COP 26, Indonesia Tidak Punya Terobosan Aksi Iklim yang Ambisius

Jakarta, 3 November. Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26 tidak mengeluarkan pernyataan tegas  tentang peningkatan ambisi iklim Indonesia. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa pemerintah Indonesia seharusnya memanfaatkan kesempatan ini  dalam memimpin negara G20 untuk mendorong aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris. Namun pada pidatonya di  COP 26, Presiden Jokowi seolah menyerahkan tanggung jawab pada negara maju untuk menentukan tercapainya kondisi netral karbon di Indonesia lebih cepat. Hal ini secara langsung menunjukkan sikap yang kurang ambisius dari pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan krisis iklim. 

“Indonesia seharusnya menyampaikan ambisi iklimnya secara lugas, peningkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) dan menyampaikan kebutuhan pendanaan dari negara-negara maju untuk mencapai emisi puncak sebelum 2030 dan dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal. Sayangnya Presiden tidak secara jelas menyatakan target dan rencana aksi mitigasi yang lebih ambisius dalam pidatonya,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, yang saat ini juga sedang berada di Glasgow menghadiri perhelatan COP 26.

Berdasarkan laporan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021, dengan tidak memutakhirkan target NDC pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia lebih besar dari 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) justru akan berkontribusi pada peningkatan emisi (selain emisi dari penggunaan lahan) hingga 535% di atas level tahun 1990, atau sekitar 1.817 MtCO2e pada tahun 2030. Sementara, agar tetap di bawah batas suhu 1,5˚C, emisi Indonesia tahun 2030 harus sekitar 461 MtCO2e (atau 61% di atas level tahun 1990). Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan ambisi sebesar 1.168 MtCO2e. 

“Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam dan mineral yang cukup besar, seperti misalnya nikel, Indonesia sebenarnya mampu untuk menaikkan ambisi iklimnya melebihi target 29% pada 2030. Selain itu, jika Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar telah menerapkan konservasi dan efisiensi energi sejak dini maka tanpa kebutuhan pendanaan yang bergantung dengan negara maju, Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon lebih besar dari target yang ada di NDC,” jelas Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Selain itu, IESR mengamati bahwa rencana Indonesia, yang diutarakan oleh Jokowi pada kesempatan yang sama, untuk bertransisi energi menuju energi bersih masih terkendala pada regulasi yang tak kunjung terbit. Jokowi mengemukakan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara, namun hingga kini Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap masih tertahan di Kementerian Keuangan. Selain itu, Peraturan Presiden (Perpres) tentang energi baru terbarukan (EBT) yang dinantikan sejak awal tahun 2021, belum juga rampung.

“Seharusnya, pemerintah Indonesia secara beriringan menerbitkan segera regulasi yang tepat untuk menciptakan ekosistem pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, juga mendorong masuknya investasi negara maju. Regulasi dan target yang jelas dapat membuka peluang yang lebih besar untuk para investor menanamkan modalnya di energi terbarukan,” tambah Lisa.

Tidak hanya itu, dalam pidatonya Jokowi juga menekankan pentingnya peranan pasar karbon dan harga karbon dalam menuntaskan persoalan iklim. Bulan Oktober ini, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon bertarif  Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen akan diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi batas emisi (cap and tax)  yang ditetapkan. 

“Penetapan harga pajak karbon di angka Rp30 per kg (USD 2 per ton) masih sangat jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF yang menetapkan harga pajak karbon negara berkembang seharusnya berada di kisaran  USD 35-100t/CO2e. Bahkan laporan IPCC memaparkan bahwa tarif pajak karbon di tahun 2020 berada di kisaran US$ 40-80/tCO2. Dengan kecilnya tarif pajak karbon maka tujuan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan melalui pajak karbon ini tidak akan tercapai,” tandas Lisa. 

Menyongsong Naiknya Emisi Pasca Pandemi, Aksi Iklim Indonesia Dinilai Sangat Tidak Memadai

Jakarta, 28 Oktober 2021Indonesia telah memutakhirkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC)nya. Meskipun demikian, target Indonesia untuk mencapai netral karbon pada 2060 dinilai “Sangat Tidak Memadai”. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan aksi iklim Indonesia masih mengarah pada peningkatan emisi. Agar selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia perlu menetapkan target dan kebijakan yang lebih ambisius terutama pada sektor yang berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), dan mendorong aliran pendanaan internasional terkait iklim.

Sepanjang 2019, sektor energi masih menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar (45.7% selain sektor FOLU atau hutan dan penggunaan lahan). Sub sektor pembangkitan listrik bertanggung jawab terhadap 35% emisi GRK, diikuti oleh transportasi dan industri masing-masing 27%.  Climate Transparency Report 2021 menyatakan bahwa meski Indonesia sudah mengusulkan peningkatan energi terbarukan di bidang ketenagalistrikan, transportasi, dan industri namun belum ada strategi penghentian batubara secara bertahap serta kebijakan yang mendorong persaingan energi terbarukan dengan batubara. Climate Transparency Report 2021- catatan tahunan paling komprehensif di dunia dan perbandingan aksi iklim negara G20, bahkan memproyeksikan emisi GRK Indonesia pasca pandemi akan melonjak melebihi tingkat emisinya pada 2019 seiring dengan bangkitnya aktivitas ekonomi.

“Berdasarkan kajian IESR, paling tidak, agar selaras dengan Persetujuan Paris, penurunan emisi karbon kita di sektor energi seharusnya di atas 500 juta ton,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform pada peluncuran Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021.

Fabby memaparkan ada tiga strategi yang pemerintah Indonesia bisa lakukan untuk menekan emisi GRK dari sektor emisi.

“Pertama, peningkatan bauran energi terbarukan. Kenaikan bauran energi terbarukan harus mencapai 50% di 2030.  Kedua, mendorong efisiensi energi, khususnya dari sektor transportasi. Konsumsi energi kita per kapita untuk listrik relatif rendah, sementara permintaan bahan bakar transportasi sangat tinggi dan penyumbang emisi tertinggi,” ungkapnya.

Selanjutnya, Fabby menuturkan bahwa dengan mempensiunkan dini paling sedikit 10 GW PLTU atau tidak memperpanjang kontraknya akan efektif menurunkan emisi.

Hingga 2020, sektor ketenagalistrikan Indonesia tetap didominasi oleh bahan bakar fosil (82%), dengan batubara menyumbang pangsa tertinggi (62%) dalam pembangkitan listrik di tahun 2020. Akibatnya intensitas emisi sektor ketenagalistrikan selama lima tahun dari 2015-2020 tidak mengalami perubahan signifikan, hanya menurun sebesar 1%. Sementara, rata-rata negara anggota G20 telah menurun 10 kali lebih cepat.

Pemerintah Indonesia pun belum sepenuhnya menerapkan komitmennya untuk menekan emisi dari batubara. Demi memenuhi tujuan netral karbon pada 2060, pemerintah telah mengumumkan bahwa tidak akan membangun PLTU batubara baru setelah tahun 2023. Namun, di saat bersamaan, sekitar 2 GW kapasitas batubara sudah mulai beroperasi. Tidak hanya itu, dalam NDC, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara menurut analisis Climate Transparency Report 2021, pembangkitan listrik dari batubara bahkan harus mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037 untuk menyelaraskan dengan jalur pembatasan kenaikan suhu pada 1,5°C.

Untuk mengurangi emisi GRK diperlukan pendanaan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pendanaan publik harus sudah mulai mengarah kepada aksi yang mampu mengatasi perubahan iklim yang lebih serius. 

“Selain itu, subsidi di sektor energi fosil harus sudah mulai dihentikan dan mempercepat transisi energi melalui pendanaan energi terbarukan,” tegas Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Menurutnya, investasi pada energi hijau dan infrastrukturnya perlu lebih besar daripada investasi bahan bakar fosil pada tahun 2025. Selama ini, Indonesia telah menghabiskan 8,6 miliar USD untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019, 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48% untuk listrik. 

Lebih jauh, Lisa menambahkan bahwa penerapan pajak karbon bisa menjadi awal yang baik dalam mendorong upaya pengurangan emisi GRK yang utamanya dikontribusikan dari sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan industri sebagai penyumbang emisi terbesar di Indonesia pada sektor energi.

“Namun perlu adanya mekanisme yang lebih feasible (layak) agar penerapan pajak karbon mampu mengurangi emisi secara signifikan dan memajukan ekonomi yang berketahan iklim melalui upaya yang lebih besar lagi misalnya melalui carbon trading (perdagangan karbon).” tutup Lisa.

IESR Luncurkan Kajian Peta Potensi Teknis Energi Terbarukan di Indonesia

Jakarta, 25 Oktober 2021– Peta potensi teknis energi terbarukan yang komprehensif perlu disiapkan untuk mendukung transisi energi menuju  pemanfaatan 100 persen energi terbarukan dan mencapai Indonesia bebas emisi di tahun 2050.

Data potensi teknis energi terbarukan Indonesia masih merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 443,2 GW. Data ini pun belum dimutakhirkan sejak 2014. Selain itu, data RUEN juga jauh lebih rendah dari potensi energi terbarukan yang sesungguhnya. 

“Data potensi energi terbarukan yang tidak optimal akan mempengaruhi cara pandang, strategi serta pembuatan keputusan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Kesalahan ini akan membuat pemerintah dan pelaku usaha tidak optimal merencanakan transisi energi di Indonesia, dan formulasi kebijakan untuk mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan. Pemutakhiran data menjadi sangat penting dalam rangka merencanakan transisi energi Indonesia,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

IESR menggunakan GIS untuk memutakhirkan data potensi teknis surya, angin dan air. Mempertimbangkan masalah variabilitas dan sifat intermitensi ketiga jenis energi terbarukan tersebut, IESR juga mengkaji potensi biomassa serta penyimpanan daya hidro terpompa (Pumped Hydro Energy Storage, PHES). Hasilnya, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomassa sebesar 7.879,43 GW dan 7.308,8 GWh untuk PHES.

“Biomassa dan PHES dapat digunakan sebagai sumber-sumber pelengkap untuk mengatasi masalah intermitensi dan variabilitas dari energi surya, angin, air. Hasil hitungan kami menunjukkan potensi biomassa mencapai 30,73 GW, namun efisiensinya hanya 20-35% sehingga memerlukan PHES,” ungkap Handriyanti Diah Puspitarini, Peneliti Senior dan Penulis Utama Kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potentials”.

Potensi besar ini jika dimanfaatkan secara optimal akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi di Indonesia. Kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia yang dilakukan IESR dan telah dipublikasikan Mei lalu, memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi mencapai 1600 GW pada 2050. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan listrik sebesar 1600 GW tersebut dari 100% energi terbarukan dan mencapai nir emisi pada 2050. Berdasarkan kajian tersebut, kontribusi utamanya berasal dari 1.492 GW PV surya (88% dari bauran energi primer), 40 GW tenaga air, dan 19 GW panas bumi dan didukung dengan kapasitas storage (penyimpanan) yang optimal.

Kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potential” juga memuat data potensi teknis surya, angin, air, biomassa dan PHES secara rinci di 34 provinsi di Indonesia. Data ini dapat digunakan oleh pemerintah pusat dan provinsi untuk lebih gencar mempromosikan dan mengembangkan proyek energi terbarukan yang terdesentralisasi sesuai potensi terbesarnya, namun saling terhubung antar pulau dan provinsi untuk menyeimbangkan pasokan energinya.

“Peta potensi energi terbarukan ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan mempertimbangkan biaya pembangunan hingga pengoperasian energi terbarukan, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas kepada para pemangku kepentingan tentang lokasi energi terbarukan yang optimal untuk dikembangkan. Selanjutnya, pengembangan energi terbarukan dapat diwujudkan dengan dukungan kebijakan dan regulasi yang tepat,” tambah Handriyanti.

Melalui kajian ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk pertama, memperbaiki data potensi energi terbarukan yang menjadi acuan perencanaan di sektor energi dan pembangunan, dan melakukan tinjauan secara berkala seiring dengan semakin matangnya teknologi energi terbarukan. Kedua, pemerintah maupun para ahli perlu melengkapi peta potensi teknis dengan analisis singkat mengenai intermitensi, variabilitas, dan kesiapan jaringan, termasuk prediksi kondisi di beberapa tahun ke depan.  Ketiga, pemerintah dan pemangku kepentingan harus mulai mempertimbangkan pengembangan sistem terdesentralisasi dan koneksi antar pulau sebagai cara untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan yang dapat diakses oleh masyarakat di seluruh pulau, terutama daerah terpencil. Keempat, pemerintah perlu memberi dukungan lebih pada berbagai inovasi teknologi energi terbarukan sehingga dapat membuka peluang pemanfaatan potensi energi terbarukan yang besar.

Tabel : Potensi Teknis Energi Terbarukan di Indonesia

Tipe

Potensi Teknis

Skenario 1

Skenario 2

PLTS (atap, ground mounted, dan terapung)

7,714.6 GW

6,749.3 GW

PLTA mikro dan kecil dengan kapasitas ≤ 10 MW

28.1 GW

6.3 GW

PLTB darat

106 GW at 50 m hub height (ketinggian rotor) and 88 GW at 100 m hub height

25 GW at 50 m hub height dan 19.8 GW at 100 m hub height

Biomasa (hanya dari limbah tanaman dan kayu)

30.73 GW

Penyimpanan daya hidro terpompa (Pumped Hydro Energy Storage, PHES)

7,308.8 GWh

Kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potential”  dapat diunduh pada tautan s.id/Beyond443GW

Siaran peluncuran kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potential” dapat disaksikan di Youtube IESR Indonesia pada tautan https://youtu.be/eS_PQD3gEIs

Jelang COP26, Pemimpin Komunitas Suarakan untuk Deklarasi Darurat Iklim

Jakarta, 19 Oktober 2021Indonesia telah memutakhirkan komitmen iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC)-nya untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Komitmen Indonesia yang terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris menyiratkan upaya pemerintah yang kurang ambisius dalam menyikapi krisis iklim yang mengancam kehidupan masyarakat Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengemukakan bahwa persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.

“Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar,” ujar Fabby dalam webinar “Menuju COP 26:  Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi” yang diselenggarakan oleh IESR (19/10/2021).

Fabby menambahkan bahwa manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru  sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih. Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.

Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, para pemimpin  komunitas yang turut hadir pada kesempatan yang sama mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi serta kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat.

Tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah menurut Melissa Kowara, Aktivis, Extinction Rebellion Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.

“Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis. (Belum ada deklarasi yang mengatakan-red) kita akan melakukan segala suatu cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua,” ujar Melissa. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan literasi masyarakat  yang rendah mengenai perubahan iklim.

Muhammad Ali Yusuf, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Nahdlatul Ulama (NU) mengungkapkan pula bahwa diskursus keagamaan di Indonesia sendiri masih jauh dari isu ekologis atau perubahan iklim.

“Kalaupun sudah ada, belum masuk isu prioritas utama. Untuk itu, literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim,” jelasnya.

Senada, Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), mendorong agar para tokoh agama perlu memainkan perannya dalam meningkatkan pemahaman umat terhadap persoalan iklim dengan membahasakannya sesuai konteks lokal.

“Di daerah, dampak perubahan iklim seperti munculnya hama baru, gagal panen, dirasakan oleh masyarakat, namun mereka tidak memahaminya. Perlu  ‘membumikan’ hal tersebut sesuai dengan perspektif mereka (masyarakat setempat-red),” ujar Jimmy.

Menilik persoalan perubahan iklim dari sisi perempuan, Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) berpendapat bahwa  seyogyanya perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Namun, Mike menyayangkan isu lingkungan dan perubahan cenderung dianggap sebagai isu maskulin sehingga mengesampingkan peran perempuan dalam merawat alam dan melakukan advokasi permasalahan iklim.

“Padahal dampak perubahan iklim paling berat dirasakan perempuan karena kebijakan dan sistem kita tidak disiapkan secara inklusif. Inisiatif positif yang dilakukan oleh perempuan dengan melakukan advokasi perubahan iklim juga harus diberi pengakuan (recognition) oleh negara,” tandas Mike.***

IESR : Porsi Energi Terbarukan di RUPTL “Hijau” Bisa Lebih Besar

Jakarta, 14 Oktober 2021Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi menuju dekarbonisasi 2060 atau lebih awal dengan  menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang memiliki porsi pembangkit energi terbarukan yang lebih besar. Pemerintah mengklaim bahwa RUPTL ini merupakan RUPTL paling hijau karena memuat porsi kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 51,6% atau 20,923 MW pada 2030 Meskipun demikian, RUPTL 2021-2030 masih mengindikasikan ketergantungan energi fosil pada sistem energi di Indonesia.

Pamela Simamora, Koordinator Riset IESR yang juga merupakan penulis utama studi Deep decarbonization of Indonesia’s energy system berpendapat bahwa RUPTL 2021-2030 masih memperlihatkan bauran listrik energi terbarukan yang masih kecil yaitu hanya sebesar 24,8% di tahun 2030. Artinya sepanjang 2025 hingga 2030, kenaikan bauran energi terbarukan hanya sebesar 1,8% saja. Angka ini jauh lebih kecil dari target kenaikan bauran dari 2021 ke 2025 yaitu sebesar 8% (dari 15% hari ini ke 23% di 2025). 

“Seharusnya bauran energi terbarukan pada 2030 bisa lebih tinggi mengingat harga energi terbarukan di tahun tersebut diprediksi akan lebih kompetitif ketimbang energi fosil,” tandasnya.

Indonesia sendiri sudah mendeklarasikan untuk mencapai dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih awal. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyebutkan bahwa target tersebut akan terwujud jika pada 2030, sekitar 70% kapasitas pembangkit listrik atau sekitar 80-85 GW berasal dari energi terbarukan sehingga emisi sektor energi bisa mencapai puncaknya di 2030.

“Untuk mencapai bauran ini maka perlu ada upaya untuk menurunkan kapasitas pembangkit energi fosil sehingga membuka ruang yang lebih besar bagi pembangkit energi terbarukan untuk masuk dalam sistem ketenagalistrikan. Penurunan kapasitas pembangkit termal harus diikuti dengan pengembangan energi terbarukan. Dengan kebutuhan ini, maka energi terbarukan pada 2022-2025, idealnya mencapai 25-30 GW dan diakselerasi menjadi 45 – 50 GW dari 2025 sampai 2030, seiring dengan rencana pensiun dini PLTU,” jelasnya.

Menyoroti rencana pemerintah dalam RUPTL 2030 untuk melakukan pensiun 1,1 GW PLTU subkritikal di Muara Karang, Tanjung Priok, Tambak Lorok, dan Gresik pada tahun 2030, Manager Program Energi Transformasi, Deon Arinaldo menilai bahwa langkah ini masih mengikuti rencana business as usual karena PLTU tersebut memang sudah memasuki umur pensiunnya. 

 

Selain itu, langkah pemerintah untuk tetap mempertahankan bahan bakar fosil dengan melakukan co firing biomassa pada PLTU justru akan menimbulkan risiko stranded asset dan lingkungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan fokus mengembangkan energi terbarukan seperti energi surya. PLN bahkan sudah mengidentifikasi tantangannya seperti keberlanjutan suplai biomassa yang diperlukan mencapai 8-14 juta ton per tahun, dampak pada efisiensi PLTU serta kenaikan BPP.

Di sisi lain, RUPTL 2030 juga telah merencanakan pengembangan interkoneksi ketenagalistrikan di dalam pulau maupun antar pulau untuk meningkatkan keandalan listrik dan mendistribusikan energi baru terbarukan yang sumbernya berada jauh dari pusat beban. Pemerintah menargetkan pada tahun 2024 interkoneksi di dalam Pulau Kalimantan dan Sulawesi sudah terwujud dalam sistem supergrid untuk mengatasi adanya over supply di suatu sistem besar. Pemerintah juga sedang mengkaji pengembangan jaringan interkoneksi antar Sumatera-Jawa dan Bali-Lombok.  Merujuk pada kajian Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, rencana jaringan interkoneksi di dalam pulau dan antarpulau ini merupakan hal yang baik dan patut dikawal pengembangannya.

Selain itu, pengembangan energi terbarukan bervariasi (VRE) khususnya energi surya difokuskan pada tiga strategi: PLTS untuk listrik perdesaan (lisdes), de-dieselisasi, dan tersambung jaringan (baik PLN maupun IPP). Meski demikian, de-dieselisasi dengan konversi PLTD menjadi PLTS yang dilengkapi dengan baterai dengan total kapasitas 1,2 GWp hanya ditujukan untuk sistem-sistem terisolasi yang tidak dimungkinkan untuk dikoneksikan dengan transmisi PLN. 

“Jika dimaksudkan untuk mendorong penetrasi energi terbarukan yang lebih agresif, pemanfaatan energi terbarukan setempat, baik surya atau sumber energi terbarukan lainnya, sebaiknya menjadi strategi utama penyediaan akses energi, bukan pengganti, dan harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan keandalan,”ungkap Marlistya Citraningrum, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR

Tidak hanya itu, target 4,7 GW PLTS hingga 2030 yang tercantum dalam RUPTL terbaru ini kurang mencerminkan potensi dan project pipeline PLTS yang jauh lebih besar. Laporan Scaling Up Solar in Indonesia, bahkan menunjukkan setidaknya membutuhkan minimal 18 GW hingga 2025 untuk merealisasikan target 23% bauran energi terbarukan. Sementara menurut kajian IESR Deep decarbonization of Indonesia’s energy system untuk mengejar Indonesia bebas emisi di tahun 2050, diperlukan 107 GW PLTS di tahun 2030 yang dilengkapi dengan sistem penyimpanan.

Hindari Krisis Energi, Indonesia Perlu Percepat Pembangunan Energi Terbarukan

Jakarta, 11 Oktober 2021– Krisis energi di Eropa menjadi pelajaran bagi banyak negara, terutama Indonesia untuk dapat menjaga ketahanan energinya dengan mengurangi ketergantungan pada pasar energi fosil, mempersiapkan secara matang transisi energi, dan melakukan diversifikasi energi, terutama energi terbarukan.

William Derbyshire, Director, Economic Consulting Associates (ECA) UK menjelaskan bahwa ketergantungan Inggris terhadap energi fosil tercermin pada bauran pembangkit listriknya yang menempatkan porsi gas sebanyak 42%, sementara untuk energi terbarukan hanya didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)  dengan porsi sebesar 16%.

“Jika krisis energi yang terjadi disebabkan oleh karena melonjaknya harga energi fosil, maka solusinya adalah melepas ketergantungan dari energi fosil dan beralih ke energi bersih,”jelas William dalam webinar daring “Energy Crisis in UK and Europe: Lesson learned for Indonesia Energy’s Transition” (11/10/2021) yang diselenggarakan oleh Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE).

Sejauh ini, PLTB menjadi andalan Inggris untuk menghasilkan listrik dari pembangkit energi terbarukan. Namun, PLTB ini mempunyai variabilitas yang tinggi meskipun dapat diprediksi dari catatan historis pola dan kecepatan angin di suatu titik tertentu. Namun menurut Gareth Davies, Managing Director, Aquatera, variabilitas ini  dapat dikurangi jika dapat mengidentifikasi wilayah baru dengan kecepatan angin tinggi dan membangun pembangkit baru di situ.

“Dengan mendistribusikan produksi (tenaga angin) di wilayah geografis yang luas, akan dapat membantu meningkatkan ketahanan energi dan menyimbangkan pasokan energi Inggris,” jelas Gareth.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menegaskan bahwa volatilitas (perubahan) harga energi primer yakni energi fosil merupakan benang merah dari meluasnya krisis energi fosil.

“Perlu diingat bahwa krisis energi yang terjadi saat ini merupakan krisis energi fosil. Volatilitas harga energi fosil sangat tinggi. Kenaikan harga masing-masing energi fosil saling mempengaruhi,” tegas Fabby.

Di sisi lain, Fabby menjelaskan bahwa krisis energi memberikan pelajaran bagi Indonesia untuk  mempercepat transisi energi menuju energi terbarukan. Menurutnya, cadangan energi terbarukan di Indonesia yang melimpah merupakan kekuatan bagi Indonesia untuk berpindah dari energi fosil. Selain itu, untuk mencegah bertumpu pada satu sumber energi saja, menurutnya, Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasokan energi dan meningkatkan energi efisiensi.

“Meningkatkan bauran energi terbarukan juga harus memikirkan penyimpanan energi dalam durasi waktu yang lama (long-term energy storage). Interkoneksi antar pulau dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan permintaan energi antar pulau. Selanjutnya dalam perencanaan peta jalan transisi energi, perlu pula menyiapkan instrumen safeguard untuk melindungi akses energi bagi keluarga miskin,” tandasnya lagi.

Lebih lanjut, Fabby berpendapat agar setiap pihak dapat mengkomunikasikan dengan benar  tentang krisis energi yang terjadi di UK dan Eropa sehingga tidak ada kesalahan informasi yang menimbulkan kepanikan di masyarakat.

“Indonesia sendiri tidak perlu khawatir terhadap krisis energi yang terjadi di Eropa, China, Inggris, India, karena Indonesia mempunyai keunggulan untuk merancang transisi energi menuju dekarbonisasi lebih awal dengan lebih baik,” tutupnya.***

Siaran tunda webinar ini dapat diakses pada YouTube IESR pada tautan berikut: https://youtu.be/YnRd_GIy0eE

Emisi kembali meningkat di negara G20 – wanti-wanti sebuah laporan

Meskipun komitmen netral karbon dan NDC dimutakhirkan, aksi iklim negara G20 masih menjauh dari pemenuhan batas pemanasan global 1,5°C

Jakarta, 15 Oktober 2021-Sempat menurun dalam waktu singkat akibat pandemi COVID-19, emisi gas rumah kaca (GRK) kembali meningkat di seluruh G20, dengan Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan melebihi tingkat emisinya pada 2019. Hal ini merupakan salah satu temuan utama dari Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) – catatan tahunan paling komprehensif di dunia dan perbandingan aksi iklim negara G20. 

Pada tahun 2020, emisi CO2 yang berasal dari energi turun 6% di seluruh G20. Namun, pada 2021, emisi tersebut diproyeksikan akan melambung hingga 4%. 

“Melonjaknya emisi di seluruh G20, sebagai kelompok negara yang bertanggung jawab atas 75% emisi GRK global, menunjukkan bahwa pengurangan emisi yang menyeluruh dan secepatnya saat ini sangat dibutuhkan untuk mencapai maklumat netral karbon,” ungkap Gahee Han dari NGO Korea Selatan Solutions For Our Climate, salah satu penulis utama laporan ini.

Laporan tersebut juga mencatat beberapa perkembangan positif, seperti pertumbuhan tenaga surya dan angin di antara anggota G20, dengan rekor baru datang dari kapasitas terpasang pada tahun 2020. Pangsa energi terbarukan dalam pasokan energi diproyeksikan tumbuh dari 10% pada tahun 2020 menjadi 12% pada tahun 2021. Di sektor ketenagalistrikan (energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik dan panas), energi terbarukan meningkat sebesar 20% antara tahun 2015 dan 2020, dan diproyeksikan menjadi hampir 30% dari bauran energi G20 pada tahun 2021. Namun, di saat yang bersamaan, para ahli mencatat bahwa selain Inggris, anggota G20 tidak memiliki strategi jangka pendek maupun jangka panjang untuk mencapai 100% energi terbarukan di sektor listrik pada tahun 2050. 

Terlepas dari perubahan positif ini, ketergantungan pada bahan bakar fosil tidak menyusut. Sebaliknya, konsumsi batubara diprediksi meningkat hampir 5% pada 2021, sementara konsumsi gas memuncak 12% di seluruh G20 dari 2015-2020. Laporan ini menemukan bahwa pertumbuhan batubara utamanya terkonsentrasi di Cina – produsen dan konsumen batubara global terbesar – diikuti oleh AS dan India.

Di waktu yang sama, ragam pemberitaan mengisyaratkan bahwa sebagian besar pemerintah G20 menyadari perlunya transisi ke ekonomi rendah karbon. Target nir emisi harus dicapai paling lambat tahun 2050 untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C. Hal ini merupakan sesuatu yang menurut Laporan Transparansi Iklim, telah diakui oleh sebagian besar pemerintah G20. Pada Agustus 2021, 14 anggota G20 telah berkomitmen untuk mencapai target netral karbon yang mencakup hampir 61% emisi GRK global. 

Sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Paris, masing-masing pihak diharapkan untuk menyerahkan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution) – rencana iklim yang menjabarkan target, kebijakan, dan langkah-langkah yang ingin diterapkan oleh masing-masing pemerintah. Pada September 2021, 13 anggota G20 (termasuk Prancis, Jerman, dan Italia di bawah NDC Uni Eropa) telah secara resmi menyerahkan pemutakhiran NDC, dengan enam negara menetapkan target 2030 yang lebih ambisius. Namun, tetap saja komitmen tersebut belum memadai, bahkan jika diterapkan sepenuhnya, target saat ini, yang dinilai pada April 2021, masih akan menyebabkan pemanasan 2,4°C pada akhir abad ini, demikian para ahli memperingatkan. 

“Pemerintah G20 perlu berunding dengan target pengurangan emisi nasional yang lebih ambisius. Angka-angka dalam laporan ini mengonfirmasi bahwa kita tidak dapat membuat perubahan signifikan tanpa negara G20 – mereka tahu itu, kita semua tahu itu – mereka harus melakukan sesuatu menjelang COP26,” kata Kim Coetzee dari Climate Analytics, yang mengkoordinasikan analisis keseluruhan.

Temuan penting dari laporan Transparansi Iklim

  • Hasil respon pemerintah terhadap pandemi COVID-19, emisi CO2 terkait energi menurun sebesar 6% pada tahun 2020. Namun, pada tahun 2021, emisi CO2 diproyeksikan meningkat sebesar 4% di seluruh G20, dengan Argentina, Cina, India dan Indonesia diproyeksikan melampaui tingkat emisi mereka pada 2019
  • Pangsa energi terbarukan G20 meningkat dari 9% pada tahun 2019 menjadi 10% pada tahun 2020 dalam Total Pasokan Energi Primer (TPES), dan tren ini diproyeksikan akan terus berlanjut, naik menjadi 12% pada tahun 2021. 
  • Antara tahun 2015 dan 2020, pangsa energi terbarukan dalam bauran energi G20 meninggi sebesar 20%, mencapai 28,6% dari pembangkit listrik G20 pada tahun 2020 dan diproyeksikan mencapai 29,5% pada tahun 2021.
  • Dari tahun 2015 hingga 2020, intensitas karbon di sektor energi mengalami penurunan sebesar 4% di seluruh G20. 
  • Konsumsi batubara diproyeksikan meningkat hampir 5% pada tahun 2021, dengan pertumbuhan ini didorong oleh China (menyumbang 61% dari pertumbuhan), Amerika Serikat (18%) dan India (17%). 
  • Amerika Serikat (4,9 tCO2/kapita) dan Australia (4,1 tCO2/kapita) memiliki emisi bangunan per kapita tertinggi di G20 (rata-rata 1,4 tCO2/kapita), yang mencerminkan tingginya pangsa bahan bakar fosil, terutama gas alam dan minyak, digunakan untuk memproduksi panas.
  • Antara 1999 dan 2018 telah terjadi hampir 500.000 kematian dan hampir USD 3,5 triliun biaya ekonomi akibat dampak iklim di seluruh dunia, dengan China, India, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat sangat terdampak pada tahun 2018.
  • Di seluruh G20, pangsa pasar rata-rata kendaraan listrik (EV) saat ini dalam penjualan mobil baru tetap rendah pada 3,2% (tidak termasuk Uni Eropa), dengan Jerman, Prancis, dan Inggris memiliki pangsa EV tertinggi. 
  • Antara tahun 2018 dan 2019, anggota G20 menyediakan dana publik sebesar USD 50,7 miliar/tahun untuk bahan bakar fosil. Penyedia keuangan publik tertinggi adalah Jepang (USD 10,3 miliar/tahun), China (hanya di atas USD 8 miliar/tahun), dan Korea Selatan (di bawah USD 8 miliar/tahun).

 

Sebagian besar anggota G20 juga melewatkan peluang terkait pemanfaatan paket pemulihan COVID-19 untuk mempromosikan tujuan mitigasi iklim. Hanya USD 300 miliar dari total USD 1,8 triliun dana pemulihan yang digembar gemborkan, digunakan untuk pemulihan “hijau”, sedangkan bahan bakar fosil terus disubsidi. 

“Sangat mengecewakan bahwa satu dekade telah berlalu sejak komitmen untuk merasionalisasi dan menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien dibuat, tetapi anggota G20 masih menyalurkan miliaran dolar AS ke bahan bakar kotor, yang menyebabkan perubahan iklim,” kata Enrique Maurtua Konstantinidis dari Fundación Ambiente y Recursos Naturales (FARN) di Argentina. Pada 2019, anggota G20, tidak termasuk Arab Saudi, memberikan subsidi setidaknya USD 152 miliar untuk produksi dan konsumsi batubara, minyak, dan gas.

Skema penetapan harga karbon yang efektif dapat mendorong transisi ke ekonomi rendah karbon, menurut penulis laporan tersebut. Namun, hanya 13 anggota G20 yang memiliki beberapa bentuk skema penetapan harga karbon nasional yang eksplisit. Brasil, Indonesia, Rusia, dan Turki saat ini sedang mempertimbangkan untuk memperkenalkan skema serupa.

Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) dikembangkan oleh 16 organisasi penelitian dan LSM dari 14 anggota G20 dan membandingkan upaya adaptasi, mitigasi, dan pendanaan G20; menganalisis perkembangan kebijakan terkini; dan mengidentifikasi peluang iklim yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah G20. Laporan ini adalah edisi ke-7 dari tinjauan tahunan aksi iklim G20.

Tentang Transparansi Iklim (Climate Transparency):

Climate Transparency adalah kemitraan global dari 16 think tank dan LSM yang menyatukan para ahli dari mayoritas negara G20. Misi kami adalah untuk mendorong aksi iklim yang ambisius di negara-negara G20: kami memberi tahu pembuat kebijakan dan menstimulasi diskusi nasional.

Ramai Pasang PLTS, Sektor Komersial dan Industri Mainkan Peran Strategis Capai Target 23 % Energi Terbarukan

Semarang, 6 Oktober 2021Mempunyai potensi teknis energi surya mencapai 193–670 gigawatt peak (GWp) dengan potensi pembangkitan dari PLTS sekitar 285–959 terawatt hour (TWh) per tahun, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah serius dalam mendorong pemanfaatan PLTS di wilayahnya. Peningkatan kesadaran konsumen terhadap produk ramah lingkungan, ketersediaan regulasi dan ekosistem yang mendukung serta keuntungan  dari penggunaan PLTS menjadi daya tarik bagi sektor komersial dan industri untuk memasang PLTS. Semakin banyak sektor industri yang terlibat dalam pemanfaatan PLTS akan menjadi katalisator terwujudnya Jateng Solar Province dan tercapainya target bauran energi terbarukan nasional sebesar 23% di tahun 2025.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM menyebutkan bahwa hingga Agustus 2021, terdapat 4.133 pengguna PLTS atap di berbagai sektor di Indonesia dengan total kapasitas 36,74 MWp. Berdasarkan data tersebut, jumlah pengguna PLTS atap di Jawa Tengah dan DIY merupakan terbanyak ketiga di Indonesia (5,88 MW). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri telah berupaya mengakomodasi kebutuhan sektor industri dan komersial dalam memasang PLTS atap dengan beberapa strategi, termasuk klausul penurunan biaya paralel kapasitas untuk pelanggan industri dari 40 jam menjadi 5 jam per bulan yang telah diberlakukan sejak 2019 lalu. 

Chrisnawan menambahkan bahwa peran berbagai pihak, termasuk sektor komersial dan industri, sangat penting untuk pencapaian target iklim Indonesia; sekaligus mendorong daya saing operasi dan produk yang hijau. 

“Sektor komersial dan industri akan menghadapi tantangan global ke depan, terutama bila diterapkan carbon border tax oleh Uni Eropa pada 2026. Ekonomi kedepannya akan bertumbuh ke arah green ekonomi yang didukung dengan adanya green industri. RUPTL saat ini memuat 51% pembangkit yang akan dibangun adalah  pembangkit EBT. Dalam masa transisinya,  industri didorong untuk mengimbangkannya dengan penggunaan PLTS atap,” jelasnya  dalam webinar yang diselenggarakan oleh IESR dengan Pemerintah Jawa Tengah berjudul “Energi Surya Atap untuk Sektor Komersial dan Industri di Jawa Tengah” (6/10/2021).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan bahwa potensi PLTS atap sektor industri di Jawa Tengah dan Yogyakarta mencapai 3,5 GWp atau 10 persen dari potensi pasar PLTS atap dari pelanggan sektor industri se-Indonesia. 

“Survei pasar IESR menunjukkan ada potensi sebesar 9,8% atau 16 ribu usaha di Jawa Tengah untuk memanfaatkan PLTS atap. Agar dapat mewujudkan upaya dekarbonisasi dan upaya pengendalian iklim, sektor industri dan komersial dapat mengidentifikasi kebutuhan dan strategi melaksanakan transisi energi dengan memiliki roadmap transisi energi, termasuk pemanfaatan PLTS atap dan mendorong kolaborasi dan sinergi berbagai pihak sehingga terciptanya rantai pasok untuk menghasilkan green product yang kompetitif,”terang Fabby.

Jawa Tengah sendiri sejak mendeklarasikan Jawa Tengah Provinsi Surya (Central Java Solar Province) pada 2019, hingga pertengahan September 2021 mencatat 48% (4,3 MWp dari 8,8 MWp) total kapasitas PLTS terpasang berasal dari sektor komersial dan industri. Paket kebijakan dan regulasi yang mendukung juga telah disiapkan, diantaranya RUED (Rencana Umum Energi Daerah), Renstra (Rencana Strategis) Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, dan Surat Edaran Gubernur untuk pemanfaatan PLTS atap di bangunan pemerintah, publik, komersial, dan industri. Namun menurutnya, yang terpenting selain kebijakan dan regulasi adalah permintaan pasar.

“Permintaan pasar (market driven) karena tuntutan global untuk menurunkan emisi gas rumah efektif untuk  mendorong sektor industri menuju industri hijau yang menggunakan sumber energi terbarukan,” ujar Kepala Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko.

“Beberapa industri di Jawa Tengah secara mandiri sudah melakukan praktik industri hijau dan berkelanjutan, termasuk dengan pemanfaatan energi terbarukan dalam bentuk energi surya. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah akan terus memberikan dukungan pelatihan, fasilitasi sertifikasi, dan penghargaan industri hijau,” sambung M. Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah.

Pada kesempatan yang sama, M. Irwansyah Putra, General Manager Unit Induk Distribusi PLN Jawa Tengah dan DIY mengungkapkan terdapat 20 bisnis dan industri yang telah memasang PLTS atap. Lima peringkat tertinggi dari segi kapasitas secara berurutan adalah PT Tirta Investama (2,3 MWp), CV Jaya Setia Plastik (0,48 MWp), PT Djarum (0,26 MWp), PT.Busana Rejeki Agung (0,17 MWp), PT Busana Remaja Agracipta (0,15 MWp), dan PT Prambanan Dwipaka (0.04 MWp).

“PLN tentunya mendukung optimasi PLTS dengan menyediakan berbagai fasilitas, seperti kemudahan akses informasi, sistem tagihan, menyediakan reserve margin yang cukup, menjalankan skema bisnis yang fair untuk konsumen juga PLN, menyiapkan produk layanan Total Solusi PLTS atap,” ujar Irwansyah. 

Merasakan manfaat langsung dari penggunaan PLTS atap pada industrinya, Syaiful, Manajer di CV Jaya Setia Plastik menargetkan untuk menambah kapasitas PLTS dari 0,48 MWp menjadi 1,3 MWp untuk mengurangi biaya listrik terutama pada siang hari.

“Selain itu dengan sistem on-grid, kelebihan listrik bisa diekspor ke PLN, biaya perawatan PLTS juga rendah, dan ini menjadi bukti pemanfaatan energi yang ramah lingkungan,” ungkapnya.

Dengan biaya investasi yang masih dianggap mahal, beberapa pengembang energi surya (solar developer) di Indonesia telah menawarkan pemasangan PLTS atap dengan skema pembiayaan selain pembelian langsung. Dengan skema performance-based rental, misalnya, perusahaan tidak perlu mengeluarkan investasi di awal, melainkan berkontrak jangka panjang (15 – 25 tahun) dengan pengembang untuk produksi listrik yang dihasilkan dari pemasangan PLTS atap. Ada pula pengembang yang menawarkan leasing atau cicilan di atas 5 tahun.

10 Rekomendasi IETD 2021 untuk Capai Target Dekarbonisasi Indonesia

Jakarta, 24 September 2021 – Mendorong upaya pencapaian target dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) merangkum 10 rekomendasi kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan mengacu pada dinamika diskusi selama lima hari penyelenggaraan the 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), Senin-Jumat, (20-24/09/2021).

Pertama, pembentukan perundangan yang kuat sebagai wujud dukungan politis Indonesia untuk mendorong dekarbonisasi dan pengembangan teknologi rendah karbon. 

“Kalau kita lihat hari ini beberapa kebijakan yang berkorelasi dengan upaya dekarbonisasi belum memadai. Kalau kita lihat KEN dan RUEN pada 2050 masih cukup besar porsi energi fosil, energi terbarukan masih rendah, maka target ini perlu diubah,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam penyampaian 10 rekomendasi tersebut di IETD 2021.

Fabby mengatakan proses dekarbonisasi energi akan memakan waktu setidaknya tiga dekade mendatang. Oleh karena itu, dekarbonisasi perlu didukung oleh kepastian kebijakan jangka panjang yang konsisten dan tidak berubah arah. 

Kedua, penetapan kebijakan yang menciptakan kesetaraan (level playing field) antara energi terbarukan dan fosil. Sebab, keekonomian energi terbarukan sudah dapat bersaing dengan energi fosil. 

“Energi surya dan angin bisa bersaing dengan energi fosil. Tapi masih ada kebijakan eksisting yang membuat energi fosil dikesankan murah atau rendah, oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan untuk mencabut subsidi energi fosil,” kata Fabby. 

Dengan mencabut subsidi pada energi fosil atau menetapkan harga karbon yang tepat untuk mendorong keekonomian energi terbarukan, akselerasi dekarbonisasi dengan pengembangan energi terbarukan dapat terjadi.

Ketiga, pembuatan rencana energi nasional dengan basis penurunan emisi karbon dan mempertimbangkan potensi pengembangan teknologi rendah karbon yang ada. Fabby mengatakan telah ada beberapa rencana pemanfaatan teknologi. Akan tetapi rencana itu perlu memperhatikan kecepatan inovasi pada masing-masing teknologi rendah karbon di dunia.

“Selain itu perlu juga diperhatikan bagaimana harga teknologi rendah karbon ini hingga 2050 mendatang. Oleh karena itu kebijakan energi khususnya yang berkaitan dengan harga harus mempertimbangkan jangka panjang. Apa yang murah hari ini, karena ada distorsi pasar, bisa saja kedepannya mahal,” kata Fabby. 

Keempat, penetapan rencana pensiun PLTU optimal berdasarkan analisis data pada tiap unit PLTU. Analisis tersebut dapat digunakan untuk menentukan beberapa strategi dan waktu pelaksanaan yang tepat diterapkan untuk tiap unit PLTU. 

“Kemudian kita juga harus memikirkan seberapa besar kapasitas yang ditinggalkan dan harus kita isi ketika PLTU pensiun,” kata Fabby. 

Strategi yang dapat diterapkan untuk masalah tersebut diantaranya adalah pendanaan ulang untuk mempercepat waktu pensiun PLTU, modifikasi (retrofitting) PLTU, serta mengalihkan pendanaan dan investasi dari energi termal ke energi terbarukan.

Kelima, peningkatan bankability proyek energi terbarukan dengan memperbesar skala proyek dan dukungan regulasi yang komprehensif. Sebab, pengembangan energi terbarukan dalam skala besar telah terbukti dapat mendorong harga energi terbarukan yang sangat kompetitif. 

Keenam, peningkatan adopsi kendaraan listrik dengan membangun ekosistem kendaraan listrik. Fabby melanjutkan bahwa ada kombinasi dari beberapa kebijakan diperlukan untuk mengakselerasi penetrasi kendaraan listrik. Diantaranya adalah penetapan disinsentif terhadap pemakaian bahan bakar fosil seperti pelarangan pemakaian kendaraan fosil dan penetapan standar efisiensi bahan bakar kendaraan fossil. 

Ketujuh, penentuan peran bahan bakar bersih menuju 2050 dalam dekarbonisasi menyeluruh sistem transportasi. Sebab, kendaraan listrik sudah mutlak akan mendominasi dalam sektor kendaraan penumpang (passenger vehicle). 

“Tetapi peran bahan bakar bersih juga perlu dipersiapkan untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi yang tidak dapat digantikan dengan kendaraan listrik,” tandas Fabby.

Kedelapan, Indonesia perlu membuat dukungan kebijakan yang terintegrasi dari berbagai pihak. Selain itu, Indonesia butuh kolaborasi dari berbagai pihak untuk mendorong iklim investasi terhadap energi terbarukan. 

“Dalam jangka pendek ini hingga 2025 perlu ada upaya untuk memperbaiki iklim investasi dan mendorong deployment energi terbarukan. Saat ini sudah ada banyak sumber pendanaan nasional dan internasional yang siap untuk mendukung itu. Akan tetapi, Indonesia kini hanya menunggu komitmen pemerintah terhadap target energi terbarukan melalui kebijakan pemerintah,” kata Fabby. 

Kesembilan, pemerintah perlu melakukan pengembangan industri rendah karbon sebagai industri prioritas nasional. Sebab, potensi industri rendah karbon Indonesia yang sudah teridentifikasi perlu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Misalnya, industri baterai, industri kendaraan listrik dan industri bahan bakar bersih. 

“Pengembangan industri itu perlu diselaraskan dengan rencana riset dan pengembangan teknologi dalam negeri. Selain itu, komersialisasi dan peningkatan skala proyek teknologi domestik untuk meningkatkan demand dari teknologi. Lalu perlu diprioritaskan sehingga memaksimalkan potensi sumber daya alam yang berkelanjutan,” jelas Fabby.

Kesepuluh, pemerintah perlu melakukan penyiapan tenaga kerja lokal untuk industri rendah karbon masa depan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendukung industri dalam negeri dan memaksimalkan dampak positif sosial ekonomi dari potensi pengembangan industri teknologi rendah karbon di Indonesia.

“Industri teknologi rendah karbon yang dimaksud adalah manufaktur panel surya, manufaktur baterai, dan produksi hidrogen. Selain itu, dibutuhkan pelatihan dan penyiapan tenaga kerja yang antisipatif dan selaras dengan perkembangan industri tersebut dari tahun ke tahun,” tutup Fabby.

Acara IETD 2021 berlangsung selama 5 hari yang memuat 13 sesi utama dan beberapa sesi tambahan. IETD 2021 melibatkan  lebih dari 80 pembicara dan panelis terkemuka internasional dan nasional, serta partisipasi lebih dari 1500 pengguna dari seluruh dunia.