Kendaraan Listrik dan Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat Indonesia

Siaran Pers

Transportasi darat sumbang emisi tertinggi dari total emisi gas rumah kaca sektor transportasi di Indonesia

  • Kurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi, Indonesia perlu menerapkan instrumen kebijakan untuk meningkatkan jumlah kendaraan listrik dalam menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil
  • Di saat harga minyak dunia sedang turun saat ini, pajak karbon yang diterapkan pada bahan bakar fosil merupakan suatu instrumen yang dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan jumlah kendaraan listrik sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca

Jakarta— 29 Maret 2020 — Institute for Essential Services Reform sebagai anggota dari Climate Transparency melakukan kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi, dengan menganalisis rangkaian instrumen kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan peran kendaraan listrik dalam mendorong ambisi negara mencapai Persetujuan Paris, agar dapat berada di jalur untuk mencapai batasan target kenaikan suhu 2/1,5°C.

Julius C. Adiatma, Clean Fuel Specialist IESR, memaparkan laporan “The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector” yang di luncurkan dalam kegiatan Webinar pada Minggu 29 Maret 2020 dan juga melibatkan panelis secara daring, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi, BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Jakarta.

“Hasil pemodelan dari studi kami menunjukkan bahwa masuknya kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi darat, terutama dari penggunaan kendaraan pribadi. Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan dari pemerintah, baik kebijakan fiskal maupun non fiskal seperti penyediaan infrastruktur pengisian kendaraan listrik umum. Yang tidak kalah penting adalah mengganti pembangkit batubara dengan energi terbarukan supaya emisi gas rumah kaca tidak berpindah dari transportasi ke pembangkit” menurut Julius.

Di Indonesia, emisi dari sektor transportasi hampir mencapai 30% dari total emisi CO2, dimana emisi tertinggi terutama berasal dari transportasi darat, yang berkontribusi pada 88% dari total emisi di sektor ini (IEA, 2015). Termasuk di dalamnya adalah mobil penumpang dan sepeda motor, yang tumbuh dengan pesat seiring dengan penggunaannya sebagai moda perjalanan utama di daerah perkotaan. Misalnya, penjualan mobil domestik telah bertumbuh lebih dari dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir (dari 480 ribu unit pada tahun 2004 menjadi di atas 1 juta unit pada tahun 2019). Tren ini diprediksi akan terus meningkat, dan dengan demikian, sektor transportasi akan terus menjadi salah satu penghasil emisi utama di negara ini. Namun, rencana mitigasi dari pemerintah untuk sektor transportasi yang tercantum dalam NDC, masih terbatas pada pengalihan bahan bakar menjadi bahan bakar nabati dan perluasan stasiun pengisian bahan bakar gas bumi. Sementara itu, peran kendaraan listrik (termasuk hibrida, hibrida plug-in, dan kendaraan listrik baterai), yang banyak dilihat oleh beberapa pakar sebagai kunci dalam mengurangi emisi GRK di sektor ini, masih belum dimasukkan dalam NDC Indonesia.

Indonesia harus mengambil tindakan mitigasi perubahan iklim secara drastis di sektor transportasi. Menurut proyeksi The Climate Action Tracker, total emisi Indonesia (tidak termasuk LULUCF) setara dengan 3,75 – 4% dari total emisi global pada tahun 2030. Agar sejalan dengan 1,5°C, proporsi bahan bakar rendah karbon di bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Climate Action Tracker menjabarkan skenario 1,5°C yang kompatibel untuk Indonesia, yang membatasi emisi dari sektor transportasi menjadi 2 MtCO2e pada tahun 2050. Skenario ini mencakup peningkatan penggunaan transportasi umum, peningkatan ekonomi bahan bakar kendaraan konvensional, dan elektrifikasi 100% kendaraan penumpang darat (mobil, motor, dan bus) pada tahun 2050. Untuk mencapai 100% elektrifikasi kendaraan pada tahun 2050, Indonesia perlu menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil antara tahun 2035 s.d. 2040, dengan asumsi masa pakai kendaraan 15 tahun. Dengan penetrasi pasar kendaraan listrik yang sangat rendah saat ini, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung untuk mencapai target ini.

Di sisi lain, dengan bauran listrik saat ini, penetrasi kendaraan listrik akan meningkatkan emisi karbon di Indonesia. Peningkatan emisi ini, sebagian besar terkait dengan pembangkitan listrik dari sumber bahan bakar fosil. Selain itu, emisi juga berasal dari produksi komponen dalam kendaraan listrik, terutama baterai. Namun, sekalipun Indonesia dapat mencapai daya bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, penggunaan mobil listrik diprediksi akan menghasilkan emisi karbon sekitar 2,6% lebih rendah dibanding mobil konvensional.

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy IESR, mengatakan, dalam situasi rendahnya harga minyak dunia saat ini yang turun hingga lebih dari 50% (dari harga acuan yang tertera pada Nota Keuangan APBN 2020), pemerintah sebaiknya menerapkan pajak karbon pada pemakaian bahan bakar fosil, alih-alih menurunkan harga bahan bakar minyak dalam negeri; dimana hasil penerimaan pajak ini dapat digunakan untuk pengembangan industri kendaraan listrik.

Unduh siaran pers


Narahubung Pers:

Gandabhaskara Saputra, ganda@iesr.or.id

 

IESR welcomes new PLN’s leadership

FOR IMMEDIATE RELEASE

Contact:
Fabby Tumiwa
Executive Director, IESR
(+6221) 22323069
iesr@iesr.or.id
Gandabhaskara Saputra
Communications Coordinator, IESR
(+6221) 22323069
ganda@iesr.or.id

IESR welcomes new PLN’s leadership

IESR welcomes the appointee of the new BoD and BoC of PT PLN Persero today. According to Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR, the appointment of Zulkifli Zaini as President Director and Synthia Roesli as Finance Director indicates that the main challenges for PLN from the perspective of government are financial issues, funding for PLN’s expansion, investment and operational efficiency. 

However, Fabby pointed out that PLN faces more significant challenges. As the business environment is changing, PLN must take a radical transformation of its business model, improve operational efficiency, and undertake serious governance overhaul to be able to survive its business. 

New BoD has to address challenges of potentially stranded assets of generation capacity, sluggish demand, and increase renewable generation to meet national policy targets amid rising thermal power capacity. 

In ICEO 2020, given the lower electricity demand in recent years and the future demand forecast for the next five years PLN generation capacity addition could only grow by 4-4.5 GW per year. To meet 23% renewables in primary energy mix target or 31% of total PLN generation capacity in 2025, +/- 75% of new capacity should come from renewables since 2020. 

Fabby explained that the consequence of this is that BoD and MEMR should postpone or cancel any new coal power project starting in 2020. 

The new BoD doesn’t have much time left. As RUPTL 2020-2029 is underway and shall be landed at Minister EMR’s desk for approval Jan/Feb 2020, adjustment of the 10-yr planning has to reflect the aforementioned situation. 

Jakarta 23 December 2019

Catatan dan Tinjauan Energi Bersih Indonesia

Gandabhaskara Saputra
Koordinator Komunikasi, IESR
ganda@iesr.or.id

Siaran Pers

Catatan dan Tinjauan Energi Bersih Indonesia:

Menunggu Titik Balik Positif dan Memanfaatkan Momentum untuk Mengejar Ketertinggalan

 

Jakarta, Selasa, 17 November 2019 Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO), sebuah laporan akhir tahun yang ketiga yang mengulas kemajuan pengembangan energi bersih (energi terbarukan dan efisiensi energi) di tanah air, dan meninjau prospek perkembangannya di tahun 2020. Merujuk kepada laporan ini, tambahan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 385 MW di tahun ini tidak berdampak signifikan terhadap kemajuan pembangunan energi terbarukan untuk mengejar pencapaian target kapasitas 45 GW di tahun 2025 sesuai target RUEN. Untuk masih sangat dibutuhkan komitmen politik pemerintah yang dituangkan dalam kebijakan dan regulasi yang progresif dan perbaikan iklim investasi sehingga mengakselerasi pembangunan energi bersih di Indonesia dan bertransisi menuju sistem energi yang lebih bersih, kompetitif, dan handal.

Setahun yang lalu, tepatnya pada 19 Desember 2018, IESR telah memperkirakan prospek energi terbarukan yang stagnan di tahun 2019 dalam laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) kedua. Dua indikasi yang disampaikan dalam laporan tersebut (kondisi politik yang dinamis selama pemilihan umum serta kebijakan dan peraturan yang tidak kondusif) setidaknya masih relevan untuk dijadikan basis penilaian kemajuan pembangunan energi bersih di tahun ini.

 

Secara lebih rinci, laporan ICEO tahun ketiga yang diluncurkan hari ini menyoroti dua faktor utama yang masih menjadi penghambat percepatan pengembangan energi terbarukan (ET) di tanah air. Faktor pertama adalah bankability dari Power Purchase Agreements (PPAs) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10 dan No. 50 Tahun 2017 yang membuat 27 dari 75 PPA proyek ET masih berjuang untuk mencapai tahap financial close (FC), bahkan 5 PPA sudah diterminasi pada Oktober 2019 lalu. Selanjutnya, skema insentif bagi proyek ET yang tidak kompetitif serta situasi politik dan masa transisi pemerintahan yang baru mengakibatkan capaian target investasi ET yang rendah di tahun ini (USD 1,17 dari 1,8 juta atau baru mencapai 65% per September 2019 lalu). Kontribusi proyek energi panas bumi (sebesar USD 0.52 juta) menjadi andalan pemerintah dari total capaian investasi tersebut. Secara umum, total investasi ET ini masih sangat kecil untuk mencapai target bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di tahun 2025 yang diperkirakan memerlukan investasi USD 70-90 milyar.

Dalam pembukaannya, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, menuturkan “dalam hal investasi energi terbarukan, Indonesia berkompetisi dengan sesama negara ASEAN lainnya, khususnya Vietnam, Malaysia, Filipina dan Thailand. Dalam tiga tahun terakhir, negara-negara ini mengalami kenaikan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang cukup tinggi dan yang ditandai dengan mengalirnya arus investasi dari luar. Di era energi terbarukan, semua negara punya sumber daya energi terbarukan yang relatif setara dan dapat dikembangkan. Investor punya pilihan cukup banyak dan leluasa memilih negara yang memberikan pengembalian investasi yang menarik dan risiko yang kecil. Dengan kondisi ini, kualitas kebijakan dan regulasi Indonesia akan menentukan daya saing Indonesia menarik investasi energi terbarukan, khususnya investasi asing.”

Di sektor efisiensi energi, usaha-usaha untuk mencapai target penurunan intensitas energi final sebesar 1% per tahunnya, harus lebih difokuskan kepada tiga sektor kunci yang menyumbang konsumsi energi terbesar: transportasi, industri, dan rumah tangga. Dari tahun 2013 hingga 2018, ketiga sektor ini tercatat sebagai sektor yang mendominasi sebesar 44% (setara 348 juta setara barel minyak – SBM), 33% (setara 250 juta SBM), dan 15% (setara 113 juta SBM) secara berturut-turut dari total konsumsi energi final. Akselerasi penggunaan kendaraan listrik, peningkatan konservasi energi di sektor industri, serta perbaikan standar dan pelabelan energi untuk peralatan listrik untuk rumah tangga menjadi beberapa opsi yang teridentifikasi dalam laporan ICEO dalam meningkatkan usaha-usaha di sektor ini.

Meskipun demikian, IESR juga mengidentifikasi tiga hal yang cukup progresif di tahun ini. Salah satu diantaranya adalah adanya peningkatan dan minat penggunaan PV surya atap yang semakin dilirik oleh Kementerian, lembaga, dan badan usaha di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha industri, bangunan komersial dan residensial. Selanjutnya, konsumsi biodiesel juga meningkat seiring dengan program B20 yang digalakan sejak awal tahun 2019. Terakhir di sektor transportasi, adanya Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang kendaraan listrik mengisyaratkan komitmen dan dukungan politik yang kuat dalam mengembangkan teknologi baru ini di tanah air. Energi surya dan kendaraan listrik ini secara khusus diulas dalam ICEO 2020.

Selain membahas status dan perkembangan energi bersih di tahun 2019, laporan ini juga menyimpulkan tahun 2020 sebagai momentum penentu dan titik balik untuk mengejar ketertinggalan, baik untuk mencapai target-target di tanah air, maupun kemajuan energi terbarukan di tingkat regional. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan sejumlah hal:  Pertama, kabinet dan konfigurasi posisi baru di kementerian dan lembaga terkait harus bisa mendapatkan kembali kepercayaan dari investor di kuartal pertama 2020, dengan memberikan sinyal politik dan rencana aksi terperinci yang dituangkan ke dalam perbaikan kebijakan dan regulasi untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan implementasi efisiensi energi. Perbaikan tersebut diantaranya mencakup reintroduksi feed in tariff (FiT), adanya instrumen pendanaan khusus untuk proyek ET skala kecil (dibawah 10 MW), penerapan skema lelang terbalik (reverse auction) untuk proyek ET skala utilitas, alokasi risiko yang adil antara independent power producer (IPP) dan PLN, serta perbaikan-perbaikan kebijakan untuk mendorong implementasi efisiensi energi seperti penerapan mandatori manajemen energi ke lebih banyak perusahaan di setiap sektor (industri, transportasi, dan bangunan), dan penerapan SKEM untuk peralatan listrik yang lebih banyak dan standar yang lebih tinggi. 

Kedua, berbagai inisiatif terkait energi bersih yang dilakukan oleh aktor non-pemerintah dan pemerintah daerah perlu terus didukung dan difasilitasi. Lebih dari 200 perusahaan multinasional, 40 di antaranya beroperasi di Indonesia, adalah anggota RE100 dengan pendapatan gabungan hingga USD 4,5 triliun yang kini berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan di seluruh fasilitas operasional globalnya pada tahun 2030. Peraturan yang mengatur implementasi power wheeling dapat menjadi pilihan untuk menyelesaikan akses listrik terbarukan yang penting yang diperlukan oleh perusahaan RE100 dan yang lainnya. Selanjutnya, hambatan-hambatan seperti perencanaan, pembiayaan, dan koordinasi dengan PLN dalam implementasi inisiatif-inisiatif di pemerintah daerah harus dapat ditangani dan diselesaikan untuk dapat merealisasikan berbagai inisiatif menjadi proyek yang nyata.

Ketiga, perlu lebih dari sekedar peraturan untuk memulai revolusi surya dan kendaraan listrik. Kedua teknologi ini kami proyeksikan dapat menjadi pionir penggerak dalam transisi menuju energi bersih di tanah air. Proses akuisisi lahan yang cukup menyulitkan, skema pendanaan yang kurang atraktif, transparansi proses pengadaan yang kurang dan timeline yang tidak menentu, serta pengembangan industri manufaktur surya yang status quo merupakan beberapa hambatan utama yang perlu diperhatikan dalam merevolusi energi surya. Sedangkan untuk memulai industri dan meningkatkan penetrasi kendaraan listrik dengan cepat diperlukan insentif fiskal (diantaranya pembebasan pajak kendaraan listrik) dan pembangunan infrastruktur pengisian listrik yang agresif (minimal 30.000 unit SPKLU sebelum tahun 2025).

“Presiden Jokowi harus menyadari bahwa Indonesia sedang diamati dunia dalam upaya memerangi krisis iklim melalui pengembangan energi terbarukan dan transisi menuju sistem energi bersih. Lima tahun ini kita menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi jawara energi terbarukan di ASEAN, saat ini kita jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga padahal Indonesia memiliki ragam sumber daya energi terbarukan. Saat ini kita Indonesia bukan primadona investor energi bersih, tapi kita bisa kalau ada transformasi yang revolusioner melalui kebijakan dan regulasi serta insentif yang disediakan pemerintah,” kata Fabby Tumiwa.

Oleh karena itu, IESR kembali mendesak Presiden Joko Widodo untuk menunjukan komitmen politik dan memimpin pengembangan energi bersih di Indonesia. Presiden perlu memberikan yang jelas dan kuat kepada kementerian sektoral dan lembaga terkait untuk mempercepat pengembangan dan mendorong investasi energi terbarukan. 

Dalam diskusi panel penutup, manajer program transformasi energi IESR, Jannata Giwangkara berharap temuan, laporan, serta poin-poin diskusi dalam peluncuran studi ICEO 2020 ini dapat menjadi referensi dan masukan bagi pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan di sektor energi untuk dapat memastikan keamanan energi, daya saing ekonomi, dan transisi menuju sistem energi bersih yang berkelanjutan di tanah air dalam waktu dekat.

Suhu Bumi Semakin Panas! Pesan IESR untuk Delegasi Indonesia di COP25

Pesan IESR untuk Delegasi Pemerintah Indonesia di COP UNFCCC 25 

Suhu Bumi Semakin Panas: Indonesia dapat melakukan transformasi perekonomian sebagai upaya pembatasan kenaikan suhu bumi dan pencapaian net-zero emission sesuai target Paris Agreement.

 

Jakarta, 29 November 2019 — Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP UNFCCC yang ke 25 di Madrid pada 2-13 Desember 2019, IESR mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menunjukkan komitmen dan political will dalam peningkatan aksi mitigasi perubahan iklim demi menjaga kenaikan suhu bumi pada 1,5°C. Komitmen ini diperlukan mengingat kegiatan mitigasi yang saat ini ada di dalam NDC Indonesia akan meningkatkan kenaikan suhu bumi di antara 3-4°C. Untuk dapat menjaga kenaikan suhu bumi pada 1,5°C, pemerintah Indonesia harus merancang kegiatan mitigasi perubahan iklim yang lebih ambisius dengan strategi pelaksanaan dan lokasi serta target pelaksanaannya yang rinci. 

Asia-Pacific Climate Week di Bangkok pada September lalu menegaskan pentingnya transformasi global menuju perekonomian rendah karbon dalam upaya pembatasan kenaikan suhu bumi. Transformasi ini akan membangun perekonomian yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim. Lebih lanjutnya, UNFCCC pun melihat bahwa perekonomian rendah karbon merupakan suatu solusi untuk mengurangi dampak buruk dari perubahan iklim serta meningkatkan pertumbuhan perekonomian pada saat yang sama. 

Dampak dari perubahan iklim ini semakin terasa di Indonesia. Rekor temperatur terpanas dalam dua dekade terakhir sudah tercatat sebanyak 15 kali, yang berarti 15 tahun dalam dua dekade terakhir telah mencetak rekor temperatur terpanas secara global. Sejak akhir abad ke 19, temperatur global sudah naik sebanyak 1oC dan masih akan bergerak naik lagi jika kegiatan mitigasi yang cukup ambisius tidak dilakukan secara global. Bencana alam kerap terjadi di Indonesia, seperti banjir, banjir bandang, longsor, kekeringan, cuaca dan gelombang ekstrim, abrasi, serta kebakaran lahan dan hutan. Rentan terhadap perubahan iklim, Indonesia memiliki risiko banjir yang meningkat 5X pada kenaikan 3oC dibandingkan 1,5oC. Pada kenaikan 2,4oC jumlah siklon (badai) tropis kategori 4 akan meningkat 80% dan kategori 5 meningkat 120%. Dampak perubahan iklim akan lebih jauh lagi mempengaruhi kehidupan manusia di berbagai aspek seperti gagal panen akibat kekeringan, nelayan sulit melaut akibat ancaman tingginya gelombang laut, bahkan timbulnya sakit jantung dan alergi. Keterlambatan mengatasi perubahan iklim akan memberikan beban ekonomi yang lebih besar. 

Mengingat dampak perubahan iklim yang semakin meluas, diharapkan Pemerintah Indonesia segera melakukan langkah nyata dalam peningkatan ambisi iklim Indonesia. Laporan IESR, Brown to Green Report 2019, yang diluncurkan 20 November lalu di Jakarta, merekomendasikan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dalam adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim demi menjaga kenaikan suhu bumi 1,5oC. Secara khusus, rekomendasi untuk pemerintah Indonesia dalam melakukan pembiayaan iklim yaitu mengintegrasikan risiko perubahan iklim dalam sektor keuangan, menghapuskan subsidi bahan bakar fosil paling lambat pada 2025, menghentikan dana APBN untuk membiayai proyek bahan bakar fosil, mengharmonisasikan informasi mengenai pembiayaan iklim dalam rencana pembangunan jangka panjang.

Dari laporan ini, ditunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia mampu melakukan transformasi perekonomian menuju net-zero economy sesuai dengan salah satu target dari Paris Agreement. Beberapa langkah nyata yang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia untuk dapat meningkatkan ambisi iklim untuk mencapai 1,5°C, yaitu: 

  1. Menurunkan kontribusi dari PLTU dan meningkatkan kontribusi dari energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada 2030.
  2. Menaikkan tingkat efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga, dimana hal ini dapat mengurangi beban puncak listrik sebesar 26,5 GW pada 2030.
  3. Melakukan moratorium pembukaan hutan secara permanen termasuk hutan primer dan sekunder, serta lakukan restorasi gambut, untuk menyelamatkan 66 Mha hutan.

“Meningkatkan kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi pembangkit listrik sangat mungkin dilakukan secara teknis dan tidak akan mengurangi kehandalan dari jaringan nasional. IESR memiliki laporan yang membuktikan hal ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah political will. Pendanaan pun tidak perlu diragukan lagi. Banyak sumber pendanaan nasional dan internasional untuk melistriki Indonesia dari energi terbarukan” kata Erina Mursanti, Manajer Program Green Economy, IESR.

Erina melanjutkan bahwa upaya penurunan emisi gas rumah kaca untuk menjaga kenaikan suhu bumi 1,5°C tidak dapat dilepaskan dari transformasi perekonomian dan transisi energi mengingat mayoritas dari emisi gas rumah kaca diproyeksikan akan berasal dari sektor energi, sedangkan, energi diperlukan untuk mendorong perekonomian dan menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi. 

Jakarta, 29 November 2019


Informasi tambahan

Konferensi Perubahan Iklim PBB COP 25 (2 – 13 Desember 2019) akan berlangsung di Madrid, Spanyol di bawah Presidensi Pemerintah Chili, Konferensi ini dirancang untuk mengambil langkah-langkah penting berikutnya dalam proses perubahan iklim PBB. Mengikuti kesepakatan tentang pedoman pelaksanaan Perjanjian Paris di COP 24 di Polandia tahun lalu, tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk menyelesaikan beberapa hal sehubungan dengan operasionalisasi penuh Perjanjian Perubahan Iklim Paris. IESR sebagai salah satu partner global dari Climate Transparency, akan turut menghadiri COP 25 Side Events dan bertindak sebagai panelis dalam beberapa diskusi yang akan diselenggarakan mulai tanggal 2 hingga 6 Desember, bersama dengan perwakilan dari Pemerintah Indonesia, yang diwakilkan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tentang IESR 

Institute for Essential Services Reform merupakan mitra Indonesia dari the Climate Transparency yang bermarkas pusat di Jerman, adalah institusi riset dan advokasi di bidang energi dan kebijakan lingkungan. Institusi kami mengkombinasikan studi mendalam, menganalisa kebijakan, undang – undang, dan aspek tekno-ekonomi pada sektor energi dan lingkungan dengan aktivitas advokasi kepentingan umum yang kuat untuk mempengaruhi perubahan kebijakan pada skala Nasional, sub-bangsa dan dunia. 

Narahubung Pers dan Media:

Erina Mursanti erina@iesr.or.id

Program Manager, Green Economy

 

Gandabhaskara Saputra ganda@iesr.or.id 081235563224

Communications Coordinator

Dokumen untuk di unduh

Siaran Pers 25 Oktober 2019 – Revolusi energi surya dimulai!

IESR memberikan apresiasi kepada Menteri Jonan yang bersedia menerima masukan dan rekomendasi dari berbagai stakeholders dan akhirnya melakukan perbaikan regulasi PLTS atap paska keluarnya Permen ESDM No. 49/2018 yaitu menaikkan batas kapasitas untuk ketentuan izin operasi dari 250 kVA menjadi 500 kVA dan tidak mewajibkan adanya Sertifikat Laik Operasi/SLO oleh Lembaga Inspeksi Teknik/LIT untuk instalasi sampai 500 kVA sepanjang perangkat dan pemasangan sesuai dengan standar keteknikan (Permen ESDM No. 12/2019). Selain itu, Ignasius Jonan juga menerbitkan revisi atas ketentuan biaya kapasitas untuk pelanggan sektor industri, dengan menurunkannya dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam (Permen ESDM No. 16/2019).

Siaran Pers 25 September 2019: Pidato JK di KTT PBB Iklim – Indonesia sedang bermain-main dengan krisis iklim

Respon IESR terhadap pidato Wakil Presiden (Jusuf Kalla) di KTT PBB Iklim (UN Climate Action Summit) di New York, USA
_____
“Kita sedang dalam keadaan darurat iklim. Kebakaran hutan dan lahan yang telah terjadi di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan semakin memburuk sebagai dampak dari perubahan iklim. Indonesia sudah melakukan beberapa pendekatan untuk mengatasi tantangan yang sangat besar ini, untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi demi meningkatkan ambisi perubahan iklim, untuk melakukan aksi iklim yang konkrit dan realistis untuk dapat dilakukan saat ini.”

ENGLISH VERSION

Siaran Pers 18 September 2019 – Peluncuran IETD Ke-2

The 2nd Indonesia Energy Transition Dialogue:

Memfasilitasi Diskursus Transisi Menuju Energi Bersih di Indonesia

Jakarta, Rabu, 18 September 2019Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) kedua yang akan diselenggarakan pada 13-14 November 2019 di Tribrata Meeting & Convention Center, Jakarta. Dialog tahun kedua ini diharapkan dapat memperkuat konsep dan memfasilitasi diskursus transisi menuju energi bersih di tanah air untuk memastikan transisi energi yang lancar.

 

Siaran Pers 17 September: Jawa Tengah Solar Revolution 2019

Jawa Tengah Siap Menjadi Provinsi Energi Surya

Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi energi surya 4,05 kWh/kWp per hari, di atas rata-rata Indonesia (3,75 kWh/kWp). Apabila potensi ini dimanfaatkan dalam bentuk pembangkit listrik surya atap yang diharapkan dapat membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mencapai target Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020 sebesar 11,60%. Jawa Tengah juga merupakan provinsi pertama yang menyelesaikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan pengembangan energi surya menjadi salah satu bagian rencana strategis (renstra) Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah.

 

Siaran Pers 05 September 2019: Investor asing lari ke Vietnam

Investor lari ke Vietnam: Kerangka kebijakan dan regulasi di Indonesia tidak menarik. Presiden Jokowi perlu evaluasi kebijakan dan regulasi sektoral yang menghambat investasi di bidang energi  

Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (4/9/2019) yang kecewa bahwa investasi yang pindah dari Tiongkok masuk ke Vietnam bukan ke Indonesia, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyarankan agar pemerintah Jokowi melakukan introspeksi dan evaluasi atas kebijakan dan peraturan di tingkat sektoral yang dibuat beberapa tahun terakhir yang justru membuat risiko investasi di Indonesia meningkat dan membuat investor menunda berinvestasi di Indonesia.

Menurut Fabby, minimnya Foreign Direct Investment (FDI) di bidang energi dalam 3 tahun terakhir karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak mempertimbangkan persepsi risiko investor.

Selain itu ada ketidakselarasan antara regulasi teknis dengan kebijakan utama juga membuat investor ragu-ragu.

Dalam konteks Investasi di sektor Energi, sejumlah investor energi terbarukan sebenarnya bersiap berinvestasi di Indonesia pada 2014-2016. Pada saat itu mereka melihat peluang investasi dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 yang mematok target energi terbarukan 23%. Pengalaman Indonesia dengan adanya kebijakan feed in tariff sebelumnya dinilai sebagai faktor positif oleh investor. Sayangnya adanya pergantian Menteri ESDM pada 2016 lalu sebanyak 4 kali dan diikuti dengan lahirnya berbagai kebijakan Menteri ESDM yang berkaitan dengan energi terbarukan melalui Permen ESDM No. 10/2017, 12/2017 jo 50/2017, Permen No. 49/2018 dan peraturan lainnya yang bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya, justru mematikan minat investasi dari investor-investor asing dan domestik.

Menurut analisa IESR, peraturan-peraturan ini justru meningkatkan ketidakpastian, menambah risiko, ketidakpastian proses bisnis untuk merealisasikan proyek yang memberikan tingkat pengembalian investasi yang wajar, serta membuat lembaga keuangan enggan membiayai proyek-proyek tersebut.

“Hasil dari regulasi yang dibuat oleh Menteri ESDM seperti yang kita lihat adalah pertumbuhan jumlah pembangkit energi terbarukan di era 2014-2019 lebih rendah dari periode sebelumnya. Itu pun berasal dari proyek-proyek yang sudah disiapkan sebelum 2014 dan 2015, yang kemudian berhasil COD dalam 1 dan 2 tahun belakangan ini. Sementara itu proyek-proyek baru justru mengalami kendala bankability,” kata Fabby.

Investor-investor yang awalnya melirik Indonesia sejak 2016 menjadi hijrah ke Vietnam. Dengan kebijakan dan regulasi yang lebih menarik, Vietnam mengalami booming dalam investasi energi terbarukan. Kualitas kebijakan dan regulasi di Vietnam memberikan kepastian usaha yang lebih baik, proses bisnis yang lebih jelas dan tingkat pengembalian ekonomi proyek yang lebih baik dibandingkan proyek di Indonesia. Menurut Fabby, faktor-faktor ini membuat investor lebih nyaman berinvestasi di Vietnam ketimbang di Indonesia.

Hasilnya, sejak 2017 hingga Juni 2019, energi surya bertumbuh menjadi 4,5 GW. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin (wind power) dari 0 menjadi 228 MW pada akhir 2018. Saat ini pemerintah Vietnam sedang mempersiapkan proyek baru untuk  mengejar target kapasitas PLTB menjadi 800 MW pada 2020.

IESR mendesak pemerintah Jokowi melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan dan regulasi di bidang energi untuk merevitalisasi minat investor, khususnya regulasi-regulasi di bidang energi terbarukan. Hasil perhitungan IESR menunjukan untuk mencapai target energi terbarukan sebanyak 23% dari bauran energi pada 2025, dibutuhkan investasi sebesar $70-120 miliar. Sekitar 80-85% dari kebutuhan investasi ini diperkirakan berasal dari investor swasta domestik dan asing.

Jika Presiden serius menarik investasi energi terbarukan yang berasal dari Foreign Direct Investment (FDI) yang dibutuhkan Indonesia saat ini, maka perlu ada upaya untuk merombak total arah kebijakan dan regulasi serta instrumen pendukung untuk energi terbarukan kata Fabby Tumiwa.

Jakarta, 5 September 2019

Unduh versi PDF