Perkembangan Transisi Energi di Kawasan Asia Tenggara

press release

Jakarta, 1 Agustus 2022- Mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025 di kawasan Asia Tenggara, memerlukan kerjasama yang kuat antar negara di kawasan untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan serta mengalihkan investasi dari bahan bakar fosil di kawasan ini ke energi terbarukan. 

Hal tersebut ditekankan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar berjudul Status Transisi Energi di Asia Tenggara (29/7). Menurutnya, Asia Tenggara tengah berkembang menjadi kawasan dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina sehingga permintaan energi akan terus meningkat ke depannya.

“Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang masih bergantung pada energi fosil seperti batubara, gas dan minyak. Sementara Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan di kawasan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada usaha global mencapai tujuan Persetujuan Paris,” ujarnya.

Indonesia sendiri mempunyai target 23% bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 dan 31% di 2030. Namun menurut Handriyanti Puspitarini, berdasarkan kajian IESR jika tidak ada perbaikan kebijakan, maka Indonesia hanya akan mencapai 15% bauran energi terbarukan di 2025 dan 23% di 2030. 

“Jika melihat tren dari 2013-2021, pangsa energi terbarukan meningkat meski lambat. Padahal berdasarkan kajian IESR, Indonesia punya potensi teknis energi terbarukan lebih dari 7.000 GW. Sedangkan yang sudah dimanfaatkan hanya 11,2 GW saja,” papar Handriyanti. Ia menilai lamanya pengurusan izin dan rumitnya mekanisme pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia membuat para investor enggan berinvestasi di Indonesia. 

“Indonesia perlu meningkatkan aspek politik, aturan kebijakan dan finansial untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, terutama berdasarkan hasil kajian IESR, kesadaran publik terhadap transisi energi dan perubahan iklim mulai meningkat,”jelasnya. 

Di sisi lain, pada 2021, komitmen untuk meningkatkan target bauran energi terbarukan Malaysia disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Malaysia melalui Rencana Transisi Energi Malaysia hingga tahun 2040. 

“Malaysia meningkatkan target bauran energi terbarukan dari semula 20% di tahun 2025 menjadi 31% di 2025 dan 40% di 2030. Malaysia juga berkomitmen untuk tidak lagi membangun PLTU batubara baru untuk mencapai netral karbon secepatnya pada 2050,” urai Anthony Tan, Executive Officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDG) pada kesempatan yang sama.

Namun, menurutnya, pemerintah Malaysia perlu pula mendorong upaya efisiensi energi dan transportasi yang berkelanjutan secara holistik.

“Malaysia membutuhkan kebijakan energi nasional yang holistik. Selain itu, Malaysia perlu mengembangkan atau mengubah Kebijakan Otomotif Nasional menjadi Kebijakan Transportasi Nasional holistik untuk mengurangi penggunaan energi fosil di sektor transportasi,” imbuh Antony.

Komitmen Vietnam untuk mencapai bebas emisi pada 2050 juga disampaikan oleh Nguyen Thi Ha, Sustainable Energy Program Manager Green Innovation and Development Centre (GREENID). Ia menuturkan Vietnam berkomitmen untuk menghentikan pengoperasian 7-8 GW PLTU untuk mendukung dekarbonisasi sistem energi dengan peningkatan bauran energi terbarukan di PLTB lepas pantai sebesar 11,7 GW (9,7%) di tahun 2030 dan PLTB daratan sebesar 30 GW (10,5) di 2045. Taman panel surya (solar park) sendiri  , sementara akan mencapai 8,7  GW (7,2%) di 2030, dan akan meningkat 20.6% di 2045. 

Demi mencapai bebas emisi, membutuhkan investasi yang signifikan pada sektor energi, transportasi, pertanian, dan industri.

“Berdasarkan kajian World Bank, total pembiayaan yang dibutuhkan untuk dekarbonisasi sekitar USD 114 miliar pada 2022-2040,” ujar Thi Ha.

Vietnam pun telah mengeluarkan strategi terbaru untuk mengembangkan sistem transportasi yang ramah lingkungan.

“Bahkan mulai 2025, Vietnam berkomitmen untuk mengganti 100 persen busnya dengan bus listrik dan memperlengkapi infrastruktur yang mendukung elektrifikasi sistem transportasi di Vietnam,” paparnya.

Pembangkit listrik di Filipina didominasi 57% oleh batubara pada 2020, dengan bauran energi terbarukan mencapai 21% pada 2020.

Bert Dalusung, Energy Transition Advisor Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menuturkan bahwa untuk pertama kalinya Filipina mempunyai rencana yang fokus pada pengembangan energi terbarukan.

“Di skenario energi bersih ini, Filipina menargetkan 30% dan 50% pangsa energi terbarukan di bauran pembangkit listrik pada 2030 dan 2040,” ungkap Bert

Bert menambahkan pemerintah Filipina menyadari bahwa energi terbarukan akan menjadi kunci utama dalam agenda perubahan iklim. Dengan demikian, mengutip pernyataan Presiden Ferdinand Marcos, pemerintah akan memeriksa seluruh sistem transmisi dan distribusi untuk mengakomodasi pengembangan energi terbarukan dan menurunkan biaya energi bagi konsumen dan industri.  ***

Siaran ulang dari Webinar “The State of Southeast Asia’s Energy Transition” dapat disaksikan di YouTube IESR Indonesia. 

Pembiayaan Batubara Berhenti, Negara Asia Tenggara Perlu Siapkan Langkah Transisi Energi

press release

Jakarta, 1 Agustus 2022- Aksi mitigasi iklim dengan mendorong pemanfaatan energi terbarukan telah membuat banyak negara yang semula membiayai proyek PLTU batubara mengalihkan investasinya ke energi terbarukan. Transformasi ini akan memberikan  implikasi dan tantangan yang perlu disiasati oleh negara tujuan investasi energi fosil di kawasan Asia Tenggara.

Cina, Jepang dan Korea Selatan merupakan tiga negara terbesar yang membiayai proyek energi fosil di Asia Tenggara. Sebanyak 123 GW pembangkit batubara yang beroperasi di luar China mendapat dukungan finansial ataupun dukungan Engineering, Procurement, dan Construction (EPC) dari China. Proyek energi fosil tersebut sebagian besar dibangun dalam 2 dekade terakhir. Pada September 2021, Presiden Xi menjanjikan untuk mendukung negara berkembang yang akan bertransisi energi ke energi terbarukan. Ia juga menyatakan bahwa China tidak akan membiayai lagi pembangunan PLTU batubara baru di luar negeri. Sejak janji ini dikumandangkan sebanyak 12,8 GW batubara yang semula direncanakan akan dibangun, dibatalkan. 

Tidak hanya itu, beberapa perusahaan dan institusi keuangan dalam negeri China juga menghentikan pembiayaan untuk proyek batubara seperti Bank of China (BOC) yang berhenti  membiayai proyek pertambangan batubara dan pembangkit listrik tenaga batubara baru di luar negeri, kecuali untuk proyek-proyek yang telah menandatangani perjanjian pinjaman, atau Tsingshan Holding Group, pemain utama di kawasan industri luar negeri, terutama di industri baja, mengumumkan tidak akan membangun PLTU batubara baru di luar negeri.

Isabella Suarez, Analis, Center for Research on Energy and Clean Air pada pada webinar berjudul Status Transisi Energi di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan bahwa untuk pertama kalinya pernyataan Presiden Xi ini  dituangkan pada kebijakan dalam negeri China. Tidak hanya itu, berkembang pula wacana untuk mengembangkan secara bersama implementasi pembangunan hijau dalam kerangka Belt and Road Initiatives.

Menurut Isabella, hal yang perlu China lakukan untuk memastikan janjinya terlaksana adalah menentukan jangka waktu dan target pencapaiannya. Di sisi lain, negara yang selama ini mendapat pembiayaan proyek energi fosil perlu  memulai untuk melakukan pembatalan pembangunan PLTU batubara.

“Selain itu perlu pula mengarahkan pembiayaan internasional ke energi terbarukan yang lebih hijau dan infrastruktur & efisiensi jaringan, serta mengimplementasi pembangunan hijau dalam Belt and Road Initiatives,” tandas Isabella.

Selain China, dan Jepang, Dongjae Oh, Program Lead for Climate Finance Solutions for Our Climate (SFOC) memaparkan bahwa Korea Selatan juga menjadi negara terbesar ketiga di dunia yang membiayai proyek PLTU batubara. Sebanyak 87% (USD 8,7 miliar) pembiayaan hilirisasi batubara dari  Korea Selatan berada di kawasan Asia Tenggara (2011-2020).

Pada April 2022, Presiden Korea Selatan mendeklarasikan untuk menghentikan pembiayaan baru bagi proyek PLTU batubara di luar negeri. Namun menurut Dongjae, Korea Selatan masih sangat bergantung pada energi fosil lainnya yakni minyak dan gas. 

“Jika dibandingkan pembiayaan batubara yang hanya mencapai USD 10 miliar, pembiayaan minyak dan gas bisa mencapai USD 127 miliar dalam jangka waktu 10 tahun,” ungkap Dongjae.

Indonesia menjadi salah satu negara yang menerima pembiayaan terbesar dari Korea Selatan untuk  industri minyak dan gas. Investasi ini akan membuat kawasan Asia Tenggara beralih menggunakan minyak dan gas.

Dongjae menambahkan jika hal tersebut terjadi maka kawasan Asia Tenggara akan gagal mencapai target Persetujuan Paris dengan besarnya emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh gas. Selain itu mempertahankan energi fosil dengan penggunaan CCS hanya akan membuat harga bahan bakar fosil lebih mahal.

Seperti energi fosil umumnya, volatilitas harga akan membuat daya saing tenaga gas yang rendah dibandingkan energi terbarukan, sehingga dapat menyebabkan krisis keuangan bagi perusahaan utilitas di tingkat regional.

“Pemerintah Korea Selatan dan Asia Tenggara harus bekerja sama untuk meningkatkan penghentian pengoperasian batubara dan mempercepat transisi ke energi terbarukan. Di lain pihak, Korea Selatan harus menghentikan dana atau investasi batubara dan gas, mengingat harga energi terbarukan semakin murah,” tegas Dongjae.

Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR mengungkapkan bahwa penghentian pendanaan terhadap energi fosil dari Cina dan Korea Selatan merupakan langkah konkrit dalam mendukung transisi energi secara global. 

“Indonesia seharusnya dapat menggunakan kesempatan ini untuk mengembangkan pembangunan energi terbarukan. Taksonomi hijau dan kebijakan terkait investasi hijau yang jelas hendaknya mampu menarik minat investor untuk mengalihkan pendanaan mereka ke sektor hijau seperti energi terbarukan,” ujarnya. ***

Siaran ulang dari Webinar “The State of Southeast Asia’s Energy Transition” dapat disaksikan di YouTube IESR Indonesia. 

Tangkap Peluang Pendanaan untuk Dukung Akselerasi Transisi Energi

press release

Jakarta, 28 Juli 2022 – Transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi yang signifikan terutama untuk mengembangkan pembangkit energi terbarukan, bahan bakar bersih, jaringan listrik, dan penyimpanan energi (baterai). 

G20 Seminar
Satu dari tiga panel pada rangkaian seminar G20 yang membahas tentang peluang pembiayaan berkelanjutan untuk transisi energi Indonesia (27/07/2022). (Dok. Sekretariat Seminar)

“Indonesia setidaknya membutuhkan investasi untuk transisi energi sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060”, ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Arifin Tasrif, dalam rangkaian seminar G20 berjudul “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies”. 

Berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sektor energi di Indonesia pada 2050 berkisar USD 20–25 miliar per tahun antara tahun 2020 dan 2030 dan sekitar USD 40–60 miliar per tahun dari tahun 2030 hingga 2050. 

“Indonesia memiliki potensi energi terbarukan dan kebutuhan energi yang akan terus tumbuh. Dalam banyak hal, Indonesia seharusnya menjadi tujuan investasi utama. Sayangnya inkonsistensi kebijakan, regulasi, dan kurang padunya koordinasi antar sektor membuat investor memandang investasi di Indonesia berisiko tinggi,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Laporan IISD (International Institute for Sustainable Development) tahun 2020 mengungkap, hanya 7,8% total investasi untuk sektor energi terbarukan di Indonesia. Sisanya masih memfokuskan investasi pada bahan bakar fosil. Peter Wooders, Senior Director Energy IISD menekankan bahwa arah G20 tahun ini harus menuju energi bersih – yang berarti secara bertahap menggeser dukungan terhadap bahan bakar fosil. 

“Meski pembiayaan publik tidak cukup untuk mendanai proses transisi energi, perannya sangat penting dalam membuka peluang ragam mekanisme”, lanjutnya.

Untuk itu, dalam rangkaian seminar G20 kali ini, diskusi mengenai pembiayaan Islami seperti wakaf, sukuk dan green bonds juga turut dibahas untuk memperkaya gambaran potensi pembiayaan transisi energi yang lebih luas lagi. Pembiayaan Islami memegang peran penting dalam berbagai pendanaan proyek berkelanjutan, termasuk energi terbarukan. Menurut Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024, energi terbarukan mendapat dukungan melalui Murabahah (prinsip jual beli) serta donasi melalui zakat. 

Anna Skarbek, CEO Climateworks Centre menambahkan bahwa peluang investasi dalam transisi iklim, dan terobosan model-model investasi lintas kawasan ASEAN sangat bervariasi. Namun, Kuki Soejachmoen, Executive Director, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) sekaligus moderator panel pada seminar kemarin mengingatkan bahwa mekanisme pembiayaan apa pun tetap harus perhatikan inklusivitas dan adil bagi siapa saja. 

Hal ini dikarenakan dampak dari transisi energi secara bertahap ciptakan usainya bisnis-bisnis pada sektor bahan bakar fosil serta rantai pasok terkait, pensiun dini, lapangan kerja baru, kebutuhan akan skill baru, industri baru – sehingga perlu ditangani dengan baik. 

Komitmen Hibah $200 juta dari Australia untuk Indonesia 

Pada sesi sambutan, Andrew Hudson, CEO dari Centre for Policy Development, secara khusus mengangkat perihal dana hibah dari Australia untuk Indonesia yang baru-baru ini dibicarakan antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Anthony Albanese, sebagai contoh nyata pentingnya dialog lintas-batas. 

“Penting bagi kita berdialog dan berbagi pengalaman mengenai aksi yang efektif, terukur dan berdampak seperti yang dibutuhkan dalam investasi lintas-batas pada transisi iklim, baik yang dilakukan oleh investor publik dan swasta. Kita juga harus memanfaatkan ambisi dan momentum dari kemitraan iklim serta infrastruktur sebesar $200 juta yang baru-baru ini dibicarakan antara Australia dan Indonesia.”

Rangkaian Seminar Series G20 ini diselenggarakan oleh Energy Transition Working Group (ETWG) Indonesia G20 2022 dan T20 Indonesia, berkolaborasi dengan Centre For Policy Development (CPD) Australia, Climateworks Centre, International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan the Institute for Essential Services Reform (IESR), serta didukung oleh Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC).

Memperkuat Transisi Energi yang Berkeadilan dengan Pembiayaan Berkelanjutan

press release

Jakarta, 28 Juli 2022- Transisi energi menjadi krusial dan urgen untuk dilakukan demi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius pada 2050 sesuai Persetujuan Paris. Memperkuat transisi energi yang berkeadilan membutuhkan pendanaan yang berkelanjutan dan inovatif. 

IESR - Wapres - Meneteri Keuangan - Menteri ESDM
Wakil Presiden Ma’ruf Amin berfoto bersama pembicara utama dan wakil dari masing-masing organisasi mitra penyelenggara pada rangkaian seminar G20 yang dilaksanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (Dok. Sekretariat Seminar)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif dalam sambutannya pada seri seminar G20 berjudul “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies” mengatakan Indonesia telah memiliki peta jalan transisi energi untuk mencapai neutral karbon pada 2060 atau lebih cepat.

“PLN melalui rencana bisnis penyediaan energi nasional pada tahun 2021-2023 juga telah menargetkan rencana bisnis yang lebih bersih dengan menambah pembangkit listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan hingga 51,6%. Indonesia telah merencanakan untuk membangun nusantara super grid untuk mendorong pengembangan energi terbarukan dan juga menjaga stabilitas dan keamanan kelistrikan,” jelasnya.

Arifin juga menambahkan bahwa setidaknya Indonesia membutuhkan investasi untuk transisi energi sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060.

“Oleh karena itu, Indonesia terus menjalin kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara mitra dan lembaga keuangan internasional untuk menemukan mekanisme pendanaan yang inovatif,” ujarnya.

Senada, Yudo D. Priaadi, Chair of Energy Transition Working Group (ETWG) G20 2022 mengungkapkan pembiayaan inovatif dan pembiayaan syariah (Islamik) berpotensi membuka peluang untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusivitas menuju pembiayaan berkelanjutan.

“Kita harus mengembangkan  platform yang efektif dan teruji serta dapat mengamankan investasi,” tandasnya.

Mahendra Siregar, Ketua Otoritas Jasa Keuangan menekankan selain pembiayaan berkelanjutan digunakan untuk membiayai transisi energi, namun perlu pula selaras dengan upaya pengentasan  kemiskinan. Menurutnya, rencana transisi energi dengan pembiayaan berkelanjutan juga perlu memberikan keuntungan (profit).

“OJK berencana menyeimbangkan transisi dan ekonomi hijau, stabilitas sosial, dan pengentasan kemiskinan. OJK meyakinkan bank dan perusahaan kredit publik untuk mengatasi perubahan iklim,” jelasnya di kesempatan yang sama.

Kuki Soejachmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), mengungkapkan bahwa transisi energi tidak hanya berfokus pada transformasi penggantian sektor-sektor penghasil emisi GRK secara bertahap, tetapi juga terkait lapangan kerja baru, industri baru, keahlian baru, investasi baru dan peluang-peluang lainnya untuk menciptakan masyarakat yang tangguh. 

“Itu sebabnya inklusivitas dan adil pada proses transisi energi menjadi bermakna bagi masyarakat, ekonomi, industri dan lingkungan,” tegas Kuki.

Transisi energi berkeadilan perlu pula memastikan akses energi yang berkualitas bagi semua orang terutama bagi masyarakat miskin.

“Bertransisi energi dengan salah satunya mempensiunkan PLTU batubara. Kebutuhan Indonesia untuk mempensiunkan PLTU batubara sebesar 9,2 GW seperti yang sedang dikaji oleh Kementerian ESDM, menurut laporan IESR memerlukan dana sekitar USD 4,3 miliar, namun akan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat Indonesia,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Ia yakin dengan pendekatan yang berpusat pada kepentingan masyarakat akan memastikan manfaat dan biaya transformasi sistem energi didistribusikan secara adil, dan melindungi yang paling rentan di masyarakat.

Energy Transition Working Group (ETWG) Indonesia G20 2022 dan T20 Indonesia, berkolaborasi dengan Centre For Policy Development (CPD) Australia, Climateworks Centre, International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan the Institute for Essential Services Reform (IESR), serta didukung oleh Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC), menyelenggarakan seminar series G20 bertajuk “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies.

IESR: Perlu Segera Transformasi Ekonomi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 11 Juli 2022- Permintaan terhadap batubara sebagai sumber energi dalam jangka panjang diprediksi akan mengalami penurunan signifikan. Tren ini dipengaruhi oleh menguatnya komitmen iklim dari negara-negara yang mengimpor batubara untuk beralih ke energi yang terbarukan. Institute for Essential Services Reform (IESR) bahkan dalam kajiannya mengungkapkan jika komitmen penurunan emisi pemerintah Indonesia sejalur dengan Perjanjian Paris untuk bebas emisi 2050, maka pada 2045, batubara tidak lagi digunakan dalam sistem energi di Indonesia. Hal ini menuntut keseriusan pemerintah untuk mempersiapkan transformasi ekonomi dan pekerjaan bagi daerah yang dominasi pendapatannya berasal dari sektor batubara.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa pemutakhiran target emisi yang lebih tinggi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) negara pengguna batubara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, AS, Uni Eropa, Afrika Selatan dan negara lainnya akan berdampak pada penurunan bahkan penghentian pembiayaan  pada proyek-proyek energi fosil. Mengacu pada Perjanjian Paris, jika negara di dunia mengadopsi penghapusan batubara yang lebih agresif maka pada 2030, produksi batubara akan menurun 20 %, kemudian menjadi 60% pada tahun 2040, dan 90% pada tahun 2050.

“Penurunan produksi ini harus diantisipasi karena akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan juga berdampak pada pendapatan baik nasional maupun khususnya daerah penghasil batubara. Ancaman ini cukup serius mengingat daerah-daerah penghasil batubara tidak punya banyak pilihan untuk alternatif ekonominya, sementara melakukan transformasi ekonomi post coal mining memiliki memiliki waktu yang cukup panjang. Sekarang saatnya untuk melakukan penyesuaian adaptasi dan menyiapkan pondasi untuk transformasi ekonomi post coal mining dan post coal power plant. Kegagalan melakukan transformasi ekonomi itu akan tidak hanya menyebabkan meningkatnya angka pengangguran tetapi juga akan menyebabkan daya saing ekonomi yang menurun,” ujar Fabby.

Ia menambahkan daerah penghasil batubara tersebut perlu didukung dengan satu kebijakan nasional. Bahkan, IESR  merekomendasikan agar hal tersebut menjadi salah satu isu prioritas yang masuk dalam penyusunan RPJMN 2024-2029.

Julius Christian, Penulis Kajian IESR berjudul Redefining Future Jobs: Implication of coal phase-out to the employment sector and economic transformation in Indonesia’s coal regions mendesak pemerintah pusat dan daerah penghasil batubara di Indonesia untuk segera melakukan berbagai persiapan untuk mengantisipasi pengurangan pendapatan dan penyerapan pekerja dari sektor batubara.

“Kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini menjadi hal penting dalam mempersiapkan strategi ekonomi jangka panjang untuk mewujudkan struktur ekonomi yang lebih diverse (beraneka ragam) dan tidak bergantung pada batubara,” jelas Julius.

Pada 2020, terdapat sekitar  250 ribu pekerja yang bekerja langsung di sektor pertambangan. Para pekerja ini pada umumnya berusia di bawah 50 tahun sehingga masih memiliki peluang untuk diperlengkapi dengan berbagai jenis pelatihan untuk beralih ke sektor pekerjaan yang lain. Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan tunjangan dan jaringan pengaman sosial untuk mengantisipasi penurunan permintaan batubara yang cepat. 

“Pekerja batubara merupakan salah satu pihak yang paling terdampak oleh penurunan batubara ini. Namun, hingga saat ini para pekerja masih belum menyadari risiko yang mereka hadapi dan belum banyak dilibatkan dalam berbagai pembahasan mengenai transisi energi,” tambah Julius.

Menurutnya Ronald Suryadi, Peneliti di IESR,  yang juga merupakan penulis dalam kajian Redefining Future Jobs ini mengungkapkan bahwa transformasi ekonomi perlu segera direncanakan bagi provinsi-provinsi di Indonesia yang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerahnya berasal dari sektor batubara, seperti Kalimantan Timur yang memproduksi 48 % pasokan batubara nasional, Kalimantan Selatan (32%), Sumatera Selatan (9%), Kalimantan Utara (3%), dan Kalimantan Tengah (3%). 

“Transformasi ekonomi secara bertahap tak hanya diperlukan untuk memitigasi dampak yang dihasilkan, tetapi juga menuju struktur ekonomi yang dapat mengikuti perkembangan zaman ke depannya,” ungkap Ronald.

IESR mendorong proses perencanaan dan penyusunan strategi yang inklusif dengan   melibatkan pihak-pihak yang terdampak, terutama para pekerja dan masyarakat di sekitar tambang agar transformasi ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Diantaranya, transformasi ekonomi di kawasan batubara dapat dilakukan dengan modernisasi di sektor pertanian. Selain itu, pemerintah perlu pula memperkuat industri-industri utama yang sudah ada dengan multiplier effect (efek berganda) yang tinggi, seperti: industri makanan dan kimia. Tidak hanya itu, persiapan untuk membangun ekonomi yang berpusat pada pelayanan dan jasa dapat dilakukan dengan membangun infrastruktur, restorasi lingkungan, dan peningkatan sumber daya manusia. 

Kajian IESR berjudul Redefining Future Jobs ini dapat diunduh di https://s.id/FutureJobs. ***

IESR Dorong Manfaatkan Keuntungan Batubara untuk Akselerasi Transisi Energi

Jakarta, 30 Juni 2022  Sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar,  PLTU perlu dipensiunkan sebelum tahun 2050 dan diganti sepenuhnya dengan energi terbarukan. Dominasi PLTU di Indonesia di sektor ketenagalistrikan, sebesar 66% bauran listrik perlu secara bertahap dikurangi. Pemerintah dapat menggunakan momentum naiknya harga batubara acuan (HBA) hingga USD 342/ton pada Juni 2022 dengan menyiapkan mekanisme bertransisi energi.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang rencana pemerintah dan PLN untuk mempertahankan PLTU dengan memanfaatkan clean coal technology seperti PLTU supercritical dan ultra supercritical, merupakan langkah yang tidak tepat. Kisaran emisi langsung PLTU di Indonesia adalah 800-1200 kgCO2e/MWh tergantung dari teknologi yang ada. Bahkan penggunaan PLTU teknologi ultra supercritical terbaik tetap menghasilkan emisi langsung >700 kgCO2e/MWh, lebih tinggi dari pembangkit fosil lainnya seperti gas dan tidak berdampak signifikan pada penurunan faktor emisi jaringan nasional yang sudah di angka ~900kgCO2e/MWh. Strategi dengan menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) juga tidak akan signifikan mengurangi emisi GRK dan justru mempunyai investasi yang mahal dengan tingkat keberhasilan yang rendah.

“PLN perlu menghitung pilihan-pilihan teknologi dalam melakukan transisi energi. Teknologi CCS/CCUS sampai hari ini masih cukup mahal. IEA memperkirakan teknologi penangkap karbon ini berbiaya $120 per ton CO2 atau $0,12/kg. Pemakaian teknologi CCS/CCUS akan menambah biaya pembangkitan listrik tenaga uap secara signifikan, kurang lebih $0,08 – 0,1/kWh. Dengan pertimbangan biaya ini, lebih terjangkau menutup dini PLTU dan menggantikan dengan PLTS plus baterai skala utilitas yang menghasilkan keekonomian yang lebih kompetitif ketimbang opsi PLTU dengan CCS/CCUS,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Tidak hanya itu, menyoroti penggunaan CCS di dua PLTU di  PetraNova dan Boundary Dam di AS yang belum mampu mengurangi emisi karbon seperti yang didesainkan awalnya, IESR berpendapat kehandalan pemanfaatan CCS pada PLTU belum teruji. Ditambah lagi, emisi daur hidup PLTU dengan CCS juga masih  tergolong besar akibat kenaikan penggunaan batubara untuk menyokong operasi CCS pada PLTU.

Demi memenuhi kebutuhan domestik saja, pemerintah kerap menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) yang mempunyai konsekuensi dilematis.

“Suplai batubara ke pasar domestik dibatasi maksimal harga USD 70/ton. Di sisi lain kebijakan tarif energi terbarukan masih merujuk ke Permen ESDM 50/2017 yang membatasi tarif jual beli energi terbarukan 85% dari BPP. Di sini salah satu hambatan dalam transisi energi dimana energi terbarukan dipaksa lebih murah dibandingkan BPP yang nilainya didominasi PLTU batubara dengan dukungan regulasi DMO USD 70/ton tadi,” ungkap Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR.

Kebijakan DMO batubara telah menciptakan lapang tanding yang tidak seimbang untuk energi terbarukan. Jika pemerintah tidak menerapkan DMO maka harga pembangkitan listrik dari PLTU batubara dapat mencapai 14-16 cent/kWh jika harga batubara 324 USD/ton diteruskan. Artinya, tanpa dukungan dari regulasi, pembangkitan listrik dari energi terbarukan sudah lebih murah dibandingkan PLTU batubara. Kebijakan DMO membuat keekonomian pembangkit energi terdistorsi karena tidak berdasarkan biaya yang sebenarnya. Selain itu memberikan disinsentif bagi perusahaan untuk mengakselerasi energi terbarukan yang lebih murah dan menguntungkan dalam jangka panjang. 

Deon mengatakan bahwa keekonomian pembangkit energi dihitung dari biaya investasi dan operasi diratakan selama umur pakai/lifetime. Jika membandingkan energi fosil dan energi terbarukan, harga investasi pembangkit energi terbarukan memang mahal di awal, namun biaya investasi akan menunjukkan tren penurunan yang dapat diprediksi dan diakselerasi dengan dukungan kebijakan yang tepat. Berbeda dengan energi fosil yang sangat tergantung pada biaya operasional yang volatilitasnya sangat tinggi.

“Perlu tetap memperhatikan dampak pada biaya pembangkitan listrik, sehingga tarif DMO tidak bisa dicabut begitu saja berhubung PLTU sudah terlanjur dominan di sistem kelistrikan. Sebaiknya, keuntungan dan PNBP dari sektor tambang batubara bisa dialihkan sebagian untuk mendorong transisi energi dengan bertahap mengurangi ketergantungan sistem kelistrikan pada PLTU dan mendorong pengembangan energi terbarukan. Mekanisme yang efektif untuk memanfaatkan ini akan memerlukan koordinasi dari Kementerian Keuangan, KESDM dan kementerian BUMN serta pemangku kepentingan terkait seperti PLN dan industri batubara,” jelas Deon.

Pengoperasian PLTU Secara Fleksibel untuk Mengakomodasi Penetrasi Energi Terbarukan Yang Tinggi

press release

Jakarta, 15 Juni 2022  Dominasi PLTU batubara di sistem kelistrikan Indonesia menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya pemanfaatan potensi teknis energi terbarukan yang melimpah. Sekitar 70% dari pembangkitan listrik di Indonesia masih berasal dari PLTU, di mana sebagian besar unit PLTU ini berusia di bawah 10 tahun. Di samping itu, pertumbuhan kebutuhan listrik tidak sebesar proyeksi, sehingga menyebabkan suplai listrik yang lebih. Kondisi ini menutup peluang untuk integrasi pembangkit energi terbarukan dengan masif dalam dekade ini yang lebih besar seiring dengan transisi sistem kelistrikan menuju net-zero emission.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam kajiannya berjudul Operasi Fleksibel PLTU (The Flexible Thermal Power Plant) menganalisis bahwa sebagai langkah sementara perlu dilakukan modifikasi (retrofit) PLTU batubara sehingga dapat dioperasikan secara fleksibel. Hal ini akan menggeser peran PLTU yang semula berfungsi murni sebagai pembangkit beban dasar (baseload), menjadi dapat menyesuaikan keluaran pembangkitnya mengikuti intermitensi energi terbarukan sehingga membantu kestabilan jaringan listrik. Opsi ini dapat diterapkan sebelum akhirnya PLTU dihentikan secara permanen. Artinya PLTU fleksibel akan dihentikan setelah pasokan energi terbarukan dapat memenuhi permintaan dan intermitensinya dapat diatasi dengan opsi lainnya, misalnya interkoneksi jaringan listrik, manajemen permintaan listrik melalui mekanisme pasar, dan penyimpan energi alternatif seperti  baterai, turbin gas bertenaga hidrogen.

“Berdasarkan kajian IESR, agar sistem kelistrikan Indonesia selaras dengan target Paris Agreement, maka pada 2030 sekitar 47% energi listrik di Indonesia harus berasal dari pembangkit energi terbarukan. Tantangannya adalah over capacity pembangkit PLN yang mencapai 5 GW membuat bauran energi terbarukan di sistem tidak dapat dinaikkan tanpa dilakukan penurunan kapasitas PLTU melalui pensiun dini (early retirement) atau menurunkan faktor kapasitas PLTU dengan melakukan mode operasi fleksibel. Rencana pemerintah dan PLN untuk melakukan pensiun terhadap 5 GW PLTU dan mengganti 3,7 GW dengan pembangkit energi terbarukan memberikan sedikit harapan. Langkah ini perlu dilengkapi dengan pengoperasian PLTU yang lebih fleksibel untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan.,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

IESR memandang pengoperasian PLTU yang fleksibel merupakan hal yang secara teknis dapat dilakukan oleh Indonesia. PLTU di Indonesia didominasi PLTU subkritikal sehingga bisa mencontoh praktik operasi fleksibel PLTU di negara lain yang umumnya juga diterapkan di PLTU subkritikal.

Selain itu, PLTU di Indonesia umumnya berusia muda (0-22 tahun), dengan rata-rata umur 9 tahun. Sekitar 55% berada di luar Jawa-Madura-Bali (Jamali) dan pulau Sumatera, dan sekitar 34% berada di Jamali dan Sumatra. Meretrofit PLTU berusia muda untuk beroperasi secara fleksibel dapat menjadi pilihan yang lebih baik karena tidak memerlukan investasi yang mahal, bahkan bisa tanpa biaya, dibandingkan memodifikasi PLTU yang berusia tua.  Sehingga, IESR mendorong pemerintah untuk melakukan pemetaan pembangkit listrik  menurut kelompok usia untuk menyiapkan rencana operasi PLTU yang fleksibel. Rencana tersebut perlu diintegrasikan dengan target bauran energi terbarukan yang lebih besar.

Tidak hanya itu, kondisi kelebihan pasokan listrik yang saat ini terjadi seharusnya menjadi kesempatan untuk mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Menurut RUPTL PLN terbaru, margin cadangan ideal untuk sistem Jamali berkisar antara 35% (PLN, 2021). Sementara, margin cadangan sistem Jamali bahkan telah mencapai pada 46,8%. 

“Kelebihan margin cadangan di beberapa sistem membuat beberapa pembangkit di sistem tersebut tidak perlu dioperasikan penuh, sehingga ada kesempatan untuk melakukan retrofit yang akan membutuhkan pembangkit listrik berhenti beroperasi selama kurang lebih 6 bulan sampai setahun,” jelas Raditya Wiranegara, Peneliti Senior, IESR yang juga merupakan Penulis Kajian Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-Fired Power Plants Flexibly to Enable the High-Level in Variable Renewables in Indonesia’s Power System

Kajian IESR ini menunjukkan bahwa retrofit operasi PLTU yang fleksibel dapat difokuskan pada pengurangan beban minimum PLTU, dari 50% menjadi 30%, peningkatan kemampuan PLTU untuk menanggung loncatan beban secara cepat (ramp rate) sebanyak 2 kali lipat dari biasanya, serta mempercepat waktu menghasilkan uap (start-up) dari 2-10 jam menjadi 1,3-6 jam.  Manfaat dari pengurangan beban minimum PLTU adalah untuk mengurangi biaya akibat proses start-up/shutdown yang akan semakin sering jika bauran listrik dari energi terbarukan semakin tinggi. Alasan lainnya, selain menghasilkan emisi yang tinggi adalah jika PLTU sering melakukan start-up/shutdown akan berimplikasi pada biaya operasi yang mahal karena start-up/shutdown membutuhkan minyak diesel yang harganya mahal. Di samping itu, fleksibilitas PLTU akan mengurangi biaya sistem karena biaya operasi fleksibel PLTU  lebih murah dibandingkan menggunakan penyimpan daya. Selain itu,  operasi fleksibel PLTU dapat  memberi keluasan peran bagi pembangkit lain serta penyimpanan energi seperti baterai dan pembangkit listrik berbahan bakar gas alam.

Berkaca dari pengalaman Jerman dan India yang sudah lebih awal melakukan retrofit PLTU yang lebih fleksibel, IESR menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia yang mencakup dalam 3 kategori berikut  yaitu kebijakan dan kontrak, pasar, serta teknis dan keterlibatan pemangku kepentingan.

Di segi kerangka aturan, pemerintah perlu melakukan restrukturisasi ketentuan kontrak Power Purchasing Agreement (PPA) untuk PLTU yang fleksibel. Termasuk melakukan revisi Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) yang saat ini masih menempatkan PLTU sebagai base load.

“Agar operasi fleksibel dapat diimplementasikan, revisi PPA yang masih memiliki tenor panjang, 30 tahun, dan mewajibkan pembangkit untuk beroperasi di Capacity Factor yang tinggi, 80 sampai 85%, perlu dilakukan. Sebaliknya, PPA yang direvisi harus dapat mendorong pembangkit beroperasi secara fleksibel dengan melakukan negosiasi klausal-klausal di skema Take or Pay (ToP). Negosiasi ini sebaiknya mempertimbangkan penurunan rasio 80% di dalam perhitungan skema ToP, serta mendorong operator pembangkit berpartisipasi di pasar ancillary services dan kapasitas. Dengan berpartisipasi di kedua pasar tersebut, diharapkan kerugian dari penurunan rasio di skema ToP dapat tertutupi,” papar Raditya. 

Sementara, untuk mekanisme pasar yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan yang lebih besar, pemerintah perlu membangun mekanisme penawaran untuk menentukan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif.  Agar pasar ini bekerja, harus ada badan independen yang dibentuk untuk mengatur pasar yang baru terbentuk dan mekanisme penawarannya.

Secara teknis, pemerintah harus mengidentifikasi unit PLTU untuk proyek percontohan PLTU yang fleksibel seperti PLTU subkritikal yang berusia kurang dari 5 tahun, berkapasitas antara 100 MW dan 600 MW. Selain itu dapat memilih PLTU yang terletak di sistem Sulawesi untuk proyek percontohan ini. 

“PLTU di sistem ini didominasi oleh unit-unit muda. Selain itu, tren pemanfaatan energi terbarukan di sistem ini cukup optimistis. Pada tahun 2030 diperkirakan setengah dari pembangkitan di sistem ini akan datang dari energi terbarukan berdasarkan pemodelan perencanaan sistem ketenagalistrikan menggunakan PLEXOS yang sedang dilakukan IESR. Diharapkan, proyek ini akan membantu dalam menentukan kelayakan ekonomi dan mengidentifikasi investasi modal awal serta biaya operasional dan pemeliharaan,” pungkas Raditya.

IESR juga mendorong untuk dilakukannya peningkatan kapasitas bagi pembuat kebijakan, regulator dan operator kelistrikan untuk menjalankan PLTU secara fleksibel. Hal ini berguna untuk memberikan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menyiapkan aturan pasar dan, mereformasi pasar tenaga listrik yang ada.***

Aspirasi Kelompok Masyarakat untuk RUU EBET

Jakarta, 19 Mei 2022 – Dekarbonisasi sektor energi sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di Indonesia perlu dilakukan untuk mencapai target netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, Indonesia seharusnya menyiapkan kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan. Namun, mencermati Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang telah memasuki tahap harmonisasi di DPR RI, berbagai organisasi yang mewakili kelompok masyarakat tertentu menilai draf RUU EBET menyimpang dari tujuannya untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang berkelanjutan.

Institute for Essential Services Reform (IESR), Bersihkan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Adidaya Initiative, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengadakan diskusi dan konferensi pers untuk menyampaikan aspirasinya terhadap RUU EBET tersebut.

IESR menyoroti kerancuan RUU EBET yang mencampuradukkan energi fosil, nuklir dan energi terbarukan dalam satu undang-undang. Menurut IESR, sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batubara dan PLTN ini akan  memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca (GRK).

“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batubara dan nuklir, yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru.  Implikasinya RUU ini tidak fokus mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya butuh dorongan politik dan kerangka regulasi yang lebih kuat sehingga dapat berkembang cepat, mendukung cita-cita transisi energi,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Senada, Ahmad Ashov Birry, Koordinator Bersihkan Indonesia (BI) mendorong DPR RI untuk menyiapkan kebijakan yang secara jelas mendukung energi terbarukan.

“Alih-alih, RUU EBET yang diklaim mendukung energi terbarukan malah terang-terangan mengaburkan masa depan energi terbarukan yang mungkin bagi Indonesia, dengan memberi jalan bagi energi fosil dan berbahaya lainnya untuk diasosiasikan sebagai energi terbarukan. Ini dapat menjadi sinyal yang tak jelas bagi komunitas internasional yang ingin bersolidaritas mendukung Indonesia untuk bertransisi. Masih ada kesempatan untuk perubahan, dan langkah perubahan itu harus berani diambil pemerintah,” ungkap Ahmad.

Co-founder Adidaya Initiative, Aji Said Iqbal Fajri menyampaikan tiga pokok desakan bagi komisi VII DPR RI.

“Kami meminta agar Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menanggalkan segala bentuk energi tidak terbarukan sebagai sumber energi baru dalam RUU EBET. Kedua, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait untuk meregulasikan insentif bagi penggunaan energi terbarukan dalam rangka mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Ketiga, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait untuk mempertimbangkan saran saintifik dan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan dalam menyusun RUU EBET sebagai upaya pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan upaya dekarbonisasi di sektor energi dalam rangka mencapai keadilan ekonomi dan lingkungan di Indonesia.”

Menyoal insentif terhadap pengguna energi terbarukan, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan RUU EBET harus mengatur insentif yang signifikan baik fiskal maupun non fiskal bagi konsumen pengguna energi terbarukan. 

“Sedangkan energi yang berasal dari bahan bakar fosil tidak layak untuk diberikan subsidi bahkan perlu dikenakan cukai (disinsentif) karena mempunyai dampak eksternalitas,” jelasnya.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butarbutar mengatakan keberadaan bahwa RUU EBET ini seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang EBET. 

“RUU ini harusnya fokus ke energi terbarukan, sehingga RUU EBET ini dapat menjadi dasar hukum yang kuat, yang memberikan kepastian hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi terbarukan, sebagai bagian dari transisi energi untuk mencapai net-zero emissions secepatnya. Dengan demikian, semua pasal-pasal terkait energi baru, istilah yang tidak dikenal secara internasional, dapat dihapuskan,” jelas Paul.

Sementara itu, ia juga menambahkan jika pemerintah dan industri PLTN bermaksud  untuk mendorong pemanfaatan energi nuklir, maka pemerintah sebaiknya memprioritaskan revisi UU 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Sedangkan jika terkait transisi energi, maka yang perlu dilakukan adalah merevisi UU nomor 30 tahun 2007. 

“Apabila pemerintah ingin mendorong pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan, maka sebaiknya pemerintah memprioritaskan revisi UU 10 tahun 1997, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat untuk investasi PLTN. Lagi pula, pemanfaatan PLTN berdasarkan roadmap pemerintah, masih lama, sehingga pemerintah punya waktu yang cukup untuk merevisi UU 10 tahun 1997. Tidak ada urgensi untuk memasukkan nuklir dalam RUU ini. Terkait transisi energi, kurang tepat apabila dimasukkan dalam RUU ini. Yang perlu dilakukan adalah merevisi UU 30 tahun 2007 untuk mengakomodir isu transisi energi, net-zero emission, NDC dan Paris Agreement di sektor energi,” terang Paul.

Membawa aspirasi dari petani dan nelayan, Harmanto, Ketua Departemen Medkominfo Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) menuturkan pihaknya secara tegas menolak pengembangan PLTN. Menurutnya, petani dan nelayan di sekitar PLTN akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan dengan pembangunan PLTN, terutama jika terjadi kecelakaan PLTN.

PLTN membutuhkan zona eksklusif yang cukup luas sehingga berpotensi mengambil lahan yang luas seperti kawasan pantai yang luas. Hal ini dapat menggusur tanah petani dan membatasi akses nelayan ke laut. Ini sudah terlihat dari sejumlah pembangunan PLTU besar di pesisir utara Jawa, yang menggusur tanah petani dan membuat akses nelayan ke laut terhambat, demikian juga wilayah tangkap nelayan berubah. Selain itu risiko kecelakaan PLTN tidak nol. Kecelakaan reaktor bisa mengakibatkan kebocoran radiasi yang berdampak pada tanah, air, dan laut. Di Fukushima, limbah air radioaktif dari PLTN Fukushima dibuang ke laut dan membuat orang takut mengkonsumsi ikan,” jelas Harmanto.

Di sisi lain, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka meminta DPR RI untuk lebih memperhatikan suara dan posisi perempuan dalam pembuatan kebijakan energi. Asas kesetaraan dan inklusi sosial harus menjadi perspektif tata kelola energi dari  hulu sampai hilir dalam kebijakan energi yang tengah disusun oleh parlemen dan pemerintah. Pasal partisipasi masyarakat dalam RUU EBET harus memastikan semua elemen masyarakat seperti perempuan, kelompok marjinal lainnya dapat terlibat secara penuh dalam akses energi bersih yang berkelanjutan, dengan memastikan keterwakilan berbasis gender. Hal ini perlu dilakukan sebab perempuan dan kelompok marjinal lainnya masih diposisikan sebagai konsumen energi yang terbatas sehingga ketika krisis energi terjadi mereka menghadapi dampak buruk yang lebih berlipat. 

“Pengarusutamaan gender tidak hanya sebatas pada penyebutan istilah dalam kebijakan energi, tetapi harus dioperasionalkan dalam kerangka kerja implementasinya. Seperti memasukkan tujuan khusus gender ke dalam desain pembangunan sektor energi, memberdayakan dan melibatkan perempuan dan kelompok marjinal melalui konsultasi, partisipasi dan pengambilan keputusan. Kemudian mengembangkan strategi khusus gender untuk memaksimalkan manfaat bagi perempuan dan kelompok masyarakat miskin mengatasi dampak pembangunan energi baru terbarukan,” tandas Mike.

Sepakat dengan aspirasi yang disampaikan, Sonny Keraf, Akademisi dari Universitas Katolik Atma Jaya,menambahkan bahwa RUU EBET ini malah mirip ‘tarian poco-poco’ yang selangkah maju- selangkah mundur, karena dibajak dan dikerangkeng pedagang fosil yang kotor untuk tetap mengamankan dan melanggengkan kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan bersama umat manusia menyelamatkan krisis bumi.

“Terlalu banyak dampak negatif kalau kita tetap bertahan dengan ‘tarian poco-poco’. Kredibilitas diplomasi global pemerintah di bidang negosiasi perubahan iklim bisa tergerus. Ekspor produk industri dalam negeri bisa terhambat ketentuan standar emisi dalam seluruh rantai produksi dan rantai pasok produk kita. Komitmen mitigasi perubahan iklim kita  terganjal,” ulasnya. ***

Indonesia Dorong Mobilisasi Investasi Gigawatt PLTS

Jakarta, 19 April 2022– Kepresidenan Indonesia di G20 2022 menjadi momentum untuk menunjukkan keseriusan Indonesia mengakselerasi transisi energi global dan rencana transisi energi nasional untuk mencapai netral karbon 2060 atau lebih cepat. Percepatan pemanfaatan PLTS yang potensinya mencapai 3.400 gigawatt (GW) di Indonesia adalah salah satu caranya.  Melalui Indonesia Solar Summit 2022 yang diselenggarakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), diharapkan adanya komitmen pemerintah pusat, daerah, konsumen listrik, pengembang swasta dan BUMN, BUMD dan masyarakat untuk mendorong adopsi PLTS yang lebih besar dan memobilisasi investasi yang diperlukan.

Mewakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial mengatakan bahwa roadmap transisi energi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, energi surya akan berperan penting dalam penyediaan listrik nasional, di mana dari 587 GW kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT), sebesar 361 GW atau lebih dari 60% akan berasal dari energi surya.

“Pemerintah memiliki tiga program besar pemanfaatan energi surya, yaitu PLTS atap, PLTS ground-mounted skala besar, dan PLTS terapung. Implementasi beragam program ini membutuhkan kontribusi dari banyak pihak, tak hanya pemerintah, pemegang wilayah usaha, maupun pengembang energi terbarukan, tetapi juga para pengguna energi, seperti sektor komersial dan industri,” jelas Ego dalam sambutannya sekaligus membuka kegiatan Indonesia Solar Summit/ISS 2022.

Adanya komitmen, sambung Ego, untuk mewujudkan 2,3 GW (akumulasi) proyek PLTS di 2022 dan 2023 yang dideklarasikan oleh 31 perusahaan serta rencana pembangunan pabrik komponen pendukung PLTS di Indonesia memberikan angin segar bagi investasi energi surya di Indonesia.

Ego menambahkan PLTS atap sendiri merupakan salah satu quick wins percepatan pemanfaatan energi surya melalui kontribusi langsung dari para pengguna energi, khususnya bagi industri untuk memenuhi tuntutan pasar yang semakin kuat terhadap produk hijau (green product).

“Dukungan dari manufaktur lokal juga sangat diperlukan untuk memenuhi TKDN dan memberikan manfaat yang besar untuk dalam negeri terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja. Disamping itu aspek kemudahan akses pembiayaan murah, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk memberikan kelayakan finansial dan meningkatkan investasi energi terbarukan seperti PLTS,” ungkapnya.

Michael R. Bloomberg, Pendiri Bloomberg LP dan Bloomberg Philanthropies serta Utusan Khusus PBB untuk Ambisi dan Solusi Iklim, menekankan pentingnya beralih ke energi terbarukan sebagai salah satu solusi yang tepat dalam meraih bebas emisi. Bahkan, menurutnya, semakin mendorong masuknya investasi terhadap energi surya maka akan mempercepat pembangunan ekonomi hijau yang lebih kuat..

“Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin global dalam tenaga surya. Indonesia Solar Summit ini merupakan kesempatan penting untuk memamerkan dan mempercepat upaya energi bersih negara Indonesia, sebelum para pemimpin anggota negara G20 tiba di Bali November ini. Saat ini, PLTS sudah lebih murah daripada pembangkit listrik tenaga (uap) batubara di banyak negara. Semakin banyak yang kita lakukan untuk mempercepat investasi tenaga surya, semakin cepat kita dapat mengurangi emisi, menciptakan lapangan kerja baru, dan membangun ekonomi global yang lebih kuat dan tangguh,” jelas Michael.

Pada 2021, IESR mengidentifikasi sejumlah pipeline proyek PLTS skala besar dengan total 2,7 GWac, dengan nilai investasi US$3 miliar. Pada pergelaran ISS 2022 terangkum jumlah pipeline proyek PLTS hingga 2023 sebesar 2.300 MW yang mencakup PLTS atap (persentase terbesar), PLTS atas tanah, dan PLTS terapung. Untuk memobilisasi potensi investasi ini, tentunya diperlukan ekosistem yang menarik dan mendukung; termasuk kebijakan dan regulasi yang baik, implementasi komprehensif peraturan yang sudah ada, dan dukungan untuk mendorong pengembangan rantai pasok industri PLTS di Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan untuk mencapai target energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 sesuai Perpres 22/2017, selain target RUPTL 10,9 GW, dibutuhkan tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sekitar 4 GW di luar PLN. Tambahan ini bisa disumbang oleh PLTS baik PLTS atap maupun penggunaan PLTS di wilayah usaha (wilus) non-PLN.

“Dari deklarasi 2,3 GW proyek PLTS di ISS 2022 menunjukkan potensi energi surya yang sangat besar di Indonesia. Indonesia bisa jadi solar power house di Asia Tenggara dengan potensi pertumbuhan 3-4 GW per tahun jika tidak dihalang-halangi. Ini membuka kesempatan mengalirnya investasi hijau, kesempatan menumbuhkan industri PLTS terintegrasi dari hulu ke hilir, dan penyerapan tenaga kerja serta daya dorong pemulihan ekonomi pasca-COVID. Presiden Jokowi perlu melihat potensi ini dan memimpin revolusi energi surya untuk transisi energi di Indonesia,” tandas Fabby.

Indonesia Solar Summit (ISS) 2022 digelar pada 19 dan 20 April 2022 menghadirkan narasumber Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang diwakili Sekjen Kementerian ESDM, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara, Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi, perwakilan Kementerian Keuangan, CEO perusahaan nasional dan multinasional, dan 15 pembicara lokakarya Summit Day 2 dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, Matahari Power, Utomo SolaRuv, BloombergNEF, International Solar Alliance, Asosiasi Energi Surya Indonesia, dan Clean Affordable and Secure Energy in Southeast Asia (CASE) Project. ISS 2022 dihadiri lebih dari 600 peserta secara daring dan luring.