Komitmen Pensiun PLTU Batubara Perlu Ditindaklanjuti Segera

press release

Raditya Wiranegara (kanan), Peneliti Senior IESR, menjelaskan tentang temuan dari laporan “Financing Indonesia’s coal phase-out report” pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022

Jakarta, 11 Oktober 2022 –  Ketetapan pemerintah pada Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 untuk tidak lagi membangun PLTU baru, serta membatasi pengoperasian seluruh PLTU batubara paling lama  hingga 2050, perlu didukung dengan kesiapan secara politik, pembiayaan, dan sosial.

Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama dengan Universitas Maryland, agar sesuai dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur rata-rata di bawah 1,5 derajat Celcius, Indonesia dapat segera melakukan pensiun dini sebanyak 4,5 GW PLTU batubara dalam jangka waktu 2022-2023.

“Manfaat yang bisa diraih dari skenario pensiun dini PLTU sekitar 2-4 kali lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mempensiunkan PLTU batubara tersebut,” ungkap Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022.

Selain itu, ia juga menjelaskan percepatan pensiun PLTU batubara dapat menghindarkan kematian mencapai 168 ribu jiwa hingga 2050 serta total penghematan biaya kesehatan yang bisa didapat sekitar USD 60 miliar hingga 2050.

Lebih jauh, Raditya menjelaskan sebagian besar biaya yang dibutuhkan untuk pensiun batubara mencakup biaya aset terbengkalai dengan dua pertiganya terkait pemensiunan PLTU milik IPP.

Sambil menunggu seluruh PLTU dipensiunkan seluruhnya pada 2045, Raditya melanjutkan, pemerintah dapat melangsungkan pengoperasian PLTU batubara yang fleksibel untuk memberi ruang bagi energi terbarukan untuk masuk ke dalam sistem energi Indonesia.

Koben Calhoun, Principal Carbon Free Electricity, Global South Program, RMI menambahkan dengan mengutip kajian IESR yang menyebutkan bahwa untuk dekarbonisasi sektor energi di Indonesia pada 2050 diperlukan sebanyak USD 25 miliar/tahun hingga 2030 dan USD 60 miliar/tahun hingga 2050 untuk investasi ke energi terbarukan, elektrifikasi,  dan infrastruktur pendukung.

“Terdapat 3 pilar pendekatan untuk membiayai transisi batubara, pertama dengan memodali transisi batubara, maka akan muncul peluang untuk berinvestasi kembali pada energi bersih dan membiayai transisi energi yang berkeadilan bagi masyarakat,” jelas Calhoun.

Menurutnya, Indonesia dapat memimpin transisi energi yang ambisius dan mendemonstrasikan mobilisasi keuangan dengan komitmen pemerintah yang ambisius, kepemimpinan terhadap platform dan dana transisi energi, mempunyai peta jalan pensiun dini yang jelas yang didahului dengan penerapan pilot (percontohan) proyek serta mempunyai struktur keuangan campuran (blended finance) untuk menurunkan biaya modal dan mobilisasi keuangan untuk transisi energi. Memastikan kebutuhan pendanaan dan juga kepentingan dan tujuan dari calon investor, yang cenderung membiayai energi terbarukan dan tidak mau lagi membiayai proyek batubara, menjadi penting untuk bisa membuka keran pendanaan. 

Architrandi Priambodo, Senior Energy Specialist, Asian Development Bank mengungkapkan pula, pensiun dini PLTU batubara, selain akan mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan, juga menurunkan biaya pembangkitan secara keseluruhan dalam jangka panjang.

Ia menjelaskan hal ini merupakan salah satu tujuan dari program Energy Transition Mechanism (ETM)  untuk mempercepat penghentian atau repurposing PLTU batubara, terutama bagian dari aset PLTU yang bisa di utilisasi lebih lanjut, misalnya transmisi, dan gardu induk.

“Pada kajian kelayakan ETM yang sedang berlangsung juga dibahas tentang analisis keuangan dan struktur transaksi yang diantaranya mencakup mencakup struktur komersial dan hukum untuk secara efisien menghentikan aset PLTU,” papar Architrandi. 

Melli Darsa, Senior Partner, PwC Indonesia pada kesempatan yang sama mengungkapkan, jika kondisi politik mendukung, rencana pensiun dini PLTU batubara perlu diikuti dengan peraturan pelaksanaan yang terkait dengan teknis aspek pensiun dini PLTU sehingga memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi.

“Pemerintah telah berada pada arah yang benar dengan mengeluarkan Perpres. Para menteri terkait perlu segera menindaklanjuti. Namun keengganan mengambil risiko (untuk melakukan pensiun dini PLTU-red) masih terasa, terutama dari sisi dewan pimpinan PLN mungkin karena ketidakjelasan peran, karena sejauh ini pensiun dini PLTU sifatnya ditugaskan,” urai Melli.

ISEW terselenggara atas kerjasama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE). CASE merupakan sebuah program kerjasama antar dua negara: Indonesia – Jerman (Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, dan didanai oleh Kementerian Perekonomian dan Aksi Iklim Pemerintah Federasi Jerman). Sebelumnya, diskursus transisi energi di Indonesia secara rutin dilakukan pada acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), yang tahun ini berpartisipasi dalam ISEW 2022. Perdana dilakukan pada 2022, ISEW akan berlangsung selama 5 hari dari 10-14 Oktober 2022 dengan tema Reaching Indonesia’s Net Zero Energy System: Unite for Action and Strategy. Seluruh lapisan masyarakat dapat mengikuti kegiatan ini secara gratis di isew.live.

Pensiun Dini PLTU Faktor Penentu Capai NZE yang Ambisius

Berdialog pada ISEW 2022 dengan topik “Target Ambisi Baru Transisi Energi Indonesia Untuk Mencapai Target NZE Indonesia”

 

Jakarta, 10 Oktober 2022 –  Mempensiunkan seluruh pembangkit listrik berbasis (PLTU) batubara di Indonesia pada tahun 2045 menjadi faktor penentu tercapainya bebas emisi tahun 2050 sesuai dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur rata-rata di bawah 1,5 derajat Celcius. Hal ini ditegaskan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022.

“Menurut kajian IESR, pada tahun 2030, Indonesia perlu menghentikan pengoperasian PLTU batubara sebesar 9,2 GW dan seluruh unit PLTU pada 2045,” ujarnya. Menurutnya, adanya klausul yang memberikan mandat bagi KESDM untuk menyiapkan peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU pada Perpres 112/2022 merupakan langkah awal yang baik.

Senada, Rida Mulyana, Sekretaris Jenderal ESDM, dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa Perpres 112/2022 akan memberikan iklim investasi yang menarik serta pemberian insentif bagi energi terbarukan. Menurutnya, saat ini merupakan momentum yang baik untuk menggenjot pemanfaatan energi terbarukan di tengah tingginya harga energi fosil. Selain itu, permintaan konsumen terhadap energi yang bersumber dari energi bersih pun semakin meningkat.

Rida mengungkapkan bahwa pemerintah telah membuat strategi untuk menurunkan pengoperasian PLTU secara bertahap dengan penetapan kontrak maksimal 30 tahun. 

“Kapasitasnya (PLTU-red) akan meningkat hingga 2030 dan setelahnya tidak ada pembangunan PLTU baru, dan  PLTU terakhir akan pensiun pada 2058,” ungkap Rida.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa untuk mencapai net zero emissions pada 2060 atau lebih cepat sesuai dengan target pemerintah, pihaknya juga berencana membangun supergrid untuk menggenjot pengembangan energi terbarukan sekaligus menjaga stabilitas kelistrikan. Hal ini akan membuka peluang untuk mengekspor listrik ke negara ASEAN lainnya, serta terhubung ke ASEAN supergrid.

Untuk mendukung dan mengakselerasi energi terbarukan, Indonesia membutuhkan 1 triliun USD pada tahun 2060 untuk pembangkitan dan transmisi energi terbarukan. Kebutuhan akan pembiayaan akan semakin besar seiring dengan rencana Indonesia untuk melakukan pensiun dini PLTU di tahun mendatang,” papar Rida.

Kebutuhan pembiayaan ini akan semakin menurun jika teknologi energi terbarukan semakin murah. Selain itu penerapan Perpres 112/2022, pelaksanaan program pensiun PLTU,  tersedianya kemudahan perizinan bagi energi terbarukan, pendampingan, dan sosialisasi tentang regulasi energi terbarukan akan mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia

Vivi Yuliawati, Plt. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, menyebutkan untuk melaksanakan strategi net zero emissions pada 2060,  hal yang krusial adalah memformulasikan kebijakan teknikal untuk memuluskan transisi energi.

Ia berharap hasil diskusi dari ISEW 2022 ini dapat  menjadi bahan dasar penyusunan RPJMN 2025-2029 & RPJP sampai 2045 oleh Bappenas terkait transisi energi sehingga  mampu memitigasi dampak transisi terhadap sosio ekonomi masyarakat indonesia

“Tidak cukup hanya teknologi energi terbarukan, namun perlu orkestrasi kapasitas kepada masyarakat untuk membangun kapasitas baru di energi terbarukan,”ujarnya.

Narasi transisi energi yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat juga  didorong pada ISEW 2022.

“ISEW hadir untuk memfasilitasi diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, agar lebih inklusif, bahkan seluruh pihak yang terdampak  dari transisi energi. Selain itu juga, menjaga momentum menuju KTT G20 pada bulan November dengan membahas salah satu isu utamanya yakni transisi energi,” ujar Director Energy Program Indonesia/ASEAN GIZ Lisa Tinschert.

ISEW terselenggara atas kerjasama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE). CASE merupakan sebuah program kerjasama antar dua negara: Indonesia – Jerman (Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, dan didanai oleh Kementerian Perekonomian dan Aksi Iklim Pemerintah Federasi Jerman). Sebelumnya, diskursus transisi energi di Indonesia secara rutin dilakukan pada acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), yang tahun ini berpartisipasi dalam ISEW 2022. Perdana dilakukan pada 2022, ISEW akan berlangsung selama 5 hari dari 10-14 Oktober 2022 dengan tema Reaching Indonesia’s Net Zero Energy System: Unite for Action and Strategy. Seluruh lapisan masyarakat dapat mengikuti kegiatan ini secara gratis di isew.live.

 

ISEW 2022: Kesatuan Aksi dan Strategi Transisi Energi Indonesia

Para duta besar berdiskusi di ISEW 2023 pada topik kerjasama internasional dalam memajukan transisi energi di Indonesia

 

Jakarta, 09 Oktober 2022 –  Pelaksanaan transisi energi secara berkeadilan memerlukan aksi nyata Pemerintah Indonesia melalui dukungan politik dan kebijakan yang kuat untuk mendukung upaya global untuk mempertahankan kenaikan suhu rata-rata bumi di bawah 1,5oC, mewujudkan ketahanan energi, dan memfokuskan investasi pada sektor yang berkelanjutan seperti pengembangan energi terbarukan. Selain itu, pelibatan dan partisipasi seluruh masyarakat Indonesia menjadi krusial dalam melancarkan proses transisi energi. Kesatuan aksi dan strategi dalam bertransisi energi menjadi pembahasan yang akan digali lebih jauh pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022.

“Kegiatan ISEW 2022 ini akan menyamakan pemahaman, memberikan pengertian, utamanya terkait upaya yang perlu dilakukan dalam mengejar target Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat,” ujar Rachmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas pada media briefing dan peluncuran ISEW 2022 yang diadakan secara virtual.

Rachmat menambahkan Indonesia berusaha keluar dari perangkap negara berpenghasilan menengah menjadi negara maju sebelum 100 tahun Indonesia pada 2045. Menurutnya, internalisasi upaya transisi energi dalam penyusunan rencana pembangunan jangka panjang menjadi lebih penting dilakukan.

Yusuf Suryanto, Koordinator Ketenagalistrikan, Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Bappenas menambahkan agar menjadi negara maju, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kawasan pusat pertumbuhan ekonominya.

“Titik kuncinya adalah pertumbuhan ekonomi harus tinggi lebih dari 6%, dan peran kawasan Indonesia di bagian timur perlu ditingkatnya menjadi 25% sehingga pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa akan mendominasi,” papar Yusuf.

Lebih lanjut, ia menekankan peningkatan pertumbuhan ekonomi di kawasan luar Jawa juga akan diselaraskan dengan proses transisi energi di kawasan timur Indonesia. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) & Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai peluang untuk meningkatkan konsumsi dan pasokan energi dengan tetap menurunkan intensitas emisi gas rumah kaca.

“Kuncinya ada pada kebijakan dan regulasi dan perencanaan yang tepat untuk mendorong teknologi rendah karbon untuk menggantikan pasokan energi yang 87%, menurut data pemerintah, berasal dari energi fosil,” jelas Fabby.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk bertransisi energi ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Perpres ini mengatur penetapan tarif untuk energi terbarukan yang berpotensi merevitalisasi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia. Tidak hanya itu, Perpres ini juga memberikan mandat bagi Kementerian ESDM untuk menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU. 

“Mengenai transisi energi, Menteri ESDM menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Tindak lanjut yang akan dilakukan diantaranya melakukan konsolidasi dan penyamaan persepsi dengan PLN dan Kementerian terkait yang terdapat dalam Perpres ini,” jelas Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan, KESDM

Feby menambahkan untuk mencapai NZE pada 2060, pembangkit energi baru terbarukan yang didorong sebesar 786,2 GW dengan 60,2 GW berasal dari tenaga baterai. 

Transisi energi menuju energi terbarukan akan memberikan pengaruh secara sosial, ekonomi maupun lingkungan kepada masyarakat Indonesia. Sebagai negara yang mengekspor 75% produksi batubaranya, ekonomi Indonesia akan berkontraksi signifikan jika terjadi penurunan permintaan. Hal ini ditengarai dengan semakin menguatnya komitmen iklim negara tujuan ekspor batubara Indonesia seperti Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan. Tidak hanya itu, secara ekonomi, pembangunan pembangkit energi terbarukan diprediksi akan lebih murah dibandingkan membangun PLTU baru pada tahun 2023 dan akan lebih murah dibandingkan mengoperasikan PLTU yang sudah ada pada tahun 2030. Berdasarkan kajian IESR berjudul Redefining Future Jobs, penurunan produksi akan menciptakan dampak negatif pada lapangan kerja di sepanjang rantai nilai batubara mulai dari produksi, pemrosesan, transportasi, dan penggunaan akhir. 

Widhyawan Prawiraatmadja, anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) menegaskan bahwa yang transisi energi harus dilakukan secara berkeadilan. Antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan, terutama pada sektor yang terdampak seperti industri batubara perlu dilakukan. 

“Para pekerja terutama di sektor-sektor yang mengalami penyesuaian seperti di sektor batubara yang perlu dipersiapkan kapasitas dan kapabilitasnya untuk beralih ke energi bersih,” urainya. 

Widhyawan melanjutkan hal ini perlu dipastikan terjadi dengan dukungan insentif dari pemerintah. Lebih jauh, ia juga mendorong kesadaran dan kontribusi masyarakat dalam efisiensi energi masih jauh tertinggal dibandingkan negara maju. 

Secara lengkap, proses transisi energi Indonesia akan dibahas pada ISEW 2022, terutama yang berkaitan dengan percepatan pensiun PLTU Indonesia. Pada ISEW 2022 juga akan dibahas secara rinci berbagai aspek pendukung, inklusivitas dan strategi mitigasi pada implikasi transisi energi yang perlu disiapkan Indonesia dalam proses transisi energi.

ISEW terselenggara atas kerjasama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE). CASE merupakan sebuah program kerjasama antar dua negara: Indonesia – Jerman (Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, dan didanai oleh Kementerian Perekonomian dan Aksi Iklim Pemerintah Federasi Jerman). Sebelumnya, diskursus transisi energi di Indonesia secara rutin dilakukan pada acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), yang tahun ini berpartisipasi dalam ISEW 2022. Perdana dilakukan pada 2022, ISEW akan berlangsung selama 5 hari dari 10-14 Oktober 2022 dengan tema Reaching Indonesia’s Net Zero Energy System: Unite for Action and Strategy. Seluruh lapisan masyarakat dapat mengikuti kegiatan ini secara gratis di isew.live.

C20 Desak Perusahaan Utilitas Segera Lakukan Transisi Energi

press release
From left to right: Vivian Lee (SFOC), Fabby Tumiwa (IESR), Federico Lopez De Alba (CFE), Dennis Volk (BNetza), Philippe Benoit (Columbia University) photo by IESR

Bali, 30 Agustus 2022 – Sebagai kontributor utama emisi GRK di sektor energi, Civil of Twenty (C20) Indonesia mendesak perusahaan listrik untuk menetapkan target yang terukur, dan peta jalan mitigasi iklim yang jelas untuk mencapai bebas emisi pada tahun 2050. Civil of Twenty (C20) Indonesia mengundang energi para ahli dan perwakilan dari perusahaan pembangkit listrik G20 untuk membahas dan mendesak strategi jangka panjang agar diusulkan oleh perusahaan pembangkit listrik untuk mempercepat transisi energi bersih di negara masing-masing agar selaras dengan jalur 1,5 derajat Celcius.

Risnawati Utami, Sous-Sherpa C20 Indonesia, dalam sambutan pembukaannya menekankan pentingnya kepemimpinan Indonesia untuk mempromosikan dan melibatkan semua masyarakat sipil untuk mempengaruhi komitmen dan kebijakan negara-negara anggota dalam mengadopsi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kerjasama internasional pengurangan risiko iklim.

“Peran kerja sama internasional melibatkan tanggung jawab pemerintah untuk bekerja sama secara internasional, untuk mendesak implementasi rencana dan strategi untuk mengurangi risiko iklim,” kata Utami dalam webinar C20 bertajuk “Role of G20 Power Utilities in Climate Mitigation Efforts” (29/8).

Mahmoud Mohieldin, COP27 High-Level Champion, menyatakan sekitar 800 juta orang di dunia masih hidup tanpa akses listrik. Dia sangat mendorong tersedianya kebijakan yang memadai, implementasi yang efektif, serta lokalisasi dan pembiayaan sebagai solusi untuk mengatasi masalah energi dan mitigasi krisis iklim.

“Perjanjian Paris perlu diselaraskan dan diintegrasikan dengan kerangka SDG, jika tidak, kita akan menderita karena rekondisi yang buruk dan pendekatan parsial,” kata Moheildin.

Ia berharap, dalam COP27 yang akan diadakan di Mesir, lebih banyak negara akan mengambil pendekatan yang lebih holistik menuju keberlanjutan yang berfokus pada gagasan dan inisiatif implementasi pada dimensi regional, lokalisasi, dan keuangan.

Fabby Tumiwa, Co-chair C20 Indonesia dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa sebagai pemimpin Kepresidenan G20, Indonesia harus mengambil tindakan tegas dalam mengatur utilitas listriknya untuk menerapkan transisi energi.

“Setiap negara harus menemukan caranya sendiri untuk menghadapi transisi energi. Perusahaan utilitas menghadapi tantangan serius, seperti perubahan iklim yang berdampak pada pengoperasian sistem energi, permintaan konsumen yang menuntut lebih banyak listrik terbarukan dengan harga terjangkau, peningkatan kemampuan tenaga kerja yang berkaitan dengan energi terbarukan, hadirnya regulasi untuk membatasi emisi karbon, teknologi baru yang muncul yang menciptakan ketidakpastian dalam model bisnis utilitas saat ini, ”kata Fabby.

Fabby menambahkan bahwa utilitas perlu beradaptasi lebih cepat dihadapkan oleh waktu yang singkat dalam mengatasi krisis iklim. Pembelajaran dan berbagi keahlian di antara anggota G20 sangat penting agar utilitas dapat segera mengimplementasikan solusi mengatasi krisis iklim.

Philippe Benoit dari Global Energy Policy, Columbia University memaparkan bahwa karena BUMN di sektor energi (Stated-owned Power Companies/SPC) memainkan peran penting dalam mengurangi emisi GRK, pemerintah perlu mereformasi-nya dengan mempengaruhi BUMN di sektor energi melalui beragam opsi kebijakan dan intervensi yang ditargetkan secara langsung dan tidak langsung.

“Pemerintah dapat mendukung aksi rendah karbon BUMN energi dengan menyediakan sumber daya untuk BUMN energi dan melakukan advokasi sebagai bagian dari tekanan eksternal. Namun, yang paling mudah bagi pemerintah yang berkomitmen pada kebijakan iklim adalah menggunakan kekuatan pemegang saham dalam perusahaan pemerintah tersebut. Misalnya, arahan formal melalui keputusan dan instruksi Dewan, pengangkatan dan pemberhentian manajemen senior, ”kata Benoit.

Dia menambahkan bahwa reformasinya lain dari BUMN energi seperti menyediakan sumber daya untuk tindakan rendah karbon BUMN energi dengan arahan pemerintah yang jelas dan konsisten, pembiayaan, infrastruktur pelengkap, dukungan administratif dan pengembangan kapasitas untuk BUMN energi.

“BUMN energi perlu berpartisipasi dalam transisi rendah karbon, sebagai mitra, bukan musuh, dan sebagai enabler, bukan hanya produsen. Memberdayakan aksi rendah karbon BUMN energi adalah kunci untuk mencapai tujuan iklim nasional dan global,” katanya.

Joojin Kim, Managing Director Solutions for Our Climate (SFOC) memaparkan pandangan G20 untuk mengakomodasi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga listrik. Dia menggarisbawahi urgensi peningkatan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan melalui penyusunan kerangka tata kelola.

“Kita berada dalam momen penting dan utilitas negara di G20 harus menunjukkan kepemimpinan untuk menyatukan komunitas internasional di sekitar solusi untuk krisis iklim. Banyak negara G20, terutama di Asia, mengalami pengurangan energi terbarukan yang signifikan. Di tengah situasi energi global saat ini, pembatasan menimbulkan ketidakpastian yang berlanjut serta kerugian ekonomi. Untuk mengatasi tantangan seperti itu, negara-negara harus membentuk kerangka tata kelola yang akan memastikan akses yang adil dan kompensasi untuk teknologi yang berkontribusi pada fleksibilitas jaringan untuk mengurangi pengeluaran bahan bakar fosil dan meningkatkan energi terbarukan dalam bauran listrik, ”kata Joojin.

Evy Haryadi, Direktur Perencanaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Indonesia, menyatakan untuk mencapai target net-zero Indonesia pada 2060 dengan melakukan pensiun dini PLTU batubara dan mengembangkan energi terbarukan membutuhkan investasi yang sangat besar.

“Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 600 miliar untuk netralitas karbon pada tahun 2060. Kami membutuhkan dukungan dana dari internasional. Namun,ternyata untuk membiayai transisi energi melalui inisiatif pensiun dini PLTU, belum ada skema pembiayaannya di pasar, yang ada hanyalah pembiayaan hijau. Dengan demikian, pembiayaan transisi masih membutuhkan beberapa kerangka regulasi, terutama dalam pembiayaan internasional,” kata Evy Haryadi.

Acara ini diselenggarakan oleh kelompok kerja C20 untuk lingkungan, keadilan iklim, dan transisi energi (ECEWG). C20 adalah salah satu kelompok keterlibatan di bawah G20 yang mewakili aspirasi masyarakat sipil.

Pemerintah Daerah Pegang Peran Penting dalam Transisi Energi

press release

Bali, 30 Agustus 2022Pemulihan ekonomi pasca pandemi dengan tetap fokus melakukan upaya mitigasi iklim yang ambisius melalui pembangunan rendah karbon merupakan langkah yang perlu diambil oleh pemerintah daerah. Keberhasilan pembangunan rendah karbon juga tidak luput dari perencanaan transisi energi yang berkeadilan. Komitmen berbagai pihak termasuk di dalamnya pemerintah daerah dan komunitas dalam mendorong transisi energi menjadi krusial mengingat desentralisasi transisi energi akan memberikan dampak berganda.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyebutkan pihaknya melalui Dinas ESDM Jawa Tengah, gencar mendorong upaya transisi energi di daerahnya. Instrumen kebijakan transisi energi seperti surat edaran gubernur, surat sekretaris daerah, serta ragam inisiatif seperti deklarasi Jawa Tengah menjadi provinsi surya pada 2019, menjadi cara untuk menarik swasta dan masyarakat memanfaatkan energi terbarukan melalui adopsi PLTS atap. Hingga Q2 2022, jumlah kapasitas PLTS terpasang di Provinsi Jawa Tengah mencapai 22 MWp. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga mendukung pemanfaatan energi terbarukan lainnya yang tersedia melimpah, misalnya biogas kotoran ternak dan PLTMH, dengan program pemerintah atau pun mendorong kolaborasi masyarakat.

“Asimetris desentralisasi dengan cara inklusi dengan (perlakuan-red) yang tidak sama di setiap lokasi. Dengan kesadaran kolektif, potensi energi terbarukan di daerah dicek dan distimulasi,” kata Ganjar. Hal ini, menurut Ganjar,  akan mendorong transformasi yang lebih cepat.

Komitmen iklim Jawa Tengah ditunjukkan pula dengan dimulainya penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas pemerintah provinsi.

Togap Simangunsong, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Dalam Negeri mengapresiasi praktik baik yang dilakukan pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Ia menyebutkan pihaknya dan Kementerian ESDM sedang menyusun rancangan Perpres yang menguatkan wewenang pemerintah daerah/provinsi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang energi sumber daya mineral sub bidang energi baru terbarukan

“Melalui penguatan ini diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan dalam upaya pencapaian target bauran energi baru terbarukan sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca sehingga terjalin komitmen pemerintah daerah dalam upaya akselerasi energi berkeadilan sesuai dengan kewenangannya,” ungkap Togap mewakili Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dalam webinar berjudul “Desentralisasi Transisi Energi: Tingkatkan peran komunitas dan pemerintah daerah” yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Selain itu, Chrisnawan Anditya, Kepala Biro Perencanaan, Kementerian ESDM mengatakan pemanfaatan potensi energi terbarukan akan membuka peluang dalam membangun ekonomi nasional yang hijau dan sebagai upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi sesuai dengan tema Presidensi G20, “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa”.

“Setiap daerah memiliki potensi energi baru terbarukan khusus yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Perbedaan potensi energi baru terbarukan antar daerah merupakan tantangan teknis, sekaligus peluang besar bagi sistem energi kita. Kondisi ini memungkinkan pembagian energi berbasis energi baru terbarukan, ketika daerah mengalami kelimpahan atau kelangkaan energi. Agar hal tersebut dapat terjadi, maka diperlukan sistem tenaga listrik yang terintegrasi (smart grid dan super grid),” jelas Chrisnawan dalam kesempatan yang sama.

Tidak hanya itu, kepemimpinan yang kuat di tingkat daerah akan mampu memobilisasi masyarakat untuk melakukan transisi energi gotong royong. Hal ini diungkapkan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Menurutnya, inisiatif dan kepemimpinan pemerintah daerah akan mampu menjawab permasalahan akses dan keamanan pasokan energi dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang melimpah di daerahnya. 

“Transisi energi Indonesia membutuhkan pembangunan ratusan bahkan ribuan gigawatt, pembangkit energi terbarukan, infrastruktur transmisi dan distribusi serta sistem penyimpanan energi. Tapi dengan mulai membaginya menjadi unit-unit kecil, persoalan yang besar tadi dapat lebih mudah dipecahkan dan dilakukan oleh lebih banyak pihak,” ungkap Fabby.

Menurutnya, berdasarkan kajian IESR, dekarbonisasi sistem energi di Indonesia  membutuhkan biaya USD 1,3 triliun hingga 2050 mendatang, dengan rata-rata kebutuhan investasi USD 30-50 miliar per tahun. Jumlah ini 150%-200% dari total investasi seluruh sektor energi saat ini. 

“Kebutuhan investasi ini tidak sedikit dan tidak mungkin hanya ditanggung oleh pemerintah dan BUMN semata. Tapi investasi yang besar ini dapat dipenuhi jika kita memperhitungkan potensi dari kontribusi dan daya inovasi masyarakat serta kemampuan pemerintah daerah. Kontribusi dan inovasi warga dapat memobilisasi pendanaan dari pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa, serta pendanaan dari swasta dan lembaga-lembaga non-pemerintah,” tambahnya.

Provinsi Bali merupakan provinsi pertama di Indonesia yang memiliki peraturan gubernur khusus untuk energi bersih dan kendaraan listrik. Dalam Peraturan Gubernur tentang Bali Energi Bersih, Gubernur Bali mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk berbagai sektor, terutama dengan pemanfaatan PLTS atap. Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan visi pembangunan rendah karbon di Bali dan langkah nyata untuk pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).

“Akibat pandemi, pariwisata Bali  terseok-seok, setelah pandemi, Bali sudah mulai bangkit. Beberapa kiat-kiat sudah dilakukan, seperti pergub dan surat edaran tentang adopsi PLTS atap. Sebenarnya sasaran utamanya adalah pariwisata, namun terlebih dahulu melakukan percontohan di pemerintahan,” tegas Ida Ayu, Staf Ahli Gubernur Bali.

Rencana dan langkah pencapaian target energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) juga dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jambi. Gubernur Jambi, Al Haris, menegaskan komitmennya untuk bekerja sama dengan pihak pusat dan swasta untuk mengembangkan transisi energi daerah karena sumber daya yang dimiliki sudah sangat cukup tinggal pemanfaatan dan mentransformasi sumberdaya alam menjadi energi yang bisa dinikmati masyarakat terkhususnya masyarakat Jambi

Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral juga telah menjalin kerjasama dengan IESR untuk implementasi RUED dan upaya konservasi energi di lingkup pemerintah daerah. Saat ini, Gubernur Jambi sedang berproses untuk mengeluarkan peraturan gubernur untuk pemanfaatan PLTS sebagai pengganti subsidi energi.

 

Pemulihan Hijau dengan Adopsi PLTS Atap

Bali, 9 Agustus 2022 – Pasca pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi di Indonesia perlahan pulih. Sempat berkontraksi ke titik minus 5,32% di kuartal kedua tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai bergerak positif di angka 5,02% di kuartal empat tahun 2021. Momentum ini semestinya menjadi dorongan bagi pemerintah untuk menyelaraskan pemulihan ekonomi pasca krisis dengan pemulihan hijau yang sejalan dengan tujuan iklim jangka panjang serta berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. 

Namun, dalam mengembangan ekonomi berkelanjutan (green economy) sebagai bagian dari pemulihan hijau masih dihadapkan pada inharmonisasi dalam kebijakan, diantaranya kebijakan pengembangan PLTS atap. Jadhie Judodiniar Ardajat (Perencana Ahli Utama) Bappenas mengungkapkan adopsi PLTS atap perlu terus didorong.

“Sekalipun tantangan, kendala maupun potensi resiko yang dihadapi ke depan masih relatif cukup besar, akan tetapi pengembangan solar rooftop ini merupakan langkah terpilih, yang diproyeksikan dan diyakini merupakan salah satu langkah prioritas dan optimal dalam rangka pengembangan penyediaan energi baru terbarukan dan merupakan bagian dari kegiatan prioritas nasional, dalam kerangka transformasi energi nasional,” kata Jadhie dalam sambutannya di webinar “Sustainable Economic Recovery by Promoting Solar PV Development” yang diselenggarakan di Bali oleh proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) 

Gubernur Bali, I Wayan Koster dalam sambutannya menyatakan pihaknya mendukung adopsi PLTS atap dengan menerbitkan berbagai instrumen kebijakan, seperti salah satunya, Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

“Respon masyarakat sangat bagus. Namun saat ingin digenjot, ada kebijakan dari PLN yang membatasi pemasangan PLTS atap hanya sampai 15%,” ujarnya. 

Sambil berjanji akan membicarakan lebih lanjut dengan pembuat kebijakan di tingkat nasional  mengenai kendala pemasangan PLTS atap, Koster mengungkapkan bahwa pengembangan energi bersih harus dilihat secara utuh, bukan parsial semata.

“Penggunaan energi bersih akan membuat ekosistem menjadi baik, termasuk juga dengan kesehatan. Jika PLN merasa rugi, maka sebaiknya mengubah skema bisnisnya,” katanya. 

Senada, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mendorong untuk PLN mengkaji kembali kebijakannya guna mendorong penetrasi PLTS atap yang masif .

“Kebijakan pembatasan kapasitas PLTS yang dipasang di suatu bangunan ini telah membuat PLTS atap menjadi tidak menarik. Selain itu, hal ini membuat banyak EPC setara UMKM yang tergabung dalam keanggotaan AESI merumahkan karyawannya karena sedikitnya permintaan untuk memasang PLTS atap,” jelasnya. 

Daniel Kurniawan, Peneliti dan Spesialis Teknologi & Material Fotovoltaik di Institute for Essential Services Reform (IESR) serta penulis utama laporan CASE Indonesia berjudul Supporting National Economic Recovery through Power Sector Initiatives menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia sejauh ini masih belum memprioritaskan pemulihan hijau dalam rangka pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih dominan menyasar sektor energi fosil yang menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia.

“Sementara, alokasi anggaran untuk inisiatif pengembangan rendah karbon ini masih sangat rendah, hanya di bawah 1%  atau sekitar Rp 7,63 triliun dari alokasi PEN 2021 sebesar Rp 747,7 triliun,” urai Daniel dalam presentasinya.

Daniel mengidentifikasi beberapa alasan mengapa pemerintah masih lambat dalam menyelaraskan pemulihan ekonomi dengan pemulihan hijau, diantaranya karena adanya anggapan bahwa inisiatif pemulihan hijau belum mendesak untuk dilakukan karena bersifat jangka panjang, dan keterbatasan anggaran fiskal.

Menjawab hal tersebut, Daniel dalam laporan yang sama menyebutkan bahwa penyelarasan pemulihan ekonomi dengan pemulihan hijau dapat dilakukan dengan mendorong adopsi PLTS atap. Menurutnya, PLTS atap dapat dipasang dengan lebih cepat dibandingkan PLTS skala utilitas, berperan penting untuk dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

“Pemasangan 2.000 unit (9,1 MWp) PLTS atap setidaknya akan menciptakan 270 pekerjaan langsung, 270 pekerjaan tidak langsung, 170 pekerjaan baru,” ulasnya. 

 

Agar adopsi PLTS atap dapat berlangsung cepat, Daniel mendorong pemerintah untuk, pertama, melaksanakan pengadaan umum untuk pemasangan PLTS atap di bangunan pemerintah. Biaya pengadaan PLTS atap dapat ditekan dengan menggunakan skema pembiayaan jangka panjang yang hanya membayar biaya operasional PLTS atap saja. Kedua, melaksanakan program pengadaan umum PLTS atap yang ditujukan untuk rumah tangga bersubsidi atau yang IESR sebut sebagai program Surya Nusantara. Manfaat ekonominya berupa pemotongan subsidi listrik. 

“Program Surya Nusantara ini akan menghemat subsidi listrik dari APBN sebesar Rp1,3 triliun per tahun atau Rp32,5 triliun selama 25 tahun umur ekonomis PLTS atap. Selain itu, program ini juga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 1,05 juta tCO2 per tahun untuk instalasi 1 GWp PLTS atap,” jelasnya.

Ketiga, mendorong adopsi atau skala kecil dengan memberikan insentif finansial berupa subsidi maupun pemasangan kWh meter yang gratis atau insentif fiskal seperti misalkan ada pembebasan pajak dan langkah lainnya yang bisa membuat masyarakat tertarik untuk memasang PLTS atap.***

Siaran ulang webinar “Sustainable Economic Recovery by Promoting Solar PV Development” dapat diakses di tautan berikut: https://caseforsea.org/post_events/sustainable-economic-recovery-by-promoting-solar-pv-development/

 

Peta Jalan Mempercepat Pensiun PLTU Batubara pada 2045

press release

Strategi akselerasi pensiun dini PLTU batubara sangat mungkin dilakukan untuk mencapai target penghentian seluruh PLTU batubara pada tahun 2045.

Penghentian PLTU batubara secara bertahap dengan bantuan internasional serta koordinasi nasional yang terencana akan mendukung pencapaian target bebas emisi Indonesia pada 2050 dan sesuai dengan peta jalan pembatasan suhu global di bawah 1,5ºC.

Jakarta, Indonesia; Maryland, Amerika Serikat, 3 Agustus 2022—Analisis terbaru yang pertama kali dirilis hari ini oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability (CGS) di University of Maryland yang didukung oleh Bloomberg Philanthropies,  menunjukkan bahwa Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU batubara pada tahun 2045 dengan dukungan internasional. Analisis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia harus menghentikan operasi 72 PLTU batubara di Indonesia yang dimulai dengan mengurangi pembangkitan listrik dari PLTU batubara sebesar 11% selama delapan tahun ke depan dan selanjutnya meningkatkan jumlah PLTU batubara yang dipensiunkan menjadi 90% sebelum tahun 2040.

“Analisis kami menemukan bahwa melalui transisi batubara yang berkeadilan, sekarang adalah saat dimana Indonesia dapat mengambil tindakan kritis yang akan menyiapkan negara untuk mengakselerasi pensiun dini batubara dan memperkuat komitmen iklim internasional sebelum COP27,” ujar Ryna Cui, dari Center for Global Sustainability, Universitas Maryland, yang juga merupakan salah satu penulis kajian berjudul”Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero”

“Sementara itu, kebutuhan pembiayaan untuk menerapkan penghentian PLTU batubara dengan transisi energi berkeadilan diperkirakan mencapai USD 27,5 miliar, yang membutuhkan upaya dalam negeri yang kuat dan dukungan internasional,”lanjut Ryna.

Meskipun Indonesia telah berkomitmen pada tujuan ambisius untuk mencapai bebas emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat dan menghapus batubara secara bertahap pada tahun 2040-an dengan bantuan internasional, ketergantungan Indonesia pada batubara di sistem energi dalam negeri bahkan mengekspor ke luar negeri menjadi tantangan dalam mencapai tujuan tersebut. Namun dengan penjadwalan pensiun per unit PLTU batubara yang dirincikan dalam laporan ini, Indonesia, menuju COP27 November ini, dapat memberikan sinyal kepada dunia terhadap komitmennya dengan menetapkan target yang kuat dan layak untuk menghentikan PLTU batubara pada tahun 2045.

Kerangka kerja di laporan ini diawali dengan mengembangkan jalur untuk bebas emisi nasional pada 2050, yang dilanjutkan dengan menyusun peta jalan penghentian per unit PLTU batubara secara jelas melalui pendekatan pemodelan yang terintegrasi. Jadwal pensiun dibangun berdasarkan kinerja teknis, ekonomi, dan lingkungan masing-masing PLTU batubara.

“Kajian ini menawarkan tenggat waktu penghentian per unit PLTU batubara secara terperinci yang layak secara finansial berdasarkan penilaian sistematis kami tentang manfaat dan biaya implementasi transisi energi batubara ke energi bersih yang berkeadilan serta cepat,” imbuh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. “Pertama, kami menemukan bahwa Indonesia dapat dengan cepat berhenti menggunakan batubara dan memenuhi tujuan pengurangan emisi domestik dan internasional, namun yang terpenting adalah kajian ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat melakukannya dengan cara yang menguntungkan kesehatan dan ekonomi masyarakat.”  

Mempercepat pensiun dini PLTU batubara akan menelan biaya lebih dari $32 miliar hingga tahun 2050. Akan tetapi, pensiun dini PLTU batubara mempunyai manfaat positif dari terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah $34,8 dan $61,3 miliar—2-4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai, penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.

“Indonesia telah secara legal mengadopsi target iklim sejalan dengan komitmen internasional. Laporan ini menyajikan peta jalan untuk membantu mengurangi lebih dari 2.600 emisi MtCO2 melalui penghentian penggunaan PLTU batubara,” ungkap Nathan Hultman, Direktur Center for Global Sustainability, Universitas Maryland. “Kontribusi ini akan menuai manfaat yang signifikan tidak hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga dunia. Pendekatan yang baru dalam hal bantuan finansial internasional menjadi komponen kritikal untuk mencapai kemungkinan transisi yang lebih cepat.”

“Untuk mewujudkan pemberhentian penggunaan PLTU batubara di tahun 2045 dan meraih manfaat ekonomi dan sosialnya, pemerintah Indonesia harus mengadopsi kebijakan yang kuat yang terbangun dari momentum politik dan sosial menuju transisi energi bersih,” kata Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR yang juga merupakan salah satu penulis dari kajian ini. “Namun, implementasi percepatan pensiun dini PLTU batubara tidak dapat hanya dilakukan Indonesia sendiri saja. Menyambut COP27 di Mesir, di mana fokus pertemuan akan tertuju pada keuangan, adaptasi, dan kerugian dan kerusakan dampak dari krisis iklim, komunitas keuangan internasional harus melangkah untuk membantu mewujudkan tujuan-tujuan ini.” 

Merespon kajian ini, Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan menyebutkan bahwa pensiun dini PLTU sudah menjadi perhatian pemerintah untuk menuju NZE 2060. 

“Menurut hasil simulasi pemodelan pemerintah, PLTU batubara masih akan terakhir beroperasi pada 2056, sementara mendorong pensiun dini PLTU batubara di luar PLN untuk bisa pensiun di 2050. Jika ingin mempercepatnya di 2045, maka diperlukan perhitungan yang lebih mendalam lagi,” ungkapnya.

Feby menuturkan bahwa saat ini pemerintah sedang merancang peta jalan pensiun dini PLTU batubara (early retirement). Menurutnya, kajian IESR dan CGS Universitas Maryland ini dapat diselaraskan dengan kajian yang saat ini dilakukan pemerintah. Ia melanjutkan, jika ada bantuan internasional maka diharapkan penghentian penggunaan PLTU batubara dapat dipercepat.

Pembahasan lanjutan tentang keuangan untuk mempercepat pensiun PLTU batubara ini dapat disaksikan pada webinar CGS dan IESR pada hari Rabu, 10 Agustus 2022.

Unduh laporan ”Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero” untuk mempelajari lebih lanjut tentang strategi pembiayaan untuk pensiun dini PLTU batubara Indonesia.

Riset yang telah dilakukan dan tertulis di laporan ini mendapatkan pendanaan dari Bloomberg Philanthropies. ***

Jejakkarbonku.id Fasilitasi Kontribusi Individu untuk Kurangi Emisi

press release

Jakarta, 5 Agustus 2022 – Institute for Essential Services Reform (IESR) secara resmi meluncurkan alat penghitung emisi/jejak karbon untuk individu bernama “Jejakkarbonku.id”. Aplikasi kalkulator karbon berbasis website ini dikembangkan oleh IESR untuk menyempurnakan perangkat serupa yang sudah dimiliki IESR sejak 2012. Pemutakhiran Jejakkarbonku.id ini diharapkan dapat membantu individu menghitung jumlah emisi dari kegiatan sehari-hari secara lebih komprehensif, sekaligus memberikan rekomendasi cara untuk mengurangi emisi pribadi ini. 

Indonesia termasuk 10 besar negara dengan emisi terbesar di dunia. IESR memandang kesadaran perorangan untuk menghitung emisi karbonnya dan menjalankan gaya hidup rendah emisi akan berkontribusi terhadap pencapaian target pengurangan emisi sesuai Persetujuan Paris. Berdasarkan laporan IPCC AR6 WG3, carbon budget (kuota emisi karbon) global hanya tersisa 300-500 Gton CO2e (tingkat kepercayaan >50%) , artinya dengan emisi tahunan karbon global yang mencapai 59 Gton CO, hanya tersisa waktu 5-9 tahun sebelum kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1.5 derajat C terlewati. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan selain kemajuan teknologi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, perlu pula adanya perubahan perilaku manusia secara sistemik. 

“Kalkulator karbon Jejakkarbonku.id ini dikembangkan untuk mendorong perubahan perilaku ini. Supaya masyarakat sadar bahwa hal kecil yang dilakukan masyarakat sangatlah berpengaruh signifikan pada penurunan emisi karbon,” ungkap Fabby dalam peluncuran kalkulator karbon Jejakkarbonku.id.

Adanya gerakan warga untuk mengurangi emisi pribadinya diharapkan akan mendorong pemerintah untuk menaikkan target pengurangan emisinya. Sebab, jika mengacu pada angka yang ditetapkan saat ini, hal itu belum cukup untuk menahan laju pemanasan global pada level 1.5 derajat. 

Farah Vianda, Staf Program Ekonomi Hijau IESR, mengatakan telah dilakukan beberapa pemutakhiran data pada kalkulator karbon ini untuk memberikan perhitungan emisi gas rumah kaca yang lebih detail. Ia menyebutkan bahwa kalkulator karbon Jejakkarbonku.id menyediakan penghitungan emisi dari 3 sektor seperti rumah tangga, makanan dan transportasi. IESR tetap mempertahankan fitur kompetisi untuk mendorong semangat menurunkan emisi lebih kuat. Peringkat tertinggi berarti emisi yang dihasilkan semakin kecil.

“Setiap aktivitas manusia dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca. Kontribusi tiap individu diperlukan untuk mengatasi krisis iklim. Semakin banyak emisi yang dihasilkan, akan semakin meningkatkan suhu permukaan bumi dan meningkatkan frekuensi kejadian bencana alam. IPCC memperkirakan emisi global harus dikurangi setengahnya pada 2030, salah satunya dengan melakukan transisi energi secara masif. Berangkat dari permasalahan tersebut, kami menawarkan kalkulator karbon untuk menghitung emisi dan mendapatkan cara untuk mengurangi emisi itu sendiri,” tandas Farah. 

Fatmah, Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap jejak karbon akan memicu perubahan sikap untuk menurunkan emisi.

“Edukasi jejak karbon perlu diberikan kepada masyarakat Banyak perilaku yang bisa di edukasi kepada masyarakat. Aplikasi ini sangat baik dan dapat dilakukan kerjasama dengan akademisi untuk memberikan edukasi jejak karbon tidak hanya kepada generasi muda, melainkan juga kepada generasi lainnya,” simpulnya yang juga hadir di kesempatan yang sama.***

Perkembangan Transisi Energi di Kawasan Asia Tenggara

press release

Jakarta, 1 Agustus 2022- Mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025 di kawasan Asia Tenggara, memerlukan kerjasama yang kuat antar negara di kawasan untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan serta mengalihkan investasi dari bahan bakar fosil di kawasan ini ke energi terbarukan. 

Hal tersebut ditekankan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar berjudul Status Transisi Energi di Asia Tenggara (29/7). Menurutnya, Asia Tenggara tengah berkembang menjadi kawasan dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina sehingga permintaan energi akan terus meningkat ke depannya.

“Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang masih bergantung pada energi fosil seperti batubara, gas dan minyak. Sementara Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan di kawasan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada usaha global mencapai tujuan Persetujuan Paris,” ujarnya.

Indonesia sendiri mempunyai target 23% bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 dan 31% di 2030. Namun menurut Handriyanti Puspitarini, berdasarkan kajian IESR jika tidak ada perbaikan kebijakan, maka Indonesia hanya akan mencapai 15% bauran energi terbarukan di 2025 dan 23% di 2030. 

“Jika melihat tren dari 2013-2021, pangsa energi terbarukan meningkat meski lambat. Padahal berdasarkan kajian IESR, Indonesia punya potensi teknis energi terbarukan lebih dari 7.000 GW. Sedangkan yang sudah dimanfaatkan hanya 11,2 GW saja,” papar Handriyanti. Ia menilai lamanya pengurusan izin dan rumitnya mekanisme pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia membuat para investor enggan berinvestasi di Indonesia. 

“Indonesia perlu meningkatkan aspek politik, aturan kebijakan dan finansial untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, terutama berdasarkan hasil kajian IESR, kesadaran publik terhadap transisi energi dan perubahan iklim mulai meningkat,”jelasnya. 

Di sisi lain, pada 2021, komitmen untuk meningkatkan target bauran energi terbarukan Malaysia disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Malaysia melalui Rencana Transisi Energi Malaysia hingga tahun 2040. 

“Malaysia meningkatkan target bauran energi terbarukan dari semula 20% di tahun 2025 menjadi 31% di 2025 dan 40% di 2030. Malaysia juga berkomitmen untuk tidak lagi membangun PLTU batubara baru untuk mencapai netral karbon secepatnya pada 2050,” urai Anthony Tan, Executive Officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDG) pada kesempatan yang sama.

Namun, menurutnya, pemerintah Malaysia perlu pula mendorong upaya efisiensi energi dan transportasi yang berkelanjutan secara holistik.

“Malaysia membutuhkan kebijakan energi nasional yang holistik. Selain itu, Malaysia perlu mengembangkan atau mengubah Kebijakan Otomotif Nasional menjadi Kebijakan Transportasi Nasional holistik untuk mengurangi penggunaan energi fosil di sektor transportasi,” imbuh Antony.

Komitmen Vietnam untuk mencapai bebas emisi pada 2050 juga disampaikan oleh Nguyen Thi Ha, Sustainable Energy Program Manager Green Innovation and Development Centre (GREENID). Ia menuturkan Vietnam berkomitmen untuk menghentikan pengoperasian 7-8 GW PLTU untuk mendukung dekarbonisasi sistem energi dengan peningkatan bauran energi terbarukan di PLTB lepas pantai sebesar 11,7 GW (9,7%) di tahun 2030 dan PLTB daratan sebesar 30 GW (10,5) di 2045. Taman panel surya (solar park) sendiri  , sementara akan mencapai 8,7  GW (7,2%) di 2030, dan akan meningkat 20.6% di 2045. 

Demi mencapai bebas emisi, membutuhkan investasi yang signifikan pada sektor energi, transportasi, pertanian, dan industri.

“Berdasarkan kajian World Bank, total pembiayaan yang dibutuhkan untuk dekarbonisasi sekitar USD 114 miliar pada 2022-2040,” ujar Thi Ha.

Vietnam pun telah mengeluarkan strategi terbaru untuk mengembangkan sistem transportasi yang ramah lingkungan.

“Bahkan mulai 2025, Vietnam berkomitmen untuk mengganti 100 persen busnya dengan bus listrik dan memperlengkapi infrastruktur yang mendukung elektrifikasi sistem transportasi di Vietnam,” paparnya.

Pembangkit listrik di Filipina didominasi 57% oleh batubara pada 2020, dengan bauran energi terbarukan mencapai 21% pada 2020.

Bert Dalusung, Energy Transition Advisor Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menuturkan bahwa untuk pertama kalinya Filipina mempunyai rencana yang fokus pada pengembangan energi terbarukan.

“Di skenario energi bersih ini, Filipina menargetkan 30% dan 50% pangsa energi terbarukan di bauran pembangkit listrik pada 2030 dan 2040,” ungkap Bert

Bert menambahkan pemerintah Filipina menyadari bahwa energi terbarukan akan menjadi kunci utama dalam agenda perubahan iklim. Dengan demikian, mengutip pernyataan Presiden Ferdinand Marcos, pemerintah akan memeriksa seluruh sistem transmisi dan distribusi untuk mengakomodasi pengembangan energi terbarukan dan menurunkan biaya energi bagi konsumen dan industri.  ***

Siaran ulang dari Webinar “The State of Southeast Asia’s Energy Transition” dapat disaksikan di YouTube IESR Indonesia.