IETO 2023: Antisipasi Krisis Energi dengan Pemanfaatan Energi Terbarukan

Jakarta, 14 Desember 2022- Krisis energi global menunjukkan kerentanan ketahanan energi yang berbasis fosil, termasuk Indonesia di mana 67% bauran energi dari energi fosil. Menghadapi ketidakpastian situasi sosial, politik, ekonomi dan lingkungan di masa depan terhadap ketahanan energi nasional, pemerintah perlu segera melakukan transisi energi secara berkeadilan dan berkelanjutan dengan cepat melalui optimasi pemanfaatan sumber energi terbarukan menggantikan sumber-sumber energi fosil. Hal ini menjadi pembahasan utama dari laporan unggulan Institute Essential Services Reform (IESR) berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023.

Dampak krisis energi terlihat pada harga energi seperti batubara, gas alam, dan minyak mentah melambung 2-4 kali pada pertengahan 2022 dibandingkan pada 2019. Hal ini membuat produsen batubara domestik lebih tertarik untuk mengekspor ke luar negeri yang menyebabkan menipisnya pasokan batubara dalam negeri. Untuk mengatasi masalah krisis energi dalam jangka pendek, pemerintah Indonesia membuat berbagai keputusan seperti mempertahankan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), mengucurkan subsidi energi fosil yang mencapai 650 triliun dan menyesuaikan  harga BBM untuk mengurangi beban subsidi. Namun, cadangan  batubara, minyak dan gas yang menurun tiap tahunnya dan tekanan untuk mengatasi ancaman krisis iklim menuntut solusi jangka panjang agar Indonesia terbebas dari krisis energi di masa depan.

“Untuk menyediakan energi yang terjangkau dan aman, peningkatan penggunaan energi terbarukan untuk penyediaan listrik, transportasi dan industri dan mengurangi energi fosil harus diakselerasi. Transisi energi perlu dilakukan secara bertahap menyesuaikan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi arah kebijakan dan daya beli masyarakat. Tetapi semakin cepat kita meningkatkan bauran energi terbarukan maka semakin rendah kerentanan keamanan energi dan akan semakin murah harga energi di Indonesia, sebagaimana yang ditunjukan oleh sejumlah hasil kajian IESR. Kata kuncinya adalah target yang ambisius tapi juga fleksibel,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Media untuk peluncuran IETO 2023.

Kondisi negara-negara Eropa dan Inggris yang hari ini mengalami harga energi yang mahal adalah contoh pemanfaatan transition fuel seperti gas alam sebagai strategi yang keliru. Ketika terjadi kekurangan gas, mereka secara temporer menaikkan energi fosil yang  justru mengingkari upaya global untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan perubahan iklim akibat naiknya suhu bumi melebihi 1,5 derajat Celcius. 

IESR mendorong agar pemerintah membereskan seluruh pekerjaan rumah untuk menggenjot perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi dengan cepat. 

“Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk membuat transisi energi benar-benar terjadi dan berkelanjutan, yaitu penyesuaian KEN dan RUEN, penghapusan subsidi batubara dan gas secara bertahap, reformasi harga dan subsidi listrik, mempercepat pengakhiran operasi PLTU batubara, mengembangkan industri sel dan modul surya dalam negeri, penyesuaian grid code, serta mengintegrasikan strategi transportasi dan dekarbonisasi industri sesuai jalur nir emisi. Pemerintah harus mengejar semua reformasi ini secara cepat dan masyarakat harus terus mendorong agar transisi benar-benar terjadi,” jelas Fabby.

IETO 2023 juga menyoroti tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap transisi energi. Namun secara umum, kesiapan transisi energi di Indonesia masih rendah, meskipun beberapa kebijakan, regulasi pendukung dan rencana pengembangan energi terbarukan telah terbit, seperti enhanced NDC, RUPTL 2021-2030 yang memuat porsi 51,6 % energi terbarukan dan  Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. 

“Beberapa hal masih harus dibenahi seperti contohnya pembatasan kapasitas pada pemasangan PLTS atap sebesar 15%, yang pastinya menurunkan minat masyarakat untuk memanfaatkan teknologi tersebut dan berkontribusi pada bauran energi terbarukan dalam skala nasional. Berdasarkan survei publik yang telah kami lakukan, lebih dari 60% masyarakat yang kami survei setuju untuk mempercepat pemberhentian penggunaan batubara sebagai sumber utama dalam sektor ketenagalistrikan dan mendukung pemerintah untuk mulai memperhatikan sumber-sumber lainnya seperti radiasi matahari, air, dan angin. Dengan adanya dukungan publik yang besar tersebut, pemerintah harus mulai bisa membuktikan komitmennya dalam menyediakan sumber listrik yang lebih bersih untuk seluruh kalangan masyarakat,” ungkap Handriyanti D Puspitarini, Penulis Utama IETO 2023 yang juga merupakan peneliti senior IESR.

Seluruh pembahasan mengenai status dan analisis sektor energi untuk mendorong percepatan transisi energi terangkum pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023. Terbit sejak 2017 dengan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang kemudian bertransformasi menjadi IETO di 2019, IETO menghadirkan beberapa bab baru dengan analisis yang mendalam.

“IETO akan secara konsisten menyoroti, mengukur dan memberikan rekomendasi untuk akselerasi transisi energi Indonesia dari tahun ke tahun. Beberapa laporan yang memberikan analisis mendalam dalam aspek khusus terkait transisi energi seperti aspek pendanaan transisi energi, energi surya, dan kendaraan listrik diterbitkan dalam laporan terpisah berjudul Indonesia Sustainable Finance Outlook atau ISFO, Indonesia Solar Energy Outlook atau ISEO, dan Indonesia Electric Vehicle Outlook atau IEVO, yang melengkapi analisis serta rekomendasi IETO di tahun ini,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.

Didukung oleh Bloomberg Philanthropies, IESR akan melakukan diskusi dan peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023 pada 15 Desember 2022. Laporannya dapat diunduh di s.id/IETO2023-IESR.

Sinergi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Wujudkan Pembangunan Rendah Karbon

Semarang, 8 Desember 2022 – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng) secara konsisten memperkuat komitmen, peran dan tanggung jawab bersama untuk melaksanakan transisi energi demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan. Berkolaborasi dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), Pemprov Jateng menyelenggarakan kegiatan “Central Java Stakeholders’ Gathering: Transisi Energi untuk Pembangunan Daerah Rendah Karbon” untuk memaparkan perkembangan dan praktik baik yang telah dilakukan di Jawa Tengah.

Taj Yasin Maimoen, Wakil Gubernur Jawa Tengah mengatakan dalam sambutannya bahwa transisi energi penting untuk menekan emisi CO2 yang menyebabkan bencana iklim. Untuk itu, menurutnya, perlu mendorong ekonomi hijau sebagai salah satu bagian utama dari transisi energi dengan mengembangkan industri di bidang energi baru terbarukan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, mengembangkan proses produksi ramah lingkungan. 

“Dalam pembangunan sektor energi, pemerintah Jawa Tengah telah menerbitkan Perda no. 12/2018 Tentang Rencana Umum Energi Daerah. Sebagai tindak lanjut dari peraturan tersebut, ditetapkan Peraturan Gubernur nomor 29 tahun 2021 yang memuat tentang petunjuk pelaksanaannya. Peraturan Gubernur tersebut menekankan pada peran serta masyarakat dalam implementasi energi baru terbarukan, contohnya peran serta masyarakat dalam pengembangan energi baru terbarukan di Jawa Tengah melalui program Desa Mandiri,” ungkap Taj Yasin. Ia menambahkan ketersediaan energi berskala masyarakat jika didukung akan mengungkit pertumbuhan ekonomi. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menambahkan kepemimpinan, inovasi daerah, dan kolaborasi menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan transisi energi.

“Masyarakat bisa terlibat dalam mendorong transisi energi mereka dengan upaya sendiri dan dukungan dari pemerintah. Ini yang disebut dengan transisi energi gotong royong. Transisi energi membutuhkan upaya dan investasi yang besar maka kontribusi dari masyarakat juga harus diwadahi. Praktik yang selama ini dilakukan di Jawa Tengah dapat menjadi referensi di banyak daerah dalam pengembangan energi terbarukan dan  mendorong pembangunan rendah karbon,” kata Fabby.

Lebih jauh, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, menjelaskan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) selanjutnya diintegrasikan pada Rencana Aksi Pembangunan Rendah Karbon (RAPRK) serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dengan demikian, RPJMD Jawa Tengah sudah memuat komitmen untuk membangun energi yang ramah lingkungan untuk mencapai tujuan kedaulatan pangan dan energi. ESDM Jawa Tengah membangun kerjasama dengan berbagai pihak untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya dengan IESR.

“Bekerja sama dengan IESR, pada 2019, Pemprov Jateng mencanangkan tekad besar Jateng Solar Province. Sejak itu, kapasitas PLTS atap di Jawa Tengah dari 0,1 MWp di 2019 meningkat pesat menjadi 22 MWp di 2022,” ungkap Sujarwanto.

Kemajuan ini membuat dinas lainnya seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Tengah, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Jateng Petro Energi (JPEN) ikut menggandeng IESR dalam memuluskan transisi energi dan pembangunan rendah karbon di Provinsi Jateng.

Widi Hartanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah menuturkan limbah yang dihasilkan oleh industri maupun masyarakat dapat diolah menjadi sumber energi. Untuk itu, pihaknya bekerja sama dengan IESR di antaranya untuk melaksanakan kajian penurunan emisi melalui pengelolaan sampah dan limbah menjadi energi terbarukan, dan peningkatan kapasitas kepada pemangku kepentingan terkait penurunan emisi gas rumah kaca melalui pengelolaan sampah dan limbah, dan pemanfaatan energi terbarukan.

“Kami sudah membina program kampung iklim (Proklim), sekitar 525 Proklim yang sudah mendapat sertifikat dari KLHK dan kami coba untuk dikolaborasikan dengan Desa Mandiri Energi,” imbuh Widi.

Sebagai penyumbang 34% pertumbuhan ekonomi di Jateng, Kepala Disperindag Provinsi Jawa Tengah, M. Arif Sambodo mengakui bahwa sektor industri turut bertanggung jawab dalam menghasilkan emisi karbon. Bekerja sama dengan IESR, Disperindag tengah menyusun Peta Pengembangan Pemanfaatan Energi Terbarukan Sektor Industri dan Kawasan Industri. Tidak hanya itu, secara bersama-sama pihaknya akan menginisiasi Jejaring Kemitraan antara Industri Kecil Menengah (IKM) Logam di Jateng dengan Industri Panel Surya agar bisa menjadi bagian rantai pasok dan meningkatkan TKDN.

“Berkaitan dengan substitusi produk impor maka kita perlu meningkatkan komponen dalam negeri. Jateng mempunyai potensi logam yang sudah menjadi tier 2 sebagai penyuplai rantai pasok otomotif besar di Indonesia,” urai Arif. 

PT Jateng Petro Energi  melalui M. Iqbal, Direktur Utama JPEN bekerja sama dengan IESR dan mitra lainnya akan menjalankan tiga strategi besar untuk mendorong upaya transisi energi dengan tenaga matahari dan mobilitas bersih, yakni penguatan kelembagaan ekosistem, solarpreneurship atau penciptaan lapangan kerja hijau dan peningkatan kapasitas.

“Kami akan sosialisasikan PLTS untuk SKPD provinsi Jawa Tengah dan penyediaan SPKLU untuk mendukung percepatan pemanfaatan kendaraan listrik berbasis baterai,” tuturnya. 

Menyoal kewenang daerah yang relatif kecil terhadap sub urusan energi terbarukan terkait transisi energi  Tavip Rubiyanto, Kasubid ESDM Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri, menuturkan bahwa pihaknya sedang menyusun Perpres sebagai tindak lanjut dari UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini dilakukan agar kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan transisi energi lebih leluasa, 

“Mengantisipasi dinamika pembangunan di nasional dan daerah, bisa diatur lebih lanjut dalam Perpres untuk pembagian urusannya sehingga dapat memperkuat kewenangan daerah agar bisa berperan lebih besar terhadap pencapaian target transisi energi,” jelas Tavip.

Selain pemaparan dari empat institusi tersebut,  kegiatan “Central Java Stakeholders’ Gathering: Transisi Energi untuk Pembangunan Daerah Rendah Karbon” juga menyuguhkan dialog bersama Achmad Husein, Bupati Banyumas, Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Tavip Rubiyanto, Kasubid ESDM Direktorat  Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri, M. Firdauz Muttaqin, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah, dan Ignatius Iswanto Santoso, General Manager Engineering, PT Djarum OASIS Kretek Factory. 

Dalam dialog tersebut, secara umum, para narasumber menggarisbawahi perlunya pelaksanaan transisi energi secara gotong royong bersama masyarakat, disertai dengan dukungan dari pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan daerah yang bisa menjadi dasar untuk investor dalam pengembangan energi terbarukan di daerah, penerapan pembiayaan hijau dari lembaga keuangan serta pelaksanaan praktik berkelanjutan di sektor industri dan komersial.

Kenaikan Target Penurunan Emisi di NDC Indonesia Masih Jauh untuk Mencegah Krisis Iklim

Jakarta, 6 Desember 2022- Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih  tidak mencukupi untuk mencegah  kenaikan suhu global 1,5°C. 

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik.

“Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan bermain di zona aman. Target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu. Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,”  kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Agar mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan yakni sektor energi, dan sektor hutan dan lahan. Mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW, Indonesia dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi.

Namun, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih 11,5%. IESR memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), IESR menyimpulkan pada 2050,  pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi  Indonesia layak secara teknis dan ekonomis. 

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan  jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),”  jelas Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, IESR.

Menurutnya, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan  menjadi  hanya 10% PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan)  pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.  Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Beberapa mekanisme pendanaan pengakhiran operasi batubara juga telah dibahas dan disepakati oleh Indonesia seperti dalam skema Energy Transition Mechanism, dan  Just Energy Transition Partnerships (JETP). IESR menganggap, walaupun masih belum selaras dengan target 1,5°C, kesepakatan JETP merupakan langkah maju dalam transisi energi di Indonesia. Komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030.

“Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek. Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” tutup Fabby. Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022. 

IESR: Integrasi Energi Terbarukan di RUPTL Dapat Mencapai 129 GW pada 2030

Jakarta, 24 November 2022- Agar sejalan dengan target penurunan emisi GRK sesuai Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan hingga 41% di sistem ketenagalistrikan pada 2030 perlu dicapai oleh pemerintah dan PLN. Namun, hingga kini pemerintah Indonesia baru  menargetkan 25% bauran energi terbarukan pada 2030.  Padahal, inovasi teknologi dan harga energi terbarukan yang semakin kompetitif serta potensi PLTU menjadi aset terbengkalai (stranded asset) merupakan faktor yang memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi di 8 tahun mendatang.

Institute for Essential Services Reform mengeluarkan laporan terbarunya berjudul “Enabling high share of renewable energy in Indonesia’s power system by 2030” yang menganalisis RUPTL 2021-2030, kemajuan teknologi dan harga, perubahan harga bahan bakar, dan proyeksi permintaan listrik sehingga mampu memberikan peluang yang lebih luas terhadap integrasi energi terbarukan pada jaringan listrik di Indonesia. Kajian ini berdasar pada skenario sistem energi Indonesia mencapai net zero emission di 2050, yang selaras dengan target membatasi kenaikan temperatur dibawah 1,5°C sesuai dengan Persetujuan Paris. Pada skenario tersebut, pertumbuhan listrik diasumsikan mencapai 4,5 % dan ditambah juga dengan penambahan permintaan listrik dari akselerasi elektrifikasi di sektor transportasi dan industri (heating). 

Menggunakan model optimasi sistem tenaga listrik yang serupa digunakan oleh PLN, IESR menemukan bahwa kapasitas energi terbarukan di jaringan listrik di tahun 2030 dapat ditingkatkan menjadi 129 GW energi terbarukan dengan rincian 112,1 GW berasal dari PLTS, 9,2 GW PLTA, 5,2 GW PLTP, 1,5 GW PLTB, dan 1 GW biomassa dalam sistem gabungan Jawa-Bali, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan pun diproyeksi akan mencapai 32%, 35%, 35%, dan 51% masing-masing di sistem Jawa-Bali, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. PLTS dominan karena selain ketersediaan sumber daya yang besar, ditopang juga dengan harga yang semakin turun, serta kecepatan waktu pembangunan serta dapat diaplikasikan secara luas, baik di atas atap atau terapung. 

Sementara bauran listrik dari PLTU batubara akan menurun signifikan menjadi hanya 39% di tahun yang sama. Selain itu, untuk mengatasi variabilitas dan intermitensi energi terbarukan dan mempertahankan keandalan sistem, Indonesia dapat mengoptimalkan pembangkit gas dan membangun penyimpanan energi (baterai). 

Temuan dari kajian  ini jauh lebih besar dibandingkan rencana pengembangan energi terbarukan di RUPTL 2021-2030 yang hanya menargetkan 20,9 GW.

”Hasil kajian IESR ini sangat relevan dengan persetujuan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diumumkan di G20 lalu. Target dari JETP adalah bauran energi terbarukan 34 persen di 2030. Melalui kajian ini ditunjukan bahwa penetrasi pembangkit energi terbarukan di sistem kelistrikan kita dimungkinkan tanpa berdampak pada keandalan sistem dan biaya produksi listrik,”  ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Hasil analisis IESR menunjukkan bahwa walau dengan penetrasi energi terbarukan yang tinggi, reserve margin (persentase kapasitas terpasang tambahan terhadap permintaan puncak tahunan) tetap pada batas ideal PLN yakni minimal sekitar 30%. Kajian ini juga melakukan analisis aliran daya dan analisis stabilitas frekuensi sistem pada sistem kelistrikan Jawa-Bali dan Sulawesi di tahun 2030. Hasilnya, memang membutuhkan upgrade pada beberapa gardu induk agar daya dapat dialirkan dengan baik. Namun kebutuhan tersebut dapat diminimalisasi dengan distribusi pembangunan pembangkit energi terbarukan. Stabilitas frekuensi pun masih tercapai dan memenuhi grid code (aturan jaringan) Indonesia.

Salah satu kunci integrasi energi terbarukan adalah peningkatan fleksibilitas operasi jaringan, diantaranya dengan menerapkan pengoperasian PLTU secara fleksibel.

“Intermitensi dari energi terbarukan merupakan tantangan, tetapi ada banyak opsi strategi yang dapat dikaji untuk diterapkan di Indonesia. Misalnya, saja pemanfaatan energy storage seperti baterai dan juga forecasting (prediksi) energi terbarukan yang lebih akurat. Operasi sistem perlu diubah untuk mengakomodasi hal tersebut,” ungkap Akbar Bagaskara, Penulis Utama laporan Enabling high share of renewable energy in Indonesia’s power system by 2030.

Kapasitas jaringan transmisi dan distribusi perlu pula ditingkatkan untuk memastikan kelancaran pasokan listrik dari energi terbarukan, terutama di sistem Jawa-Bali dan Sulawesi. 

IESR memandang integrasi energi terbarukan yang lebih tinggi di sistem ketenagalistrikan perlu didorong oleh pembuat kebijakan di Indonesia dengan menerbitkan peraturan yang mendukung akselerasi pengembangan energi terbarukan, mempercepat elektrifikasi di sektor industri, menetapkan aturan pengoperasian PLTU yang fleksibel, serta mendukung pengembangan industri panel surya dalam negeri.

Tidak hanya itu, PLN selaku perusahaan utilitas ketenagalistrikan perlu pula secara aktif mengembangkan infrastruktur dan operasi jaringan menjadi operasi jaringan yang lebih fleksibel untuk memungkinkan integrasi energi terbarukan  yang tinggi.

“Perlu perubahan paradigma operasi sistem kelistrikan ke operasi fleksibel, bukan lagi baseload. Tentunya perlu disusun kerangka operasi sistem kelistrikan yang dapat memberikan insentif untuk aset yang dapat memberikan jasa untuk menjaga kehandalan jaringan atau ancillary services. Desain dari kerangka ini perlu disusun dari sekarang agar siap diimplementasikan ketika bauran energi terbarukan mulai bertambah dengan cepat,” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

APLSI Deklarasi Just Energy Transition, Dukung Percepatan Bauran Energi Ramah Lingkungan

press release

Jakarta, 15 November 2022- Peraturan Presiden No. 112/2022  tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik mengamanatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyusun peta jalan pengakhiran masa operasional PLTU lebih awal. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia pada deklarasi Global Coal to Clean Power Transition di Konferensi Tingkat Tinggi Conference of The Parties 26 (KTT COP26) yang mempertimbangkan untuk mengakhiri masa operasional PLTU batubara pada tahun 2040-an, dengan pendanaan internasional dan bantuan teknis, serta mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo.

Institute Essential Services Reform (IESR) memandang tujuan pemerintah ini perlu didukung oleh berbagai pihak, termasuk oleh produsen listrik swasta (Independent Power Producer (IPP)) yang saat ini mengoperasikan lebih dari 15 GW PLTU di Indonesia.

“Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mendukung rencana Pemerintah Indonesia dan kebijakannya yang mendorong dekarbonisasi dan transisi energi dan siap melakukan transformasi agar tetap berkontribusi dalam kelistrikan nasional yang mandiri, semakin ramah lingkungan dan berkelanjutan, demi mendukung target Net Zero Emission Pemerintah Indonesia,” ujar Arthur Simatupang, Ketua Umum APLSI pada kegiatan deklarasi Inisiatif Transisi Energi Berkeadilan oleh Produsen Listrik Swasta Indonesia yang diselenggarakan IESR bekerja sama dengan APLSI seiring dengan penyelenggaraan KTT G20 Indonesia 2022 di Bali. 

“APLSI berkeinginan mengoptimalkan peran swasta sebagai mitra pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal berdasarkan transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) dengan melakukan diversifikasi investasi pembangkit dari berbagai sumber energi yang bersifat terbarukan yang potensinya sangat besar di Indonesia,” jelas Arthur. 

Hal ini juga sudah tertuang dalam Expression of Interest antara APLSI dengan Kadin Indonesia  dalam acara Kadin Net Zero Hub pada KTT B20 Indonesia. Dalam acara tersebut, Arthur menyebutkan bahwa pihaknya sudah menandatangani kesepakatan untuk melakukan kajian bersama secara intensif terhadap diversifikasi investasi pembangkit listrik,  sehingga peran swasta akan optimal dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi rendah karbon dengan bermitra bersama pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal, berdikari, dan transisi energi dijalankan secara berkeadilan (just energy transition).

Lebih lanjut, IESR mengatakan transisi energi yang berkeadilan akan berjalan dengan tersedianya ruang lebih luas untuk pengembangan energi terbarukan, diantaranya dengan melakukan pengakhiran masa operasional PLTU lebih cepat.

“Kajian IESR menemukan bahwa untuk konsisten dengan pembatasan kenaikan temperatur 1,5°C, maka seluruh PLTU yang tidak dilengkapi dengan penangkap karbon harus pensiun sebelum 2045. Pada periode 2022-2030, paling tidak 9,2 GW PLTU harus pensiun, di mana 4,2 GW berasal dari listrik swasta, tanpa itu sukar rasanya mencapai NZE,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pada kesempatan yang sama,  Rida Mulyana, Sekretaris Jendral, KESDM, mengatakan pentingnya kemitraan untuk dekarbonisasi sistem energi. Ia menjelaskan berdasarkan Perpres 112/2022, Indonesia berencana untuk tidak membangun PLTU batubara baru setelah tahun 2030 kecuali yang dalam tahap kontrak (committed) atau dalam tahap konstruksi. 

Lebih jauh, Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, KESDM menjabarkan peta jalan pengakhiran masa operasional PLTU batubara di Indonesia.

Melalui pemaparannya, Wanhar menjelaskan pemerintah juga melakukan berbagai langkah untuk  mencapai target NZE 2060 diantaranya, memastikan pengakhiran masa pengoperasian PLTU yang dimiliki oleh produsen listrik swasta setelah perjanjian jual beli (PPA) selesai, mengakhiri masa pengoperasian PLTGU setelah berumur 30 tahun.  Selanjutnya, mulai tahun 2030 terdapat pembangunan PLTS yang semakin masif, disusul PLTB baik di darat maupun di lepas pantai mulai tahun 2037.

Namun demikian, Wanhar menegaskan, ada beberapa ketentuan yang perlu dipenuhi dalam melakukan pengakhiran masa operasional PLTU batubara di Indonesia.

“Pensiun PLTU hanya dapat dilakukan saat adanya kepastian keandalan jaringan, dengan substitusi dari pembangkit energi terbarukan dan atau instalasi sistem transmisi, adanya kepastian terlaksananya transisi energi yang adil dengan tidak adanya dampak sosial yang negatif dari pensiun dini, harga pembangkit energi terbarukan yang terjangkau, dan ketersediaan dukungan pembiayaan internasional,” jelas Wanhar.

Berdasarkan kajian “Financing Indonesia’s Coal Phase out” IESR bersama Center for Global Sustainability, Universitas Maryland, untuk memensiunkan 9,2 GW PLTU batubara di 2030, Indonesia membutuhkan dukungan pendanaan internasional diperlukan untuk memenuhi biaya pensiun PLTU, sekitar USD 4,6 miliar pada 2030. 

Mendukung upaya dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan, Pemerintah Indonesia akan bekerjasama dengan International Partners Group (IPG) untuk mewujudkan rencana investasi dalam rangka mendukung pensiun dini PLTU dan juga teknologi rendah karbon lainnya. Kerjasama tersebut akan menunjang tercapainya target dekarbonisasi sistem kelistrikan Indonesia, antara lain mencapai puncak emisi sektor kelistrikan sebesar 290 juta ton CO2 pada tahun 2030, menyiapkan proyek-proyek PLTU yang harus dipensiunkan lebih awal, serta memastikan capaian bauran energi terbarukan sebesar minimal 34% pada tahun 2030.

“Agar pengakhiran masa operasional PLTU batubara, terutama yang dimiliki oleh IPP, dapat berlangsung dengan prinsip berkeadilan, maka pemerintah harus membentuk komisi nasional atau gugus tugas yang melibatkan lembaga pemerintah terkait pada akhir tahun ini. Tugasnya antara lain menilai secara komprehensif daftar PLTU yang berpotensi untuk segera dipensiunkan,  serta melakukan negosiasi ulang dengan Produsen Listrik Swasta,” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Deon menambahkan negosiasi kontrak PLTU antara PLN dan produsen listrik swasta harus dimulai dengan mempertimbangkan potensi biaya tambahan tanpa membahayakan iklim investasi di Indonesia. 

“Pemerintah perlu pula menilai mekanisme pembiayaan yang sesuai untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga batubara yang dimiliki oleh Produsen Listrik Swasta. Mekanisme pembiayaan juga perlu mendukung keterkaitan antara pembiayaan pensiun dini PLTU dengan investasi ke energi terbarukan sehingga dapat memobilisasi dukungan dana internasional,” pungkasnya.

Kegiatan Deklarasi Transisi Energi Berkeadilan ini dilakukan bertepatan dengan KTT G20. Hal ini diharapkan dapat memberikan sinyal positif bagi kepemimpinan Pemerintah Indonesia di G20 yang juga menyoroti transisi energi atau peralihan dari energi yang polutif menuju energi terbarukan sebagai salah satu isu utama.

“Kepemimpinan Indonesia dalam melakukan pensiun dini PLTU untuk mengakselerasi transisi energi akan menciptakan preseden baik bagi negara G20 lainnya.  Semangat  untuk akselerasi pengakhiran pengoperasian PLTU melalui deklarasi Produsen Listrik Swasta yang didukung oleh pemerintah dan PLN akan menjadi contoh bagi India, yang akan memegang kepresidenan G20 di 2023 dan menjadi contoh bagi negara ASEAN lainnya dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2023,”  tutup Fabby Tumiwa.***

 

Poin-poin deklarasi:

Dukung Peta Jalan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia

  1. Siap melakukan transformasi agar tetap dapat berkontribusi dalam kelistrikan nasional yang mandiri semakin ramah lingkungan dan berkelanjutan demi mendukung target net zero emission.
  2. Mendukung rencana pemerintah Indonesia dan kebijakannya yang mendorong dekarbonisasi dan transisi energi.
  3. Melakukan diversifikasi investasi pembangkit listrik dari berbagai alternatif sumber energi yang bersifat terbarukan yang potensinya sangat besar di Indonesia.
  4. Berkomitmen membuka kesempatan sumber energi ramah lingkungan terbarukan dan ekosistem pasokan energi yang berkelanjutan.
  5. Mengoptimalkan peran swasta sebagai mitra pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal dan transisi energi dijalankan secara berkeadilan (just energy transition).

Jelang KTT G20, Indonesia Perlu Konsisten Serukan dan Tingkatkan Ambisi Iklim

Jakarta, 9 November 2022 – Mengakhiri masa kepemimpinannya di G20 pada November 2022, Indonesia perlu menunjukkan perhatian yang kuat terhadap upaya mitigasi iklim, dengan meningkatkan komitmennya terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan. Laporan Climate Transparency 2022 menunjukkan dominasi 81% energi fosil pada sistem energi di Indonesia, dan 62% sumber pembangkitan listrik berasal dari batubara, membuat sektor energi masih menjadi penyumbang terbesar emisi GRK (43%) diikuti sektor transportasi (25%) di urutan kedua pada 2021. 

Selain itu, intensitas emisi Indonesia di sektor energi mengalami peningkatan sepanjang kurun waktu 2016-2021 sebesar 5,5% menjadi 784,8 gCO2/kWh. Jumlah ini lebih besar dibandingkan rata-rata emisi di sektor energi negara G20 pada kurun waktu yang sama yang mengalami penurunan 8,1% menjadi sebesar 444,7 kWh. Hal ini ditengarai dengan aktivitas ekonomi yang kembali pesat pasca pandemi. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa negara G20 yang bertanggung jawab terhadap 85% emisi GRK dunia harus mengambil peran yang lebih besar dalam memangkas emisi GRK secara drastis. Secara global harus memangkas kira-kira 45% GRK di level 2010 pada 2030 nanti. Sayangnya, hingga kini, belum ada 1 negara G20 yang memenuhi target tersebut, termasuk Indonesia yang menjadi presiden G20. 

“Seiring dengan pertemuan G20 di Bali minggu depan, maka perlu bagi negara G20 mempercepat transisi energi, berpindah dari energi fosil yang mahal, polutif dan membahayakan. Mengambil transisi energi sebagai salah satu isu prioritas G20, maka penting bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengingatkan negara G20 agar lebih ambisius melakukan transisi energi, termasuk Indonesia. Kunci penurunan emisi ialah dengan pertama, segara mengurangi PLTU batubara dan merencanakan phase out PLTU, yang harus dilakukan sebelum 2040. Kedua, mempercepat energi terbarukan untuk mengganti energi dan mendorong efisiensi energi,” kata Fabby.

Selanjutnya, Fabby menyinggung subsidi fosil yang setiap tahun semakin meningkat dan  menghambat perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi. Ia berharap pada KTT G20, Presiden Jokowi dapat mengajak negara G20 untuk mengambil sikap untuk memangkas subsidi energi fosil. 

Sementara berdasarkan perhitungan Climate Transparency 2022 pada Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, target NDC tanpa syarat Indonesia akan meningkatkan emisi hingga 421% di atas level tahun 1990, atau rata-rata 1.661 MtCO₂e pada tahun 2030. Agar tetap di bawah batas suhu 1,5˚C, emisi Indonesia tahun 2030 harus sekitar 449 MtCO₂e, pada kesenjangan ambisi sebesar 1.212 MtCO₂e. Semua angka tersebut tidak termasuk emisi dari penggunaan lahan. 

Meski telah menyerahkan Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) pada September 2022, target penurunan emisi di sektor emisi belum selaras dengan Persetujuan Paris yang membatasi kenaikan temperatur bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Berdasarkan Enhanced NDC, pada 2030, target level emisi unconditional (tanpa syarat) NDC di sektor energi akan menjadi 1.311 MtCO₂e, dengan target penurunan NDC tanpa syarat sebesar 358 MTon CO₂eq. 

“Adanya peningkatan target penurunan emisi khususnya di sektor energi patut diapresiasi, namun hal ini masih sangat disayangkan karena kenaikannya masih sangat minim untuk mencapai trayektori 1,5 derajat celcius. Selain itu implementasi di lapangan juga masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Perlu adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut,” jelas Farah Vianda, Program Officer Ekonomi Hijau, IESR. 

Menurutnya, komitmen Indonesia untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan memulai transisi ke energi ramah lingkungan, sesuai deklarasi  ‘Transisi Energi Listrik Global Ke Energi Bersih’ pada COP26 lalu, perlu segera diwujudnyatakan. Bahkan Climate Transparency 2022 mengungkapkan proses transisi energi harus berlangsung secara berkeadilan, salah satunya dengan mengakomodasi kepentingan sekitar  100.000 orang yang bekerja di industri batubara.

“Pemerintah Indonesia perlu memfasilitasi transisi yang adil bagi pekerja sektor pertambangan batubara dan memastikan sumber pertumbuhan ekonomi alternatif di daerah yang bergantung terhadap energi fosil. Pemerintah bisa melakukan diversifikasi ekonomi untuk memprioritaskan investasi di sektor energi bersih, terlibat dalam dialog sosial untuk memastikan transisi yang inklusif, dan menerapkan tindakan mitigasi awal yang dirancang dengan cermat,” ungkap Farah.

Farah menambahkan setiap komitmen harus direalisasikan, mengingat Indonesia  telah menandatangani Deklarasi Silesia tentang Transisi yang Adil (COP24), namun hingga kini pemerintah belum menyiapkan peta jalan transisi energi yang memperhatikan dampak sosial dan ekonomi khususnya bagi para tenaga kerja di sektor pertambangan.

Lebih lanjut Climate Transparency 2022 mendorong Indonesia untuk merancang peta jalan yang jelas penghentian masa pengoperasian pembangkit listrik energi fosil dan memulai transisi energi. Justru, di RUPTL  2021–2030 masih  mempertahankan penggunaan batubara 

Climate Transparency mengidentifikasi beberapa  peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ambisi iklimnya. Pertama, Bappenas telah mengembangkan peta jalan net zero emissions 2045  yang dinilai akan memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial dibandingkan target nir emisi tahun 2060. Kedua, seiring dengan intensitas karbon sektor energi yang terus meningkat. , penting bagi Indonesia untuk mengembangkan kebijakan energi yang ambisius untuk mengurangi emisi. Ketiga, sektor transportasi menyumbang 33% dari konsumsi energi, dan 95% dari permintaan ini dipenuhi oleh minyak bumi sehingga. diperlukan kebijakan dekarbonisasi sektor transportasi untuk mencapai target nir emisi.

Berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (CAT) menilai target dan kebijakan iklim Indonesia sebagai “sangat tidak mencukupi”. Peringkat tersebut menunjukkan bahwa kebijakan dan komitmen iklim Indonesia mengarah pada peningkatan bukannya penurunan emisi dan sama sekali tidak konsisten dengan batas suhu 1,5°C Persetujuan Paris. Untuk mendapatkan peringkat yang lebih baik, Indonesia perlu menetapkan target dan kebijakan NDC yang lebih ambisius. Target NDC tanpa syaratnya perlu diturunkan jauh di bawah kebijakan saat ini untuk menghasilkan emisi mendekati tingkat saat ini pada tahun 2030. Sementara, target NDC bersyaratnya harus jauh di bawah tingkat saat ini pada tahun 2030 untuk mendorong dekarbonisasi mendalam sejalan dengan target nir emisi.

COP 27: Indonesia Perlu Menarik Dukungan Internasional untuk Transisi Energi dengan Target Pensiun Dini PLTU dan Pengembangan Energi Terbarukan yang Ambisius

Jakarta, 8 November 2022- Indonesia menyampaikan pernyataan nasionalnya pada Konferensi Tingkat Tinggi Conference of The Parties 27 (KTT COP27) di Sharm El-Sheikh, Mesir, melalui Wakil Presiden, Ma’ruf Amin. Ia menyebutkan berbagai komitmen iklim yang Indonesia lakukan, termasuk peningkatan ambisi iklim dengan menyerahkan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) pada September lalu. Tidak hanya itu, Ma’ruf menegaskan agar kesepakatan iklim perlu segera diimplementasikan dengan dukungan internasional yang jelas di tingkat nasional dalam pendanaan aksi iklim, penciptaan pasar karbon dan investasi transisi energi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang selain perlu meningkatkan lagi ambisi iklim Indonesia, untuk mempercepat implementasi transisi energi, Indonesia perlu mendorong masuknya dukungan pembiayaan internasional untuk mitigasi perubahan iklim melalui penguatan perencanaan pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, penguatan sistem energi bersih, dan persiapan proyek-proyek yang bankable. Hal ini perlu didukung oleh kebijakan dan regulasi yang memberikan kepastian berinvestasi dengan risiko yang rendah dan transparansi informasi bagi publik, serta mendorong keterlibatan masyarakat.

Pada Enhanced NDC, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi GRK  dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri  (unconditional) dan dari 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional (conditional). Meski merupakan langkah maju, IESR  menilai target ini masih belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong upaya yang lebih ambisius bagi negara di dunia untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Salah satu yang menjadi faktor peningkatan target penurunan emisi adalah naiknya target reduksi emisi di sektor energi  dari 11% di Updated NDC menjadi 12,5% (unconditional) dan dari 13,9% menjadi 15,5% (conditional). 

“Agar selaras dengan target Persetujuan Paris, Indonesia perlu meningkatkan target bauran energi terbarukannya menjadi 42% di 2030. Sementara, di Long Term Low Carbon and Climate Resilience Strategy (LTS-LCCR) 2050 yang menjadi landasan Enhanced NDC ini, bauran energi terbarukan hanya 43% di 2050,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Menurutnya, peluang peningkatan target bauran energi terbarukan terbuka lebar dengan pelaksanaan komitmen pensiun dini 9,2 GW PLTU batubara. 

“Melalui Perpres 112/2022, pemerintah membuka kesempatan untuk melakukan percepatan penghentian operasi PLTU sebelum 2050. Di COP ini, komitmen tersebut harus digaungkan dan kebutuhan pendanaan untuk pensiun dini PLTU, yang rata-rata berusia 13 tahun, dan dukungan pendanaan dari negara maju harus disampaikan lugas, diikuti dengan target yang ambisius. Saat ini kepastian target pensiun dini PLTU sebelum 2030 belum disepakati oleh pemerintah, dan masih menggunakan target PT PLN yang berbeda dengan target 9 GW oleh Kementerian ESDM,” ungkap Fabby.

Berdasarkan kajian “Financing Indonesia’s Coal Phase out” IESR bersama Universitas Maryland, pada 2030 dibutuhkan biaya sekitar USD 4,6 miliar untuk pengakhiran 9,2 GW PLTU dan USD 27,5 miliar hingga 2045 untuk seluruh PLTU. Sementara, untuk dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030. Meski terlihat jumlahnya besar, namun manfaat yang diraih dari pensiun  dini PLTU  jauh lebih besar di sisi ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Biaya pembangkitan listrik energi terbarukan seperti PLTS sudah lebih murah dibandingkan membangun PLTU baru, dan bahkan dalam dekade ke depan akan lebih murah dibandingkan mengoperasikan PLTU batubara yang ada saat ini. Secara ekonomi, manfaat dari pensiun PLTU dan menggantikannya dengan energi terbarukan dapat mengurangi biaya pembangkitan listrik rata-rata dalam jangka panjang. Selain itu, tersedia manfaat kesehatan, naiknya ketersediaan pekerjaan hijau di sisi sosial, serta secara lingkungan, dapat menghindari biaya retrofit pengendalian polusi udara, peningkatan kualitas udara, penghematan air dan kualitas air, dan pengurangan emisi GRK,” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan Indonesia mencapai USD 135 miliar menuju tahun 2030 dan meningkat menjadi USD 455 miliar dan USD 633 miliar dalam masing-masing dekade berikutnya. Investasi ini untuk membangun energi terbarukan dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik, sistem penyimpanan listrik (storage), investasi efisiensi energi, dan juga pengembangan jaringan transmisi dan distribusi. Oleh karena itu, penting agar fokus pembiayaan publik dan juga dukungan pembiayaan internasional diarahkan ke penciptaan iklim investasi yang positif untuk sistem energi bersih.

PLTS Berkembang Lambat di 2022, Pemerintah Perlu Pacu Implementasi Kebijakan yang Mendukung PLTS

press release

Fabby Tumiwa menyampaikan kata sambutan pada acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership

 

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Untuk dapat mengejar tercapainya target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 dan dekarbonisasi sistem energi pada 2060 atau lebih cepat, Indonesia perlu meningkatkan dan mengimplementasikan kebijakan yang mendorong pengembangan energi terbarukan dengan cepat, terutama energi surya. Pemanfaatan energi surya diyakini merupakan strategi yang cepat dan tepat untuk mencapai target tersebut. Mengulas secara lengkap perkembangan energi surya sepanjang 2022 dan memberikan proyeksi di 2023, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengeluarkan laporan terbaru berjudul Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia menyampaikan bahwa berdasarkan data IRENA, biaya listrik (levelized cost of electricity/LCOE) telah menurun signifikan hingga 88% antara 2010 dan 2021, dari USD 41,7/kWh menjadi USD 4,7/kWh.

“Namun berdasarkan praktik di sektor industri saat ini, kami mendapatkan penawaran hingga USD 3/kWh, termasuk USD 4/kWh biaya baterai,” ungkap Arifin dalam acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia.

Lebih lanjut, ia memaparkan berdasarkan peta jalan transisi energi di Indonesia, energi surya memainkan peran penting dalam ketenagalistrikan di Indonesia dengan 421 GW dari 700 GW berasal dari surya.

“Perlu dukungan dari produsen dan industri lokal untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), mengingat Indonesia memiliki potensi mineral dan bahan penting untuk pembangkit listrik tenaga surya, baterai, dan kabel listrik. Selain itu, aspek kemudahan akses pembiayaan terjangkau, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk menyediakan pembiayaan studi kelayakan dan peningkatan investasi energi terbarukan seperti energi surya,” jelas Arifin.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa secara umum, Indonesia memperlihatkan kemajuan sejak 2018 meski tergolong lambat dalam mendorong pengembangan energi surya. Menurutnya, perlu sejumlah reformasi di sisi regulasi dan implementasinya terutama menjelang tenggat waktu realisasikan target yang hanya tinggal 3 tahun.

“PLTS atap dengan potensi teknis mencapai 655 GWp untuk bangunan rumah saja, bisa dibangun dengan cepat, melibatkan investasi dari masyarakat, tanpa membebani pemerintah. Selain mengharapkan tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan dari implementasi RUPTL PLN 2021-2030, PLTS atap dapat menutupi kesenjangan dengan target bauran energi terbarukan di 2025 sebesar 3 hingga 4 GW,” ujar Fabby.  

Fabby menambahkan, yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan PLN adalah tidak menghalangi perizinan instalasi PLTS atap dan mendukung pemanfaatan PLTS Atap oleh industri, bisnis dan rumah tangga dengan memberikan kemudahan. 

“Ketersediaan pendanaan berupa kredit lunak dari lembaga keuangan dapat mendukung adopsi PLTS atap skala rumah tangga. Selain itu mendorong pemanfaatan PLTS di kawasan industri dan di wilayah usaha non-PLN juga perlu dilakukan, ” saran  Fabby. 

Berdasarkan catatan ISEO 2023, kemajuan energi surya Indonesia juga terlihat dari turunnya harga listrik PLTS yang diperoleh melalui perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement (PPA)) yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta. Antara rentang 2015 dan 2022, harga PPA PLTS telah turun sekitar 78% dari USD 0,25/kWh menjadi USD 0,056/kWh. 

IESR meyakini seiring dengan bertambahnya proyek PLTS skala besar, turunnya harga modul surya, dan membaiknya iklim investasi, harga investasi PLTS per unit akan terus turun, mendekati trend harga di dunia. 

Tidak hanya itu, dari sisi perkembangan project pipeline untuk PLTS skala besar, saat ini terdapat delapan proyek dengan total kapasitas 585 MWp (telah dilelangkan).

“Dalam hal PLTS berskala utilitas, Indonesia memiliki potensi  PLTS terapung. Pengembangannya di masa depan dapat menjadikan Indonesia sebagai leader, dan sekaligus mewujudkan kepemimpinan Indonesia dalam hal transisi energi dan pemanfaatan energi surya di G20 dan  di ASEAN,” tegas Fabby.

Dr. Ajay Mathur, Director General, International Solar Alliance menuturkan energi surya merupakan sumber energi yang potensial untuk dikembangkan menimbang harga teknologinya yang semakin kompetitif. 

“International Solar Alliance (ISA) bangga dapat bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) untuk menjadikan listrik tenaga surya sebagai sumber energi pilihan di seluruh dunia. Energi surya merupakan sumber energi bersih yang tersedia secara berlimpah, dan juga krusial untuk mendorong aksi iklim internasional karena biayanya yang menurun dengan cepat,” jelas Mathur. 

Pada saat yang sama, IESR dan ISA menandatangani nota kesepakatan untuk akselerasi pemanfaatan energi surya di Indonesia. ISA merupakan lembaga internasioanl yang telah mempunyai berbagai pengalaman dan mempunyai anggota dari berbagai negara serta telah melakukan berbagai inovasi dan fasilitasi untuk mendukung pengembangan energi surya secara global. Lingkup kerjasama ISA bersama dengan IESR ini mencakup pemetaan industri surya dalam negeri, peningkatan kapasitas, dan identifikasi skema pembiayaan.

ISEO 2023 menilai penetapan patokan harga tertinggi pada Perpres No. 112/2022 diharapkan dapat memberikan ruang yang lebih leluasa bagi pengembang untuk mengajukan penawarannya. Perpres ini telah dirancang sejak 2019 dan mulanya mempertimbangkan instrumen feed-in-tariff untuk mendorong perkembangan energi terbarukan, khususnya skala kecil. Untuk mendorong implementasi efektif Perpres 112/2022, diperlukan mekanisme lelang yang jelas dan transparan, jadwal pelelangan yang teratur dan terencana, serta memberikan kepastian regulasi dan kemudahan perizinan.

ISEO 2023 mencatat bahwa aturan TKDN masih menjadi salah satu hambatan utama dalam lelang PLTS di Indonesia. Berdasarkan Permenperin No. 5/2017, nilai TKDN minimal barang untuk komponen modul surya harus mencapai minimal 60% sejak 1 Januari 2019. Namun, realisasi nilai TKDN modul surya saat ini baru mencapai 47,5%. Di samping pencapaian nilai TKDN, efisiensi dan harga panel surya domestik masih belum sesuai ketentuan standar bankability pembiayaan internasional. 

“Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ketentuan nilai TKDN modul surya berdasarkan kesiapan industri sambil mempersiapkan kebijakan industri modul surya jangka panjang untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia,” ungkap Daniel Kurniawan, Peneliti, Spesialis Teknologi & Material Fotovoltaik IESR dan Penulis Utama ISEO 2023.

Di sisi adopsi, meskipun Kementerian ESDM telah menerbitkan Permen ESDM No. 26/2021, beberapa ketetapan di dalamnya urung dilakukan, sehingga menyebabkan pertumbuhan PLTS yang lambat. Kelebihan pasokan listrik PLN ditengarai menjadi penyebab pembatasan pemanfaatan PLTS atap 10 sampai 15 persen dari kapasitas oleh PLN di awal 2022. Jika hal ini  terus berlanjut, maka akan menyulitkan realisasi target PLTS yang pemerintah telah tetapkan, seperti target PSN PLTS atap 3,6 GW pemerintah pada tahun 2025, dan  2,3 GWp project pipeline surya dari 31 deklarator di Indonesia Solar Summit 2022.

“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM beserta PLN, perlu segera memberikan jalan keluar untuk permasalahan tersebut. Tidak untuk menghambat adopsi pada tahap adopsi yang masih sangat awal, tetapi untuk mengasuh pertumbuhan PLTS atap hingga masuk ke tahap pasar yang berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan lingkungan kebijakan yang stabil untuk pertumbuhan pasar dan pengembangan industri PLTS,” tandas Daniel.

Laporan Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023 diluncurkan perdana pada tahun ini. Semula progres perkembangan energi surya dalam kerangka transisi energi terintegrasi pada laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO).

ISFO 2023: Peluang Pembiayaan Non Publik untuk Transisi Energi

press release

Jakarta, 18 Oktober 2022- Indonesia membutuhkan pembiayaan yang signifikan untuk mencapai target nir emisi pada 2050 sesuai Persetujuan Paris. Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui laporan terbarunya, Indonesia Sustainable Finance 2023 mengkaji bahwa selain mengoptimalisasi pembiayaan publik, pemerintah Indonesia juga perlu segera memobilisasi investasi non-pemerintah dengan menetapkan kebijakan, regulasi, dan ekosistem investasi yang menarik.  

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran laporan terbaru IESR, Indonesia Sustainable Finance (ISFO) 2023 (17/10) mengungkapkan pemerintah Indonesia perlu melakukan  upaya yang transformatif dan masif untuk  melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh pada sistem energi dengan menghimpun dana dengan total sekitar USD 1,2 triliun pada 2050. Berdasarkan kajian IESR & Universitas Maryland, biaya pengakhiran 9,2 GW PLTU pada periode 2022-2030 membutuhkan sekitar USD 4,6 milyar. Selain itu, pensiun dini seluruh PLTU pada 2045 dengan usia rata-rata 20 tahun memerlukan USD 28 miliar untuk kompensasi aset terbengkalai (stranded asset) dan biaya decommissioning (penutupan) pembangkit. 

Menurutnya, upaya pengakhiran masa operasional PLTU harus dibarengi dengan peningkatan penambahan pembangkit energi terbarukan, penguatan jaringan transmisi dan distribusi dan efisiensi energi secara besar-besaran. 

“Pada periode 2022 – 2023 saja dibutuhkan USD 135 miliar untuk pensiun PLTU, penambahan energi terbarukan, pengembangan transmisi dan distribusi, energy storage, dan efisiensi energi,,” jelasnya. 

Sementara, berdasarkan temuan ISFO 2023, porsi anggaran pemerintah hanya akan mampu mengalokasikan 0,83% dari total kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025, apabila mengacu pada rata-rata alokasi anggaran mitigasi perubahan iklim Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM pada tahun 2018-2020 sebesar USD 67 juta per-tahun.

Farah Vianda, salah satu Penulis ISFO 2023 mengungkapkan tren yang sama juga berlangsung ke tingkat provinsi. Ia mencontohkan Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang paling banyak mendukung pengembangan energi terbarukan, namun keterbatasan fiskal membuat Jawa Tengah hanya mengalokasikan lebih rendah dari 0,1% dari total APBD yang tersedia. 

“Hal ini menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk mencari pembiayaan di luar APBD. Upaya yang sama juga perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yakni dengan memperluas sumber pendanaan untuk menarik investasi di sektor energi terbarukan,” tandasnya.

Selain itu, ia juga menjelaskan sejauh ini alokasi APBN masih terkonsentrasi untuk mendukung aktivitas energi fosil, diantaranya dengan membelanjakan 5% dari APBN sepanjang tahun 2021 untuk kebutuhan subsidi energi fosil, dan 20,8% subsidi dari APBN apabila proyeksi Kementerian Keuangan terkait kebutuhan subsidi energi sebesar Rp649 triliun di tahun 2022 terealisasikan. Tidak hanya itu, ketergantungan Indonesia pada batubara akan menjadi salah satu tantangan dalam menerapkan instrumen keuangan campuran (blended finance) Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism).

“Saat ini Indonesia sedang mengalami kelebihan pasokan listrik yang membuat PLN enggan membangun pembangkit energi terbarukan. Sementara di sisi lain, investor dalam platform ETM ini justru ingin mendorong pengembangan energi terbarukan,” jelas Farah.

Menyoal pembiayaan transisi energi melalui pajak karbon, Ichsan Hafiz Loeksmanto, Penulis Utama ISFO 2023, memaparkan meski sudah merencanakan untuk menerapkan pajak karbon, dan mekanisme cap & trade (batasi dan dagangkan) pada 92 unit PLTU batubara pada 2022, namun penerimaan pajak karbon tersebut bersifat tidak earmarked. Artinya, penggunaan penerimaan pajak karbon belum dikhususkan untuk pembiayaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.. 

“Pemerintah perlu memastikan alokasi pendapatan pajak karbon untuk mitigasi & adaptasi iklim, dan jaring pengaman sosial. Selain itu, perlu pula transparansi publik mengenai pembayaran pajak karbon dan transaksi karbon,” ujar Ichsan.

Menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR dalam ISFO 2023 terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar USD 13,1 miliar atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar USD 36.95 miliar pada tahun 2025.

“Janji yang disuarakan oleh sembilan negara untuk mendukung transisi energi di Indonesia melalui berbagai instrumen pembiayaan dan dukungan teknis cukup menjadi sinyal positif dari dunia internasional terkait transisi energi di Indonesia,” jelas Ichsan.

Salah satu pembiayaan yang dapat didorong dari sektor swasta adalah dari lembaga keuangan Indonesia, dengan meningkatnya desakan publik untuk mengalihkan pembiayaan ke energi bersih. Namun hingga 2021, lembaga keuangan terutama bank umum domestik di Indonesia hanya membiayai proyek energi terbarukan secara terbatas. ISFO 2023 mencatat pembiayaan energi terbarukan hanya menyumbang 0,9%-5,5% dari total portofolio berkelanjutan empat bank umum domestik dengan total nilai aset tertinggi pada tahun 2021 yakni Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA.

“Agar alokasi kredit energi terbarukan dari sektor perbankan dapat meningkat maka pemerintah perlu menyiapkan pedoman yang komprehensif untuk mendorong alokasi kredit untuk energi terbarukan, meningkatkan peluang kredit usaha dari bank (bankability) proyek energi terbarukan, dan meningkatkan kesadaran, dan kepercayaan investor domestik untuk berinvestasi di energi terbarukan,” jelasnya. 

Selain mekanisme pajak karbon, dukungan lembaga keuangan di Indonesia, pembiayaan internasional, ISFO 2023 juga membahas taksonomi hijau, obligasi hijau, dan sukuk hijau sebagai bagian dari peluang menarik pembiayaan transisi energi di Indonesia.

Laporan Indonesia Sustainable Finance 2023 merupakan laporan utama IESR yang diluncurkan perdana pada 2022. Sejak 2018, IESR secara konsisten telah melaporkan perkembangan transisi energi di Indonesia melalui laporan Indonesia Clean Energy Outlook dari 2017 hingga 2019, yang kemudian bertransformasi menjadi Indonesia Energy Transition Outlook pada 2020. Laporan ISFO 2023 dapat diunduh pada s.id/ISFO2023.