, akan membuat harga karbon semakin kompetitif dan mempromosikan transparansi sehingga dapat menarik investor dan mengarusutamakan prinsip pembiayaan berkelanjutan.***

IEVO 2023: Bangun Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia

Jakarta, 21 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi merupakan strategi krusial dalam mitigasi perubahan iklim untuk mencegah kenaikan temperatur bumi melebihi 1,5 derajat Celsius. Di Indonesia, selain pemanfaatan bahan bakar nabati, elektrifikasi kendaraan dapat memangkas 23% emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari sektor transportasi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR)  memandang pembangunan ekosistem kendaraan listrik mutlak dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik, mempercepat pemerataan infrastruktur dan pengembangan industri kendaraan listrik dalam negeri.

IESR dalam laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 mencatat ketergantungan terhadap  impor bahan bakar telah memicu terjadinya inflasi pada akhir tahun 2022 akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Konsumsi BBM meningkat rata-rata 1,2 juta kiloliter per tahun antara 2015 dan 2020.

“Kenaikan nilai impor BBM menyebabkan devisa tergerus, melemahnya nilai tukar dan memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM, yang berdampak pada inflasi. Karena penyesuaian harga BBM tidak populer secara politik dan berdampak pada daya beli masyarakat, lazimnya pemerintah menjadikan ini sebagai pilihan terakhir dan untuk menutupi selisih harga jual dan biaya pengadaan BBM. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah menggerus kapasitas fiskal APBN. Berbagai dampak ini bisa dihindari jika impor BBM dipangkas drastis. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik dan mensubstitusi kendaraan motor berbahan bakar minyak,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak, kendaraan listrik lebih baik dalam menekan emisi dan rendah biaya operasional. Analisis IESR menunjukkan kendaraan listrik mengeluarkan emisi 7% lebih sedikit dan biaya operasional per km-nya 14% lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak. Hanya saja, karena ketersediaan model kendaraan listrik yang terbatas, infrastruktur yang minim, serta investasi awal yang tinggi, membuat masyarakat enggan beralih ke kendaraan listrik.

“Pemerintah perlu melihat aspek pasokan (supply) dari industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) dan tidak hanya permintaan (demand) masyarakat saja. Insentif potongan pajak bagi mobil listrik dan Rp7 juta bagi motor listrik sudah tepat, namun eligibilitas merek (brand) mobil/motor apa saja yang bisa menjadi penerima insentif harus diperhatikan. Pemberian insentif ini harus dikaitkan dengan pengembangan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), hanya brand dengan kandungan TKDN tertentu yang boleh memperoleh insentif tersebut,” ungkap Ilham R F Surya, Peneliti Kebijakan Lingkungan, IESR  yang juga merupakan salah satu penulis IEVO 2023

Lebih lanjut Ilham juga melihat bahwa, konversi motor listrik dapat menjadi alternatif lain elektrifikasi dengan harga yang lebih murah. Selain itu, konversi motor juga menjadi sarana peremajaan motor – motor yang lebih tua.  

Upaya pemerintah untuk memenuhi target pengurangan emisi GRK dalam Nationally Determined Contribution (NDC) melalui total 15 juta kendaraan listrik pada 2030 terlihat dari tersedianya kebijakan fiskal dan nonfiskal. Namun, kebijakan fiskalnya masih berfokus pada sisi permintaan. Peluang adopsi perusahaan transportasi berbasis aplikasi dan logistik yang masif diharapkan dapat memicu berkembangnya industri kendaraan listrik di Indonesia.

“Saat ini industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir belum terintegrasi secara penuh. Beberapa proyek hilirisasi seperti produksi baterai baru akan berjalan setidaknya 2025/2026. Saat ini fokus pemerintah sebaiknya diarahkan ke percepatan berjalannya proyek hilirisasi tersebut dan meyakinkan investor untuk melaksanakan komitmen investasi yang sudah banyak,” jelas Pintoko Aji, salah satu penulis IEVO 2023 dan Peneliti Energi Terbarukan, IESR.

Ditinjau dari infrastruktur kendaraan listrik, IESR menilai meski instalasinya meningkat 200% dibandingkan 2021, namun lokasi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) belum tersebar merata. 88% SPKLU masih terkonsentrasi di Jakarta dan Bali. Selain itu, pemanfaatan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) masih belum standar dan hanya berlaku untuk merek tertentu.

“Pemerintah perlu mempermudah investasi SPKLU salah satunya adalah mengubah kewajiban pemasangan 3 jenis port berbeda di tiap unit SPKLU yang tercantum di Permen ESDM No. 13/2020. Kewajiban adanya 3 port membuat biaya investasi membengkak sampai Rp750 juta-1,5 miliar per SPKLU. Padahal tidak semua lokasi memerlukan 3 jenis port sekaligus. Jika tidak ada kewajiban tersebut, maka dengan nilai investasi yang sama, jumlah SPKLU yang dibangun bisa 3-4 kali lebih banyak,” imbuh Ilham.

Ilham menambahkan standarisasi SPBKLU dapat dimulai dari motor listrik berkapasitas baterai 1,2 kWh atau 1,44 kWh yang saat ini menguasai 79% motor listrik di pasaran, sehingga tidak terlalu menyulitkan manufaktur. Selanjutnya, pemerintah perlu juga melakukan standarisasi bentuk dan ukuran baterai hingga konfigurasi elektrik di dalamnya.

Menyoal elektrifikasi transportasi laut dan udara, Pintoko menjelaskan penggunaan baterai pada kapal maupun pesawat memiliki tantangan pada densitas energi baterai yang membuatnya lebih besar dan lebih berat sehingga mengurangi ruang kargo kapal maupun jatah muatan (payload) pesawat. Hal ini membuat elektrifikasi kendaraan udara maupun laut sementara ini praktis digunakan hanya untuk skala kecil dengan jarak tempuh yang dekat. 

IEVO 2023 merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperkuat kebijakan dan aturan industri hulu dan hilir untuk mengurangi harga kendaraan listrik, membuat aturan untuk mengantisipasi limbah baterai, meningkatkan minat dari lembaga keuangan untuk pembiayaan kendaraan listrik, serta mempromosikan penggunaan kendaraan listrik.

IEVO 2023: Elektrifikasi Transportasi Demi Tekan Emisi GRK

19 Februari 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Electric Vehicles Outlook 2023 untuk pertama kalinya. Laporan ini membahas status perkembangan kendaraan listrik untuk penumpang dan ekosistem pendukung pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. IESR memandang mitigasi perubahan iklim dengan penurunan emisi yang signifikan dari sektor transportasi dapat dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat dengan mengadopsi kendaraan listrik. 

Sektor transportasi menjadi salah satu sumber polusi dan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK). Dari 600 MtCO2-eq emisi GRK Indonesia di sektor energi pada tahun 2021, 23% berasal dari sektor transportasi. Angkutan darat menjadi penyumbang terbesar emisi GRK di sektor transportasi dengan pangsa lebih dari 90%. Emisi dari sektor transportasi diperkirakan akan terus meningkat 53% pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2015 dan hampir dua kali lipat antara tahun 2030 dan 2060. Dekarbonisasi sistem transportasi, dengan percepatan adopsi kendaraan listrik yang ramah lingkungan dan beremisi rendah bisa menjadi salah satu solusi, bersamaan dengan transisi ke energi terbarukan di sektor kelistrikan

“Pemerintah telah memasukkan penggunaan kendaraan listrik sebagai salah satu rencana aksi mitigasi yang termuat dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, target yang ditetapkan masih belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur bumi  1,5 derajat Celcius pada 2050. Menurut studi IESR untuk mencapai bebas emisi pada 2050, jumlah kendaraan roda dua  dan roda empat listrik harus mencapai 110 juta unit di 2030,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Untuk  mencapai target tersebut perlu upaya  akselerasi adopsi kendaraan listrik melalui dukungan kebijakan fiskal dan non fiskal. Sejak 2019, pemerintah tengah gencar mendorong pengembangan industri dan penggunaan kendaraan listrik tetapi pada saat yang sama sejumlah kebijakan yang pro energi fossil masih diberlakukan yang membuat adopsi kendaraan listrik kurang optimal. Misalnya kebijakan pemerintah tetap mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) dan memperpanjang penjualan bahan bakar dengan standar Euro II. Berbagai kebijakan ini membuat daya tarik konsumen mengakuisisi kendaraan listrik menurun dan juga keuntungan ketika beralih ke kendaraan listrik berupa nilai penghematan biaya bahan bakar menjadi berkurang.

“Ketergantungan akan bahan bakar fosil dalam sistem energi kita terutama sektor transportasi membuat sektor energi kita rentan terhadap gejolak  harga. Pemerintah berusaha mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dalam sektor transportasi melalui kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Akan tetapi, masih sulitnya menemukan infrastruktur pengisian listrik, harga pembelian yang mahal, dan performa serta model yang terbatas menjadi halangan utama adopsi KBLBB oleh konsumen. Berbagai halangan ini yang perlu diselesaikan oleh pemerintah,” ungkap Faris Adnan, penulis IEVO yang juga peneliti Sistem Ketenagalistrikan, IESR.

Temuan IESR menunjukan pada 2022, adopsi motor listrik naik lima kali lipat dari 5.748 unit pada 2021 menjadi 25.782 unit. Selain itu, adopsi mobil listrik meningkat hampir empat kali lipat dari 2.012 unit pada 2021 menjadi 7.679 unit pada 2022. Kenaikan ini didorong oleh adanya promosi kendaraan listrik lewat acara G20 yang menjadikan kendaraan listrik sebagai kendaraan resmi delegasi.  

“Meski ada kenaikan, namun  jumlah tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. Populasi motor listrik baru 0,2% dari total motor di Indonesia. Sementara mobil listrik baru mencapai 0,4%. Oleh karena itu agar KBLBB dapat lebih menarik dan terjangkau bagi masyarakat, beberapa instrumen kebijakan tambahan yang tepat sasaran diperlukan,” kata Faris. 

Salah satu instrumen kebijakan tersebut adalah kombinasi insentif untuk produsen dan penciptaan pasar untuk mempercepat skala keekonomian kendaraan listrik, khususnya kendaraan listrik roda dua yang punya potensi pasar besar. Untuk itu IESR merekomendasikan pemerintah mendorong implementasi instruksi presiden untuk pembelian kendaraan listrik oleh instansi pemerintah dan BUMN, dan mendorong adopsi oleh bisnis ride hailing (layanan transportasi berbasis aplikasi) dan logistik untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik oleh pasar dalam 2-3 tahun ke depan. 

Selain itu, untuk mendapatkan manfaat penurunan emisi GRK dan lingkungan yang lebih besar maka peningkatan bauran  pembangkit energi baru terbarukan di sistem kelistrikan juga diperlukan agar emisi yang dihasilkan KBLBB menjadi lebih rendah daripada emisi dari kendaraan motor bakar.

“Kajian IESR menunjukan bahwa manfaat emisi baru akan didapatkan jika bauran energi terbarukan di sistem kelistrikan PLN di atas 20%,” lanjut Faris  

Sebagai upaya mendorong akselerasi kendaraan listrik di Indonesia dan mempertemukan berbagai pemangku kepentingan terkait dan mempercepat  langkah Indonesia untuk melakukan transisi energi, IESR akan menggelar peluncuran dan diskusi Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023, pada 21 Februari 2023, pukul 09:30 – 12:00 WIB secara online melalui Zoom Conference + livestream Youtube (IESR). Acara ini akan dihadiri oleh Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi Masyarakat Transportasi Indonesia, Indira Darmoyono, Director of Business Development Strategy & Special Projects Grab Indonesia, Rivana Mezaya, dan lainnya. 

Tim Kerja JETP Terbentuk, Pemerintah Perlu Singkirkan Hambatan Pengembangan Energi Terbarukan

Jakarta, 17 Februari 2023 – Pemerintah Indonesia telah membentuk sekretariat tim kerja Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan bekerja mulai hari ini. Beberapa hasil kerja yang ditargetkan akan tercapai dalam kurun waktu 6 bulan ke depan antara lain:  tersedianya peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara, dan rampungnya rencana investasi yang komprehensif (Comprehensive Investment Plan (CIP) yang juga akan merefleksikan dukungan terhadap masyarakat terdampak proses transisi energi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi kemajuan yang dicapai oleh pemerintah dan IPG untuk melaksanakan kesepakatan  JETP. IESR mendorong agar tim kerja JETP tidak hanya menyusun peta jalan pensiun dini PLTU batubara yang sekedar demi mencapai target penurunan emisi GRK di JETP, namun lebih ambisius dengan menyelaraskan target tersebut  dengan Persetujuan Paris.

“JETP adalah kesempatan untuk mengakselerasi transisi energi dan menurunkan emisi GRK. Kepentingan Indonesia justru harus lebih jauh lagi yakni mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan memperkuat industri energi terbarukan. Indonesia jangan ragu-ragu mengakselerasi transisi energi karena dengan ini kita dapat membuat ekonomi kita tumbuh lebih tinggi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

IESR menghitung untuk mencapai puncak emisi sektor listrik di 2030 maka perlu dilakukan pengakhiran PLTU dan penambahan  kapasitas pembangkit energi terbarukan pada kurun waktu yang sama.

“Dalam analisis IESR, untuk mencapai target bauran energi terbarukan pada sistem kelistrikan sebesar 34% pada 2030 sesuai target JETP, maka selain 20,9 GW proyek energi terbarukan yang sudah direncanakan di RUPTL 2021-2030, akan dibutuhkan tambahan minimal 5,4 GW kapasitas energi terbarukan. Penambahan energi terbarukan ini perlu direncanakan seiring dengan pemensiunan PLTU hingga 8,6 GW, sehingga keandalan sistem kelistrikan bisa terjaga,” jelas Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR.

Berkaca dari pencapaian bauran energi terbarukan Indonesia di energi primer yang hanya mencapai 12,3%, pemerintah harus mampu mengatasi hambatan-hambatan pengembangan energi terbarukan seperti dengan memberikan dukungan kepada produsen dan industri lokal untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), memperbaiki prosedur pengadaan atau lelang energi terbarukan dan mengalihkan subsidi fosil untuk sektor energi terbarukan dan meniadakan kebijakan DMO. 

“Dalam lima tahun terakhir, investasi energi terbarukan selalu di bawah target dan kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh 300-500 MW per tahunnya. Sedangkan kebutuhan penambahan pembangkit energi terbarukan mencapai 26 GW lebih dalam 8 tahun ke depan atau sekitar 3-4 GW per tahun. Komitmen pendanaan yang besar dari JETP yang akan dituangkan dalam rencana investasi ini, hanya bisa direalisasikan jika hambatan investasi energi terbarukan seperti prosedur pengadaan di PLN, aturan TKDN untuk PLTS yang tidak sesuai dengan perkembangan industri dan subsidi harga batubara lewat kebijakan harga DMO dapat segera  diselesaikan pada tahun ini,” kata Fabby.

Seiring dengan akan berakhirnya pengoperasian PLTU batubara, pemerintah pun harus mulai mempersiapkan pengelolaan yang tepat terhadap infrastruktur kelistrikan seperti jaringan dan penyimpan energi (storage), merencanakan  diversifikasi ekonomi di daerah penghasil batubara, dan memberikan pelatihan maupun insentif kepada para pekerja dan masyarakat yang terdampak dari penutupan PLTU. 

“Perencanaan transisi energi perlu memberikan arah yang jelas secara jangka panjang, sehingga dampak negatif dari transisi energi, misalnya kepada para pekerja di PLTU & rantai pasok (supply chain) batubara, pengurangan penerimaan daerah dan nasional dari batubara, dan lainnya sudah bisa teridentifikasi dengan jelas. Dari sinilah dapat disusun strategi dalam melakukan transformasi sosial dan ekonomi, seperti penyiapan lapangan pekerjaan baru, dan pelatihan skill yang sesuai untuk pekerja,” ungkap Deon.

Pemerintah Perlu Rombak Strategi untuk Kejar Bauran Energi Terbarukan 23% di 2025

Jakarta, 1 Februari 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan capaian kinerja tahun 2022 serta rencana program 2023 di sektor ESDM, Subsektor Ketenagalistrikan dan EBTKE. Berbeda jauh dengan batubara yang produksinya naik 3% dari target mencapai 687 juta ton pada 2022, capaian bauran energi terbarukan di energi primer dan pembangkitan listrik naik hanya sekitar 0,1% dan 0,45% secara berurutan dari tahun sebelumnya. Tidak hanya itu, investasi di sektor energi terbarukan pun masih jauh dari target. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa perkembangan ini  menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk segera merombak strateginya dalam  mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025,  dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. 

Bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik tercatat sebesar 14,5% dengan kapasitas energi terbarukan yang terpasang sebesar 12.542 MW. Kapasitas terpasang ini melebihi target 2022, namun masih jauh dari target minimal 24 GW di 2025. Rendahnya bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik merefleksikan capaian bauran energi terbarukan di energi primer yang hanya mencapai 12,3% (data sementara KESDM) pada 2022.

“Ketertinggalan pembangunan energi terbarukan di sektor kelistrikan dalam 3 tahun terakhir menunjukan ada kekeliruan dan minimnya terobosan dalam strategi pengembangan energi terbarukan. Sejak 2019, kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya tumbuh 2 GW, hanya 25% dari kapasitas yang diperlukan untuk mencapai target 23%, sesuai amanat PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pengembangan energi terbarukan tersandera dengan dilanjutkannya pembangunan PLTU di program 35 GW padahal target pertumbuhan permintaan listrik tidak tercapai, dan keengganan PLN untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dengan dalih over capacity,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pemanfaatan energi surya secara masif dan gotong royong seharusnya menjadi langkah strategis pemerintah untuk mencapai target bauran energi terbarukan. Tahun 2021, PLTS atap menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan target 3,6 GW hingga 2025 tapi terganjal oleh keengganan PLN menerapkan Permen ESDM No. 26/2021. Dari target kapasitas terpasang energi surya 893 MW di 2022, yang tercapai hanya 270 MW. Bukannya lebih ambisius, di 2023, pemerintah justru menurunkan target pegembangan energi surya hingga separuhnya dari 2022 menjadi 430 MW. Ketegasan dan kejelasan aturan yang mendorong adopsi PLTS sudah selayaknya pemerintah tunjukkan.

“Perkembangan energi terbarukan, khususnya PLTS atap terhadang kepentingan PLN untuk mengejar pertumbuhan penjualan listrik untuk menyerap kelebihan pasokan. Rencana didieselisasi 500 MW PLTD hingga 2024 juga terkendala oleh proses lelang PLN dan minimnya minat investor sehingga realisasinya masih belum ada. Oleh karenanya, pemerintah harus mencari terobosan untuk mengakselerasi PLTS atap. Diperlukan dukungan langsung dari Presiden Jokowi dalam bentuk perintah tegas kepada PLN untuk mengakselerasi perkembangan energi terbarukan dengan sisa dua tahun ini, mengejar 10 GW target di RUPTL dan mengintegrasikan PLTS atap untuk mencapai target PSN,” lanjut Fabby.

Selain itu, pemerintah perlu menyegerakan pelaksanaan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, terutama dengan merilis peta jalan penghentian pengoperasian PLTU batubara dan penyusunan rencana investasi yang dimaktubkan dalam kemitraan transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP). 

Fabby Tumiwa menambahkan bahwa dari hasil kajian IESR, ada potensi 4,5 GW kapasitas PLTU yang bisa dipensiunkan sebelum 2025, dan tambahan 3 GW dari daftar proyek PLTU di RUPTL 2021-2030 yang punya kemungkinan dibatalkan. Pengakhiran operasi PLTU tua dan tidak efisien sebelum 2025 memungkinkan masuknya energi terbarukan yang lebih besar. 

“Kontras dengan janji pemerintah untuk mengurangi PLTU batubara sebelum 2030, produksi batubara justru ditargetkan menjadi 695 juta ton tahun ini. Kenaikan produksi ini berasal dari peningkatan kebutuhan domestik/DMO yang naik menjadi 177 juta ton. Salah satu faktor yang mendorong kenaikan ini adalah permintaan domestik yang berasal dari pembangkitan listrik, termasuk PLTU captive dan PLTU yang terintegrasi dengan kawasan industri (PPU) di luar sistem PLN. Kenaikan permintaan ini menjadi jalan terjal bagi pemerintah untuk mencapai target emisi puncak sektor kelistrikan 290 juta ton CO2 di 2030, seperti yang disepakati di JETP,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.

Selanjutnya pemerintah merencanakan untuk menerapkan B35 pada Februari 2023 dengan alokasi kebutuhan biodiesel sebesar 13 juta kl. Sementara, untuk meningkatkan 40% rasio pencampuran biodiesel diperkirakan membutuhkan produksi 15 juta kl biodiesel. IESR berpandangan Indonesia bahkan bisa mengimplementasikan B40 di akhir 2023.

“Kapasitas produksi biodiesel saat ini sudah mencapai 17,5 juta kl dan akan meningkat terus mendekati angka 19,5 juta kl di akhir 2023 seiring dengan pertambahan beberapa pabrik baru. Jadi, produksi biodiesel bisa dioptimalkan untuk peningkatan campuran biodiesel menjadi B35, bahkan hingga B40. Apalagi jika harga minyak dunia masih cenderung tinggi seperti saat ini. Namun, harus tetap menyeimbangkan keberlanjutan dari produksi CPO-nya,” urai Deon.

IESR memandang pemerintah harus lebih berani dalam memimpin proses transisi energi dan melaksanakan janji dalam Bali Compact, hasil presidensi Indonesia pada G20 2022, dan menunjukkan pengaruhnya dalam kepemimpinan di ASEAN tahun ini untuk menarik lebih banyak investasi di sektor energi terbarukan. Capaian investasi energi terbarukan yang hanya di angka 1,6 miliar USD tergolong kecil.

Political will untuk pengembangan energi terbarukan perlu ditingkatkan dan juga didukung dengan kekonsistenan regulasi (seperti regulasi PLTS atap) yang memberikan dukungan lebih pada energi terbarukan dibandingkan energi fosil. Sebagai contoh political will ini dapat berkaca dari target pengembangan energi terbarukan pemerintah yang malah turun di tahun ini dibanding sebelumnya. Lainnya seperti perkembangan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang masih memberikan dukungan pada energi fosil sehingga tidak memberikan sinyal yang jelas ke pasar. Kepercayaan investor dalam berinvestasi ke energi terbarukan di Indonesia perlu dibangun karena merupakan prasyarat mutlak untuk menarik investasi, ” imbuh Deon.

Skema Power Wheeling Perlu Dipertahankan dalam RUU EBET

press release

Jakarta, 12 Januari 2023- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menghapus usulan skema power wheeling dari daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang diserahkan kepada DPR pada Desember 2022. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyayangkan keputusan tersebut dan mendesak pemerintah dan DPR memasukan renewable power wheeling dalam pembahasan RUU EBET.

Skema power wheeling adalah pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Melalui skema ini, produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki PLN. Dalam pandangan IESR, power wheeling dapat meningkatkan permintaan energi terbarukan dan mendorong partisipasi masyarakat  dalam menyediakan energi terbarukan sehingga mengakselerasi peningkatan energi terbarukan, serta mengurangi beban investasi PLN untuk pembangkitan energi terbarukan.

“Pemanfaatan jaringan bersama tenaga listrik atau power wheeling akan memberikan akses yang lebih mudah bagi konsumen untuk mendapatkan pasokan energi terbarukan dengan harga yang kompetitif. Hal ini dapat mendorong minat pengembangan sumber daya energi terbarukan yang ada, dan tidak perlu bergantung pada permintaan dari PLN sebagai off-taker selama ini. Energi terbarukan (renewable) power wheeling juga akan meningkatkan tingkat utilisasi jaringan listrik milik PLN, dan menjadi sumber pendapatan baru,”  jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Menurutnya, skema power wheeling merupakan konsekuensi dari sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan PLN yang mempunyai hak monopoli dalam  penguasaan jaringan transmisi. Melalui skema power wheeling ini maka jaringan tenaga listrik dapat dimanfaatkan secara bersama serta memungkinkan Independent Power Producers (IPP) energi terbarukan menjual listrik secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. 

Fabby menambahkan bahwa penilaian Kementerian Keuangan yang menyebutkan implementasi power wheeling bertentangan dengan situasi kelebihan suplai PLN merupakan alasan tidak tepat. Selain kelebihan suplai tersebut didominasi oleh pembangkit energi fosil sehingga menghambat capaian target bauran energi bersih, Fabby menjelaskan, kondisi kelebihan suplai juga diprediksi tidak berlangsung lama dan akan berakhir pada 2025 seiring dengan bangkitnya laju pertumbuhan permintaan listrik pasca pandemi.

“RUU EBET jika disahkan akan berlangsung untuk kurun waktu yang panjang, bahkan melampaui masa kelebihan suplai saat ini. Pemerintah harus mendorong penambahan energi terbarukan secara cepat terutama sekali jika dikaitkan dengan rencana adanya pengakhiran PLTU pada 2030. Ke depannya, power wheeling dapat menjadi salah satu sumber pendapatan (revenue) PLN yang berasal dari sewa jaringan,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR menjelaskan bahwa terlalu dini mencemaskan kerugian negara dan PLN akibat penerapan skema power wheeling. Menurutnya, skema power wheeling ini jika disetujui dalam RUU EBET, masih akan perlu diturunkan peraturan pelaksanaannya, dan di peraturan ini bisa dikelola potensi dampak risiko pada PLN dan juga negara.

“Sebagai contoh, pada penentuan tarif power wheeling, pemerintah bisa mengelola penentuan tarif ini berdasarkan kajian yang komprehensif sehingga dapat menyeimbangkan antara target pengembangan energi terbarukan dengan resiko pengurangan pertumbuhan listrik di PLN. Di sisi lain, PLN juga masih memungkinkan untuk ikut ambil bagian dalam skema power wheeling melalui sub-holding generation company-nya,” ujar Deon.***