Target Penurunan Emisi di Updated NDC Indonesia Tidak Refleksikan Urgensi Hindari Krisis Iklim

Jakarta, 30 Juli 2021 – Meskipun sudah menargetkan netral karbon pada 2060 atau lebih cepat pada dokumen Nationally Determined Contribution (Updated NDC) dan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) yang disampaikan ke UNFCCC, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa target penurunan emisi masih belum selaras dengan tujuan Persetujuan Paris (Paris Agreement).

Pemerintah Indonesia baru saja merilis dokumen pemutakhiran NDC (Updated NDC) dan LTS-LCCR 2050 yang akan disampaikan di pertemuan COP26 di Glasgow pada 31 Oktober – 12 November 2021. Pemerintah, melalui KLHK, menyampaikan bahwa kedua dokumen ini disusun berdasarkan kondisi realitas ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19 yang membuat pemerintah lebih fokus pada upaya pemulihan ekonomi demi mencapai Visi Indonesia 2045 menjadi negara dengan ekonomi maju.

Hanya saja, menurut IESR, pemulihan ekonomi pasca COVID-19 bisa dilakukan sejalan dengan membangun ketahanan iklim yang tangguh.

“Untuk menjadi negara maju, Indonesia harus mampu memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan harus didukung oleh ketahan iklim yang sangat kuat. Krisis iklim perlu mendapat perhatian serius karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan manusia, kemajuan perekonomian dan pemerataan sosial,” ujar Lisa Wijayani, Program Manager Ekonomi Hijau.

Bencana akibat krisis iklim semakin marak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi Analisis BNPB menunjukkan bahwa 90-95% bencana yang terjadi sejak awal 2021 adalah bencana hidrometeorologi. Berbagai bencana ini membawa kerugian jiwa, sosial, dan ekonomi. Pemerintah pusat menghabiskan antara US$90 juta dan US$500 juta per tahun untuk tanggap bencana dan pemulihannya dari tahun 2014 hingga 2018.

Sementara pemerintah daerah diperkirakan menghabiskan US$250 juta selama periode yang sama. Jumlah ini diprediksi akan semakin meningkat seiring tingginya intensitas peristiwa bencana alam. 1 KLHK juga menyatakan bahwa dampak perubahan iklim di sektor pangan, energi, air dan kesehatan akan menyebabkan terpangkasnya PDB Indonesia 0,66% – 3,54% pada 2030.

Selain itu, dilihat dari dokumen LTS-LCCR 2050 pemerintah masih bertahan dengan batubara sebagai sumber listrik. Hal ini terlihat dari masih adanya porsi yang besar pada PLTU, serta mengandalkan teknologi CCS/CCUS untuk menurunkan emisinya. Padahal teknologi ini masih mahal dengan capital expenditure lebih besar dari $4200/kW. Di samping itu, terdapat faktor teknis dan ekonomis sehingga kelayakannya dipertanyakan dibandingkan opsi pembangkit energi terbarukan. Ditambah lagi penggunaan teknologi CCS/CCUS pada PLTU justru akan membuat biaya investasi di PLTU meningkat 74% yang berpengaruh pada naiknya biaya pembangkitan listrik.

Kajian Deep decarbonization of Indonesia’s energy system : A pathway to zero emissions oleh IESR menemukan bahwa Indonesia bahkan bisa mencapai nir emisi di sistem ketenagalistrikan pada tahun 2045 dan sistem energi pada tahun 2050 dengan pemanfaatan 100 persen energi terbarukan.

“Satu dekade ini merupakan fase yang kritis untuk memulai transformasi energi dan memastikan target Persetujuan Paris dapat tercapai. Dalam 10 tahun mendatang, kita harus meningkatkan energi terbarukan secara besar-besaran, membatasi penambahan PLTU dan mengurangi pembangkit thermal, serta mendorong efisiensi energi. Sayangnya NDC Indonesia sebaliknya gagal mengadopsi visi transformasi sistem energi tersebut sehingga target pengurangan emisi tetap di level 29%-41%, lebih rendah dari yang seharusnya,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

PLTU batubara juga tidak lagi kompetitif dibandingkan pembangkit listrik energi terbarukan. Bahkan, sejumlah negara, seperti Korea Selatan dan Jepang, dan lebih dari 100 lembaga finansial di dunia memutuskan untuk berhenti memberikan pendanaan proyek PLTU. Proyeksi IEA (International Energy Agency) pada kajian World Energy Outlook 2020 memperlihatkan, pada tahun 2040 saja, Levelized Cost Of Electricity (LCOE) PLTU di dunia akan menjadi 5,5 – 22,5 Cent/kWh, jauh lebih besar dibandingkan PLTS yang hanya 1,3 – 3 Cent/kWh. Tren ini menunjukkan risiko yang besar untuk PLTU menjadi aset terdampar (stranded asset) dan harga listrik yang mahal.

Di samping sektor ketenagalistrikan, sektor transportasi termasuk penting untuk dilakukan dekarbonisasi. Emisi dari sektor transportasi mencapai 157 juta ton CO2 di tahun 2019, kedua terbesar setelah sektor industri. Dalam dokumen NDC, pemerintah mendorong implementasi biofuel (46%) dan elektrifikasi 30% di sektor transportasi. Kajian IESR, menunjukan peluang dekarbonisasi sektor transportasi menjadi lebih besar dengan melakukan elektrifikasi transportasi darat secara lebih masif sembari meningkatkan bauran energi terbarukan secara cepat pada sektor ketenagalistrikan untuk menurunkan intensitas emisi di grid. Untuk itu, pengembangan bahan bakar bersih yaitu hidrogen dan bahan bakar sintetis perlu dimulai dalam waktu dekat.

“Berdasarkan hasil pemodelan IESR pada studi Deep Decarbonization dengan best scenario, setidaknya 49% dari sektor transportasi harus sudah dielektrifikasi pada 2050,” kata Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR.

IESR mengapresiasi pemerintah yang memasukkan unsur transisi energi yang berkeadilan dengan menyertakan isu gender, energi berkeadilan, dan kelompok rentan. Selain itu updated NDC juga mulai memperlihatkan kesadaran pemerintah terhadap potensi aset terdampar dan migrasi ke pekerjaan hijau (green jobs) sebagai dampak dari transisi energi. “Kami mendesak pemerintah untuk mempersiapkan peta jalan transisi batubara untuk mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi yang terjadi dari menurunnya permintaan batubara di masa depan. Strategi diversifikasi ekonomi pada daerah-daerah penghasil batubara harus segera disusun dan masuk dalam perencanaan pembangunan nasional,” kata Fabby Tumiwa.**


1 World Bank, “Strengthening Indonesia’s Fiscal Resilience to Natural Disasters and Health-Related Shocks”.
2 KLHK (2020). Roadmap NDC Adaptasi Perubahan Iklim, Kementerian LHK, Jakarta.

Sektor Ketenagalistrikan Dapat Capai Nir Emisi di 2045

Jakarta, 15 Juli 2021– Di dua dekade terakhir, energi terbarukan berkembang sangat pesat dalam segi teknologi dan skala ekonomi sehingga banyak negara di dunia semakin meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. Tercatat, antara tahun 2000 dan 2020, kapasitas pembangkit listrik terbarukan di seluruh dunia meningkat 3,7 kali lipat, dari 754 gigawatt (GW) menjadi 2.799 GW. Perkembangan pesat dalam dekade terakhir di level global utamanya didorong oleh pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). Dalam rentang waktu yang sama, biaya listrik dari PLTS fotovoltaik (PV) skala utilitas turun 85% (IRENA, 2020).

Memiliki sumber energi terbarukan yang beragam dan melimpah, terutama potensi teknis suryanya mencapai 20 ribu GWp, berdasarkan laporan terbaru berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bahwa Indonesia secara teknis dan ekonomis mampu mencapai bebas emisi di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2045, jauh lebih cepat dibandingkan sektor transportasi dan industri yang mencapai kondisi yang sama pada 2050.

“Dibandingkan sektor transportasi dan industri, sektor ketenagalistrikan merupakan low hanging fruit  dalam upaya dekarbonisasi sistem energi Indonesia. Untuk itu satu dekade ini sangat menentukan. Ada empat hal yang perlu terjadi dalam satu dekade mendatang: (1) akselerasi energi terbarukan, (2) penghentian pembangunan PLTU batubara baru sebelum 2025, (3)  merencanakan percepatan penghentian PLTU terutama berjenis subcritical dan (4) modernisasi grid  (jaringan),” ungkap Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR.

Elektrifikasi sektor transportasi (akselerasi pemanfaatan kendaraan listrik/EV) dan industri (elektrifikasi proses industri) juga dimulai bersamaan dengan proses dekarbonisasi yang mendalam di sektor ketenagalistrikan. Sebagai akibatnya, penurunan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan akan berkontribusi pada pengurangan emisi secara signifikan di sektor transportasi dan industri. Menggunakan Skenario Kebijakan Terbaik (Best Policy Scenario/BPS), IESR menunjukkan bahwa permintaan listrik dari sektor transportasi dan industri terus meningkat menuju tahun 2050. Sekitar 50% listrik diproduksi oleh energi terbarukan di tahun 2030 dari 140 GW pembangkit listrik energi terbarukan, sebelum akhirnya mencapai 100% energi terbarukan di tahun 2045. Di skenario tersebut, biaya pembangkitan listrik diratakan (levelized cost of electricity/LCOE) dapat turun dari 79,52 USD/MWh di tahun 2020 menjadi 40,59 USD/MWh di tahun 2050 sehingga biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan di Indonesia menjadi semakin kompetitif.

Dengan mengandalkan energi surya (photovoltaic), pemodelan IESR memperlihatkan terjaminnya pasokan listrik meskipun variabilitas pembangkitan listrik PLTS cukup tinggi. Untuk menyeimbangkan kebutuhan beban dan pembangkitan PLTS dapat dilakukan dengan pengisian baterai & pemanfaatan pumped hydro energy storage, pemanfaatan listrik untuk memproduksi bahan bakar bersih, pemanfaatan listrik untuk transportasi (pengisian EV), pemanfaatan listrik untuk memproduksi energi panas, dan melakukan ekspor-impor listrik antar regional. Pembangkit listrik tenaga air juga dapat dioperasikan secara fleksibel selama periode ini untuk membantu kesetimbangan sistem, sementara panas bumi beroperasi sebagai baseload.

Demi mengintegrasikan sektor transportasi maupun sektor industri melalui elektrifikasi, tentu membutuhkan perluasan jaringan listrik  yang massif yang mencakup seluruh daerah di Indonesia. Skenario BPS memperlihatkan bahwa hampir 760 TWh listrik didistribusikan di seluruh negeri pada tahun 2050, dengan Pulau Jawa sebagai konsumen energi utama di Indonesia dengan mengkonsumsi 80% dari total energi di negara ini. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Pulau Jawa akan mengimpor listrik 4,6% pada tahun 2030, 45,5% pada tahun 2040 dan 82,1% pada tahun 2050 dari Pulau Sumatera dan Nusa Tenggara.

IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan kapasitas jaringan listrik Indonesia untuk mendukung sistem interkoneksi jaringan listrik antar pulau dan mengoptimalkan  sumber daya energi terbarukan yang tersebar di berbagai pulau. Interkoneksi Jawa-Sumatera menjadi penting untuk memasok listrik ke Jawa hingga 50 persen di tahun 2050. Selain itu interkoneksi antara Jawa Timur dan Bali perlu diperluas ke Nusa Tenggara untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau-pulau kecil lainnya. Hasil model IESR bahkan menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi sebesar 158 GW perlu dibangun untuk menghubungkan Indonesia dari barat ke timur.

“Pemerintah perlu membuat keputusan hari ini, karena akan mempengaruhi kecepatan kita bertransisi dan besarnya ongkos yang akan kita keluarkan. Jika akan terus mengembangkan PLTU batubara padahal sudah banyak penelitian yang mengungkapkan hal tersebut akan menjadi stranded asset (aset terdampar), maka akan menjadi beban ekonomi bagi Indonesia. Padahal dekarbonisasi mendalam sistem energi untuk capai nir emisi justru menguntungkan bagi Indonesia,” tegas Pamela, penulis utama laporan “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050”.

Perencanaan pembangunan jaringan transmisi dan interkoneksi antar pulau yang dapat mendukung Indonesia untuk mencapai target nir emisi di tahun 2050 sangat krusial untuk dilakukan secepatnya. Hal ini dikarenakan pembangunan proyek jaringan transmisi biasanya membutuhkan waktu lama. Tentu saja butuh komitmen yang tegas dari pemerintah, pengambil kebijakan, regulator, dan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator utama jalur transmisi dan distribusi.

Namun pada Rapat Dengar Pendapat, Mei 2021, PLN mengemukakan pihaknya tengah menyusun rencana strategis bersama Kementerian ESDM untuk mencapai neutral karbon di 2060. Hanya saja, hal tersebut tidak sejalan dengan target Persetujuan Paris untuk net zero emissions di tahun 2050.

“Rencana PLN ini masih kurang ambisius untuk mencapai target Persetujuan Paris. Kajian IESR menunjukan sektor listrik bisa capai zero emissions pada 2045 dengan memanfaatkan energi terbarukan. Justru rencana tersebut akan berisiko menyebabkan kenaikan biaya penyediaan listrik, stranded asset & lost opportunity untuk penggunaan teknologi energi terbarukan yang lebih murah,”ungkap Fabby Tumiwa.

Laporan “Deep decarbonization of Indonesia energy system: A pathway to zero emission by 2050” adalah studi IESR bekerja sama dengan Agora Energiewende, dan Lappeenranta University of Technology (LUT). Laporan tersebut dapat diunduh di tautan berikut:

Hadir sebagai penanggap pada Media Briefing “Dekarbonisasi Sektor Ketenagalistrikan Menuju Emisi Nol”, Jakarta, 15 Juli 2021 adalah :

  1. Bayu Nugroho, Kepala Subdirektorat Perlindungan Lingkungan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM
  2. Dr. Muhamad Reza, Pakar Ketenagalistrikan

IESR rilis peta jalan menuju nol emisi pada tahun 2050

 

Peta jalan menuju nol emisi pada tahun 2050:

Mampu Secara Teknologi dan Ekonomi, Indonesia Hanya Butuh Kemauan Politik yang Kuat dan Rencana yang Matang untuk Capai Nol Emisi pada 2050

Sisa waktu semakin menipis untuk menghadapi krisis iklim yang semakin mengancam. Namun, NDC Indonesia masih kurang ambisius dalam memenuhi Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 2 derajat, apalagi dibawah 1,5 derajat celcius. Hal ini terlihat dari dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dalam mitigasi perubahan iklim, yang hanya menargetkan netral karbon di tahun 2070.

Laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” menunjukkan bahwa secara teknologi dan ekonomi, sektor energi Indonesia mampu mencapai nol emisi karbon di tahun 2050.

Laporan ini merupakan kajian komprehensif pertama di Indonesia yang menggambarkan peta jalan mencapai emisi nol karbon di 2050 di sistem energi. Hal ini merupakan tonggak penting mengingat saat ini aksi mitigasi di sektor energi tidak cukup ambisius. Sementara, emisi dari sektor energi diperkirakan akan meningkat menjadi 58% pada tahun 2030, sebagaimana ditunjukkan dalam skenario business as usual (BAU) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, terutama didorong oleh peningkatan konsumsi energi final.

“Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dengan posisi strategisnya di Asia Tenggara, Indonesia harus memimpin dalam mentransformasi sistem energinya dari sekarang. Dekarbonisasi sistem energi Indonesia dapat membawa dampak signifikan bagi kawasan dan menginspirasi negara lain untuk mempercepat transisi energi. Komitmen politik dan kepemimpinan yang kuat dari Presiden Jokowi akan sangat diperlukan untuk mewujudkan hal ini,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan bahwa langkah pertama dan krusial dari upaya dekarbonisasi adalah dengan mencapai puncak emisi selambatnya pada tahun 2030. Menurutnya, dengan dukungan kebijakan yang kuat, pembangkit energi terbarukan dapat dikembangkan dengan masif disertai dengan penurunan kapasitas pembangkit listrik fosil.

Menggunakan Model Transisi Sistem Energi yang dikembangkan oleh  Lappeenranta University of Technology (LUT), laporan ini memperlihatkan bahwa Indonesia mampu menggunakan 100 persen energi terbarukan di sektor kelistrikan, industri, dan transportasi.

“Model yang menggunakan analisis skenario secara terperinci untuk Indonesia ini didesain menggunakan resolusi hitungan waktu per jam dan terdiri dari wilayah-wilayah yang saling terhubung, sehingga sangat relevan untuk model transisi energi di Indonesia serta memastikan pasokan energi yang stabil di segala jam dan wilayah,” ujar Christian Breyer, Professor Ekonomi Surya di LUT.

Satu dekade mendatang akan menjadi penentu bagi upaya dekarbonisasi di Indonesia. Untuk mulai menurunkan emisi GRK, Indonesia perlu memasang sekitar 140 GW energi terbarukan pada tahun 2030, sekitar 80% nya merupakan PLTS. Selain itu, penjualan mobil listrik dan sepeda motor perlu ditingkatkan masing-masing menjadi 2,9 juta dan 94,5 juta pada tahun 2030. Suatu peningkatan yang sungguh dramatis bila dibandingkan dengan tingkat penjualan kendaraan listrik yang masih minim saat ini. Di sektor industri, pemenuhan kebutuhan panas industri menggunakan listrik perlu menjadi pilihan utama, diikuti oleh energi biomassa. Selain itu, hal terpenting lainnya, PLN perlu menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru pada tahun 2025.

Pada tahun 2045, energi terbarukan memasok 100 persen listrik di Indonesia. Untuk pertama kalinya, sektor kelistrikan Indonesia menjadi bebas karbon. PLTS merupakan penyumbang terbesar dalam pembangkit listrik dengan pangsa 88%, diikuti oleh tenaga air sebesar 6%, panas bumi sebesar 5%, dan energi terbarukan lainnya sebesar 1%. Teknologi penyimpanan energi, terutama baterai, berperan besar dalam mengatasi masalah intermitten. Sementara itu, bahan bakar sintetik, hidrogen, dan pemanas listrik akan lebih berperan dalam dekarbonisasi sektor transportasi dan industri.

Agar dapat mengandalkan energi terbarukan sebagai tulang punggung sistem energi di Indonesia maka penting untuk membangun integrasi jaringan listrik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain. Kebutuhan ini akan meningkat mulai tahun 2030 hingga seterusnya. Model IESR menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi listrik sebesar 158 GW diperlukan untuk menghubungkan nusantara dari barat sampai timur.

Menyongsong tahun 2050, upaya dekarbonisasi terus berlanjut terutama untuk sektor transportasi dan industri yang sulit di dekarbonisasi dengan listrik secara langsung, hingga akhirnya Indonesia akan mencapai titik di mana seluruh sektor energi menjadi bebas karbon melalui penggunaan 100% energi terbarukan. Dekarbonisasi sistem energi berpotensi mengurangi biaya sistem tahunan sebesar 20% dibandingkan dengan sistem energi berbasis fosil.

Demi mencapai target yang ambisius tersebut, Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD 20-25 miliar per tahun mulai tahun ini hingga tahun 2030 dan akan meningkat menjadi USD 60 miliar per tahun antara tahun 2030 hingga 2040. Mengingat kebutuhan investasi yang besar, pemerintah harus berusaha menarik investasi dari sektor swasta dan individu. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi sangat penting dalam mewujudkan hal tersebut.

“Besarnya tantangan tidak boleh mengaburkan fakta bahwa dekarbonisasi yang menyeluruh akan membawa manfaat dan peluang yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia,” tegas Pamela Simamora, Koordinator Riset IESR.

Melakukan dekarbonisasi secara total akan menciptakan 3,2 jutaan pekerjaan baru yang berkelanjutan dan berkualitas, peningkatan kesehatan masyarakat (yang juga akan menurunkan biaya kesehatan yang substansial), dan pembentukan ekonomi modern, yang memungkinkan negara untuk bersaing dalam pasar dunia yang berkembang dengan produk netral karbon. Tentu saja, untuk merealisasikan hal tersebut perlu dukungan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah Indonesia. Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan dan regulasi yang tepat dan menghapus regulasi dan kebijakan yang dianggap sebagai penghalang investasi teknologi bersih di negara ini.

Laporan “Deep decarbonization of Indonesia energy system: A pathway to zero emission by 2050” adalah studi IESR bekerja sama dengan Agora Energiewende, dan Lappeenranta University of Technology (LUT). Peluncuran kajian ini dilaksanakan pada 28 Mei 2021. Laporan tersebut dapat diunduh di tautan berikut:

https://iesr.or.id/pustaka/deep-decarbonization-of-indonesias-energy-system-a-pathway-to-zero-emissions-by-2050

IESR Sarankan Pemerintah Untuk Kembangkan Strategi Jangka Panjang Biofuel dan Memperjelas Perannya dalam Transisi Energi

Indonesia mengembangkan BBN sejak 2006 sebagai respon kenaikan harga minyak bumi dan meningkatnya impor bahan bakar seiring dengan anjloknya produksi minyak mentah dalam negeri. Pemerintah pun telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung BBN di antaranya penetapan mandat pencampuran, mekanisme penetapan harga, hingga skema subsidi atau insentif. Namun, dari berbagai target yang disusun dalam peta jalan BBN sejak tahun 2008 untuk bioetanol, biodiesel dan minyak nabati murni, hanya target konsumsi biodiesel solar sebesar 20 persen yang tercapai di tahun 2019.

Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan kajian terhadap pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia dalam “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”. Studi ini merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan pengembangan BBN yang mempertimbangkan secara matang implikasi ekonomi, lingkungan, dan sosial dari BBN, serta ketidakpastian permintaan BBN di masa mendatang.

“Pengembangan biofuel yang masih terfokus pada satu bahan baku yakni crude palm oil (CPO) juga menjadi ancaman keberlanjutannya. CPO juga dipakai untuk makanan, kosmetik dan sebagainya sehingga kita perlu melakukan diversifikasi bahan baku,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Secara umum harga indeks pasar referensi biodiesel dan bioetanol lebih tinggi dari harga bahan bakar minyak bumi. Perhitungan IESR menunjukkan bahwa biaya produksi biofuel drop-in (yang dapat digunakan secara langsung) lebih tinggi daripada bahan bakar minyak. Biaya produksi biofuel adalah sekitar Rp 6.000 hingga Rp 12.000 per liter, sedangkan harga referensi solar adalah Rp 4.500 per liter (rata-rata tahun 2020). Begitu pula dengan BBN berbasis minyak sawit mempunyai biaya lebih tinggi dikarenakan harga bahan baku yang tinggi.  

“Dengan biaya produksi yang lebih tinggi, pemanfaatan BBN membutuhkan insentif. Diperkirakan subsidi tahunan yang dibutuhkan untuk menjalankan program biofuel bisa mencapai 29 hingga 57 triliun rupiah pada periode 2021-2024. Besaran subsidi ini bahkan bisa meningkat dua kali lipat apabila harga minyak sawit mencapai titik tertingginya selama 10 tahun terakhir pada USD 970/ton (rata-rata tahunan),” jelas Julius Christian A, Periset Bahan Bakar Bersih IESR dan Penulis Laporan “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”.

Selain itu, ditinjau dari perspektif lingkungan, studi tentang analisis siklus hidup biofuel generasi pertama (termasuk minyak sawit) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan untuk bahan baku BBN generasi pertama berpotensi mengeluarkan lebih banyak emisi GRK daripada bahan bakar minyak (BBM). Traction Energy Asia memperkirakan emisi GRK biodiesel Indonesia dapat mencapai 20 kali lipat emisi pembakaran BBM ketika  terjadi konversi hutan gambut. 

Dari segi sosial-ekonomi, industri BBN dan perkebunan kelapa sawit turut menyokong ekonomi di tingkat lokal melalui peningkatan nilai output pertanian, output manufaktur, dan PDRB. Pengembangan BBN dalam program B20 pada 2019 juga diperkirakan menciptakan 801 ribu lapangan kerja, namun disisi lain, masih dibayangi dengan berbagai permasalahan terkait kesehatan dan keselamatan pekerja, pekerja anak, diskriminasi, khususnya di perkebunan kelapa sawit. Ditambah lagi, perkebunan kelapa sawit juga kerap menimbulkan konflik lahan dan hilangnya akses sumber daya bagi masyarakat lokal.

IESR memandang, selain isu keekonomian, lingkungan dan sosial, pengembangan BBN juga perlu memperhatikan perkembangan teknologi alternatif, terutama di sektor transportasi. Secara business-as-usual, potensi permintaan BBN dapat meningkat menjadi 190 MTOE pada tahun 2050 dari konsumsi biodiesel saat ini sebesar 8 MTOE. Namun, dalam kasus penetrasi kendaraan listrik yang tinggi dan perpindahan moda yang tinggi ke angkutan umum, potensi permintaan bahan bakar nabati dapat turun menjadi hanya 93 MTOE pada tahun 2050. Adapun potensi permintaan pada skenario ini terutama akan berasal dari angkutan berat dan industri.

Indonesia mempunyai beragam target untuk BBN, diantaranya seperti tercantum dalam RUEN untuk target jangka panjang hingga target jangka pendek yang terdapat dalam RPJMN.  IESR mengkaji bahwa penetapan target yang menitikberatkan pada BBN pengganti solar merupakan strategi yang relatif aman. BBN pengganti solar ini masih menjadi pilihan utama di sektor transportasi alat berat, industri, dan penggunaan khusus (konstruksi, pertanian, pertambangan). Sektor-sektor ini diperkirakan masih memiliki pasar yang besar hingga tahun 2050. Selain itu, potensi permintaan avtur ramah lingkungan juga akan sangat besar, termasuk di pasar global, karena alternatif rendah karbon terbatas.

“Di sisi lain, perencanaan infrastruktur produksi BBN, terutama untuk BBN pengganti bensin perlu mempertimbangkan skenario permintaan yang rendah untuk meminimalkan potensi aset yang terlantar,”ujar Julius.

Agar mengatasi berbagai implikasi tersebut, IESR merekomendasikan agar pemerintah dapat : 1) mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi, selaras dengan pengembangan teknologi alternatif. 2) Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan untuk mengukur manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program biofuel. 3) Melakukan diversifikasi bahan baku biofuel. 4) Menetapkan dukungan kebijakan untuk mendorong produksi dan pengembangan biofuel generasi kedua, ketiga dan berikutnya. 5) Mengubah skema insentif untuk mendorong inovasi dengan memasukkan aspek keberlanjutan sebagai persyaratan.

Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 24 Maret 2021- Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR)) 2050.  Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. 

Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target Persetujuan Paris. 

Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu:

  1. Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah; 
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
  • Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT, 
  • Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU), 
  • Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
  • Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU, 
  • Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
  • Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut  tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 2050;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 2030;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonisation Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain:
    1. Ketenagalistrikan
      1. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
      2. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
      3. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    2. Transportasi
      1. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
      2. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal
  6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk mencapai net zero emission. 
  7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik. Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050. 

 

Narahubung Media:

Lisa Wijayani

Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828

Deon Arinaldo

Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687

Uliyasi Simanjuntak

Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 081236841273

LTS-LCCR KLHK – IESR: Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 25 Maret 2021 — Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target
Persetujuan Paris.

  1. Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu: Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah;
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
    ● Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT,
    ● Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU),
    ● Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
    ● Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU,
    ● Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
    ● Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50 C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 20501;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 20302;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonization Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain3:
    a. Ketenagalistrikan
    i. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
    ii. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
    iii. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    b. Transportasi
    i. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
    ii. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total
    permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal.
  6. 7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik.

Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Narahubung Media:
Lisa Wijayani
Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828
Deon Arinaldo
Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687
Uliyasi Simanjuntak
Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 08123684127

Referensi:

1 CAT (n.d.). Indonesia country summary
2 Climate Transparency (2020).The Climate Transparency Report 2020
3 CAT (2020). Paris Agreement Compatible Sectoral Benchmark
4 IESR (2020). National Energy General Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition
Scenario6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan
teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk
mencapai net zero emission.

Indonesia dapat menjadi Super Power Energi Surya di ASEAN

Potensi Teknis Surya Indonesia Melimpah Hingga 95 Kali Lipat dari Estimasi Sebelumnya, Pemerintah Perlu Agresif Pacu Akselerasi PLTS 

 

Jakarta, 18 Maret 2021-Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) yang termuat dalam laporan “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai potensi PLTS (fotovoltaik) mencapai 3.000 – 20.000 GWp. Potensi ini lebih tinggi 16 hingga 95 kali dibandingkan data resmi perkiraan potensi yang dirilis oleh Kementerian ESDM, yaitu 207 GWp (ESDM, 2016). Bila potensi teknis tersebut dimanfaatkan, maka dapat menghasilkan energi listrik sebesar 27.000 TWh per tahun, hampir 100 kali kebutuhan listrik saat ini.

“Temuan ini menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ketersediaan potensi energi surya, yang dikombinasikan dengan teknologi penyimpan energi (storage) dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia dan mendukung transisi energi bersih saat ini dan di masa depan, bahkan mendukung 100% penyediaan listrik dari energi terbarukan,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. 

Selain menunjukkan potensi teknis yang masif, kajian ini juga memperlihatkan detail potensi hingga ke level kabupaten dan kota. Dengan menggunakan data geospasial, lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi. IESR memandang informasi potensi teknis dan identifikasi lahan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk merancang kebijakan dan strategi yang lebih agresif dan terarah untuk pengembangan PLTS. Terlebih, saat ini pemerintah dan DEN berencana merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) untuk merespon melemahnya ekonomi dan menurunnya permintaan energi akibat pandemi COVID-19. Selain itu, pemerintah dan PLN sedang menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) dengan rencana untuk menambah 3,7 GW yang berasal dari gabungan energi terbarukan seperti surya, angin, dan sampah. Meskipun demikian, rasio spesifik untuk PV surya masih belum jelas (Umah , 2021b). Dalam banyak kesempatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral juga menyebutkan adanya grand strategy energi nasional pengembangan energi terbarukan yang akan memprioritaskan pemanfaatan energi surya.

Berdasarkan RUPTL sebelumnya (2019-2028), PLTS belum menjadi prioritas dalam perencanaan sistem tenaga listrik. Data menunjukkan pada RUPTL (2019-2028), PLTS hanya menyumbang 1,6% (908 MW) dari total rencana penambahan kapasitas pembangkit 56,4 GW. Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan 20 ribu GWp potensi teknis PLTS di Indonesia. Hasil perhitungan yang diperoleh jauh lebih besar (16 hingga 95 kali) dibandingkan dengan estimasi potensi resmi dari Pemerintah saat ini. 

“Perbedaan hasil yang sangat signifikan ini pun dapat dikaitkan dengan perbedaan penggunaan asumsi yang digunakan dalam perhitungan potensi teknis resmi saat ini, dimana—berdasarkan informasi publik yang terbatas—perhitungan potensi resmi tersebut masih sangat konservatif, hanya mengkonversi potensi sumber daya energi surya per provinsi (dalam kWh/m2/hari) dengan 15% efisiensi modul yang kemudian dianggap sebagai potensi teknis, seperti yang terdaftar dalam lampiran dokumen RUEN,” ungkap Daniel Kurniawan, penulis utama kajian  “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Miliki Potensi Teknis Surya Ratusan GWp, Sumba dan Bali Berpotensi Dilistriki 100 persen Energi terbarukan 

Sebagai kawasan pariwisata yang populer di Indonesia, permintaan listrik Bali diperkirakan akan tumbuh dengan rata-rata tahunan sebesar 6,5% antara 2019-2028, menurut RUPTL PLN 2019. Sementara Menurut data dari PLN Bali (2020), kebutuhan puncak sistem kelistrikan Bali terbaru adalah sebesar 980 MW (per Januari 2020).

Merujuk pada hasil analisis IESR  dalam laporan ini, potensi teknis energi matahari di Bali memiliki total 26,4 GWp, dengan potensi pembangkitan 40,5 TWh/tahun di sembilan kabupaten. Selain itu, untuk mengatasi intermittency tenaga surya, Bali juga menunjukkan potensi yang sangat besar untuk penyimpanan energi – dalam bentuk pumped hydro energy storage (PHES), yang mampu menyimpan listrik 559,9 GWh/jam. 

IESR memandang bahwa dengan potensi surya fotovoltaik dan PHES, Bali bahkan dapat mengupayakan sistem energi terbarukan 100% dengan perencanaan yang matang. Dilihat dari segi kebijakan, Bali memperlihatkan langkah yang ambisius dalam pengembangan PLTS dengan adanya Peraturan Gubernur Bali No. 45/2019 tentang Bali Energi Bersih. Peraturan gubernur ini mengatur bangunan komersial, industri, sosial, dan tempat tinggal dengan luas lantai lebih dari 500 m2 untuk memasang atap surya minimal 20% dari kapasitas daya terpasangnya — PLN Bali mencatat sebanyak 237 Potensi MWp — atau 20% dari ruang atap yang tersedia (PLN Bali, 2020).

“Bali dapat menjadi daerah pionir 100% energi terbarukan, apalagi dengan semakin meningkatnya tren sustainable dan eco-tourism, sehingga pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan nilai tambah pariwisata di sana. Ini juga akan menjadi contoh dan portfolio bagus bagi Indonesia di mata dunia internasional, dan dengan dukungan pemerintah pusat, replikasinya dapat digulirkan untuk daerah lainnya,” ujar Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan, IESR.

Selain Bali, Sumba sangat berpotensi sebagai pulau yang digerakkan dengan energi terbarukan. Kajian ini menemukan bahwa Sumba memiliki total 133 GWp potensi teknis surya fotovoltaik dengan potensi pembangkitan 216 TWh/tahun, dengan potensi (kapasitas) tertinggi ada di Kabupaten Sumba Timur (Sumba Timur) (60%).

Temuan ini tentu saja akan menguatkan inisiatif pemerintah Nusa Tenggara Timur untuk menjadikan Sumba sebagai menjadi pusat pengembangan energi surya dengan potensi hingga 20 GW (Bere, 2020; Lewokeda, 2020). Inisiatif ini diharapkan dapat menyalurkan listrik tidak hanya di seluruh Nusa Tenggara Timur, tetapi juga ke Bali, Jawa, dan pusat beban lainnya menggunakan sistem transmisi arus searah bertegangan tinggi (HVDC), menurut Kementerian ESDM (EBTKE, 2020).


Narahubung Media:

Daniel Kurniawan

Peneliti dan Penulis, “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”, daniel@iesr.or.id, 08978246145

Marlistya Citraningrum

Manajer Program Akses Berkelanjutan, citra@iesr.or.id, 081945526737

Uliyasi Simanjuntak

Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 081236841273

Terbebas dari Energi Fosil, Indonesia Butuh Komitmen Politik, Strategi dan Kebijakan Memperkuat Iklim Investasi Energi Be

Jakarta, 3 Maret 2021-Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia untuk merencanakan proses transisi energi di Indonesia, dengan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan secara masif dan melaksanakan efisiensi energi dalam rangka memenuhi komitmen Indonesia untuk mencapai Persetujuan Paris, yang diratifikasi dengan UU No. 16/2016. 

Dampak perubahan iklim sebagai akibat kenaikan suhu global meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana iklim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hanya 2 bulan saja di tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa telah terjadi 657 kejadian bencana alam, 98 persennya merupakan bencana hidrometeorologi, dengan jumlah terdampak lebih dari 3,4 juta orang.

Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi mencapai target Persetujuan Paris dengan mitigasi gas rumah kaca (GRK) yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Salah satu strategi utama mencapai target 29% penurunan emisi GRK yang tertuang di NDC ialah mengakselerasi pembangunan energi terbarukan sehingga mencapai bauran sebesar 23% dalam bauran energi nasional di 2025. Namun, hingga akhir 2020, Indonesia baru mencapai 11,5 persen. 

Pencapaian bauran energi terbarukan ini merupakan milestone penting untuk Indonesia berada pada jalur transisi energi. Untuk mencapai target dalam Persetujuan Paris dan net-zero pada pertengahan abad ini, emisi global harus turun menjadi 45% dari tingkat tahun 2010 di 2030. Agar tujuan tersebut tercapai, maka pembakaran energi fosil, yang merupakan kontributor 70% emisi GRK global, harus diturunkan. 

Hal ini ditegaskan pula pada kajian McGlade and Ekins yang dimuat di Jurnal Nature tahun 2015 yang menunjukan bahwa untuk mencegah kenaikan temperatur global tidak melebihi 2℃ maka dua pertiga cadangan energi fosil (minyak, gas dan batubara) yang saat ini ditemukan tidak boleh dibakar. Konsekuensinya, transformasi sistem energi yang berbasis pada 100% energi bersih harus segera dipersiapkan dari sekarang sehingga dapat tercapai sebelum 2050. 

“Indonesia yang 90% pasokan energinya masih berasal dari bahan bakar fosil perlu bersiap diri melakukan transformasi energi. Dalam tiga dekade mendatang, kita harus mampu meningkatkan pasokan energi terbarukan kita secara masif, dan bertransformasi menuju sistem energi bersih,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Membahas kesiapan Indonesia dalam bertransisi ke energi terbarukan,  IESR bekerja sama dengan Kompas Media melaksanakan webinar Kompas Talk berjudul “Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil.” 

“Transformasi energi yang meninggalkan energi fosil yang kotor menuju energi bersih tidak bisa dilakukan secara serampangan dan sesaat, melainkan butuh perencanaan di berbagai bidang, risiko perlu dipetakan dan strategi mitigasi perlu dipersiapkan untuk mengurangi dampak negatif dan biaya ekonomi. Untuk itu diperlukan strategi dan peta jalan transisi energi di Indonesia,” tambah Fabby.

Dengan menggunakan Transition Readiness Framework (Kerangka Kesiapan Transisi) dalam Laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, IESR menemukan bahwa kesiapan Indonesia untuk melakukan transisi energi masih rendah. Namun, Indonesia masih mempunyai cukup waktu bila pemerintah lebih ambisius membenahi kesiapan berbagai aspek transisi energi yaitu: a) komitmen politik dan regulasi yang mendorong akselerasi pengembangan energi terbarukan, b) investasi dan keuangan, c) tekno-ekonomi, dan  d) penerimaan publik. Hal ini penting dilakukan agar proses transisi energi berjalan secara berkeadilan serta tidak membawa kerugian sosial ekonomi yang lebih besar.

IESR memandang bahwa hal prioritas dalam waktu dekat yang pemerintah dapat lakukan adalah memperkuat komitmen politik dan kualitas peraturan serta memastikan ketersediaan investasi dan keuangan terhadap pengembangan energi terbarukan. Agar Indonesia dapat mencapai target bauran 23%, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan perlu mencapai minimal 24 GW di tahun 2025. Hal ini berarti total penambahan pembangkit listrik energi terbarukan harus di kisaran 2-3 GW/tahun. 

Kondisi tersebut akan dapat terpenuhi dengan ketersediaan investasi pembangkit energi terbarukan mencapai 5-7 miliar dolar/tahun. Tentu saja, agar investasi mengalir dan fokus pada pengembangan energi terbarukan, pemerintah perlu memiliki komitmen tegas yang meyakinkan investor untuk berinvestasi dan membuat kebijakan investasi yang menarik. Selain itu, komitmen politik dan kebijakan yang tegas, dengan mengeluarkan kebijakan moratorium pembangunan PLTU dan mempensiunkan PLTU berumur lebih dari 20 tahun secara bertahap, akan menghindari pendanaan yang sia-sia ke depan sebagai akibat dari stranded asset (aset terdampar) PLTU.

Percepatan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia dapat dicapai dengan mengoptimalkan energi surya. Indonesia memiliki potensi sangat tinggi, analisis IESR menunjukkan potensi 655 GWp untuk sektor residensial saja dan ribuan gigawatt untuk skala besar. Dengan teknologi yang modular dan bisa dimanfaatkan dalam beragam skala, radiasi matahari yang tersedia cukup merata di seluruh Indonesia, dan investasi yang dapat ditanggung oleh beragam pihak, energi surya akan menjadi penggerak utama pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Menilik potensi energi surya yang berperan besar untuk transisi energi di daerah, Jawa Tengah melakukan langkah progresif dengan deklarasi Inisiatif Jawa Tengah sebagai Provinsi Energi Surya bersama IESR pada 2019.

Komitmen dan semangat ini mampu meningkatkan kapasitas terpasang PLTS atap di Jawa Tengah hingga 5,1 MW dari berbagai sektor di tahun 2020. Di tahun ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendukung pemanfaatan energi surya untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi dengan pemasangan PLTS atap di UMKM.  Surat Edaran Gubernur untuk pemanfaatan PLTS atap di bangunan pemerintah, publik, komersial, dan industri yang dikeluarkan di 2019 juga menunjukkan keseriusan Jawa Tengah. 

Berdasarkan hasil perhitungan IESR, Potensi Teknis PLTS terapung di Jawa Tengah dengan bendungannya dapat  mencapai 723 MWp. Pemerintah Jawa Tengah pun menangkap potensi tersebut dan berkomitmen mengembangkan PLTS Terapung.

““Rencana investasi untuk PLTS terapung akan bekerja sama dengan IESR, sebagai tindak lanjut dari Jateng Solar Province, di Waduk Kedung Ombo, Waduk Gajah Mungkur, Waduk Wadaslintang dan Waduk Mrica,”papar Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dalam kesempatan yang sama.

12 Rekomendasi IESR untuk Percepatan Pembangunan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia

Selasa, 23 Februari 2021-Indonesia perlu berupaya lebih keras untuk mencegah peningkatan suhu bumi di bawah 2℃, dengan mengurangi penambahan emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia, di antaranya dengan mendorong penetrasi energi terbarukan dan transportasi yang ramah lingkungan.

Sektor transportasi menjadi penyumbang sekitar seperempat dari total emisi GRK global. Jumlah emisi ini akan semakin meningkat seiring semakin berkembangnya perekonomian suatu negara.  Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 %) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%).Banyak negara di dunia, termasuk Cina, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa semakin mengadopsi kendaraan listrik yang terbukti memiliki emisi rendah dan efisiensi penggunaan energi listriknya lebih baik daripada kendaraan konvensional.

Pada hari ini secara daring, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan  kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina, yang berisi  rekomendasi strategi dan kebijakan penting bagi pemerintah untuk kemajuan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

“Hingga hari ini ada 17 negara yang sudah tidak mengizinkan penjualan kendaraan berbasis fosil fuel dari 2025-2040, salah satunya adalah Norwegia yang akan melarang  kendaraan internal combustion engine, pada tahun 2025,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Kendaraan listrik dipandang sebagai salah satu solusi untuk menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi. Perkembangan kendaraan listrik dalam satu dekade juga semakin pesat. Fabby menambahkan bahwa secara global, mobil listrik mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir, dari 0,1 market share di 2011, menjadi 4,4 % di tahun 2020. 

“Walaupun secara umum, penjualan kendaraan menjadi turun sebesar 15 persen karena pandemi Covid-19, tapi permintaan kendaraan listrik tercatat meningkat di sejumlah negara. Dibandingkan tahun 2019, di Cina naik 5 persen, Eropa meningkat 10 persen, Amerika Serikat naik 4 persen,” paparnya.

Mengutip data dari IEA, Fabby menegaskan bahwa agar temperatur bumi terjaga sesuai kesepakatan Paris, maka adopsi kendaraan listrik haruslah sebesar 13,4% dari total kendaraan dari tahun 2030.

Indonesia Belum Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik Secara Terencana

Idoan Marciano, Penulis Kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina menjelaskan alasan IESR memilih ketiga negara itu sebagai best practices yang bisa ditiru oleh Indonesia. Terbukti, negara yang mencatatkan adopsi kendaraan listrik tertinggi (2019) adalah Cina (3,4 juta unit) dan Amerika Serikat (1,5 juta unit), sedangkan negara dengan pangsa pasar kendaraan listrik terbesar di negaranya di dunia adalah Norwegia (lebih besar dari 50 persen). 

IESR memandang bahwa ekosistem kendaraan listrik di Indonesia belum terbangun dengan baik. Adapun ekosistem yang dimaksud dalam studi ini mencakup beberapa aspek, yaitu: (a)  insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah, (b) infrastruktur pengisian daya; (c) model dan pasokan kendaraan listrik; (d) kesadaran dan penerimaan publik; (e) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga bulan Agustus 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.

“Untuk motor listrik, sebanyak 1.947 unit, belum mencerminkan jumlah adopsi setelah Indonesia meluncurkan program akselerasi pengembangan kendaraan listrik karena angka tersebut masih menggambarkan kendaraan listrik berperforma rendah, sudah ada dari tahun sebelumnya,” imbuh Idoan.

Agar realisasi target terpenuhi, IESR mendorong agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan fiskal sehingga membuat harga kendaraan listrik lebih kompetitif. Berkaca dari pengalaman ketiga negara tersebut, insentif dapat berupa pembebasan PPN, pajak registrasi, bea impor serta pemberian subsidi. Sementara saat ini total insentif yang diberikan pemerintah Indonesia hanya mampu mengurangi sekitar 40 persen dari harga awal kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia. 

Tidak kalah penting adalah pemberian insentif non-fiskal yang sesuai dengan kebutuhan pengguna seperti kemudahan mendapatkan plat nomor (registrasi) yang dinilai sangat menambah daya tarik kendaraan listrik di Cina, pemberian akses ke jalur berpenumpang banyak (high occupancy vehicle) di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, dan pemberian akses jalur bus di Norwegia. 

“Saat ini Indonesia belum mempunyai aturan pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, dibandingkan negara pembanding yg sudah menargetkan 100 persen EV di 5-20 tahun kedepan,” tukas Idoan.

Selain itu, dari sisi pasokan, pemerintah perlu pula meningkatkan kuantitas dan ketersediaan beragam model kendaraan listrik dengan memberikan kebijakan yang mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak kendaraan listrik, seperti dengan penetapan standar efisiensi bahan bakar pada tahap awal dan penggunaan mekanisme kredit kendaraan listrik saat pasar sudah semakin berkembang seperti yang diterapkan di Cina dan California. 

Dalam mendukung terciptanya industri kendaraan listrik domestik, pemerintah dapat belajar dari Cina dengan memberikan insentif khusus bagi produsen lokal dan menggunakan pengadaan umum sebagai alat untuk menggenjot volume produksi kendaraan listrik buatan lokal sehingga mempercepat terjadinya economies of scale.  

Pembangunan dan perluasan jaringan SPKLU dan SPBKLU, serta penyiapan infrastruktur home charging diperlukan untuk menunjang adopsi kendaraan listrik. Rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU pada tahun 2019 di Cina paling masif yakni rasio 6,5:1. Rasio tersebut menggambarkan negara-negara dengan tingkat pengembangan kendaraan listrik yang lebih matang. Sementara Indonesia bila mengikuti peta jalan yang dikeluarkan PLN, hanya akan mencapai sekitar 70:1. 

Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni

  1. Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat. 
  2. Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi
  3. Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil
  4. Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional
  5. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
  6. Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional. 
  7. Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik
  8. Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai 
  9. Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik 
  10. Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target
  11. Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
  12. Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah

 

Laporan kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dapat diunduh di: